Rizal menuntun motornya masuk ke pekarangan rumah Dara. Sudah menjadi kebiasaannya selama bertamu ke rumah gadis itu, Rizal psti mematikan motornya, maklum saja suara motor sport milik Rizal memang terdengar sedikit berisik.
"Loh, Mas Dokter." Bagas yang baru saja masuk ke pekarangan rumah kaget melihat Rizal juga baru datang.
"Gas," sapa Rizal. "Dara ada?"
"Ada, aku panggil dulu." Bagas memarkirkan motornya.
"Eh, Gas ... ini buat kamu dan ibu." Rizal memberikan satu kantung plastik berwarna putih.
"Makasih, Mas Dokter. Aku panggil Mbak Dara dulu." Bagas masuk ke dalam rumah dengan hati senang membawa bungkusan yang dari harumnya saja sudah bisa dia tebak.
"Emang rejeki anak soleh," ujar Bagas menaruh kantung plastik berisi dua tempat martabak manis dan martabak telur. "Tau aja ngambil hatinya," kekeh Bagas lalu melangkah menuju kamar Dara.
"Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun dia buka. "Ada yang cari tuh."
Dara gelagapan, "siapa?"
"Pake nanya ... sana temuin dulu."
Cepat-cepat Dara merapikan penampilannya yang sudah bau kasur itu. Diikatnya tinggi rambut hitamnya yang lurus.
"Kamu makan apa?"
"Martabak." Bagas kembali mengunyah martabak manis dengan topping coklat susu. "Dibawain calon kakak ipar," goda Bagas, membuat Dara membelalakkan matanya. "Cie ... uhuy."
Dara berdiri di ambang pintu, dilihatnya Rizal berdiri menghadap ke arah motor sportnya. Lelaki itu masih memakai pakaian yang tadi siang saat Dara melihatnya di lobby hotel.
"Ehem."
Rizal memutar tubuhnya, senyum mengembang dari sudut bibirnya. Gadis yah seharian ini memenuhi pikirannya muncul dengan pakaian rumahan ala kadarnya. Rambut hitam sepundak itu kali ini Dara ikat tinggi-tinggi menyisakan helai-helaiam halus.
"Dara." Rizal mendekat. "Maaf aku kemaleman datengnya, tadi ada keperluan yang nggak bisa aku tolak."
"Enggak apa-apa santai aja. Mm ... Dokter mau minum apa?"
"Enggak usah, makasih."
Dara duduk di kursi teras diikuti Rizal yang duduk di kursi yang hanya di halangi dengan meja kecil.
"Oh iya, tadi siang nggak sengaja liat Dokter di lobby hotel De'Grande," ujar Dara membuat Rizal menoleh padanya.
"De"Grande? Kamu ngapain di sana?" tanya Rizal heran.
"Ya kerja lah, emang mau ngapain di hotel bintang lima." Dara tersenyum.
"Kerja? Kamu kerja di sana? Kok nggak bilang?"
"Kan nggak nanya." Lagi-lagi Dara menahan tawanya melihat wajah Rizal yang kaget.
"Oh iya, kenapa juga aku nggak nanya kemarin." Rizal mengusak rambutnya.
"Pacar Dokter cantik sekali, aku yang cewek aja liatnya suka."
"Pacar?" tanya Rizal heran.
Seketika dia ingat dia sedang bersama Synthia siang tadi. Synthia menghubunginya meminta kesediaan waktu Rizal untuk bertemu dengannya dan meminta pada Rizal untuk menemaninya makan siang di sebuah kafe terkenal di Jogja.
Mau tak mau Rizal pun mengiyakan, bukan karena Rizal menyukai Synthia namun lebih menghargai wanita itu sebagai klien dari rumah sakit miliknya.
"Kenapa nggak sapa aku?" tanya Rizal sambil melihat mimik wajah Dara yang tidak sedikitpun dia temui kecemburuan di sana.
"Ya nggak mungkin lah, nanti aku di kira yang bukan-bukan sama pacarnya Dokter."
"Oh dia, dia bukan pacarku. Kebetulan klien di—" Rizal menghentikan ucapannya, bisa gawat jika Dara tahu kebenarannya. Dia tak ingin Dara tahu kalau dia adalah pemilik salah satu rumah sakit bertaraf internasional di daerahnya.
"Iya, dia klien dokter Zainal," bohong Rizal. "Karena dari luar kota dia meminta dokter Zainal temani keliling Jogja, tapi karena dokter Zainal ada tindakan hari ini jadi beliau minta aku temani kliennya."
"Oh gitu."
Dara kembali diam, dari sudut matanya bisa dia lihat jika Rizal masih memperhatikannya. Jujur saja, saat seperti ini rasanya Dara ingin masuk ke dalam rumah dan berguling-guling di kasurnya. Tatapan mata Rizal membuat rasa tergelintik di hatinya itu begitu kuat terasa.
"Dara," panggil Rizal.
"Ya?"
"Gimana, ya."
"Kenapa?"
"Mm ... gini."
Rizal beranjak dari tempat duduknya lalu berjongkok di depan Dara. Dara serba salah, dia membenarkan posisi duduknya. Entah mengapa tiba-tiba lelaki yang di kenalnya hampir tiga bulan ini berjongkok dihadapannya.
"Eh, kenapa? Kok duduk di situ. Dokter kenapa?"
"Gimana kalo aku jadi pacar kamu?" Kata itu meluncur begitu saja dari bibir Rizal.
"Hah, pacar?"
"Iya, aku suka kamu," kata Rizal lagi dengan tatapan mata yang sendu.
"Dokter sakit nih kayaknya." Dara buru-buru berdiri, dia beberapa kali mengusap-usap lengannya berusaha menetralisir perasaannya yang ternyata tak bertepuk sebelah tangan. "Aku bikinin minum ya? Biar enakan—"
"Apanya?" tanya Rizal yang sudah berdiri berhadapan dengan Dara.
"Perasaannya," ucap Dara lirih.
Rizal menyunggingkan senyum, dia senang sekali kalau sudah melihat Dara yang seolah mati kutu setiap dia goda. Tapi kali ini bukan lagi bulan ataupun banyolan yang biasa dia lontarkan, tapi ini kesungguhan hatinya. Rizal takut jika terlalu lama dia menyimpan perasaan ini, Dara akan beralih ke orang lain, entah siapa nyatanya Rizal tak ingin gadis itu menjadi milik orang lain.
"Enggak usah, aku nggak butuh minum," jawab Rizal menahan tangan Dara lalu menggenggamnya. Dahaganya sudah luruh saat melihat Dara malam ini.
Lampu temaram teras membias jarak mereka berdua. Dara begitu manis dengan rambut yang terikat tinggi. Hidungnya yang mancung, kulit kuning langsatnya, dan senyumnya yang membuat Rizal jatuh cinta.
Jarak mereka nyaris begitu dekat, berdiri berhadapan seperti ini dengan orang yang dia sukai baru pertama kali untuk Dara. Dia hanya tertunduk melihat ujung jari kakinya lalu baru menyadari jika tangannya masih di dalam genggaman Rizal.
"Gimana?" tanya Rizal sedikit menunduk ingin mendapati mimik wajah Dara yang masih menunduk.
"Gimana, ya."
"Bingung? Kenapa? Aku kurang ganteng ya? kurang tinggi? kurang lucu? atau apa?"
"Bukan ... bukan itu?"
"Lalu?"
"Mm ... karena ... karena kamu seorang dokter."
"Hah? jawaban apa itu?" Rizal semakin menunduk mencari-cari wajah Dara yang masih menunduk. Dia ingin melihat Dara dengan jawaban yang menurutnya tepat. "Dara?" Mohon Rizal agar Dara mengangkat wajahnya.
"Ya."
Dara mengangkat wajahnya. Jarak yang terkikis hanya sekitar lima sampai delapan centimeter itu semakin membuat degub jantung keduanya berlomba-lomba ingin meloncat keluar.
Tatapan mereka beradu, mata mereka saling mencari sebuah kesungguhan di dalamnya. Tangan Dara masih berada dalam genggaman tangan Rizal.
"Jauh sekali jangkauannya untuk aku yang hanya anak seorang jasa cuci pakaian. Kami dari keluarga yang biasa-biasa aja. Aku nggak mau terlalu berharap, meski perasaanku mengatakan hal yang sama," tutur gadis itu.
"Enggak ada yang jauh dari jangkauan, hidup seseorang nggak harus melulu di liat dari profesinya, tapi dari ketulusan hatinya."
Dara menghela napas, Rizal benar-benar sungguh sungguh dengan ucapannya.
"Aku nggak minta jawabannya sekarang. Aku pasti tunggu jika memang kamu butuh waktu. Tapi aku nggak mau di tolak, aku takut sakit hati."
Dara mengembangkan sudut bibirnya, kata-kata macam apa itu. Menyatakan cinta namun takut penolakan.
"Ya kalo gitu nggak usah kasih waktu buat jawab, udah pasti mau nya kamu tetap jadian."
"Ya iya ...." Rizal tersenyum, ingin rasanya dia mencubit pipi Dara yang menggemaskan tapi dia harus menjaga kelakuannya.
"Ya udah."
"Apanya?"
"Ya udah," kata Dara lagi kembali menunduk.
"Makasih ya."
Rizal memeluk tubuh Dara yang masih berdiri kaku. Jari jemari gadis itu perlahan memilin ujung kemeja Rizal yang terbalut dengan jaket kulitnya. Dan harum tubuh lelaki bergelar dokter itu menyeruak masuk memenuhi penciumannya.
Senyum Rizal kembali terukir, ingatannya masih melekat saat tadi dirinya memberanikan diri menyatakan perasaannya pada Dara. Tiba-tiba memeluk gadis itu, bahkan wajah mereka sempat dekat beberapa inci lagi, saling menatap sendu.Lamunannya buyar saat pesan masuk ke ponselnya dari sang Mama."Mama besok pagi pulang, penerbangan jam tujuh pagi. Malam ini sempatkan bertemu Mama dan Papa." Isi pesan itu rasanya enggan Rizal baca, toh selama ini juga orangtuanya datang dan pergi sesuka hati. Datang dengan melimpahkan masalah padanya, dan pergi meninggalkan masalah baru.Seperti pertemuan malam itu dengan Synthia dan Amar. Rizal baru mengetahui kalau ada rencana paman dan orangtuanya menjodohkannya dengan Synthia dengan alasan menjadikan kerajaan bisnis mereka khususnya rumah sakit berkembang lebih pesat lagi. Salah satunya menambah jangkauan bisnis sang Ayah yang mencoba bermain di pertambangan. Dan Synthia siang itu mengatakan sendiri pada Rizal. "Ya aku nggak bisa memaksa kamu, tapi ad
"Pagi Mas Teguh, mau antar laundry." sapa Dara gadis 24 tahun itu tersenyum saat pintu kamar terbuka."Eh Dara, kok tumben?" Teguh salah satu penghuni kost-kostan eksklusif di daerah Seturan itu semakin membuka lebar pintu kamarnya."Ibu sakit, Dara nganggur ... ya udah jadinya Dara yang antar."Teguh mengangguk-angguk, "eh iya sebentar." Dia kemudian masuk sebentar tak berapa lama sudah kembali dengan membawa uang ratusan beberapa lembar. "Ini uang laundry bulan ini," ujar Teguh memberikan empat lembar uang ratusan. "Dan ini buat Dara, kata Ibu Sum ... Dara wisuda akhir bulan kan?""Eh ...." Dara menolak."Cuma segini, buat persiapan wisuda," ujar lelaki beranak satu yang jauh dari keluarga kecilnya lantaran kembali menuntut ilmu di kota melanjutkan jenjang S2 nya. "Dapat salam juga dari istriku, mudah-mudahan bulan depan bisa ketemu kamu katanya.""Wah, Mas ... Dara jadi nggak enak.""Terima, kalo belum dibutuhkan ya di tabung." "Makasih ya Mas," ucap Dara dengan mata berkaca-kaca.
"Bu Sum?" Dokter bernama Rizal itu terkejut ketika dia melihat Bu Sum berada satu ruangan dengannya. Sama halnya dengan Dara yang terkejut berjumpa kembali dengan lelaki bertubuh tinggi saat mengantarkan laundry-nya kemarin siang."Benar Bu Sum, kan?" Rizal memastikan lagi karena dia baru dua kali bertemu dengan wanita paruh baya itu."Mas Rizal? Oh Mas Rizal dokter?" Bu Sum pun terkejut. "Sudah saling kenal rupanya," ujar dokter senior. "Iya, Dok. Ini Bu Sum tempat saya langganan laundry. Silahkan duduk di sini Bu biar saya periksa," kata Rizal mempersilahkan Bu Sum berbaring di tempat tidur pasien.Beberapa kali dokter Rizal menyentuh bagian leher, pundak dan tulang belikat Bu Sum. Semakin di tekan pun membuat Bu Sum semakin meringis."Sering angkat beban berat kah, Bu? Atau sering melakukan kegiatan yang tiba-tiba?" tanya Rizal."Namanya bakul cuci, Mas eh Dok. Saya pasti sering angkat beban berat," jawab Bu Sum."Bisa diberikan diagnosanya, Dok?" tanya dokter senior pada Rizal.
"Hasil MRI nya menunjukkan adanya saraf terjepit di leher, ruas C-5 dan C-6. Ini termasuk salah satu yang riskan ya, Bu. Kita ada dua solusi, keputusan saya kembalikan ke Ibu," ujar dokter Zainal, dokter senior itu."Apa, Dok?""Operasi atau—""Operasi? Waduh, Dok." Wajah Bu Sum seketika panik."Tenang dulu, Bu." Dara mengusap pundak wanita tua itu."Atau kita observasi, selain dengan obat, Ibu harus tetap memakai collar neck. Penyangga leher hingga waktu yang ditentukan.""Kalau di lihat dari hasil MRI Ibu, tonjolan pada bantalan sendi hampir mengenai saraf utama," ucap Rizal."Bahaya?" Kali ini Dara menunjukkan wajah paniknya."Bahaya kalo nggak di tanggulangi dengan cepat." Rizal menahan senyumnya saat melihat wajah Dara."Jadi gimana Dok, baiknya?" "Kita observasi dulu saja ya, dengan obat dan collar neck. Satu bulan lagi kontrol, kalo masih belum ada perubahan, mau tidak mau kita ambil tindakan operasi.""Observasi. Ok, enggak apa-apa, kan Bu?""Ibu mana baiknya aja, Ra. Ibu uda
"Ayo," ajak Rizal.Dara berdiri terpaku, di tatapnya kafe yang ada di hadapannya. Setahu Dara, kafe yang mereka kunjungi ini harga makanannya cukup mahal, sedangkan uang yang ada di dompetnya hanya tersisa seratus ribu rupiah."Karena saya yang traktir, jadi sebaiknya saya yang menentukan kita makan dimana," ujar Dara."Tapi kita sudah terlanjur sampai sini. Jadi, daripada menghabiskan waktu untuk mencari kafe yang lain lebih baik kita di sini aja.""I-iya, tapi ....""Aku udah laper, denger-denger makanan di sini enak-enak. Ayo." Rizal me lebih dulu."Seratus ribuku," lirih Dara dengan wajah sedih."Makan apa?" tanya Rizal pada Dara saat pelayan menghampiri mereka."Hhmm.... air mineral aja," jawab Dara."Loh kok air mineral?""Saya nggak laper. Yang makan Dokter aja, enggak apa-apa.""Ah, enggak gitu konsepnya." Alis Rizal bertaut. "Aku pesenin, satu beef carbonara, onion ring, dimsum satu porsi, lalu ... satu beef steak, saya minta cheese sauce-nya, terus minumannya saya minta yang
"Pagi, Dokter," sapa Bu Sum memasuki ruangan dokter spesialis saraf dengan senyum sumringah berbeda dengan saat waktu Bu Sum datang pertama kali ke ruangan itu. Ditemani Bagas, Bu Sum menceritakan perkembangan yang dia rasakan selama sebulan ini semenjak menggunakan collar neck secara rutin. "Coba saya periksa dulu, ya," ucap Dokter Zainal, dokter senior di ruangan itu selain dokter berkacamata yang lain."Udah aman ya ini, syukurlah masih bisa kita observasi kemarin ya. Diingatkan lagi ibunya untuk tidak mengangkat atau mengerjakan pekerjaan yang berat.""Terimakasih, Dokter." Mata Bu Sum masih mencari-cari. "Kalo dokter Rizal, hhmm maksud saya dokter residen yang waktu itu enggak kelihatan ya, Dokter?""Oh dokter Rizal, hari ini memang mengambil cuti ijin sakit, Bu Sum.""Oh sakit." Bu Sum terdiam. "Bu, ayo." Bagas menyentuh lengan ibunya agar bergegas meninggalkan tempat itu."Mbak-mu pulang jam berapa, Gas?" tanya Bu Sum setiba mereka di rumah."Bagas kurang tahu, Bu. Kenapa?"
"Bawa ini." Bu Sum menyerahkan kantung plastik berisi bubur ayam pagi itu."Apa ini, Bu?""Bubur ayam buat sarapan dokter Rizal.""Loh kan Dara cuma mau anter baju ke Mas Teguh, Bu. Enggak ke tempat dokter Rizal.""Sekalian, Ra. Kan satu tempat juga, lagian kasian anak rantau sakit tuh nggak ada yang ngurus. Mosok kamu tega, mana sakitnya tipes kan nggak bisa makan yang keras-keras dulu "Dara menghela napasnya, dirapihkannya kembali baju-baju yang akan dia antar pagi ini."Ya sudah, Dara pergi dulu." Dara meraih kunci motornya. "Oh iya Bu, nanti Dara pulang agak sore ya. Dara mau ketemu temen di kampus, katanya ada lowongan kerjaan di tempat dia kerja."Motor Mio itu berhenti di bangunan tiga lantai yang berisi para anak rantau. Dara mengetik pintu kamar Teguh, salah satu pelanggan laundry Bu Sum yang sangat baik padanya. "Pagi Dara," sapa lelaki itu masih dengan wajah bangun tidur."Pagi Mas Teguh," balas Dara sambil tersenyum. "Mau antar baju, Mas." Dara memberikan tas laundry ber
"Kamu sibuk besok malam?"Isi pesan dari Rizal untuk Dara. Sudah hampir satu minggu ini lelaki itu tak mendapat kabar bahkan bertemu dengan Dara. Yang datang mengantarkan atau mengambil baju kotornya hanya Bagas. Bertanya pada Bagas pun, pemuda itu hanya mengatakan sang Kakak sedang sibuk."Kebetulan aku nggak ada jadwal jaga, kita bisa ketemu?" Lagi pesan itu masuk namun belum mendapat balasan dari Dara. Hanya saja tanda centangnya sudah berwarna biru itu artinya Dara membaca pesannya.Kesal menunggu, Rizal meraih jaketnya kemudian berjalan menuju parkiran motor rumah sakit. Untung saja hari ini jam jaganya hanya sampai setelah Magrib.Motor sport itu berhenti di depan pagar rumah Dara. Lampu rumah pun sudah menyala, kios kecil tempat Bu Sum menerima pakaian laundry juga sudah di tutup. Hanya saja motor Mio milik Dara tak terlihat di sana, bisa jadi motor itu sedang di pakai oleh Bagas. Rizal mendorong motornya masuk ke halaman rumah Bu Sum. Dia letakkan helm full facenya di meja y