"Ini Synthia, anak dari Datuk Basri Alam," ujar Donna. "Kamu masih ingat kan, Synthia kecil dulu sering ke rumah kita."
Rizal pun tersenyum, tidak pernah terbesit di ingatannya tentang wanita di hadapannya ini pernah datang ke rumahnya. Atau memang dia yang sudah lupa.
"Enggak sering Tante, cuma beberapa kali sebelum Bunda bawa Synthia ke Australia."
Wanita yang umurnya mungkin hanya berbeda satu tahun di bawah Rizal ini pun mengulurkan tangannya.
"Apa kabar?"
"Baik," jawab Rizal canggung.
"Jadi pertemuan kali ini memang sangat mendadak," ujar lelaki yang umurnya di atas lebih tua dari Rizal. Mungkin hampir memasuki 40 tahun. Lelaki itu Amar kakak laki laki tertua Synthia.
"Kebetulan kami juga ada perjalanan bisnis ke Jogja, dan Bunda memberi tahu kalau Tante Donna dan Om Andreas sedang berada di Jogja. Mengenai kerjasama perusahaan yang pernah kita bahas tempo hari, kami selalu wakil dari perusahaan menyetujui persyaratan dan perjanjiannya."
"Mengenai kelanjutannya, kita bicarakan dengan para pemegang saham dan direksi perusahaan kami juga," ucap Andreas.
"Jangan ngomongin perusahaan aja lah, nggak di Padang nggak di Jogja yang kita bahas tentang perusahaan dan kerjasama," ujar Donna.
"Oh ya, bagaimana dengan Synthia sendiri, setelah kembali dari Australia selain menjadi salah satu direksi di perusahaan Bunda. Apa rencana Synthia?" tanya Dahlan sambil menautkan kedua tangannya tepat di depan wajahnya.
"Menikah?" tanya Donna.
"Mau nya Tante, tapi yang ngajakin nikah belum ada." Synthia tersenyum namun tatapan matanya mengarah pada Rizal.
"Ah, biar Om Dahlan yang bicara pada Bunda mu," ujar Dahlan sambil tertawa.
"Kalo Amar setuju saja, Om. Adik Amar ini manja, takut calon suaminya nanti nggak kuat meladeni sifat dia yang satu itu," kekeh Amar. "Lalu Rizal sendiri, bagaimana?" Amar beralih bertanya pada Rizal.
"Masih pokus dengan PPDS, Bang. Masih satu setengah tahun lagi."
"Ah tak apalah itu, menikah sambil meneruskan pendidikan nggak ada yang salah.alah lebih semangat," tutur Amar. "Istriku juga dokter, tapi dia memilih menjadi dokter umum."
Rizal mengangguk angguk, rasanya engga sekali dia berlama lama diantara mereka. Sedari tadi Rizal melirik jam tangannya, sudah pukul sembilan malam dan dia belum sempat mengirimkan pesan pada Dara.
"Rizal permisi sebentar," ucapnya lalu beranjak dari tempat itu melangkah menuju lobby hotel sambil menggulir layar ponselnya.
Beberapa kali terdengar nada sambung tak kunjung ada jawaban dari Dara. Mungkin saja Dara sudah tertidur, pikirnya .
"Besok malam bertemu bisa?"
"Ada yang ingin aku sampaikan."
"Kabari aku, ya."
Tiga rentetan pesan Rizal sudah terkirim namun statusnya belum terbaca.
"Pacar?" Suara itu membuat Rizal membalikkan tubuhnya.
Rizal tersenyum. "Iya," jawabnya bohong, karena kenyataannya sampai detik ini statusnya dengan Dara masih sekedar teman.
Ada rasa kecewa bergelayut di hati Synthia saat mendengar jawaban Rizal. Teringat sebulan yang lalu saat orangtuanya menyampaikan adanya perjodohan antara dia dan Rizal, hatinya begitu senang. Rizal yang dia ingat semasa kecil adalah lelaki pendiam tapi perduli. Sayangnya, bayangan dia tentang Rizal sekarang berubah, meski masih pendiam nyatanya hatinya sudah terisi gadis lain.
"Belum ngabarin?" Synthia berusaha menetralisir kekecewaannya.
"Harusnya aku ngabarin dari satu jam yang lalu."
"Besok kamu ada waktu?"
"Hhmm ... ada praktek di rumah sakit. Ada perlu apa?"
"Makan siang bareng, gimana?"
"Kita lihat besok, ya," tolak Rizal halus. "Aku harus pulang dulu, besok pagi-pagi sudah praktek." Rizal lalu masuk kembali ke dalam restoran, Synthia mengikutinya dari belakang.
"Biar Mamak antar," ujar Dahlan.
"Rizal bawa motor, Mak."
"Motor?" Amar mengerutkan keningnya.
"Ya begitulah, Mar. Yang ini beda," sindir Donna. "Jangankan mobil, apartemen untuknya saja ditinggalkan dan lebih memilih tinggal di kost, entah dimana pula kost nya."
"Rizal pamit, Ma."
Rizal bergantian menciumi punggung tangan orang tua beserta pamannya. Dia mengulurkan tangan pada Amar dan Synthia.
"Kabari aku besok, ya," ucap Synthia.
Rizal hanya menjawab dengan senyuman, entah bisa atau tidak setidaknya dia tak ingin memberikan harapan pada gadis itu.
*****
"Lembur lagi malam ini, Ra?" tanya Bu Sum pada Dara pagi itu.
"Sepertinya nggak Bu, nanti Dara kabari kalo Dara lembur," ucap Dara lalu meraih tasnya. "Dara jalan dulu ya. Oh ya Bu, baju-baju yang mau di antar nanti sirih Bagas aja, tadi Dara udah pesan ke Bagas."
"Iya, kalo Bagas nggak bisa juga nggak apa-apa. Nanti Ibu tinggal hubungi pemilik bajunya buat ambil di rumah aja, mereka udah ngerti kok kondisi Ibu sekarang."
"Ya udah kalo gitu, Dara pergi ya." Dara mencium pipi wanita yang sampai sekarang masih menggunakan collar neck itu.
Tiga puluh menit perjalanan hingga sampai ke tempat Dara bekerja, masih terlalu pagi memang dari waktu yang ditentukan di perusahaan itu. Pikir Dara mungkin jika dia rajin maka kontrak kerjanya bisa di perpanjang bukan hanya sebagai karyawan pengganti untuk ibu melahirkan.
Dara merogoh ponselnya, dia lupa menghidupkan ponselnya dari semalam. Satu per satu pesan dia buka, tiba pesan masuk dari Rizal. Sudut bibirnya mengembang, kadang dia sendiri tidak percaya seorang dokter mau berteman dengannya.
"Nanti malam di rumah aja," balas Dara kemudian memulai pekerjaannya.
"Ra, ikut aku meeting di lantai tiga yuk." Manager HRD mendekatinya.
"Saya, Bu?"
"Iya, nanti bawakan salinan data yang kemarin kamu kerjakan. Saya butuh kamu untuk melengkapi kekurangannya saat meeting nanti."
Cepat Dara melangkah mengikuti atasannya, tepat pukul setengah satu siang setelah makan siang mereka melewati lobby hotel menuju lift. Pandangan Dara terpaku pada dua sosok yang berdiri berdampingan di lobby hotel itu.
"Dara, ayo cepat." Sari sudah berada di depan lift.
Bergegas Dara mempercepat langkahnya, meski hatinya masih bertanya-tanya dengan siapa Rizal disana tadi.
"Atau benar itu pacarnya?"
"Apa benar tebakannya selama ini kalo Rizal memang sudah punya pacar?"
"Kenapa harus pusing memikirkan ini, toh dia dan Rizal memang hanya berteman."
Dan banyak lagi pertanyaan yang ada di benaknya hingga Dara sendiri tidak fokus pada pembahasan meeting siang itu.
"Kamu sakit?" tanya Sari. "Tiba-tiba nggak fokus ke meeting tadi."
"Maaf Bu, memang agak kurang sehat." Dara terpaksa berbohong.
"Kalo gitu pulang lebih cepat saja." Sari melirik arloji di tangannya menunjukkan pukul tiga sore.
"Enggak apa-apa, Bu. Nanggung juga setengah lima biar saya selesaikan kerjaan yang tersisa."
"Ya udah kalo memang udah nggak kuat, pulang juga nggak apa-apa.*
Dara mengangguk, sejujurnya dia sehat-sehat saja hanya pikirannya yang melanglang buana lantaran siang tadi dia melihat Rizal dengan seorang gadis cantik, manalagi ini di hotel.
Pukul setengah enam sore Dara sudah berdandan rapih, teringat janjinya pagi tadi pada Rizal jika dia akan menunggu di rumah saja.
"Bagas mana, Bu?"
"Nganterin baju." Bu Sum meletakkan mangkuk berisi sop ceker kesukaan Dara. "Mendoan tempenya tolong ambil di dapur, Ra."
Dara melangkah ke dapur, sambil membawa piring berisi tempe mendoan yang masih hangat.
"Makan yuk, Bu. Dara lapar."
Dara makan dengan lahapnya, masakan Bu Sum memang tiada duanya. Dulu almarhum ayah Dara selalu ingin pulang cepat hanya untuk merasakan masakan sang istri.
"Ra."
"Ya, Bu."
"Hhmm ... sepertinya Ibu mau memperkerjakan orang saja untuk mengurus laundry. Pelanggan Ibu semakin hari semakin bertambah, menurut kamu gimana?"
"Boleh aja, Bu. Lagian Ibu kan memang nggak boleh terlalu capek. Ibu sudah dapat orangnya?"
"Sudah, itu Mbak Siti di gang sebelah katanya mau. Lagi pula dia punya motor, jadi bisa di suruh antar-antar baju."
"Ya kalo sudah sepakat dengan gajinya dan menurut Ibu orangnya mau kerja ya sudah."
Bu Sum tersenyum, diperhatikannya anak gadisnya yang sedang menikmati sop ceker itu dengan tatapan panasaran.
"Kamu udah rapih, emang mau kemana?"
"Enggak kemana-mana, Bu."
"Masa sih?" goda Bu Sum.
"Apaan sih, Bu."
"Kata Bagas, dokter Rizal suka kirim pesan ke dia nanyain kamu."
"Uhuk ... uhuk ...."
"Pelan-pelan, Ra. Gitu aja salting." Bu Sum tertawa kecil. "Ibu sih nggak larang kamu dekat sama siapa aja, berteman sama siapa aja, cuma pesan Ibu hati-hati jangan sampai salah menaruh hati."
"Apa sih, Bu. Mikirnya kejauhan." Dara memajukan bibirnya.
"Ya sudah habiskan makannya, kalo sudah selesai bantu Ibu cuciin piringnya ya." Bu Sum tersenyum lalu meninggalkan Dara.
Dara merebahkan tubuhnya di tempat tidur, sudah pukul delapan malam namun Rizal belum menampakkan batang hidungnya. Dara juga sudah berkali-kali menatap layar ponselnya namun tak ada satupun pesan masuk dari Rizal.
Dara menatap langit kamarnya, pikirannya melayang pada sosok cantik yang bersama Rizal tadi di lobby hotel. Dia yang wanita saja mengagumi kecantikan wanita itu apalagi Rizal yang seorang lelaki normal.
"Ahhh, menyebalkan kenapa jadi gini sih." Dara menutup wajahnya dengan bantal. "Sadar diri Dara, inget kata ibu jangan dlaa menaruh hati."
"Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun terbuka. "Ada yang cari."
Dara gelagapan, "siapa?"
"Pake nanya ... sana temuin dulu."
Rizal menuntun motornya masuk ke pekarangan rumah Dara. Sudah menjadi kebiasaannya selama bertamu ke rumah gadis itu, Rizal psti mematikan motornya, maklum saja suara motor sport milik Rizal memang terdengar sedikit berisik."Loh, Mas Dokter." Bagas yang baru saja masuk ke pekarangan rumah kaget melihat Rizal juga baru datang."Gas," sapa Rizal. "Dara ada?""Ada, aku panggil dulu." Bagas memarkirkan motornya."Eh, Gas ... ini buat kamu dan ibu." Rizal memberikan satu kantung plastik berwarna putih."Makasih, Mas Dokter. Aku panggil Mbak Dara dulu." Bagas masuk ke dalam rumah dengan hati senang membawa bungkusan yang dari harumnya saja sudah bisa dia tebak."Emang rejeki anak soleh," ujar Bagas menaruh kantung plastik berisi dua tempat martabak manis dan martabak telur. "Tau aja ngambil hatinya," kekeh Bagas lalu melangkah menuju kamar Dara."Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun dia buka. "Ada yang cari tuh."Dara gelagapan, "siapa?""Pake nanya ... sana temuin dulu
Senyum Rizal kembali terukir, ingatannya masih melekat saat tadi dirinya memberanikan diri menyatakan perasaannya pada Dara. Tiba-tiba memeluk gadis itu, bahkan wajah mereka sempat dekat beberapa inci lagi, saling menatap sendu.Lamunannya buyar saat pesan masuk ke ponselnya dari sang Mama."Mama besok pagi pulang, penerbangan jam tujuh pagi. Malam ini sempatkan bertemu Mama dan Papa." Isi pesan itu rasanya enggan Rizal baca, toh selama ini juga orangtuanya datang dan pergi sesuka hati. Datang dengan melimpahkan masalah padanya, dan pergi meninggalkan masalah baru.Seperti pertemuan malam itu dengan Synthia dan Amar. Rizal baru mengetahui kalau ada rencana paman dan orangtuanya menjodohkannya dengan Synthia dengan alasan menjadikan kerajaan bisnis mereka khususnya rumah sakit berkembang lebih pesat lagi. Salah satunya menambah jangkauan bisnis sang Ayah yang mencoba bermain di pertambangan. Dan Synthia siang itu mengatakan sendiri pada Rizal. "Ya aku nggak bisa memaksa kamu, tapi ad
"Pagi Mas Teguh, mau antar laundry." sapa Dara gadis 24 tahun itu tersenyum saat pintu kamar terbuka."Eh Dara, kok tumben?" Teguh salah satu penghuni kost-kostan eksklusif di daerah Seturan itu semakin membuka lebar pintu kamarnya."Ibu sakit, Dara nganggur ... ya udah jadinya Dara yang antar."Teguh mengangguk-angguk, "eh iya sebentar." Dia kemudian masuk sebentar tak berapa lama sudah kembali dengan membawa uang ratusan beberapa lembar. "Ini uang laundry bulan ini," ujar Teguh memberikan empat lembar uang ratusan. "Dan ini buat Dara, kata Ibu Sum ... Dara wisuda akhir bulan kan?""Eh ...." Dara menolak."Cuma segini, buat persiapan wisuda," ujar lelaki beranak satu yang jauh dari keluarga kecilnya lantaran kembali menuntut ilmu di kota melanjutkan jenjang S2 nya. "Dapat salam juga dari istriku, mudah-mudahan bulan depan bisa ketemu kamu katanya.""Wah, Mas ... Dara jadi nggak enak.""Terima, kalo belum dibutuhkan ya di tabung." "Makasih ya Mas," ucap Dara dengan mata berkaca-kaca.
"Bu Sum?" Dokter bernama Rizal itu terkejut ketika dia melihat Bu Sum berada satu ruangan dengannya. Sama halnya dengan Dara yang terkejut berjumpa kembali dengan lelaki bertubuh tinggi saat mengantarkan laundry-nya kemarin siang."Benar Bu Sum, kan?" Rizal memastikan lagi karena dia baru dua kali bertemu dengan wanita paruh baya itu."Mas Rizal? Oh Mas Rizal dokter?" Bu Sum pun terkejut. "Sudah saling kenal rupanya," ujar dokter senior. "Iya, Dok. Ini Bu Sum tempat saya langganan laundry. Silahkan duduk di sini Bu biar saya periksa," kata Rizal mempersilahkan Bu Sum berbaring di tempat tidur pasien.Beberapa kali dokter Rizal menyentuh bagian leher, pundak dan tulang belikat Bu Sum. Semakin di tekan pun membuat Bu Sum semakin meringis."Sering angkat beban berat kah, Bu? Atau sering melakukan kegiatan yang tiba-tiba?" tanya Rizal."Namanya bakul cuci, Mas eh Dok. Saya pasti sering angkat beban berat," jawab Bu Sum."Bisa diberikan diagnosanya, Dok?" tanya dokter senior pada Rizal.
"Hasil MRI nya menunjukkan adanya saraf terjepit di leher, ruas C-5 dan C-6. Ini termasuk salah satu yang riskan ya, Bu. Kita ada dua solusi, keputusan saya kembalikan ke Ibu," ujar dokter Zainal, dokter senior itu."Apa, Dok?""Operasi atauā""Operasi? Waduh, Dok." Wajah Bu Sum seketika panik."Tenang dulu, Bu." Dara mengusap pundak wanita tua itu."Atau kita observasi, selain dengan obat, Ibu harus tetap memakai collar neck. Penyangga leher hingga waktu yang ditentukan.""Kalau di lihat dari hasil MRI Ibu, tonjolan pada bantalan sendi hampir mengenai saraf utama," ucap Rizal."Bahaya?" Kali ini Dara menunjukkan wajah paniknya."Bahaya kalo nggak di tanggulangi dengan cepat." Rizal menahan senyumnya saat melihat wajah Dara."Jadi gimana Dok, baiknya?" "Kita observasi dulu saja ya, dengan obat dan collar neck. Satu bulan lagi kontrol, kalo masih belum ada perubahan, mau tidak mau kita ambil tindakan operasi.""Observasi. Ok, enggak apa-apa, kan Bu?""Ibu mana baiknya aja, Ra. Ibu uda
"Ayo," ajak Rizal.Dara berdiri terpaku, di tatapnya kafe yang ada di hadapannya. Setahu Dara, kafe yang mereka kunjungi ini harga makanannya cukup mahal, sedangkan uang yang ada di dompetnya hanya tersisa seratus ribu rupiah."Karena saya yang traktir, jadi sebaiknya saya yang menentukan kita makan dimana," ujar Dara."Tapi kita sudah terlanjur sampai sini. Jadi, daripada menghabiskan waktu untuk mencari kafe yang lain lebih baik kita di sini aja.""I-iya, tapi ....""Aku udah laper, denger-denger makanan di sini enak-enak. Ayo." Rizal me lebih dulu."Seratus ribuku," lirih Dara dengan wajah sedih."Makan apa?" tanya Rizal pada Dara saat pelayan menghampiri mereka."Hhmm.... air mineral aja," jawab Dara."Loh kok air mineral?""Saya nggak laper. Yang makan Dokter aja, enggak apa-apa.""Ah, enggak gitu konsepnya." Alis Rizal bertaut. "Aku pesenin, satu beef carbonara, onion ring, dimsum satu porsi, lalu ... satu beef steak, saya minta cheese sauce-nya, terus minumannya saya minta yang
"Pagi, Dokter," sapa Bu Sum memasuki ruangan dokter spesialis saraf dengan senyum sumringah berbeda dengan saat waktu Bu Sum datang pertama kali ke ruangan itu. Ditemani Bagas, Bu Sum menceritakan perkembangan yang dia rasakan selama sebulan ini semenjak menggunakan collar neck secara rutin. "Coba saya periksa dulu, ya," ucap Dokter Zainal, dokter senior di ruangan itu selain dokter berkacamata yang lain."Udah aman ya ini, syukurlah masih bisa kita observasi kemarin ya. Diingatkan lagi ibunya untuk tidak mengangkat atau mengerjakan pekerjaan yang berat.""Terimakasih, Dokter." Mata Bu Sum masih mencari-cari. "Kalo dokter Rizal, hhmm maksud saya dokter residen yang waktu itu enggak kelihatan ya, Dokter?""Oh dokter Rizal, hari ini memang mengambil cuti ijin sakit, Bu Sum.""Oh sakit." Bu Sum terdiam. "Bu, ayo." Bagas menyentuh lengan ibunya agar bergegas meninggalkan tempat itu."Mbak-mu pulang jam berapa, Gas?" tanya Bu Sum setiba mereka di rumah."Bagas kurang tahu, Bu. Kenapa?"
"Bawa ini." Bu Sum menyerahkan kantung plastik berisi bubur ayam pagi itu."Apa ini, Bu?""Bubur ayam buat sarapan dokter Rizal.""Loh kan Dara cuma mau anter baju ke Mas Teguh, Bu. Enggak ke tempat dokter Rizal.""Sekalian, Ra. Kan satu tempat juga, lagian kasian anak rantau sakit tuh nggak ada yang ngurus. Mosok kamu tega, mana sakitnya tipes kan nggak bisa makan yang keras-keras dulu "Dara menghela napasnya, dirapihkannya kembali baju-baju yang akan dia antar pagi ini."Ya sudah, Dara pergi dulu." Dara meraih kunci motornya. "Oh iya Bu, nanti Dara pulang agak sore ya. Dara mau ketemu temen di kampus, katanya ada lowongan kerjaan di tempat dia kerja."Motor Mio itu berhenti di bangunan tiga lantai yang berisi para anak rantau. Dara mengetik pintu kamar Teguh, salah satu pelanggan laundry Bu Sum yang sangat baik padanya. "Pagi Dara," sapa lelaki itu masih dengan wajah bangun tidur."Pagi Mas Teguh," balas Dara sambil tersenyum. "Mau antar baju, Mas." Dara memberikan tas laundry ber