Share

Bab 10. Ya Udah

Rizal menuntun motornya masuk ke pekarangan rumah Dara. Sudah menjadi kebiasaannya selama bertamu ke rumah gadis itu, Rizal psti mematikan motornya, maklum saja suara motor sport milik Rizal memang terdengar sedikit berisik.

"Loh, Mas Dokter." Bagas yang baru saja masuk ke pekarangan rumah kaget melihat Rizal juga baru datang.

"Gas," sapa Rizal. "Dara ada?"

"Ada, aku panggil dulu." Bagas memarkirkan motornya.

"Eh, Gas ... ini buat kamu dan ibu." Rizal memberikan satu kantung plastik berwarna putih.

"Makasih, Mas Dokter. Aku panggil Mbak Dara dulu." Bagas masuk ke dalam rumah dengan hati senang membawa bungkusan yang dari harumnya saja sudah bisa dia tebak.

"Emang rejeki anak soleh," ujar Bagas menaruh kantung plastik berisi dua tempat martabak manis dan martabak telur. "Tau aja ngambil hatinya," kekeh Bagas lalu melangkah menuju kamar Dara.

"Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun dia buka. "Ada yang cari tuh."

Dara gelagapan, "siapa?"

"Pake nanya ... sana temuin dulu."

Cepat-cepat Dara merapikan penampilannya yang sudah bau kasur itu. Diikatnya tinggi rambut hitamnya yang lurus.

"Kamu makan apa?"

"Martabak." Bagas kembali mengunyah martabak manis dengan topping coklat susu. "Dibawain calon kakak ipar," goda Bagas, membuat Dara membelalakkan matanya. "Cie ... uhuy."

Dara berdiri di ambang pintu, dilihatnya Rizal berdiri menghadap ke arah motor sportnya. Lelaki itu masih memakai pakaian yang tadi siang saat Dara melihatnya di lobby hotel.

"Ehem." 

Rizal memutar tubuhnya, senyum mengembang dari sudut bibirnya. Gadis yah seharian ini memenuhi pikirannya muncul dengan pakaian rumahan ala kadarnya. Rambut hitam sepundak itu kali ini Dara ikat tinggi-tinggi menyisakan helai-helaiam halus. 

"Dara." Rizal mendekat. "Maaf aku kemaleman datengnya, tadi ada keperluan yang nggak bisa aku tolak."

"Enggak apa-apa santai aja. Mm ... Dokter mau minum apa?" 

"Enggak usah, makasih."

Dara duduk di kursi teras diikuti Rizal yang duduk di kursi yang hanya di halangi dengan meja kecil.

"Oh iya, tadi siang nggak sengaja liat Dokter di lobby hotel De'Grande," ujar Dara membuat Rizal menoleh padanya. 

"De"Grande? Kamu ngapain di sana?" tanya Rizal heran.

"Ya kerja lah, emang mau ngapain di hotel bintang lima." Dara tersenyum. 

"Kerja? Kamu kerja di sana? Kok nggak bilang?"

"Kan nggak nanya." Lagi-lagi Dara menahan tawanya melihat wajah Rizal yang kaget.

"Oh iya, kenapa juga aku nggak nanya kemarin." Rizal mengusak rambutnya.

"Pacar Dokter cantik sekali, aku yang cewek aja liatnya suka."

"Pacar?" tanya Rizal heran. 

Seketika dia ingat dia sedang bersama Synthia siang tadi. Synthia menghubunginya meminta kesediaan waktu Rizal untuk bertemu dengannya dan meminta pada Rizal untuk menemaninya makan siang di sebuah kafe terkenal di Jogja.

Mau tak mau Rizal pun mengiyakan, bukan karena Rizal menyukai Synthia namun lebih menghargai wanita itu sebagai klien dari rumah sakit miliknya.

"Kenapa nggak sapa aku?" tanya Rizal sambil melihat mimik wajah Dara yang tidak sedikitpun dia temui kecemburuan di sana.

"Ya nggak mungkin lah, nanti aku di kira yang bukan-bukan sama pacarnya Dokter."

"Oh dia, dia bukan pacarku. Kebetulan klien di—" Rizal menghentikan ucapannya, bisa gawat jika Dara tahu kebenarannya. Dia tak ingin Dara tahu kalau dia adalah pemilik salah satu rumah sakit bertaraf internasional di daerahnya.

"Iya, dia klien dokter Zainal," bohong Rizal. "Karena dari luar kota dia meminta dokter Zainal temani keliling Jogja, tapi karena dokter Zainal ada tindakan hari ini jadi beliau minta aku temani kliennya."

"Oh gitu." 

Dara kembali diam, dari sudut matanya bisa dia lihat jika Rizal masih memperhatikannya. Jujur saja, saat seperti ini rasanya Dara ingin masuk ke dalam rumah dan berguling-guling di kasurnya. Tatapan mata Rizal membuat rasa tergelintik di hatinya itu begitu kuat terasa.

"Dara," panggil Rizal. 

"Ya?"

"Gimana, ya."

"Kenapa?"

"Mm ... gini." 

Rizal beranjak dari tempat duduknya lalu berjongkok di depan Dara. Dara serba salah, dia membenarkan posisi duduknya. Entah mengapa tiba-tiba lelaki yang di kenalnya hampir tiga bulan ini berjongkok dihadapannya.

"Eh, kenapa? Kok duduk di situ. Dokter kenapa?"

"Gimana kalo aku jadi pacar kamu?" Kata itu meluncur begitu saja dari bibir Rizal.

"Hah, pacar?"

"Iya, aku suka kamu," kata Rizal lagi dengan tatapan mata yang sendu.

"Dokter sakit nih kayaknya." Dara buru-buru berdiri, dia beberapa kali mengusap-usap lengannya berusaha menetralisir perasaannya yang ternyata tak bertepuk sebelah tangan. "Aku bikinin minum ya? Biar enakan—"

"Apanya?" tanya Rizal yang sudah berdiri berhadapan dengan Dara.

"Perasaannya," ucap Dara lirih.

Rizal menyunggingkan senyum, dia senang sekali kalau sudah melihat Dara yang seolah mati kutu setiap dia goda. Tapi kali ini bukan lagi bulan ataupun banyolan yang biasa dia lontarkan, tapi ini kesungguhan hatinya. Rizal takut jika terlalu lama dia menyimpan perasaan ini, Dara akan beralih ke orang lain, entah siapa nyatanya Rizal tak ingin gadis itu menjadi milik orang lain. 

"Enggak usah, aku nggak butuh minum," jawab Rizal menahan tangan Dara lalu menggenggamnya. Dahaganya sudah luruh saat melihat Dara malam ini.

Lampu temaram teras membias jarak mereka berdua. Dara begitu manis dengan rambut yang terikat tinggi. Hidungnya yang mancung, kulit kuning langsatnya, dan senyumnya yang membuat Rizal jatuh cinta. 

Jarak mereka nyaris begitu dekat, berdiri berhadapan seperti ini dengan orang yang dia sukai baru pertama kali untuk Dara. Dia hanya tertunduk melihat ujung jari kakinya lalu baru menyadari jika tangannya masih di dalam genggaman Rizal.

"Gimana?" tanya Rizal sedikit menunduk ingin mendapati mimik wajah Dara yang masih menunduk.

"Gimana, ya."

"Bingung? Kenapa? Aku kurang ganteng ya? kurang tinggi? kurang lucu? atau apa?"

"Bukan ... bukan itu?"

"Lalu?"

"Mm ... karena ... karena kamu seorang dokter."

"Hah? jawaban apa itu?" Rizal semakin menunduk mencari-cari wajah Dara yang masih menunduk. Dia ingin melihat Dara dengan jawaban yang menurutnya tepat. "Dara?" Mohon Rizal agar Dara mengangkat wajahnya.

"Ya." 

Dara mengangkat wajahnya. Jarak yang terkikis hanya sekitar lima sampai delapan centimeter itu semakin membuat degub jantung keduanya berlomba-lomba ingin meloncat keluar.

Tatapan mereka beradu, mata mereka saling mencari sebuah kesungguhan di dalamnya. Tangan Dara masih berada dalam genggaman tangan Rizal.

"Jauh sekali jangkauannya untuk aku yang hanya anak seorang jasa cuci pakaian. Kami dari keluarga yang biasa-biasa aja. Aku nggak mau terlalu berharap, meski perasaanku mengatakan hal yang sama," tutur gadis itu.

"Enggak ada yang jauh dari jangkauan, hidup seseorang nggak harus melulu di liat dari profesinya, tapi dari ketulusan hatinya."

Dara menghela napas, Rizal benar-benar sungguh sungguh dengan ucapannya.

"Aku nggak minta jawabannya sekarang. Aku pasti tunggu jika memang kamu butuh waktu. Tapi aku nggak mau di tolak, aku takut sakit hati."

Dara mengembangkan sudut bibirnya, kata-kata macam apa itu. Menyatakan cinta namun takut penolakan.

"Ya kalo gitu nggak usah kasih waktu buat jawab, udah pasti mau nya kamu tetap jadian."

"Ya iya ...." Rizal tersenyum, ingin rasanya dia mencubit pipi Dara yang menggemaskan tapi dia harus menjaga kelakuannya.

"Ya udah." 

"Apanya?"

"Ya udah," kata Dara lagi kembali menunduk.

"Makasih ya."

Rizal memeluk tubuh Dara yang masih berdiri kaku. Jari jemari gadis itu perlahan memilin ujung kemeja Rizal yang terbalut dengan jaket kulitnya. Dan harum tubuh lelaki bergelar dokter itu menyeruak masuk memenuhi penciumannya.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Done 10 bab kak Chida luar biasa ceritamu selalu so sweet
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Pak dokter gercep amat nyatain cinta tapi ga mau di tolak maksa amat yak haha
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Yayyy...jadian mereka wkwkwk Jatuh cinta berjuta rasanya asik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status