Share

Meminta Izin

Aku baru saja mendapat kabar dari Juna bahwa dia diizinkan cuti hari Kamis dan Jumat ini. Itu artinya rencana kami untuk liburan akan segera terealisasi.

Dengan tidak sabar aku keluar dari kamar untuk menemui Mami dan Papi. Keduanya seperti biasa sedang santai di ruang keluarga.

Mami sedang mengupas mangga sedangkan Papi kebagian tugas menghabiskannya. Di depan mereka televisi berada dalam keadaan mati.

Aku membuat batuk yang membuat keduanya sontak menoleh padaku.

"Eh, ada anak gadis. Sini, Nak, mau mangga?" tanya Papi padaku.

Aku tersenyum lalu mengambil seiris setelah duduk di dekat keduanya.

"Ian mana, Melo?"

"Mana aku tahu. Lagian Mami Ian mulu yang ditanya." Aku mendelik sebal pada Mami.

Mami tertawa. "Kan biasanya kamu sama Ian. Kamar kalian juga hadap-hadapan."

"Tapi bukan berarti aku tahu. Emang aku istrinya apa?"

"Oh, jadi Melodi mau jadi istrinya Ian?" sambar Papi.

"Apaan sih, Pi?" Aku bersungut-sungut marah.

Papi dan Mami kompak tertawa tanpa peduli pada perasaanku.

"Jadi skripsi Melodi udah sampai mana?" tanya Papi setelah tawanya reda.

Kekesalanku luntur perlahan. Mumpung Papi menyinggung soal skripsi aku bisa langsung masuk menyampaikan maksudku.

"Udah disuruh lanjutin sampai bab dua, Pi."

"Wuih keren. Bisa dong wisuda tahun ini."

Senyum yang terbingkai di bibir Papi membuatku bahagia.

"Mudah-mudahan ya, Pi. Tapi masalahnya sekarang inspirasi lagi ngadat. Aku butuh refreshing biar idenya mengalir lancar."

"Ya refreshing aja," sahut Papi ringan.

"Berarti boleh, Pi?" tanyaku hati-hati.

"Ya bolehlah. Masa anak gadis mau senang-senang nggak boleh."

Aku tersenyum lega mendengar jawaban Papi.

"Ke Phuket ya, Pi?"

Sontak saja Papi terdiam lalu saling bertukar tatap dengan Mami.

"Kenapa harus ke Phuket sih, Melo? Ke Bali kan bisa." Mami yang bicara.

"Yaelah, Mi, masa Bali melulu, aku kan bosan."

"Lakeizia sama Julia kok nggak bosan? Mereka tinggal di sana padahal."

"Astagaaaa ...," ucapku gemas ketika Mami menyebut nama sepupuku.

Mami dan Papi tertawa bersamaan sambil memandangku yang memberengut.

"Emang siapa aja yang pergi?" tanya Papi.

"Bertiga, Pi, sama Anya dan Manda." Aku terpaksa berbohong. Aku nggak yakin Papi akan mengizinkan kalau tahu para kekasih kami juga ikut.

"Nggak ada yang lain?" tatap Mami penuh selidik.

"Yang lain siapa, Mi?" Aku balas bertanya.

"Juna nggak ikut?"

Aku akui insting Mami sebagai seorang ibu sangat kuat.

"Emang boleh, Mi?"

"Ya enggak lah!" jawab Mami tegas.

"Tapi rencananya Manda mau bawa pacar."

"Terus Melodi juga mau ngajak Juna?"

Aku mengangguk pelan-pelan. Kepalang tanggung. Nanti juga bakal ketahuan.

Mami mengembuskan napasnya sambil memandang Papi, meminta pertimbangan.

"Kalau Melodi mau liburan, Papi izinin termasuk sama Juna."

"Serius, Pi?" tanyaku bersemangat.

"Serius. Dengan satu syarat. Ian juga harus ikut."

"Apa, Pi? Yang benar aja dia juga ikut! Aku kan mau liburan, bukan mau kuliah!"

"Justru itu makanya. Kamu hanya kuliah perlu dikawal apalagi kalau pergi jauh."

Lalu Papi mengambil hp di atas meja dan menelepon.

"Ian, ke sini sebentar," suruh Papi.

Hanya dalam waktu satu menit Ian sudah berada di hadapan kami. Aku udah nggak ngerti tadi dia jalan atau terbang.

"Ian, Melodi mau liburan sama teman-temannya. Ada Juna juga. Kamu temani dia ya," kata Papi memberi instruksi tanpa peduli padaku yang cemberut sambil bersedekap.

Aku menatap Ian dengan tajam sambil mengirim perintah melalui mata agar dia menolak perintah Papi.

Tapi yang kemudian kudengar adalah, "Baik, Om," yang diucapkan dengan wajah datar dan tanpa dosa.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status