"Hasil MRI nya menunjukkan adanya saraf terjepit di leher, ruas C-5 dan C-6. Ini termasuk salah satu yang riskan ya, Bu. Kita ada dua solusi, keputusan saya kembalikan ke Ibu," ujar dokter Zainal, dokter senior itu.
"Apa, Dok?"
"Operasi atau—"
"Operasi? Waduh, Dok." Wajah Bu Sum seketika panik.
"Tenang dulu, Bu." Dara mengusap pundak wanita tua itu.
"Atau kita observasi, selain dengan obat, Ibu harus tetap memakai collar neck. Penyangga leher hingga waktu yang ditentukan."
"Kalau di lihat dari hasil MRI Ibu, tonjolan pada bantalan sendi hampir mengenai saraf utama," ucap Rizal.
"Bahaya?" Kali ini Dara menunjukkan wajah paniknya.
"Bahaya kalo nggak di tanggulangi dengan cepat." Rizal menahan senyumnya saat melihat wajah Dara.
"Jadi gimana Dok, baiknya?"
"Kita observasi dulu saja ya, dengan obat dan collar neck. Satu bulan lagi kontrol, kalo masih belum ada perubahan, mau tidak mau kita ambil tindakan operasi."
"Observasi. Ok, enggak apa-apa, kan Bu?"
"Ibu mana baiknya aja, Ra. Ibu udah nggak bisa mikir."
"Tapi dengan satu syarat, Bu Sum harus benar-benar menghindari pekerjaan berat. Usahakan selalu olahraga ringan dan stretching tubuh," ucap Rizal.
"Baik, Dok."
"Ibu sudah dengarkan apa kata dokter tadi, istirahat dulu. Jangan kerja berat dulu, sementara kerjaannya biar Dara yang kerjakan, kan Dara juga setelah wisuda nggak langsung kerja. Jadi Ibu nggak usah khawatir," ucap Dara saat mereka sudah sampai di parkiran motor.
Terkadang hidup itu memang cuma harus di jalani, apa-apa mengenai rejeki semua sudah di atur oleh Yang Maha Kuasa. Bu Sum tersenyum, bersyukurnya dia mempunyai anak-anak yang penurut dan tidak banyak menuntut seperti Dara dan Bagas.
"Maaf ya, Dara jadi harus mengalah lagi." Bu Sum membelai wajah Dara.
"Sekarang pakai helmnya, peluk Dara erat-erat, kita cari collar neck terbaik buat Ibu, biar Ibu cepat sembuh dan nggak harus operasi."
*****
"Gimana Ibu Sum?" Isi pesan Rizal malam itu.
"Baik."
"Udah dapet collar neck-nya?"
"Sudah."
"Kamu pelit banget jawabnya." Isi pesan Rizal di sertai emot datar.
"Ibu baik, sudah enakan setelah pakai collar neck."
"Nah, gitu dong. Kamu sudah makan?"
"Belum, baru selesai setrika baju Pak Dokter Rizal. Mungkin besok Bagas yang antar ke sana."
"Lengkap banget jawabnya."
"Tadi katanya di suruh jawab panjang-panjang." Dara mengulum senyum.
Rizal mengirimkan emoticon senyum tersipu.
"Makan dulu, nanti malah nggak ada tenaga buat besok."
"Males sih, udah malem juga."
Lama pesan itu tak kunjung di jawab oleh Rizal. Pikir Dara mungkin lelaki itu tertidur.
"Dara." Rizal kembali mengirimkan pesan untuknya. "Sekitar setengah jam lagi, ada ojek online datang antar makanan ke rumah kamu."
"Hah?"
"Jangan nggak di makan, ya. Selamat makan dan selamat malam."
Dara terpaku, darimana Rizal tahu alamat rumahnya hingga lelaki itu bisa-bisanya mengirimkan dia makanan di saat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lebih.
Pintu kamar Dara terbuka, Bagas memajukan kepalanya.
"Mbak, ada kiriman makanan," ujar Bagas. "Dari Rizal kata abang ojol nya."
"Ya ampun." Dara beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah menuju ruang makan.
"Enak lagi ini Mbak, tau aja aku suka nasi goreng ini. Rizal siapa, Mbak?"
"Langganan laundry ibu," ucap Dara pelan takut membangunkan Bu Sum.
"Baru ya, kok baru denger namanya."
Dara hanya mengangguk sambil membuka beberapa kotak makan di hadapannya.
"Kok dia bisa tau alamat rumah kita ya, Gas."
"Loh, nggak tau. Kan Mbak Dara yang kenal."
"Iya tapi Mbak nggak pernah kasih tau kita tinggal dimana."
"Oh, mungkin dari nota laundry Mbak," tebak Bagas.
"Oh, iya juga ya. Ya sudahlah, makasih orang baik, makan Gas mumpung hangat." Dara tersenyum melihat adiknya langsung menarik kursi meja makan dan menikmati nasi goreng seafood kesukaannya.
"Bagas, besok pulang sekolah bisa bantu Mbak antar baju-baju laundry, ya?"
"Ok, Mbak. Banyak ya?"
"Ada delapan packing-an, tapi semua ke kost Paradigma. Bantu Mbak ya, karena siang Mbak harus ke kampus urus persiapan wisuda."
"Motor di tinggal ya, Mbak." Bagas kembali menyuapkan sendok terakhir nasi goreng ke mulutnya.
"Iya, nanti biar Mbak naik Trans aja."
"Ok."
"Abis makan di beresin, ya. Mbak ngantuk."
Dara merebahkan tubuhnya, di raihnya ponsel yang tergeletak di sisi kanannya.
"Makasih kiriman makanannya, kapan-kapan gantian saya yang traktir."
Tanpa menunggu balasan dari pesan yang dia kirimkan, Dara pun terlelap karena lelahnya.
*****
Matahari semakin mencondongkan dirinya ke arah barat. Dara berjalan di bawah rindangnya pohon-pohon kampus menuju halte Trans. Sesekali rambut yang terjuntai itu pun berayun tertiup angin sore.
Motor sport itu berhenti di depannya. Dara mengerutkan keningnya, lelaki itu pun membuka helm full facenya.
"Dokter?"
"Hai." Rizal tersenyum.
"Kok bisa di sini?"
"Bisa dong, kan ini jalan umum. Kebetulan tadi liat kamu, ya udah aku samperin. Mau pulang?"
"I—iya sih."
"Ayo, bareng aja. Kan searah ...." Rizal menurunkan footstep. "Ayo ... aku nggak gigit kok."
"Tapi itu motornya—" Dara memperhatikan tempat duduk penumpang motor sport milik Rizal.
"Kenapa? Enggak masalah, kan? atau kamu di depan aku di belakang?"
Rizal sudah tak tahan lagi menyembunyikan tawanya. Gadis yang baru beberapa waktu dia temui ini sungguh membuat benang kusut di kepalanya, perlahan-lahan mulai terurai.
"Terserah kamu mau duduk seperti apa, senyamannya aja, ayo."
Dara terdiam, dalam diamnya pun dia masih memikirkan bagaimana caranya dia bisa berada di atas jok yg lumayan tinggi untuknya.
"Taruh sini tangannya." Rizal menepuk pundaknya.
"Sorry," kata Dara lalu meletakkan tangannya di pundak Rizal.
"Senyamannya," batin Dara kemudian tas yang dia bawa pun dia letakkan di tengah, diantara punggung Rizal dan tubuhnya.
"Kita makan dulu ya," ucap Rizal sebelum menutup helm wajahnya.
"Hah?"
"Kamu janji bakal traktir kan kemarin. Jadi hari ini giliran kamu yang traktir aku."
Tanpa menunggu jawaban, motor Rizal melaju dengan kecepatan tinggi memecah keramaian jalan raya sore itu.
"Ayo," ajak Rizal.Dara berdiri terpaku, di tatapnya kafe yang ada di hadapannya. Setahu Dara, kafe yang mereka kunjungi ini harga makanannya cukup mahal, sedangkan uang yang ada di dompetnya hanya tersisa seratus ribu rupiah."Karena saya yang traktir, jadi sebaiknya saya yang menentukan kita makan dimana," ujar Dara."Tapi kita sudah terlanjur sampai sini. Jadi, daripada menghabiskan waktu untuk mencari kafe yang lain lebih baik kita di sini aja.""I-iya, tapi ....""Aku udah laper, denger-denger makanan di sini enak-enak. Ayo." Rizal me lebih dulu."Seratus ribuku," lirih Dara dengan wajah sedih."Makan apa?" tanya Rizal pada Dara saat pelayan menghampiri mereka."Hhmm.... air mineral aja," jawab Dara."Loh kok air mineral?""Saya nggak laper. Yang makan Dokter aja, enggak apa-apa.""Ah, enggak gitu konsepnya." Alis Rizal bertaut. "Aku pesenin, satu beef carbonara, onion ring, dimsum satu porsi, lalu ... satu beef steak, saya minta cheese sauce-nya, terus minumannya saya minta yang
"Pagi, Dokter," sapa Bu Sum memasuki ruangan dokter spesialis saraf dengan senyum sumringah berbeda dengan saat waktu Bu Sum datang pertama kali ke ruangan itu. Ditemani Bagas, Bu Sum menceritakan perkembangan yang dia rasakan selama sebulan ini semenjak menggunakan collar neck secara rutin. "Coba saya periksa dulu, ya," ucap Dokter Zainal, dokter senior di ruangan itu selain dokter berkacamata yang lain."Udah aman ya ini, syukurlah masih bisa kita observasi kemarin ya. Diingatkan lagi ibunya untuk tidak mengangkat atau mengerjakan pekerjaan yang berat.""Terimakasih, Dokter." Mata Bu Sum masih mencari-cari. "Kalo dokter Rizal, hhmm maksud saya dokter residen yang waktu itu enggak kelihatan ya, Dokter?""Oh dokter Rizal, hari ini memang mengambil cuti ijin sakit, Bu Sum.""Oh sakit." Bu Sum terdiam. "Bu, ayo." Bagas menyentuh lengan ibunya agar bergegas meninggalkan tempat itu."Mbak-mu pulang jam berapa, Gas?" tanya Bu Sum setiba mereka di rumah."Bagas kurang tahu, Bu. Kenapa?"
"Bawa ini." Bu Sum menyerahkan kantung plastik berisi bubur ayam pagi itu."Apa ini, Bu?""Bubur ayam buat sarapan dokter Rizal.""Loh kan Dara cuma mau anter baju ke Mas Teguh, Bu. Enggak ke tempat dokter Rizal.""Sekalian, Ra. Kan satu tempat juga, lagian kasian anak rantau sakit tuh nggak ada yang ngurus. Mosok kamu tega, mana sakitnya tipes kan nggak bisa makan yang keras-keras dulu "Dara menghela napasnya, dirapihkannya kembali baju-baju yang akan dia antar pagi ini."Ya sudah, Dara pergi dulu." Dara meraih kunci motornya. "Oh iya Bu, nanti Dara pulang agak sore ya. Dara mau ketemu temen di kampus, katanya ada lowongan kerjaan di tempat dia kerja."Motor Mio itu berhenti di bangunan tiga lantai yang berisi para anak rantau. Dara mengetik pintu kamar Teguh, salah satu pelanggan laundry Bu Sum yang sangat baik padanya. "Pagi Dara," sapa lelaki itu masih dengan wajah bangun tidur."Pagi Mas Teguh," balas Dara sambil tersenyum. "Mau antar baju, Mas." Dara memberikan tas laundry ber
"Kamu sibuk besok malam?"Isi pesan dari Rizal untuk Dara. Sudah hampir satu minggu ini lelaki itu tak mendapat kabar bahkan bertemu dengan Dara. Yang datang mengantarkan atau mengambil baju kotornya hanya Bagas. Bertanya pada Bagas pun, pemuda itu hanya mengatakan sang Kakak sedang sibuk."Kebetulan aku nggak ada jadwal jaga, kita bisa ketemu?" Lagi pesan itu masuk namun belum mendapat balasan dari Dara. Hanya saja tanda centangnya sudah berwarna biru itu artinya Dara membaca pesannya.Kesal menunggu, Rizal meraih jaketnya kemudian berjalan menuju parkiran motor rumah sakit. Untung saja hari ini jam jaganya hanya sampai setelah Magrib.Motor sport itu berhenti di depan pagar rumah Dara. Lampu rumah pun sudah menyala, kios kecil tempat Bu Sum menerima pakaian laundry juga sudah di tutup. Hanya saja motor Mio milik Dara tak terlihat di sana, bisa jadi motor itu sedang di pakai oleh Bagas. Rizal mendorong motornya masuk ke halaman rumah Bu Sum. Dia letakkan helm full facenya di meja y
"Mama ada di Jogja? Sejak kapan?" tanya Rizal yang bergegas ke parkiran motor Rumah Sakit, dia harus segera menuju hotel tempat kedua orangtuanya menginap.Memasuki sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jogja, Rizal melangkahkan kakinya menuju restoran hotel itu. Wanita cantik berumur 50 puluh tahunan itu sedang berbincang dengan dua orang pria yang jelas sekali Rizal kenal, ayah dan pamannya. Entah dalam rangka apa ketiga orang yang dituakan ini datang tiba-tiba ke Jogja. "Ma, Pa." Rizal berdiri di antara mereka yang duduk di meja makan besar mengulurkan tangannya, menyalami kedua orangtuanya. Matanya melirik ke arah lelaki berkacamata dengan tatapan datar."Mamak, apa kabar?" Rizal kembali sedikit membungkuk, menyalami kakak pertama dari sang Ibu."Haa ...tumben Ichal langsuang tibo manamui Mama Papa, biasonyo tunggu sahari duo hari dulu baru ka tibo kamari, itupun kalau indak tapaso ndak ka tibo do," sindir Donna, ibu Rizal.(Tumben langsung nemuin Mama sama Papa, biasanya Ma
"Ini Synthia, anak dari Datuk Basri Alam," ujar Donna. "Kamu masih ingat kan, Synthia kecil dulu sering ke rumah kita."Rizal pun tersenyum, tidak pernah terbesit di ingatannya tentang wanita di hadapannya ini pernah datang ke rumahnya. Atau memang dia yang sudah lupa."Enggak sering Tante, cuma beberapa kali sebelum Bunda bawa Synthia ke Australia."Wanita yang umurnya mungkin hanya berbeda satu tahun di bawah Rizal ini pun mengulurkan tangannya."Apa kabar?""Baik," jawab Rizal canggung."Jadi pertemuan kali ini memang sangat mendadak," ujar lelaki yang umurnya di atas lebih tua dari Rizal. Mungkin hampir memasuki 40 tahun. Lelaki itu Amar kakak laki laki tertua Synthia."Kebetulan kami juga ada perjalanan bisnis ke Jogja, dan Bunda memberi tahu kalau Tante Donna dan Om Andreas sedang berada di Jogja. Mengenai kerjasama perusahaan yang pernah kita bahas tempo hari, kami selalu wakil dari perusahaan menyetujui persyaratan dan perjanjiannya.""Mengenai kelanjutannya, kita bicarakan de
Rizal menuntun motornya masuk ke pekarangan rumah Dara. Sudah menjadi kebiasaannya selama bertamu ke rumah gadis itu, Rizal psti mematikan motornya, maklum saja suara motor sport milik Rizal memang terdengar sedikit berisik."Loh, Mas Dokter." Bagas yang baru saja masuk ke pekarangan rumah kaget melihat Rizal juga baru datang."Gas," sapa Rizal. "Dara ada?""Ada, aku panggil dulu." Bagas memarkirkan motornya."Eh, Gas ... ini buat kamu dan ibu." Rizal memberikan satu kantung plastik berwarna putih."Makasih, Mas Dokter. Aku panggil Mbak Dara dulu." Bagas masuk ke dalam rumah dengan hati senang membawa bungkusan yang dari harumnya saja sudah bisa dia tebak."Emang rejeki anak soleh," ujar Bagas menaruh kantung plastik berisi dua tempat martabak manis dan martabak telur. "Tau aja ngambil hatinya," kekeh Bagas lalu melangkah menuju kamar Dara."Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun dia buka. "Ada yang cari tuh."Dara gelagapan, "siapa?""Pake nanya ... sana temuin dulu
Senyum Rizal kembali terukir, ingatannya masih melekat saat tadi dirinya memberanikan diri menyatakan perasaannya pada Dara. Tiba-tiba memeluk gadis itu, bahkan wajah mereka sempat dekat beberapa inci lagi, saling menatap sendu.Lamunannya buyar saat pesan masuk ke ponselnya dari sang Mama."Mama besok pagi pulang, penerbangan jam tujuh pagi. Malam ini sempatkan bertemu Mama dan Papa." Isi pesan itu rasanya enggan Rizal baca, toh selama ini juga orangtuanya datang dan pergi sesuka hati. Datang dengan melimpahkan masalah padanya, dan pergi meninggalkan masalah baru.Seperti pertemuan malam itu dengan Synthia dan Amar. Rizal baru mengetahui kalau ada rencana paman dan orangtuanya menjodohkannya dengan Synthia dengan alasan menjadikan kerajaan bisnis mereka khususnya rumah sakit berkembang lebih pesat lagi. Salah satunya menambah jangkauan bisnis sang Ayah yang mencoba bermain di pertambangan. Dan Synthia siang itu mengatakan sendiri pada Rizal. "Ya aku nggak bisa memaksa kamu, tapi ad