Share

Bab 6. Melting

"Bawa ini." Bu Sum menyerahkan kantung plastik berisi bubur ayam pagi itu.

"Apa ini, Bu?"

"Bubur ayam buat sarapan dokter Rizal."

"Loh kan Dara cuma mau anter baju ke Mas Teguh, Bu. Enggak ke tempat dokter Rizal."

"Sekalian, Ra. Kan satu tempat juga, lagian kasian anak rantau sakit tuh nggak ada yang ngurus. Mosok kamu tega, mana sakitnya tipes kan nggak bisa makan yang keras-keras dulu "

Dara menghela napasnya, dirapihkannya kembali baju-baju yang akan dia antar pagi ini.

"Ya sudah, Dara pergi dulu." Dara meraih kunci motornya. "Oh iya Bu, nanti Dara pulang agak sore ya. Dara mau ketemu temen di kampus, katanya ada lowongan kerjaan di tempat dia kerja."

Motor Mio itu berhenti di bangunan tiga lantai yang berisi para anak rantau. Dara mengetik pintu kamar Teguh, salah satu pelanggan laundry Bu Sum yang sangat baik padanya. 

"Pagi Dara," sapa lelaki itu masih dengan wajah bangun tidur.

"Pagi Mas Teguh," balas Dara sambil tersenyum. "Mau antar baju, Mas." Dara memberikan tas laundry berisi dua packing baju pada pada Teguh. 

"Makasih ya, Ra. Oh iya selamat atas wisudanya ya."

"Makasih, Mas. Kalo gitu lanjutin lagi aja Mas tidur nya, maaf ya Dara ganggu." Dara memutar tubuhnya dan melangkah menuju tangga.

"Eh iya, Ra. Makasih ya." Teguh melambaikan tangan pada Dara. "Loh Ra, mau kemana?" Teguh mengurungkan niatnya menutup pintu kamar.

"Ke atas Mas, mau anter pesanan ibu." Dara mengangkat kantung plastik berisi tempat makan.

"Hhmm." Teguh tersenyum usil. "Ke Pak dokter itu, ya? Pepet terus Ra ...." Teguh memberikan semangat pada Dara. Nyatanya kata-kata Teguh berhasil membuat wajahnya merona.

"Apaan sih, Mas Teguh. Ada-ada aja, udah ya Dara naik dulu." 

Dara tersenyum simpul, langkah kakinya menaiki anak tangga, terus melangkah hingga berhenti di depan pintu kamar Rizal. Sebelum mengetuk pintu itu Dara memberanikan diri terlebih dahulu dan sedikit menebalkan mukanya lantaran ide Bu Sum pagi ini.

Pintu kamar terbuka, Rizal menyipitkan kedua matanya. Mimpi apa dia hingga gadis manis yang semalam berhasil membuat jantungnya berdebar itu sudah kembali berdiri di depan pintu kamarnya.

"Dara?'

"Pagi, Dok. Saya mau antar ini. Ibu bilang kalo sakit tipes belom boleh makan yang keras-keras. Ini buat Dokter sarapan." 

Dara mengulurkan tangannya, memberikan bingkisan dari Bu Sum.

"Oh." Rizal mengacak rambutnya. Sejujurnya dia serba salah dengan penampilannya sekarang. Hanya mengenakan kaos oblong dan celana jogger yang sudah usang.

"Masuk dulu." Rizal membuka pintu kamarnya lebar-lebar.

"Hhmm ... sepertinya saya pamit saja. Dokter juga kelihatan sudah baikan." Dara sedikit menundukkan kepalanya untuk berpamitan pada Rizal.

"Dara." Rizal menahan tangan Dara. "Sebenarnya aku masih belum baikan, kepalaku masih pusing. Kamu bisa tolongin aku buatkan teh? Please ...." Wajah tampan itu memohon meskipun hanya untuk mengelabui Dara agar tetap bersamanya pagi itu.

Dara mengerutkan alisnya, rasa-rasanya lelaki dihadapannya ini sudah berangsur baik tapi mengapa tiba-tiba wajah itu memelas memohon.

"Hanya membuatkan teh?" Dara memicingkan sudut matanya.

"Dan juga temani sarapan." Rizal menahan senyum. "Ya?" Wajahnya memastikan lawan bicaranya setuju dengan idenya.

"Tambah lama dong." Dara melangkahkan kakinya masuk ke ruangan itu.

"Malah bagus," jawab Rizal nyaris tak terdengar.

"Saya dengar loh." Dara berdiri di sisi meja kerja Rizal.

"Haha ... itu dispensernya nyalain biar airnya panas, di rak itu teh dan gulanya. Lalu cangkirnya di sana," ujar Rizal yang duduk santai di sisi tempat tidur. 

Dara meletakkan secangkir teh di atas nakas, dia menarik kursi, matanya mengedar melihat tumpukan-tumpukan buku di atas meja. Beberapa judul tentang buku medis, ah manalah mengerti Dara. Ruangan ini cukup besar, dengan adanya dapur kecil di sudut ruangan. Diatas meja dapur ada kompor listrik, magic com dan rak piring kecil. Sudah bisa dipastikan lelaki bergelar dokter ini hanya makan sesekali di dalam kamarnya. 

"Buburnya nggak di makan?"

Tatapan Rizal tak lepas dari gadis itu, padahal Dara hanya menawarkan bubur yang dia bawa.

"Apa?" tanya Dara serba salah.

"Berharap aku di suapin sih sebenarnya," ucap Rizal malu.

"Astaga." Dara membuang wajahnya ke arah lain sambil mengulum senyum. 

"Boleh?"

Dara meraih kotak makan berisi bubur ayam khas Jakarta yang sebenarnya adalah bubur kesukaannya.

"Mau di aduk atau nggak?" tanya Dara.

"Apanya?"

"Buburnya," ucap gadis itu.

"Oh, aku kira perasaanku." Rizal tersenyum manis membuat wajah Dara merona. "Karena kalo perasaanku sudah teraduk-aduk dari semalam."

Dara ikut tersenyum, sumpah demi apapun debar jantungnya seperti ingin meloncat keluar.

"Melting ya? Sama, aku juga." Rizal kembali menggodanya.

"Aku pulang aja ya."

"Aku? Oh akhirnya ...," ucap Rizal lega saat Dara menggunakan kata aku untuk dirinya. "Jangan pakai kata saya lagi ya? Aku ngerasa kayak di ruangan interview," kekehnya.

"Kayaknya memang Dokter udah sembuh." Sambil menahan senyumnya Dara beranjak dari tempat duduknya.

"Eh mau kemana? belum juga makan." Rizal ikut berdiri. "Ok, aku janji nggak gitu lagi. Tapi aku lapar, suapin ya," ujarnya dengan nada manja. "Aku belom sembuh, serius." 

Dara kembali duduk, kali ini dia ikut duduk di sisi tempat tidur. Suapan demi suapan dari tangan Dara habis di lahap Rizal. Rizal menghentikan suapan terakhir dari Dara. Dia menahan tangan gadis itu.

"Ini suapan terakhir, sedangkan aku belum tanya kamu udah makan atau belum."

"Aku sudah makan tadi, jadi selesaikan ini aku harus ke kampus," ujar Dara. 

Rizal kembali membuka mulutnya seperti anak kecil. Kemudian Dara memberikan cangkir berisi teh tadi.

"Karena sudah selesai, aku pulang ya. Jangan lupa minum obatnya." Dara meraih totebag berwarna hitam miliknya di atas meja.

"Ngapain ke kampus? Bukannya urusan semua sudah selesai?" tanya Rizal ikut mengantarkan Dara menuju pintu.

"Ada teman nawarin kerja, aku mau coba. Semakin cepat dapet kerja semakin baik buat ibu, nggak harus terima banyak laundry lagi jadi dia bisa banyak istirahat."

"Oh. Kerja dimana?" tanya Rizal penasaran.

"Belum tau, aku pamit ya. Cepat sehat." Dara meninggalkan seutas senyum saat itu. Rizal melihat dari lantai dua kamar kostnya hingga gadis itu melaju dan tak lagi nampak.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Bacanya sambil senyum2 ikutan melting hihi
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Haiyaaaah .... Perasaan ku teraduk2 kayak perasaan pak dokter hahaha
goodnovel comment avatar
Christina Natalia
kpn dok bilang dara mau nggk jadi pacar aku
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status