"Ini Synthia, anak dari Datuk Basri Alam," ujar Donna. "Kamu masih ingat kan, Synthia kecil dulu sering ke rumah kita."
Rizal pun tersenyum, tidak pernah terbesit di ingatannya tentang wanita di hadapannya ini pernah datang ke rumahnya. Atau memang dia yang sudah lupa.
"Enggak sering Tante, cuma beberapa kali sebelum Bunda bawa Synthia ke Australia."
Wanita yang umurnya mungkin hanya berbeda satu tahun di bawah Rizal ini pun mengulurkan tangannya.
"Apa kabar?"
"Baik," jawab Rizal canggung.
"Jadi pertemuan kali ini memang sangat mendadak," ujar lelaki yang umurnya di atas lebih tua dari Rizal. Mungkin hampir memasuki 40 tahun. Lelaki itu Amar kakak laki laki tertua Synthia.
"Kebetulan kami juga ada perjalanan bisnis ke Jogja, dan Bunda memberi tahu kalau Tante Donna dan Om Andreas sedang berada di Jogja. Mengenai kerjasama perusahaan yang pernah kita bahas tempo hari, kami selalu wakil dari perusahaan menyetujui persyaratan dan perjanjiannya."
"Mengenai kelanjutannya, kita bicarakan dengan para pemegang saham dan direksi perusahaan kami juga," ucap Andreas.
"Jangan ngomongin perusahaan aja lah, nggak di Padang nggak di Jogja yang kita bahas tentang perusahaan dan kerjasama," ujar Donna.
"Oh ya, bagaimana dengan Synthia sendiri, setelah kembali dari Australia selain menjadi salah satu direksi di perusahaan Bunda. Apa rencana Synthia?" tanya Dahlan sambil menautkan kedua tangannya tepat di depan wajahnya.
"Menikah?" tanya Donna.
"Mau nya Tante, tapi yang ngajakin nikah belum ada." Synthia tersenyum namun tatapan matanya mengarah pada Rizal.
"Ah, biar Om Dahlan yang bicara pada Bunda mu," ujar Dahlan sambil tertawa.
"Kalo Amar setuju saja, Om. Adik Amar ini manja, takut calon suaminya nanti nggak kuat meladeni sifat dia yang satu itu," kekeh Amar. "Lalu Rizal sendiri, bagaimana?" Amar beralih bertanya pada Rizal.
"Masih pokus dengan PPDS, Bang. Masih satu setengah tahun lagi."
"Ah tak apalah itu, menikah sambil meneruskan pendidikan nggak ada yang salah.alah lebih semangat," tutur Amar. "Istriku juga dokter, tapi dia memilih menjadi dokter umum."
Rizal mengangguk angguk, rasanya engga sekali dia berlama lama diantara mereka. Sedari tadi Rizal melirik jam tangannya, sudah pukul sembilan malam dan dia belum sempat mengirimkan pesan pada Dara.
"Rizal permisi sebentar," ucapnya lalu beranjak dari tempat itu melangkah menuju lobby hotel sambil menggulir layar ponselnya.
Beberapa kali terdengar nada sambung tak kunjung ada jawaban dari Dara. Mungkin saja Dara sudah tertidur, pikirnya .
"Besok malam bertemu bisa?"
"Ada yang ingin aku sampaikan."
"Kabari aku, ya."
Tiga rentetan pesan Rizal sudah terkirim namun statusnya belum terbaca.
"Pacar?" Suara itu membuat Rizal membalikkan tubuhnya.
Rizal tersenyum. "Iya," jawabnya bohong, karena kenyataannya sampai detik ini statusnya dengan Dara masih sekedar teman.
Ada rasa kecewa bergelayut di hati Synthia saat mendengar jawaban Rizal. Teringat sebulan yang lalu saat orangtuanya menyampaikan adanya perjodohan antara dia dan Rizal, hatinya begitu senang. Rizal yang dia ingat semasa kecil adalah lelaki pendiam tapi perduli. Sayangnya, bayangan dia tentang Rizal sekarang berubah, meski masih pendiam nyatanya hatinya sudah terisi gadis lain.
"Belum ngabarin?" Synthia berusaha menetralisir kekecewaannya.
"Harusnya aku ngabarin dari satu jam yang lalu."
"Besok kamu ada waktu?"
"Hhmm ... ada praktek di rumah sakit. Ada perlu apa?"
"Makan siang bareng, gimana?"
"Kita lihat besok, ya," tolak Rizal halus. "Aku harus pulang dulu, besok pagi-pagi sudah praktek." Rizal lalu masuk kembali ke dalam restoran, Synthia mengikutinya dari belakang.
"Biar Mamak antar," ujar Dahlan.
"Rizal bawa motor, Mak."
"Motor?" Amar mengerutkan keningnya.
"Ya begitulah, Mar. Yang ini beda," sindir Donna. "Jangankan mobil, apartemen untuknya saja ditinggalkan dan lebih memilih tinggal di kost, entah dimana pula kost nya."
"Rizal pamit, Ma."
Rizal bergantian menciumi punggung tangan orang tua beserta pamannya. Dia mengulurkan tangan pada Amar dan Synthia.
"Kabari aku besok, ya," ucap Synthia.
Rizal hanya menjawab dengan senyuman, entah bisa atau tidak setidaknya dia tak ingin memberikan harapan pada gadis itu.
*****
"Lembur lagi malam ini, Ra?" tanya Bu Sum pada Dara pagi itu.
"Sepertinya nggak Bu, nanti Dara kabari kalo Dara lembur," ucap Dara lalu meraih tasnya. "Dara jalan dulu ya. Oh ya Bu, baju-baju yang mau di antar nanti sirih Bagas aja, tadi Dara udah pesan ke Bagas."
"Iya, kalo Bagas nggak bisa juga nggak apa-apa. Nanti Ibu tinggal hubungi pemilik bajunya buat ambil di rumah aja, mereka udah ngerti kok kondisi Ibu sekarang."
"Ya udah kalo gitu, Dara pergi ya." Dara mencium pipi wanita yang sampai sekarang masih menggunakan collar neck itu.
Tiga puluh menit perjalanan hingga sampai ke tempat Dara bekerja, masih terlalu pagi memang dari waktu yang ditentukan di perusahaan itu. Pikir Dara mungkin jika dia rajin maka kontrak kerjanya bisa di perpanjang bukan hanya sebagai karyawan pengganti untuk ibu melahirkan.
Dara merogoh ponselnya, dia lupa menghidupkan ponselnya dari semalam. Satu per satu pesan dia buka, tiba pesan masuk dari Rizal. Sudut bibirnya mengembang, kadang dia sendiri tidak percaya seorang dokter mau berteman dengannya.
"Nanti malam di rumah aja," balas Dara kemudian memulai pekerjaannya.
"Ra, ikut aku meeting di lantai tiga yuk." Manager HRD mendekatinya.
"Saya, Bu?"
"Iya, nanti bawakan salinan data yang kemarin kamu kerjakan. Saya butuh kamu untuk melengkapi kekurangannya saat meeting nanti."
Cepat Dara melangkah mengikuti atasannya, tepat pukul setengah satu siang setelah makan siang mereka melewati lobby hotel menuju lift. Pandangan Dara terpaku pada dua sosok yang berdiri berdampingan di lobby hotel itu.
"Dara, ayo cepat." Sari sudah berada di depan lift.
Bergegas Dara mempercepat langkahnya, meski hatinya masih bertanya-tanya dengan siapa Rizal disana tadi.
"Atau benar itu pacarnya?"
"Apa benar tebakannya selama ini kalo Rizal memang sudah punya pacar?"
"Kenapa harus pusing memikirkan ini, toh dia dan Rizal memang hanya berteman."
Dan banyak lagi pertanyaan yang ada di benaknya hingga Dara sendiri tidak fokus pada pembahasan meeting siang itu.
"Kamu sakit?" tanya Sari. "Tiba-tiba nggak fokus ke meeting tadi."
"Maaf Bu, memang agak kurang sehat." Dara terpaksa berbohong.
"Kalo gitu pulang lebih cepat saja." Sari melirik arloji di tangannya menunjukkan pukul tiga sore.
"Enggak apa-apa, Bu. Nanggung juga setengah lima biar saya selesaikan kerjaan yang tersisa."
"Ya udah kalo memang udah nggak kuat, pulang juga nggak apa-apa.*
Dara mengangguk, sejujurnya dia sehat-sehat saja hanya pikirannya yang melanglang buana lantaran siang tadi dia melihat Rizal dengan seorang gadis cantik, manalagi ini di hotel.
Pukul setengah enam sore Dara sudah berdandan rapih, teringat janjinya pagi tadi pada Rizal jika dia akan menunggu di rumah saja.
"Bagas mana, Bu?"
"Nganterin baju." Bu Sum meletakkan mangkuk berisi sop ceker kesukaan Dara. "Mendoan tempenya tolong ambil di dapur, Ra."
Dara melangkah ke dapur, sambil membawa piring berisi tempe mendoan yang masih hangat.
"Makan yuk, Bu. Dara lapar."
Dara makan dengan lahapnya, masakan Bu Sum memang tiada duanya. Dulu almarhum ayah Dara selalu ingin pulang cepat hanya untuk merasakan masakan sang istri.
"Ra."
"Ya, Bu."
"Hhmm ... sepertinya Ibu mau memperkerjakan orang saja untuk mengurus laundry. Pelanggan Ibu semakin hari semakin bertambah, menurut kamu gimana?"
"Boleh aja, Bu. Lagian Ibu kan memang nggak boleh terlalu capek. Ibu sudah dapat orangnya?"
"Sudah, itu Mbak Siti di gang sebelah katanya mau. Lagi pula dia punya motor, jadi bisa di suruh antar-antar baju."
"Ya kalo sudah sepakat dengan gajinya dan menurut Ibu orangnya mau kerja ya sudah."
Bu Sum tersenyum, diperhatikannya anak gadisnya yang sedang menikmati sop ceker itu dengan tatapan panasaran.
"Kamu udah rapih, emang mau kemana?"
"Enggak kemana-mana, Bu."
"Masa sih?" goda Bu Sum.
"Apaan sih, Bu."
"Kata Bagas, dokter Rizal suka kirim pesan ke dia nanyain kamu."
"Uhuk ... uhuk ...."
"Pelan-pelan, Ra. Gitu aja salting." Bu Sum tertawa kecil. "Ibu sih nggak larang kamu dekat sama siapa aja, berteman sama siapa aja, cuma pesan Ibu hati-hati jangan sampai salah menaruh hati."
"Apa sih, Bu. Mikirnya kejauhan." Dara memajukan bibirnya.
"Ya sudah habiskan makannya, kalo sudah selesai bantu Ibu cuciin piringnya ya." Bu Sum tersenyum lalu meninggalkan Dara.
Dara merebahkan tubuhnya di tempat tidur, sudah pukul delapan malam namun Rizal belum menampakkan batang hidungnya. Dara juga sudah berkali-kali menatap layar ponselnya namun tak ada satupun pesan masuk dari Rizal.
Dara menatap langit kamarnya, pikirannya melayang pada sosok cantik yang bersama Rizal tadi di lobby hotel. Dia yang wanita saja mengagumi kecantikan wanita itu apalagi Rizal yang seorang lelaki normal.
"Ahhh, menyebalkan kenapa jadi gini sih." Dara menutup wajahnya dengan bantal. "Sadar diri Dara, inget kata ibu jangan dlaa menaruh hati."
"Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun terbuka. "Ada yang cari."
Dara gelagapan, "siapa?"
"Pake nanya ... sana temuin dulu."
Rizal menuntun motornya masuk ke pekarangan rumah Dara. Sudah menjadi kebiasaannya selama bertamu ke rumah gadis itu, Rizal psti mematikan motornya, maklum saja suara motor sport milik Rizal memang terdengar sedikit berisik."Loh, Mas Dokter." Bagas yang baru saja masuk ke pekarangan rumah kaget melihat Rizal juga baru datang."Gas," sapa Rizal. "Dara ada?""Ada, aku panggil dulu." Bagas memarkirkan motornya."Eh, Gas ... ini buat kamu dan ibu." Rizal memberikan satu kantung plastik berwarna putih."Makasih, Mas Dokter. Aku panggil Mbak Dara dulu." Bagas masuk ke dalam rumah dengan hati senang membawa bungkusan yang dari harumnya saja sudah bisa dia tebak."Emang rejeki anak soleh," ujar Bagas menaruh kantung plastik berisi dua tempat martabak manis dan martabak telur. "Tau aja ngambil hatinya," kekeh Bagas lalu melangkah menuju kamar Dara."Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun dia buka. "Ada yang cari tuh."Dara gelagapan, "siapa?""Pake nanya ... sana temuin dulu
Senyum Rizal kembali terukir, ingatannya masih melekat saat tadi dirinya memberanikan diri menyatakan perasaannya pada Dara. Tiba-tiba memeluk gadis itu, bahkan wajah mereka sempat dekat beberapa inci lagi, saling menatap sendu.Lamunannya buyar saat pesan masuk ke ponselnya dari sang Mama."Mama besok pagi pulang, penerbangan jam tujuh pagi. Malam ini sempatkan bertemu Mama dan Papa." Isi pesan itu rasanya enggan Rizal baca, toh selama ini juga orangtuanya datang dan pergi sesuka hati. Datang dengan melimpahkan masalah padanya, dan pergi meninggalkan masalah baru.Seperti pertemuan malam itu dengan Synthia dan Amar. Rizal baru mengetahui kalau ada rencana paman dan orangtuanya menjodohkannya dengan Synthia dengan alasan menjadikan kerajaan bisnis mereka khususnya rumah sakit berkembang lebih pesat lagi. Salah satunya menambah jangkauan bisnis sang Ayah yang mencoba bermain di pertambangan. Dan Synthia siang itu mengatakan sendiri pada Rizal. "Ya aku nggak bisa memaksa kamu, tapi ad
"Ra, Ibu boleh tanya?" Bu Sum menarik kursi di ruang makan, dia memperhatikan Dara yang sedang mengunyah nasi goreng buatan Bu Sum pagi itu."Ya, Bu. Ibu mau tanya apa?" Dara meneguk air putih di dalam gelas."Kamu dan dokter Rizal, benar kalian pacaran?""Uhuk ... uhuk ...." Dara tersedak membuat dia pun terbatuk-batuk. "Pake acara batuk-batuk segala. Bilang aja iya, Mbak. Lagian Ibu juga pertanyaannya bikin ketawa, mana ada sih Bu, cowok tiap malem Minggu dateng ke rumah terus mau ketemu anak gadis Ibu." Bagas meletakkan tasnya di kursi lalu menerima piring berisi nasi goreng dari Bu Sum."Kan Ibu butuh kejelasan, Gas.""Mbak, pinjem motor ya. Bagas ada tugas P5, Mbak nggak kemana-mana kan hari ini?" tanya Bagas."Sabtu ini Mbak mau ke toko buku.""Yah, kirain nggak kemana-mana." Raut wajah Bagas kecewa."Pake aja, biar Mbak naik bis Trans." "Hhmm ... nggak sama ayang bebeb?" goda Bagas menahan senyumnya."Enggak, dia ada jadwal hari ini." "Jadi bener pacaran, Ra?" Bu Sum masih p
Kenapa sih, Mas?" tanya Dara lagi. "Mas ...." Dara membelalakkan matanya saat tubuh Rizal semakin mendekat. "Mas ... mau ngapain?' tangan Dara menahan dada Rizal."Mau ambil remote." Rizal meraih remote TV tepat berada di sebelah Dara."Ih." Dara menepuk pundak lelaki itu. "Kirain mau ngapain.' "Emang mau ngapain?' Rizal senyum-senyum, diapaling senang jika usil pada Dara. Tak tahan melihat wajah kekasihnya itu memerah jika dia goda.Rizal beranjak dari tempat duduknya setelah membaca pesan yang masuk."Mas mau kemana?" "Mau ambil pesanan di bawah," jawab Rizal. "Aku ikut." Dara ikut beranjak."Sebentar aja, Ra. Di sini aman, nggak ada apa-apa. Aku cuma sebentar."Tidak sampai 10 menit Rizal sudah kembali ke unit apartemen miliknya. Saat membuka pintu dia tidak menemukan Dara di sana. Terdengar aliran air dari kamar mandi, sudah pasti kekasihnya itu berada di sana. Rizal menyiapkan makan malam untuk mereka, sengaja dia memesan beef teriyaki, salad sayur dan salad buah, dan dua kot
"Bagaimana dengan project alat kesehatan yang masuk ke rumah sakit kita?" tanya Andreas pada Hana."Dari kesepakatan bersama mereka baru mengirimkan satu batch sesuai dengan perjanjian. Semua sudah di alokasikan ke bagian purchasing untuk di proses lebih lanjut, Pa," jawab Hana.Hana adalah anak yang di asuh oleh Andreas dan Donna sejak masih bayi, dua tahun sebelum Rizal lahir melengkapi kebahagiaan keluarga mereka."Han, persiapan pernikahan kamu sudah berapa persen?""Masih 80 persen, Ma. Hari ini rencananya kami akan meeting untuk resepsi wedding nya.""Bisa nggak kamu nggak terlalu sering pulang malam. Enggak pantas calon pengantin masih sibuk pekerjaan di kantor hingga harus lembur." Donna memoleskan selai cokelat di rotinya. "Pa, bisa kan di kurangi sedikit saja kerjaan Hanna. Bagaimanapun dia harus menjaga sikap dan sifatnya sebagai keturunan kita.""Ya kan memang kerjaan di kantor apalagi urusan rumah sakit memang harus Hanna yang handle. Siapa lagi kalo bukan Hanna, Rizal? a
Motor Rizal berhenti di parkiran kost-nya siang itu. Sambil membawa dua kantung plastik berisi kebutuhan bulanannya, Rizal berjalan ke arah beranda kost eksklusif itu. Sebuah senyuman terukir di wajahnya saat melewati salah satu kamar di dekat tangga. Sedikit mengangguk dan megucap kata permisi, Rizal terus melangkah menapaki anak tangga.Siang ini rencananya, Rizal meminta Dara untuk datang ke kostnya. Karena terkadang mereka hanya punya waktu bertemu di hari Sabtu atau Minggu saja. Itu pun hanya beberapa jam saja, atau Rizal menyempatkan diri menjemput Dara di tempat kerjanya.Membereskan barang bawaannya, Rizal melanjutkan membersihkan kamarnya. Menyemprotkan pewangi di seluruh ruangan dan menyalakan pendingin ruangan agar saat Dara datang kamarnya sudah terlihat rapih.Pintu terbuka setelah diketuk dua kali oleh Dara. Senyum keduanya merekah saat saling menatap. Dara melangkah masuk ke dalam kamar kost Rizal, harum mint tercium begitu segar."Aku bawain kamu salad sayur," ujar Dar
Enggan rasanya Rizal keluar dari kamarnya menuju lantai satu rumah besar milik orangtuanya. Di bawah sudah berkumpul keluarga besar dari Andreas dan Donna, bahkan berdatangan dari siang tadi saat Rizal baru saja sampai memasuki rumah besar itu.Terdengar ketukan di pintu kamarnya beberapa kali, akhirnya mau tak mau membuat Rizal beranjak. Hana sudah berdiri di depan pintu dengan kedua tangan terentang."Adik aku akhirnya pulang." Hanya Hana yang menyambutnya dengan kehangatan."Masuk, Uni." Rizal membuka pintu kamarnya lebar-lebar.Hana duduk di pinggiran ranjang besar kamar itu. Kamar Rizal memang tidak banyak berubah, masih sama malah seperti dulu. Susunan buku-buku medis juga banyak di rak pojok kamarnya."Kenapa nggak turun?" tanya Hana."Males, Uni. Banyak tanya pasti nanti ""Kan sudah biasa itu, Cal. Dari kita kecil malah, turunlah nggak enak sama keluarga besar mama papa. Dari tadi mereka nanyain kamu.""Enggan rasanya Ical, Uni. Apalagi kalo sudah liat Mamak Dahlan di sana, r
Rizal mematut dirinya di depan kaca, bulu-bulu halus di rahangnya dia biarkan tumbuh. Penampilannya malam ini hanya mengenakan kemeja berwarna maroon dan celana chinos berwarna krem. Di lantai bawah keluarga besarnya sedang berkumpul, riuh suara gelak tawa terdengar hingga ke kamarnya. Terakhir rumahnya ini ramai seperti sekarang adalah saat dia wisuda mendapatkan gelar dokter. Menjadi kebanggaan kedua orangtuanya adalah mimpi Rizal namun bukan berarti orangtuanya bisa mengatur hidup serta menentukan jalan hidupnya sesuka hati.Rizal meraih ponselnya, kemarin dia hanya tiga kali mengirimkan pesan pada Dara. Keramaian di rumahnya memang menyita waktu, hingga malam kemarin Rizal berjanji untuk video call saja akhirnya gagal karena dia terlanjur ketiduran."Lagi apa?" Isi chat Rizal yang terkirim untuk Dara."Di rumah sedang ramai, malam ini ada acara Malam Bainai. Aku telpon kamu mungkin agak tengah malam, ya." "Jangan tidur dulu, Ra. Aku kangen."Tiga pesan terkirim, Rizal melangkah
Dara duduk di kursi tunggu pasien, tepat di depan ruangan ICU. Ya, Bu Sum terkena stroke. Diagnosa sementara Bu Sum terkena stroke ringan. Menurut dokter Budi yang saat itu kebetulan berada di IGD, bisa jadi Bu Sum terlalu stress atau terlalu banyak pikiran."Kamu bisa ceritain ke Mbak, kenapa ibu tiba-tiba seperti ini, Gas?" tanya Dara pada Bagas yang duduk menelungkupkan wajahnya."Mbak Siti bilang, saat kejadian ada dua orang laki-laki yang datang ke rumah. Kata Mbak Siti, dua orang itu marah-marah sama Ibu.""Marah-marah kenapa? Apa ibu punya sangkutan hutang?" tanya Dara heran."Enggak lah Mbak, semiskin miskinnya kita, ibu selalu nggak mau ngutang sama orang. Dia pasti memilih bekerja siang malam buat kita daripada ada urusan hutang piutang," tegas Dara."Ya lalu kenapa ibu bisa begini?" Dara frustasi."Mbak Siti sempat bilang, lelaki itu sempat mengancam ibu.""Mengancam?" Rizal mengerutkan alisnya."Gas, coba kamu cerita yang benar. Dari awal!" Dara mulai terpancing emosi."Sa
"Butuh apa lagi?' tanya Rizal sambil mendorong troli belanjaan mereka."Daging, Mas. Sama buah-buahan." Dara melangkah ke area daging-daging segar. Baru saja dia memilih-milih daging, suara seseorang membuat dia dan Rizal menoleh ke asal suara."Kebetulan sekali bisa bertemu di sini," sapa Synthia sambil menenteng tas belanja. "Apa kabar?" "Synthia?" Rizal terperanjat. Dara menoleh pada suaminya."Suatu kebetulan banget bisa ketemu dengan kalian," ucap Synthia basa basi."Lagi di Jogja?" tanya Rizal."Yup, liburan ... belakangan ini Jogja lebih sering menyita perhatian." Synthia menatap Dara dengan sinis."Oh, enjoy holiday. Maaf kami sepertinya sudah selesai. Sudah selesai kan, Sayang?" tanya Rizal dengan penekanan kata Sayang pada Dara."Mm ... sudah." Dara pun mengangguk sambil memasukkan kantung berisi daging yang dia pilih tadi."Kapan ada waktu untuk bicara, Zal?" tanya Synthia tanpa memperdulikan Dara."Aku belum tau kapan, karena minggu-minggu ini masih persiapan untuk ujian
"Mau apalagi Anda datang ke rumah ini?"Bu Sum berdiri dengan tangan bersedekap di depan dada. Dahlan siang itu sudah berada di serambi teras rumah Bu Sum."Saya akan terus datang ke rumah ini sampai anak ibu dan keponakan saya berpisah.""Anda ini nggak waras ya. Atau Anda memang di ciptakan Tuhan nggak punya hati. Bisa bisanya Anda yang hanya seorang manusia mau memisahkan dua orang yang saling mencintai berpisah. Entah dimana harga diri Anda.""Jangan bicarakan harga diri, jika Ibu sendiri merendahkan harga diri Ibu hanya untuk mempermantukan keponakan saya.""Benar-benar nggak waras Anda. Pergi dari sini sebelum saya teriak dan orang kampung semua datang.""Silahkan saja, saya yakin orang kampung aka tau skandal ini.""Ini bukan skandal! Mereka saling mencintai, saya dan anak saya tidak pernah memandang orang dengan materi mereka asal Anda tau!""Bu ...." Siti yang baru datang dari mengantarkan baju berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Bu Sum."Sebaiknya Anda pergi!" Wajah Bu Sum t
Hingar bingar suara musik membisingkan telinga. Tubuh Synthia meliuk bergerak mengikuti irama lagu. Sambil memegang gelas berisi wine, tubuh indah itu bergerak begitu erotis. Semakin alunan irama itu mengalun kencang semakin tubuh indah Synthia bergerak seperti lepas kendali."Rugi banget laki-laki yang nggak bisa milikin kamu," bisik suara itu dari belakang telinganya membuat Synthia memutar tubuhnya."Apa?" tanyanya dengan suara lebih keras."Aku boleh temenin kamu malam ini?" tanya lelaki bertubuh atletis dengan wajah blasteran."Boleh," ujar Synthia sambil menghisap rokoknya lalu kembali memutar tubuhnya membelakangi lelaki tadi dan bergerak menempel pada tubuh lelaki itu."Kamu sendirian?" tanya lelaki itu ikut bergerak mengikuti gerak tubuh Synthia yang jujur saja membuatnya berhasrat pada gadis berwajah cantik dan seksi itu."Iya, kamu?""Aku juga, gimana kalo malam ini kita habiskan waktu berdua, mau?"Synthia membalikkan tubuhnya menghadap sang lelaki. Tangannya sudah bergela
"Aku khawatir dengan ibu," ujar Dara saat perjalanan pulang ke rumah mereka."Aman, Ra. Tadi aku udah ke rumah Pak RT minta pengamanan jaga malamnya lebih di perketat. Mudah-mudahan semua warga juga lebih perduli dengan keamanan kampung.""Iya, mudah-mudahan ya Mas.""Atau kamu mau Ibu ikut tinggal sama kita?""Ibu yang nggak mau, Mas. Dia bilang gimana dengan usaha laundry nya.""Ya sudah, artinya kita tetap seperti ini aja. Kalo aku jadwal jaga malam ya tidur tempat ibu. Sesekali weekend ibu kita ajak tidur di rumah." Rizal mengusak rambut istrinya. "Ini kita mau pulang atau belanja bulanan dulu?"*****Satu minggu berlalu setelah kejadian sore itu, Dara dan Rizal masih melakukan rutinitas yang sama dan sering menginap di rumah Bu Sum. Bagas sudah mulai persiapan ujian akhir di sekolahnya. Lelaki berusia 18 tahun itu sekarang lebih sibuk dari biasanya bimbingan belajar serta pelajaran tambahan di sekolah."Gimana keadaan, sudah aman?" tanya Budi siang itu saat mereka sedang makan si
"Ibu sakit," kata Bagas saat menyambut kedatangan Dara dan Rizal."Sejak kapan?""Kemarin siang waktu aku pulang, ibu udah di kamar aja tapi untungnya masih mau makan."Dara membuka pintu kamar Bu Sum, wanita paruh baya itu meringkuk menghadap dinding dengan selimut yang menutupi hingga pinggang.Dara melangkah masuk disusk Rizal da Bagas. Duduk di sisi ranjang, Dara membelai lembut lengan sang Ibu."Bu ....""Hhmm ...."Dara meletakkan tangannya pada kening Bu Sum, tidak panas malah teraba dingin. "Ibu sudah makan?" Bu Sum mengangguk. "Aku buatin teh hangat ya, biar enakan badannya."Bu Sum menggeleng."Ibu ngerasain sakit dimana?" tanya Dara lagi."Ibu nggak kenapa-kenapa. Ibu baik-baik aja, cuma butuh istirahat," ujar Bu Sum tanpa menoleh ke arah Dara.Ya, sebenarnya mata wanita tua itu sembab, semalaman dia menangis ketakutan meratapi nasib putrinya. Dan pada akhirnya Bu Sum memutuskan untuk tidak menceritakan kedatangan Dahlan ke rumah mereka kemarin. Biarlah dia yang menghada
Jogja di guyur hujan dari malam hingga pagi ini. Mobil Brio hitam milik Rizal terparkir di halaman rumah Bu Sum. Pintu depan rumah itu sudah terbuka dari jam enam pagi tadi. Tumbuhan-tumbuhan hijau di pekarangan rumah Bu Sum tambah menyejukkan pagi ini.Jam tiga pagi tadi Rizal sampai di rumah Bu Sum. Seperti biasa, jika Rizal jadwal malam di rumah sakit sudah pasti Dara tidur di rumah Bu Sum. "Ibu bawakan bekal aja ya buat kalian," ujar Bu Sum mengantarkan anak dan menantunya kembali berangkat kerja. "Enggak usah Bu, kami makan di luar aja," jawab Dara sambil mencium tangan ibunya diikuti Rizal."Nanti kami pulang ke rumah ya, Bu," kata Rizal."Iya, pokoknya kalo kalian ke rumah Ibu pasti senang."Rizal dan Dara masuk ke mobil di payungi oleh Bu Sum. Bu Sum melambaikan tangan ketika mobil melaju keluar dari pekarangan rumahnya."Ini rumah ibu nya, Pak. Sepertinya mereka memang tinggal di sini bersama orangtua wanita itu," ujar informan yang di bayar oleh Synthia pada Dahlan.Ya, mo
"Liat ini." Anna menyodorkan ponselnya pada Synthia. "Anaknya teman Bunda yang kasih tau." Anna menarik kursi makan di hadapan Synthia.Sebuah poto pernikahan di sebuah resto daerah pinggir pantai di Jogja yang menunjukkan pasangan pengantin baru sedang berciuman usai acara pernikahan mereka."Rizal?" Synthia terkejut."Poto itu sempat viral ternyata beberapa hari lalu. Resto itu seperti mendapatkan promo untuk acara pernikahan lantaran poto mereka di antara senja di daerah pantai." Bibir itu tersenyum sinis tak suka."Mereka menikah, Bun. Aku harus gimana?" Synthia panik."Mereka menikah tanpa restu orang tua Rizal lah. Kamu masih ada kesempatan untuk membuat mereka berpisah, Syn. Sudah jelas keluarga Rizal nggak setuju sama wanita itu.""Ya ampun, mereka sudah menikah, Bun." Synthia mengacak rambutnya frustasi."Enggak usah lebay, enggak usah ngeluh. Usaha kamu nggak cukup besar dalam memisahkan mereka. Sekarang apa buktinya, kamu kalah.""Harusnya kemarin aku buat mati saja gadis J
Pagi itu Dara masih mengenaka baju tidur berbahan satin, dia tengah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Rambut yang dia gulung tinggi ke atas memperlihatkan leher jenjangnya, nampak beberapa warna kemerahan menghiasi leher miliknya. Ya, tiga hari menjadi istri Rizal banyak hal-hal baru yang dia ketahui mengenai sifat dan sikap Rizal. Bukan hanya romantis, suaminya terlalu sering memanjakannya, apalagi dalam hal makanan. Sering memberinya hadiah, meski sekecil apapun. Hanya satu yang tidak di sukai oleh Dara, jika Rizal buang angin sembarangan. Hal yang lucu, kadang bisa membuat mereka saling menyalahkan. "Masak apa?" Rizal memeluk Dara dari belakang. Tangannya bergerak bebas kesana kemari menelusuri tubuh istrinya hingga Dara kegelian."Cuma masak mie instan," jawab Dara menoleh hingga mengenai hidung mancung milik Rizal. "Mie instan sering-sering nggak baik loh, Sayang.""Kan nggak setiap hari, Mas. Emang yang baik setiap hari apa?" goda Dara."Ini." Rizal memba