Melodi, gadis cantik, kaya dan jutek tidak menyukai Ian, pengawal pribadinya yang selalu mengikuti Melodi ke mana-mana. Pria itu hampir dua puluh empat jam bersama Melodi. Termasuk ketika Melodi sedang bersama Arjuna, kekasihnya. Sampai Melodi muak karena pria dingin, datar, dan tidak pernah tersenyum itu melanggar batas privasinya. IG Author: @zizarageoveldy
View MoreAku menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan bergantian dengan pintu kafe dengan perasaan gelisah. Sosok yang kutunggu sejak tadi belum juga menampakkan wujud.
Aku mulai kesal, karena Arjuna—kekasihku, belum datang juga. Padahal sudah lewat setengah jam dari waktu yang dia janjikan.
Kekesalanku semakin menjadi ketika melihat seseorang di sudut kafe sana.
Aku melengos ketika pria berbaju hitam, jeans hitam dan topi yang juga hitam itu memandang padaku.
Namanya Ian.
Dia orang paling menjengkelkan yang pernah ada. Dia selalu mengikutiku ke mana-mana. Termasuk saat aku pacaran dengan Juna.
Ian adalah pengawal pribadiku yang dibayar Papi untuk menjagaku selama hampir dua puluh empat jam.
Bayangkan, hampir dua puluh empat jam!
Ian hanya menjauh ketika aku mandi, tidur, dan buang air. Sisanya dia selalu bersamaku.
Sepanjang yang bisa kuingat, pria kaku, dingin dan berwajah datar itu sudah menjadi pengawalku sejak aku duduk di kelas delapan.
Inilah susahnya punya orang tua yang terlalu protektif. Papi merasa sebagai anak perempuan aku butuh pengawal pribadi untuk melindungiku. Masalahnya saat ini aku sudah berumur dua puluh dua tahun. Aku sudah dewasa. Sudah nggak butuh pengawalan. Aku bisa menjaga dan melindungi diri sendiri. Tapi ternyata pemikiran Papi berbeda denganku. Papi menganggapku masih membutuhkan pengawalan. Setidaknya sampai aku menikah dan memiliki suami.
Aku hampir mengambil ponsel untuk menghubungi Juna dan menanyakan keberadaannya tepat ketika lonceng di pintu kafe berbunyi. Juna muncul lalu melangkah mendekatiku.
"Sorry aku telat, tadi jemput Mama ke salon dulu," ucapnya.
Aku mengangguk pengertian walau jengkel di dalam hati.
"Belum pesan makanan?" Juna memandang meja dan hanya menemukan sebotol air mineral yang isinya tinggal setengah.
"Belum. Kan nunggu kamu."
"Pesan sekarang aja ya?"
Kuanggukkan kepala.
Juna melihat daftar menu, menanyakan apa yang kuinginkan lalu melongokkan kepalanya untuk memanggil waiter.
"Shit!" umpatnya keras ketika menemukan Ian duduk di sudut kafe. "Kamu juga bawa dia ke sini?" pandang Juna tajam padaku.
Kuanggukkan kepala, lesu.
"Kenapa orang itu harus ada di antara kita?" Juna mendesis geram saking kesalnya.
"Jadi aku harus gimana? Dia kan bodyguard aku."
"Bodyguard sih bodyguard, tapi nggak harus ngikutin kamu ke mana-mana sampai mau pacaran orang itu juga ngintilin kamu."
"Aku maunya juga begitu, Jun, tapi aku bisa apa?"
"Protes dong sama Papi kamu!"
"Aku udah sering protes sama Papi kayak yang kamu suruh, tapi Papi tetap nggak mau."
"Itulah begonya kamu. Kamu tolol. Kamu lemah. Nggak punya sikap. Makanya bisa diatur-atur seenaknya!"
Sumpah, aku sangat kesal mendengar tudingan Juna yang bego-begoin aku. Tapi di saat yang sama dia juga benar. Aku lemah karena nggak pernah berhasil membuat Papi memberhentikan Ian.
"Aku ini anak perempuan satu-satunya, Jun, makanya Papi ngerasa perlu aku punya bodyguard," kataku setelah mendapat alasan lain.
"Bukan cuma kamu. Ada ribuan atau jutaan orang yang jadi anak perempuan satu-satunya. Tapi mereka nggak kayak kamu. Nggak perlu sok-sok pake bodyguard. Emang siapa sih kamu, Melo? Keturunan ningrat? Keluarga kerajaan?"
Gaya bicara Juna yang meledekku membuat perasaan kesalku setinggi ubun-ubun. Tapi aku nggak bisa marah padanya.
Tatapanku pindah pada Ian yang masih duduk di tempatnya tanpa melakukan apa-apa. Aku semakin muak padanya. Karena dia, aku dan Juna sering bertengkar. Dia adalah satu-satunya orang ketiga dalam hubungan kami.
Juna menghabiskan makanannya tanpa bicara apa-apa. Mukanya yang masam menunjukkan padaku sebesar apa kekesalannya saat ini.
Setelah makanan kami habis Juna berjalan duluan keluar dari kafe. Aku mengikuti di belakangnya.
"Buruan!" Juna menarik tanganku dan menyuruhku masuk ke mobilnya. Kami akan pergi nonton.
"Melodi ..." Suara itu menyela. lan sudah berdiri di dekatku.
Aku merotasi bola mata, sebal. "Aku mau nonton sama Juna. Kamu pulang aja duluan," suruhku.
"Ini sudah jam sembilan. Kamu nggak akan ke mana-mana. Dan aku nggak akan pulang tanpa kamu."
Kutatap Ian dengan tajam. "Nggak ngerti ya kamu? Aku udah bilang mau nonton. Kamu pulang aja dulu. Nanti Juna yang nganterin aku pulang."
"Kamu nggak boleh pergi, Melodi," jawab Ian melarangku.
Juna yang sejak di awal sudah emosi semakin terbakar lalu mendorong dada Ian.
"Lo kenapa selalu ikut campur urusan gue sama Melodi? Mau lo apa sebenarnya?"
"Mau Melodi pulang sekarang," jawab Ian lugas.
"Tapi Melodi nggak mau pulang sama lo. Dia mau kencan dulu sama gue. Ngerti nggak lo?!" bentak Juna emosi.
"Ngerti."
"Terus kenapa masih di sini? Sana lo! Pergi!" usir Juna mengarahkan telunjuknya.
"Tidak tanpa Melodi," suara Ian dingin, sedingin wajahnya.
"Brengsek! Lo bener-bener cari masalah sama gue." Tangan Juna terkepal erat. Siap untuk melayangkan bogem mentah.
"Jun, Jun, udah. Jangan berantem di sini." Aku buru-buru mencegah sebelum perkelahian itu terjadi.
"Jadi kamu mau membela dia?" Tatapan nyalang Juna pindah padaku.
"Bukan membela, tapi—"
"Terserah!!!" Juna membentakku keras sebelum aku selesai. Selanjutnya dia masuk ke mobil dengan bantingan kuat di pintu lalu ngebut meninggalkan kafe.
Dadaku bagai akan meledak karena rasa sesak. Ini adalah pertengkaran kami yang ke sekian gara-gara Ian.
"Puas?!" Aku berteriak melampiaskan kemarahan pada Ian.
Ian nggak menjawab. Dibukakannya pintu mobil untukku lalu menunggu sampai aku masuk.
Kubanting pintu dengan keras tepat di hadapannya. Tapi seperti biasa lelaki yang tidak pernah tersenyum itu tetap tenang seakan emosi dan kemarahanku tidak berpengaruh apa-apa padanya.
***
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments