Share

Kekhawatiran Mami

Aku berusaha keras membujuk Papi dan Mami agar mengizinkanku pergi tanpa Ian. Tapi seperti sudah ditebak semua orang pasti tahu apa jawabannya. Mami dan Papi sudah nggak bisa digoyahkan walaupun aku merengek-rengek. Mereka memberiku pilihan. Tetap beribur tapi dengan Ian atau tidak sama sekali.

"Gue sih nggak apa-apa kalau Ian mau ikut." Itu komentar Anya saat aku berkeluh kesah.

"Selama Ian nggak bikin ketenangan kita terganggu gue juga nggak masalah. Tapi masalahnya Juna bisa terima nggak?" Amanda menatapku ragu.

"Itu dia yang lagi gue pikirin. Juna pasti ngamuk kalau tahu."

Sejauh ini aku belum memberitahu Juna mengenai hal tersebut. Aku belum siap untuk bertengkar lagi dengan dia.

"Satu-satunya jalan lo harus jujur. Bilang sama Juna kalau Ian juga bakalan ikut," kata Anya memberi solusi. Tapi bagiku itu bukanlah solusi tapi cari mati.

"Gue nggak mungkin sejujur itu. Kalau Juna tahu, dia pasti nggak mau pergi."

Aku sudah membayangkan liburan yang menyenangkan bersama pria yang kucintai. Lalu ketika tiba-tiba dibatalkan secara mendadak rasanya seperti dibangunkan dari mimpi indah sebelum mimpi tersebut sempat selesai.

“Terus gimana?”

Aku mengedikkan bahu tanpa mampu menjawab. Karena aku memang nggak tahu harus bagaimana. Aku tetap ingin pergi liburan tapi bersama Juna.

Ada hening yang menjadi jeda. Kami bertiga membisu tapi berisik di kepala masing-masing.

Rencana liburan kami nggak boleh gagal. Juna tetap harus ikut walau bagaimanapun caranya.

"Apa gue cancel bawa Alva terus kita pergi bertiga?" celetuk Amanda tiba-tiba.

"Nggak usah. Alva tetap ikut dan Juna juga," jawabku.

"Jadi lo bakalan jujur sama Juna?"

Kugelengkan kepala menidakkan dugaan Amanda.

"Gue nggak bakal bilang apa-apa."

"Jadi lo mau bohongin Juna?" sela Anya.

"Nggak bohong juga kali, gue cuma nggak bilang. Itu aja kok."

"Sama aja kali. Intinya Juna nggak tahu kalau Ian juga ikut. Dan menurut gue jatuhnya bakal lebih sakit."

Aku akui yang dikatakan Anya tidak salah. Tapi mau gimana lagi. Aku nggak mau Juna batal ikut dan marah padaku. Jadi hanya ini satu-satunya langkah yang bisa kutempuh.

***

Aku sedang memilih-milih baju yang akan kubawa ketika Mami masuk ke kamar lalu duduk mengamati pergerakanku.

Aku menatap Mami sekilas dan menunggu apa yang ingin disampaikannya. Namun Mami nggak berkata apa-apa sehingga aku pun melanjutkan aktivitasku.

"Sunglasses check, camera check, bikini check." Aku mengabsen satu per satu sambil memeriksa ulang barang-barang yang akan kubawa lusa.

Kudengar embusan napas Mami yang membuatku seketika menoleh padanya.

"Kenapa, Mi?" Aku yakin embusan napas berat barusan tidak terlontar dengan begitu saja. Pasti ada sesuatu.

"Melo, apa nggak bisa destinasinya diubah?"

Ucapan Mami membuatku menatap serius padanya.

"Diubah ke mana, Mi?"

"Ke mana aja asal jangan ke daerah pulau gitu."

"Memangnya kenapa nggak boleh, Mi?"

"Bukan nggak boleh, tapi emang kamu nggak bosan ke tempat yang ada pantainya melulu?"

"Nggak. Aku malah suka, nggak pernah ada bosannya."

Aku sangat menyukai pantai. Apa pun bisa kulakukan di sana. Mulai dari berenang, menyelam sampai island hopping. Berbeda denganku, Mami malah nggak suka pantai sama sekali. Begitu pun dengan Papi. Mereka selalu menghindari tempat-tempat yang ada pantainya.

Mami membisu sementara tatapannya terus tertuju padaku. Selalu begini setiap kali Mami akan melepasku pergi jauh. Selalu ada drama sedih seolah aku nggak akan kembali. Padahal aku hanya pergi beberapa hari.

Aku bangkit dari tempatku lalu duduk di dekat Mami. Kutatap ibuku itu lekat-lekat. Setiap inci garis wajahnya tidak luput dari pengawasan mataku. Percayalah. Meski umurnya sudah banyak tapi Mami terlihat seperti baru berusia empat puluhan. Mami cantik dan awet muda.

"Mi, udah dong! Nggak usah pasang muka sedih kayak gini terus. Masa tiap aku mau pergi ngelepasnya pake mata berkaca-kaca. Lagian aku berangkatnya lusa bukan besok. Aku juga nggak lama. Minggu aku udah di sini lagi."

"Kamu nggak akan ngerti perasaan Mami, Melodi."

Ternyata jadi anak perempuan satu-satunya tidak selamanya membuatku bahagia. Berkali-kali aku dihadapkan pada kekhawatiran Mami yang nggak beralasan. Aku sering iri pada teman-temanku atau para sepupu perempuan. Hidup mereka begitu bebas. tidak sepertiku yang masih diperlakukan bagai anak berumur sepuluh tahun.

"Apa sih yang Mami khawatirkan? Kalau udah takdirnya mati cepat ya mati aja, Mi. Lagian aku kan udah setuju Ian ikut denganku. Jadi ya udahlah. Aku janji bakal jaga diri baik-baik. Aku nggak akan aneh-aneh. Gini-gini aku juga tahu batas, Mi."

Mami tersenyum mendengar ucapanku lalu membawa ke dalam pelukannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status