Ian berhenti di area parkir khusus kendaraan roda dua. Aku langsung meluncur turun dan bergegas pergi darinya sebelum dia mengikutiku.
Namun setelah beberapa langkah bau parfumnya terus tercium seakan sedang mengejarku.
Aku memutar tubuh ke belakang dan spontan berdecak melihat dia yang ternyata mengikutiku.
"Kok malah ikut? Tunggu aja di sini," larangku padanya. "Nggak ada Juna di sini," ucapku lagi kalau memang itu yang dikhawatirkannya.
Setelahnya aku bergegas pergi. Di sela-sela langkah aku berpikir apa sesungguhnya yang membuat Papi dan Mami sebegitu kerasnya untuk memberiku pengawal. Kalau mereka takut aku pacaran kebablasan, aku bisa kok menjaga diri. Masalahnya Ian itu sudah menjadi pengawal pribadiku sejak zaman SMP dulu. Yang mana saat itu aku belum punya pacar walau udah ngerti apa itu pacaran.
Gimana mau pacaran kalau tiap ada cowok yang main ke rumah Papi udah pasang tampang masam.
Gimana cowok-cowok mau mendekatiku kalau Ian nggak pernah lepas dari sisiku.
Setelah tamat SMU aku malah nggak boleh kuliah jauh-jauh. Dan syukurlah diterima di salah satu universitas terbaik di sini.
Saat aku mengatakan keinginan untuk kuliah di luar negeri Papi dan Mami nggak mengizinkan dengan alasan aku anak perempuan satu-satunya. Dan mereka nggak sanggup kalau harus berpisah denganku.
Sedangkan adik kembarku nggak perlu effort apa-apa—nggak pake acara ngambek, nggak pake mengurung diri di kamar berhari-hari—langsung di-ACC Papi untuk kuliah di luar negeri.
Belum lagi untuk pemilihan nama kami bertiga sebagai anak-anaknya. Kalau nama adikku kebarat-baratan, yaitu Summer dan Winter, namaku malah Indonesia banget.
Melodi Paradisa Evano.
"Melodi!"
Panggilan itu menghentikan langkahku. Bukan suara Ian melainkan dua sahabatku yaitu Anya dan Amanda.
Keduanya juga sedang berjuang menyelesaikan skripsi, sama sepertiku. Bedanya adalah Anya dan Amanda memiliki dosen pembimbing yang sama. Yang mudah ditemui dan nggak rewel seperti pembimbingku.
"Lo baru datang?" tanya Anya setelah langkah kami bertiga sejajar.
"Pak Braga kayaknya masih ada kelas deh," kata Amanda memberi informasi.
"Masih lama ya?" tanyaku.
"Ya mana gue tahu. Kan lo yang anaknya."
Kuhela napas panjang. Kalau Pak Braga masih di kelas itu artinya aku harus menunggu dia dulu sebelum berkesempatan bertemu dengannya. Dosenku yang satu itu memang payah. Mulai dari membuat janji temu sampai urusan teknis.
"Ian mana? Kok nggak ada sama lo? Biasanya kan kayak lem tikus." Anya keheranan karena Ian tidak bersamaku.
Aku berdecak. Para sahabatku memang tahu kalau aku nggak suka sama Ian.
"Ngapain sih nanyain dia?"
"Si Anya kangen dia, Melo." Amanda yang menjawab.
"Sana samperin kalau kangen."
Keduanya tertawa-tawa melihat ekspresi sebalku.
"Gue ke Pak Braga dulu, tapi kalian jangan balik ya. Tunggu gue di kantin."
"Sip!"
Kami berpisah di ujung koridor. Anya dan Amanda melesat ke kantin sedangkan aku menunggu di depan kelas tempat Pak Braga mengajar. Aku harus mengawalnya atau dia akan lolos.
Beberapa adik tingkat menyapaku. Di semester delapan ini teman-teman yang satu angkatan denganku sudah jarang kelihatan. Paling yang beredar di kampus hanya yang perlu berurusan dengan dosen dan skripsi.
"Bodyguard gantengnya mana, Kak?" tanya cewek berbaju merah yang aku lupa namanya. Semua orang tahu kalau aku punya pengawal.
"Ada di parkiran," jawabku apa adanya.
"Ih, masa ditinggalin sih, Kak, Mas Ian-nya? Ntar diambil orang lho!" seloroh si rambut pirang.
"Lagian Kak Melodi gitu sama bodyguard sendiri."
Apa maksudnya 'gitu'?
Aku tersenyum tanpa menanggapi dan berharap mereka cepat-cepat pergi dariku. Malas banget ngomongin Ian.
"Titip salam buat Mas Ian ya, Kak."
"Oke, ntar disampein."
Cewek-cewek adik tingkatku itu cekikikan kemudian berlalu pergi.
Akhirnya aku bisa menghela napas. Nggak ada bagus-bagusnya ngobrolin Ian. Kayak nggak ada yang lain yang bisa dibahas.
Lama menunggu, Pak Braga akhirnya selesai mengajar. Aku langsung mengejarnya. Aku diajak ke ruangannya dan mendapat bimbingan cukup lama sampai aku terkantuk-kantuk. Tapi aku puas karena akhirnya aku di-ACC melangkah ke bab selanjutnya.
Aku keluar dari ruangan Pak Braga dengan muka ceria. Anya dan Amanda masih di kantin saat kususul ke sana.
"Happy banget?" kata Anya mengomentari.
"Gimana nggak happy coba? Gue udah masuk bab dua!" kataku bersemangat.
"Yeay! Pantes dirayain tuh, Melo."
"Boleh, kita makan di mana?"
"Masa makan sih? Itu udah biasa."
"Terus?"
"Kita vacay. Pusing mikirin skripsi melulu. Sekali-kali otak juga kudu disegerin biar ide mengalir deras."
"Gue setuju." Amanda menjentikkan jari.
"Boleh, boleh." Aku juga setuju. "Kita ke mana?"
"Ke Bali yuk!" Anya mencetuskan ide.
"Jangan Bali dong," jawabku keberatan. Bagiku ke Bali bukan liburan melainkan pulang ke rumah karena nenek kakekku serta om dan tanteku bermukim di sana.
"Lombok deh Lombok." Amanda melontarkan usul lain.
"Sama aja sih. Nggak bisa yang jauhan dikit apa? Ke Tokyo kek, Maldives kek."
"Atau Thailand," timpal Amanda.
"Nah itu gue setuju."
"Biar lebih seru kita bawa Alva sama Juna."
"Boleh, boleh!" sahutku cepat sambil tersenyum lebar.
Akhirnya aku bisa menikmati waktu berdua dengan Juna tanpa gangguan Ian.
"Terus gue gimana dong? Masa jadi obat nyamuk?" Anya memberengut. Di antara kami hanya dia satu-satunya yang nggak punya pacar.
"Siapa suruh lo nggak punya pacar?" ujarku yang membuat muka Anya semakin masam.
Aku dan Amanda puas menertawainya.
Setelah berdiskusi kami sepakat untuk liburan ke Phuket.
"Tapi gue harus nanya dulu sih Juna bisanya kapan, dia kan kerja," kataku sambil mengeluarkan ponsel. Sedangkan Amanda nggak perlu repot-repot karena Alva pacarnya masih mahasiswa seperti kami.
Nggak ada chat apalagi telepon dari Juna. Pesanku sudah terkirim tapi nggak dibaca. Tandanya dia masih marah.
"Kenapa lagi sih, Melo?" tanya Anya mendengar decakanku.
Aku menghela napas lalu menceritakan tentang kejadian kemarin yang membuatku sakit hati setengah mati pada Ian.
"Menurut gue sih Ian udah kelewatan." Amanda menyatakan pendapatnya setelah aku selesai 'mendongeng'.
"Nggak bisa gitu dong," sanggah Anya nggak setuju. "Ian kan cuma melaksanakan tugas sebagai bodyguard-nya Melodi. Jadi wajar kalau dia ikut ke mana-mana."
"Tapi ya, Nya, yang namanya bodyguard cukup menjaga. Nggak perlu sampe ikut campur. Segala Melodi lagi pacaran juga dibuntutin. Apa salahnya kalau Ian ngilang dulu bentar sampe Melodi selesai."
"Itu tandanya Ian orang yang bertanggung jawab."
"Tapi kalau bikin Melodi jadi nggak nyaman gimana?"
"Kalau emang sahabat kita ini ngerasa nggak nyaman, nggak mungkin dong Ian jadi bodyguard-nya sampe delapan apa sembilan tahun gitu."
Anya dan Amanda terus berdebat. Anya kukuh dengan pembelaannya pada Ian. Sedangkan Amanda tampaknya mulai memahami apa yang kurasakan.
"Udah hei, jangan buang-buang energi ngeributin orang itu." Aku mencegah keduanya agar diam. "Abis ini kalian ke mana?"
"Gue kencan sama Alva," jawab Amanda.
"Kalau gue langsung pulang." Anya menimpali.
"Gue nebeng sama lo sampe kantor Juna ya, Nya?"
"Ian gimana?"
"Biarin."
Anya hanya geleng-geleng kepala. Coba kalau dia yang berada di posisiku.
Keluar dari kantin aku mengendap-endap berjalan lalu masuk ke mobil Anya. Syukurlah area parkir kendaraan roda dua dan roda empat tidak terlalu rapat. Aku yakin jika Ian nggak tahu aku meninggalkannya. Tunggu aja di sana sampai lumutan. Biar mampus.
"Kasihan Ian lho, Melo." Anya menatapku yang duduk di sebelahnya sementara dia menyetir. Barusan aku menceritakan soal Ian yang menunggu di parkiran motor.
"Udah ah. Gue capek dikawal melulu."
"Lo kok benci banget sih sama dia? Apa kurangnya coba? Udah baik, cakep, nggak banyak omong. Kalau gue sih bersyukur jadi lo, Melo."
Aku mendengkus mendengar pujian Anya untuk Ian. Itu karena dia nggak jadi aku. Coba kalau dia beneran berada di posisiku maka aku yakin Anya juga akan mengeluh.
"Lo udah pernah tanya belum sama bokap nyokap kenapa lo harus dikawal?"
"Udah ribuan kali gue tanya dan alasan mereka karena gue anak perempuan satu-satunya dan gue sangat istimewa," kataku mengulangi jawaban Papi.
"Menurut gue pasti ada sesuatu yang bikin mereka khawatir sampai lo harus dijaga ketat. Bisa jadi ada peristiwa traumatis atau apa yang bikin orang tua lo takut." Anya sok berasumsi.
"Nggak ada apa-apa. Gue bahagia dari kecil," jawabku menampik. "Palingan mereka aja yang lebay karena terlalu sayang sama gue."
Anya tersenyum mendengar jawabanku. "Dan harusnya lo bersyukur banyak-banyak. Nggak kayak gue."
"Iya, gue bersyukur kok."
Aku memang sangat mensyukuri apa pun yang kumiliki dalam hidupku. Orang tua dan keluarga yang sayang padaku. Harta dan materi yang berlimpah. Teman-teman yang baik. Semua. Kecuali kehadiran Ian yang tak pernah kuharapkan. Bagiku dia adalah mimpi paling buruk yang menjadi kenyataan.
Anya menurunkanku di depan kantor Juna. Aku langsung masuk ke dalam gedung. Setelah melapor pada resepsionis aku diminta untuk menunggu dulu. Agak lama barulah Juna muncul. Aku nggak tahu dia sengaja atau karena sedang banyak pekerjaan.
Aku berdiri dari kursi dan memberi senyum manis pada Juna. Tapi dia nggak membalas. Dia masih marah ternyata.
"Jun, aku minta maaf soal kemarin," ucapku to the point.
"Kamu sama siapa?" tanya Juna ketus mengabaikan permohonanku.
"Sendiri."
"Sendiri?" ulang Juna tak percaya. Matanya menyipit menatapku.
"Tadi aku nebeng sama Anya terus dia langsung pergi."
"Bodyguard sialan kamu itu mana?"
"Dia nggak ikut. Pokoknya kamu tenang aja. Hari ini kita bebas, nggak bakal ada yang mengganggu." Aku tersenyum sekali lagi tapi sikap Juna masih sekeras sebelumnya. "Jun, ayolah, udahan marahnya." Aku menggoyangkan tangan Juna. "Makan siang yuk."
"Aku sibuk. Banyak kerjaan."
"Oh, nggak bisa ya?" Aku merasa kecewa, pasalnya jarang-jarang kami bisa berdua. "Tapi aku ke sini juga mau bawa kabar bagus untuk kamu."
"Apa?" tanya Juna tanpa minat.
"Jadi tadi aku ke kampus ketemu Anya sama Manda. Mereka ngajak vacay ke Phuket. Kita perginya berlima. Aku, kamu, Anya, Manda sama pacarnya. Mau nggak?"
"Cuma kita?" Juna mengonfirmasi. Dia mulai bersemangat. Wajahnya melunak dan sikapnya tidak lagi seketus tadi.
"Iya, cuma kita."
Bibir Juna melengkungkan senyum.
"Mau nggak, Jun?"
"Kapan?"
"Tergantung kamu bisanya kapan. Kamu bisa cuti dua atau tiga hari gitu? Atau kita pergi pas weekend."
"Bisa dong. Bisa diatur. Itu gampang, Melo."
Aku tersenyum senang. Akhirnya aku bisa melepaskan diri dari neraka bernama Ian.
"Makan siang yuk!"
"Lho, katanya tadi banyak kerjaan," ujarku heran.
"Itu bisa nanti-nanti." Juna tertawa lalu merangkul punggungku keluar dari kantor.
Ponsel Juna tiba-tiba berbunyi sebelum kami masuk ke mobil. Dia mengambilnya dari dalam saku.
"Bentar ya, dari Mama."
Kuanggukkan kepala. Aku harap Tante Evelyn nggak meminta Juna nemenin ke mana-mana atau menyuruh melakukan sesuatu. Aku nggak mau rencana makan siang kami gagal.
Juna menerima telepon dan bicara serius dengan mamanya. Juna pernah mengenalkanku padanya. Tapi gerak-gerikku nggak leluasa karena ada Ian. Gimana mau mengambil hati calon mertua kalau begini caranya?
Selagi menunggu Juna menelepon aku menatap ke sekeliling. Terkejut ketika menemukan sepeda motor warna merah yang eye catching berada di seberang jalan.
Ian ada di sini!
Sialan. Bagaimana bisa dia tahu keberadaanku? Siapa yang membocorkannya? Nggak mungkin Anya. Anya nggak punya nomor handphone Ian. Apalagi Amanda.
Dengan cepat kuambil hp lalu mengirim pesan dengan caps lock.
"AKU SAMA JUNA MAU MAKAN SIANG. JANGAN SAMPAI MUNCUL DI DEPANKU DAN JUNA. KALAU SAMPAI JUNA TAHU DAN KAMI BERTENGKAR LAGI, AKU BAKAL BIKIN PAPI MEMECAT KAMU BAGAIMANAPUN CARANYA!
***
Dari seberang jalan aku melihat Ian mengambil ponselnya dari dalam saku lalu menekuri benda itu beberapa saat. Aku yakin dia sedang membaca pesanku. Bagus. Semoga dia paham dan nggak banyak tingkah."Ayo, Melo!"Suara Juna memutus perhatianku pada Ian. Aku cepat-cepat menoleh sebelum Juna sadar sejak tadi aku memerhatikan Ian. Bisa gawat kalau Juna tahu Ian ada di sini. Dia bisa marah dan hubungan kami yang baru akan membaik memburuk lagi.Aku masuk ke mobil. Saat mobil yang dikendarai Juna meninggalkan halaman kantor aku nggak melihat Ian di tempatnya tadi. Dia sudah pergi. Aku yakin dia pasti takut setelah kuancam tadi. Tentu saja dia nggak akan mau kehilangan gaji dan fasilitas yang diberikan Papi padanya selama ini. Aku yakin kalau dia bekerja dengan orang lain belum tentu akan mendapat yang selama ini diperolehnya dari orang tuaku."Melo, emangnya orang tua kamu ngizinin kita pergi vacay?" tanya Juna yang sedang menyetir."Mereka belum tahu tapi aku pasti diizinin kok," kataku pe
Aku baru saja mendapat kabar dari Juna bahwa dia diizinkan cuti hari Kamis dan Jumat ini. Itu artinya rencana kami untuk liburan akan segera terealisasi.Dengan tidak sabar aku keluar dari kamar untuk menemui Mami dan Papi. Keduanya seperti biasa sedang santai di ruang keluarga.Mami sedang mengupas mangga sedangkan Papi kebagian tugas menghabiskannya. Di depan mereka televisi berada dalam keadaan mati.Aku membuat batuk yang membuat keduanya sontak menoleh padaku."Eh, ada anak gadis. Sini, Nak, mau mangga?" tanya Papi padaku.Aku tersenyum lalu mengambil seiris setelah duduk di dekat keduanya."Ian mana, Melo?""Mana aku tahu. Lagian Mami Ian mulu yang ditanya." Aku mendelik sebal pada Mami.Mami tertawa. "Kan biasanya kamu sama Ian. Kamar kalian juga hadap-hadapan.""Tapi bukan berarti aku tahu. Emang aku istrinya apa?""Oh, jadi Melodi mau jadi istrinya Ian?" sambar Papi."Apaan sih, Pi?" Aku bersungut-sungut marah.Papi dan Mami kompak tertawa tanpa peduli pada perasaanku."Jadi
Aku berusaha keras membujuk Papi dan Mami agar mengizinkanku pergi tanpa Ian. Tapi seperti sudah ditebak semua orang pasti tahu apa jawabannya. Mami dan Papi sudah nggak bisa digoyahkan walaupun aku merengek-rengek. Mereka memberiku pilihan. Tetap beribur tapi dengan Ian atau tidak sama sekali."Gue sih nggak apa-apa kalau Ian mau ikut." Itu komentar Anya saat aku berkeluh kesah."Selama Ian nggak bikin ketenangan kita terganggu gue juga nggak masalah. Tapi masalahnya Juna bisa terima nggak?" Amanda menatapku ragu."Itu dia yang lagi gue pikirin. Juna pasti ngamuk kalau tahu."Sejauh ini aku belum memberitahu Juna mengenai hal tersebut. Aku belum siap untuk bertengkar lagi dengan dia."Satu-satunya jalan lo harus jujur. Bilang sama Juna kalau Ian juga bakalan ikut," kata Anya memberi solusi. Tapi bagiku itu bukanlah solusi tapi cari mati."Gue nggak mungkin sejujur itu. Kalau Juna tahu, dia pasti nggak mau pergi."Aku sudah membayangkan liburan yang menyenangkan bersama pria yang kuci
Kamis pagi aku bersiap-siap untuk pergi. Kami berlima berjanji berangkat dari rumah masing-masing lalu bertemu di bandara.Sampai sejauh ini aku belum memberitahu Juna mengenai Ian. Dan aku harap Juna nggak tantrum ketika melihat Ian nanti."Jaket sama vitamin udah, Melo?" tanya Mami sekali lagi sebelum aku berangkat. Entah sudah berapa kali Mami mengingatkan padaku mengenai hal yang sama."Udah, Mi. Semua udah di dalam tas. Obat-obatan juga.""Pembalut, minyak kayu putih sama botol air mineral?""Udah juga."Mami memang sedetail itu. Selalu menyuruhku menyiapkan hal-hal yang nggak pernah kupikirkan sebelumnya."Kalau udah nyampe kabari Mami secepatnya.""Siap, Mi." Padahal aku tahu tanpa kukabari pun Ian pasti lebih dulu memberi kabar."Nggak ada ya ceritanya tidur sekamar." Ekspresi lembut Mami berubah keras saat mengingatkanku."Iya, Mi, aku dan Juna pisah kamar kok.""Pokoknya awas kalau sampai kejadian, nanti Papi gantung."Aku tertawa mendengar selorohan Papi. Mana berani Papi
Juna bukanlah pacar pertamaku. Banyak laki-laki yang hadir sebelumnya dalam hidupku. Tapi dengan Junalah hubunganku yang paling lama. Para kekasihku sebelumnya tidak pernah ada yang bertahan lebih dari enam bulan. Penyebabnya hanya satu. Mereka merasa tidak nyaman lantaran Ian mengekoriku ke mana-mana. Dengan segala keadaanku itu akhirnya aku dilabeli sebagai anak orang kaya yang manja. Terakhir labelku bertambah sebagai gadis yang lemah karena tidak sanggup membantah keinginan orang tua.Aku nggak tahu apa cerita cintaku kali ini juga akan selesai. Aku belum siap kehilangan Juna. Perasaan cintaku padanya melebihi perasaan pada para mantanku yang lain. Dengan Junalah aku mulai serius menjalin hubungan dan berharap dia menjadi pria terakhir dalam hidupku.Mungkin terlalu dini untuk bicara mengenai pernikahan. Tapi baru dengan Juna aku berpikir ke arah itu. Juna memiliki hampir segalanya. Fisik yang menawan, pekerjaan tetap sampai kondisi finansial yang mapan. Walau tidak kupungkiri Jun
Phuket menyambut kami dengan keindahannya ketika tiba di sana. Menurut rencana, aku, Amanda, dan Anya satu kamar bertiga. Sedangkan Ian, Juna dan Alva mengambil kamar sendiri-sendiri. Mereka nggak seakrab itu untuk di ditempatkan dalam satu ruangan bersama.Setiba di kamar aku langsung menghempaskan tubuh ke kasur lalu mengambil ponsel dari dalam tas. Sesuai pesan Mami aku akan mengabarinya."Indah banget pemandangannya," celetuk Anya yang berdiri di dekat jendela. Kamar kami menghadap ke pantai.Aku nggak tahu apa yang dilakukan Amanda sampai dia nyeletuk. "Guys, gue nggak di sini ya?"Aku mengangkat wajah dari layar ponsel lalu menatap Amanda. "Lo mau ke mana emang?"Anya memalingkan wajah dari jendela lalu ikut memerhatikan Amanda.Amanda terbatuk lalu mendekatiku. Duduk di tepi tempat tidur tempatku berbaring."Melo, Nya, gue di kamarnya Alva ya?""Maksud lo? Ngapain di sana?" Aku belum paham apa yang akan dilakukan Amanda di kamar kekasihnya."Maksud gue tuh sekamar sama Alva.
Aku terbangun dari lelap dan menyadari sudah tidur berjam-jam lamanya. Samar-samar suara debur ombak terdengar oleh telingaku. Tidak ada Anya di kamar. Aku memeriksa ponsel dan mendapati ada pesan dari Anya. Dengan cepat kubalas pesan itu. Anya: Melo, gue, Manda, Alva sama Juna ke luar, sekalian makan. Me: Gue kok ditinggal? Anya: Sorry, tadi lo bilang capek banget, jadi gue nggak tega mau ngebangunin. Me: Juna lagi ngapain? Anya: Cowok lo lagi selingkuh sama ladyboy. Hahaha ... Sebuah gambar masuk ke ponselku dua detik setelahnya. Foto Juna dan cewek jadi-jadian. Juna tertawa sambil merangkul perempuan itu. Sekilas terlihat cewek itu seperti perempuan betulan. Aku mendengkus kesal. Bisa-bisanya Juna meninggalkanku sendiri di sini hanya untuk menikmati hiburan malam dengan manusia separuh matang. Aku meneleponnya tapi Juna nggak menjawab panggilan dariku. Begitu juga saat ku-chat dia, Juna nggak membacanya. Mungkin terlalu asyik di sana. Dengan perasaan jengkel aku kelua
Aku nggak tahu berapa lama berada di pelukan Ian. Yang kutahu adalah aku harus melepaskan diri darinya secepat mungkin.Seakan baru saja ditampar kesadaran kudorong dada Ian agar menjauh dariku. Dia terkejut karena aksi impulsifku tapi terlalu pandai mengatur ekspresinya."Aku belum makan, lapar," ucapku cepat."Tempat makannya di sana." Ian menunjuk arah lain yang berlawanan dengan tujuanku tadi.Dia mengajakku pergi. Aku berjalan di sebelahnya. Ketakutan masih menggayutiku. Jadi aku merapatkan badan padanya.Ian berpostur tinggi. Puncak kepalaku berada tepat di bawah dagunya. Sedangkan jika dibandingkan dengan Juna maka tinggiku adalah setelinganya. Dengan kata lain Ian lebih tinggi dari Juna."Sejak kapan kamu ada di belakangku?" Aku menanyakannya sembari kaki kami terus melangkah.Ian nggak menjawab hingga aku merasa perlu memandang padanya."Hei, dengar aku ngomong nggak sih? Kamu ngikutin aku ya?""Itu sudah jadi tugasku," jawabnya pelan. Entah kenapa selalu ada aura dingin yan