Share

Dia Bukan Manusia

Dari seberang jalan aku melihat Ian mengambil ponselnya dari dalam saku lalu menekuri benda itu beberapa saat. Aku yakin dia sedang membaca pesanku. Bagus. Semoga dia paham dan nggak banyak tingkah.

"Ayo, Melo!"

Suara Juna memutus perhatianku pada Ian. Aku cepat-cepat menoleh sebelum Juna sadar sejak tadi aku memerhatikan Ian. Bisa gawat kalau Juna tahu Ian ada di sini. Dia bisa marah dan hubungan kami yang baru akan membaik memburuk lagi.

Aku masuk ke mobil. Saat mobil yang dikendarai Juna meninggalkan halaman kantor aku nggak melihat Ian di tempatnya tadi. Dia sudah pergi. Aku yakin dia pasti takut setelah kuancam tadi. Tentu saja dia nggak akan mau kehilangan gaji dan fasilitas yang diberikan Papi padanya selama ini. Aku yakin kalau dia bekerja dengan orang lain belum tentu akan mendapat yang selama ini diperolehnya dari orang tuaku.

"Melo, emangnya orang tua kamu ngizinin kita pergi vacay?" tanya Juna yang sedang menyetir.

"Mereka belum tahu tapi aku pasti diizinin kok," kataku percaya diri.

"Kok pede banget? Aku nggak yakin anak manja kayak kamu bakal diizinin pergi sejauh itu," ledek Juna.

Aku sontak mendelik. Nggak suka pada ledekannya. "Aku nggak manja ya!" ujarku tidak suka.

"Bukan hanya manja tapi lemah," dengkus Juna menjadi-jadi merendahkanku. Hanya karena aku selalu dikawal dengan seenaknya dia melabeliku begitu.

Karena tidak ingin bertengkar aku mengalihkan pembicaraan.

"Jun, gimana menurut kamu kalau kita menikah?"

Juna refleks memandang padaku dengan keheranan yang kentara.

Aku buru-buru menjelaskan agar dia mengerti. "Maksudku nggak sekarang. Tapi nanti setelah aku wisuda."

"Ngapain sih buru-buru nikah?" Dari tanggapannya aku yakin Juna nggak setuju dengan rencanaku.

"Kalau kita menikah aku bisa lepas dari Ian. Aku nggak perlu dikawal lagi. Soalnya itu satu-satunya syarat yang diajukan Papi."

"Melodi, dengar baik-baik. Kamu hanya perlu tegas sama papimu yang diktator itu. Kalau kamu mau ngelawan ini semua nggak akan terjadi. Masalahnya kamu kan lemah,” ujar Juna dengan nada meledek.

Aku benci dibilang lemah. Aku nggak lemah. Aku hanya nggak bisa membuat Papi memberhentikan Ian. Itu saja.

"Jadi kamu nggak mau kita menikah?" Aku ingin tahu apa Juna benar-benar serius denganku.

"Bukan nggak mau, tapi pernikahan itu nggak semudah menyebutnya, Melo. Banyak hal yang harus dipikirkan. Lagian kita masih muda. Aku nggak mau ngurus anak, dibangunin tengah malam disuruh ganti popok, inilah, itulah," racau Juna tidak setuju.

"Kita kan bisa menunda dulu, Jun. Aku juga nggak mau buru-buru punya anak. Yang penting kita nikah dulu. Itu aja kok."

Juna berdecak. "Kapan-kapan kita bicarain lagi," pungkasnya menutup pembicaraan.

Aku menatap Juna dengan perasaan kecewa. Kenapa dia nggak ngerti perasaanku? Kenapa dia nggak paham juga bahwa aku tersiksa dengan keadaanku saat ini?

***

Aku pikir Ian benar-benar mematuhi perintahku. Tapi apa yang kutemukan? Aku melihatnya mengikuti beberapa meter di belakang mobil Juna. Kurang sialan apa lagi dia?

Pokoknya awas saja. Kalau sampai menampakkan diri di hadapanku dan Juna, aku nggak akan kasih ampun.

Begitu Juna membelokkan mobil memasuki area restoran aku masih belum melepaskan pandangan dari Ian melalui kaca spion.

Syukurlah dia tidak ikut masuk. Tapi berbelok ke dalam SPBU yang berada di seberang restoran.

Makan siang kali ini berlangsung lancar. Tanpa ada gangguan apa-apa. Jarang-jarang aku bisa berdua seperti sekarang dengan Juna.

"Bodyguard kamu mana? Kok nggak ikut?" Juna menanyakannya di sela-sela makan siang kami.

"Giliran ada dia kamu bete. Sekarang dia udah nggak ada kamu kehilangan."

"Aneh aja sih. Tumben."

"Tadi dia nganterin aku ke kampus. Terus aku suruh tunggu di parkiran. Pulangnya aku kabur nggak bilang dia dulu. Aku nebeng mobil Anya."

Juna tersenyum senang. "Gitu kan bagus. Nggak usah terlalu lurus jadi orang, segala gerak-gerik kamu pake dilaporin ke dia."

Melihat wajahnya kembali ceria aku juga bahagia. Aku lelah bertengkar hampir setiap hari dengan Juna.

"Jun, abis ini nonton yuk. Tempo hari kita kan nggak jadi nonton."

"Duh, Sayang, aku nggak bisa. Aku kan harus kerja. Mana hari Senin," jawab Juna menolak ajakanku.

"Nggak bisa emang izin dua jam, tiga jam?" pintaku penuh harap.

"Nggak bisa, Melodi. Aku harap kamu nggak lupa kalau aku bukan mahasiswa lagi. Aku nggak bisa bolos dan nipu dosen kayak dulu. Izinnya ke toilet tapi nggak balik-balik. Lagian aku juga harus nyelesaiin tugas-tugasku dulu biar nanti izin cutinya gampang," jelas Juna menerangkan alasannya.

Aku terpaksa mengalah lantaran Juna sudah bawa-bawa cuti. Kupikir ada benarnya juga. Kalau nanti pekerjaannya nggak selesai dan Juna nggak dikasih cuti kan aku juga yang rugi.

"Kapan-kapan kita kan masih bisa nonton," kata Juna membujukku sembari tangannya mengelus pundakku. Sedangkan tangannya yang lain menyendok nasi. Aku memang duduk di sebelahnya, bukan berhadapan dengannya. "Lagian aku lebih suka liburan sama kamu daripada nonton yang hanya beberapa jam, udah gitu masih diikuti bodyguard sialanmu itu," ucap Juna penuh kebencian. "Kalau kita liburan bareng kita punya banyak waktu dan bebas mau ngelakuin apa aja." Juna menatapku mesra sambil tersenyum.

Aku membalas senyuman Juna sembari membayangkan betapa indahnya liburan kami nanti.

"Tapi kita pergi hanya berlima kan, Melo? Bodyguard kamu nggak ikut kan?"

"Ya nggak lah! Ngapain dia ikut?" Aku mendadak sewot.

"Bagus." Juna tersenyum lagi. Begitu pun aku. 

Aku sudah nggak sabar menunggu hari itu tiba. Di mana kami hanya berdua tanpa mata-mata.

Aku dan Juna melanjutkan sisa makan siang dalam keheningan. Saat makanan kami tinggal sedikit lagi, hp Juna bernyanyi. Dia langsung menjawab saat tahu itu adalah panggilan dari atasannya.

"Melo, sorry ya, aku nggak bisa nganterin kamu ke rumah. Aku disuruh nyusul Pak Bos ketemu klien. Nggak apa-apa kan?" kata Juna padaku setelah selesai menerima telepon.

"Nggak apa-apa."

"Tapi jangan suruh bodyguard kamu menjemput. Pake taksi aja."

"Iya." Aku juga nggak mau pulang sama Ian. Itu orang pasti bakal besar kepala kalau aku meneleponnya dan meminta dia datang. Dia akan merasa dibutuhkan.

Setelah kami selesai makan Juna pamit duluan, meninggalkanku sendiri di depan restoran.

Aku memesan taksi melalui aplikasi. Tapi entah kenapa setelah lama menanti nggak ada satu pun yang mau mengambil orderanku. Entah karena saat ini berada pada jam sibuk. Atau karena aku sedang sial. Di saat-saat seperti ini Ian malah nggak muncul. Padahal aku sangat membutuhkannya. Ingin menelepon tapi sekali lagi aku nggak mau membuatnya besar kepala. Sebisa mungkin aku harus menunjukkan padanya kalau aku bisa melakukan apa-apa sendiri. Aku nggak butuh dia. Yang harus kulakukan sekarang adalah bersabar menunggu sampai ada driver yang mau menjemputku.

Suara klakson tiba-tiba mengagetkan. Aku pikir taksi yang datang. Tapi ternyata aku salah. Ian yang muncul.

Aku bergeming di tempat sembari memandang ke arah lain. Kubiarkan dia tetap berada di atas motor.

Karena nggak kurespon, Ian membuka kaca helm lalu menatapku. "Ayo pulang sekarang, Melodi."

"Kapan sih kamu bakalan ngerti? Masih kurang jelas kata-kataku tadi? Udah kubilang jangan muncul di hadapanku dan Juna!"

"Kamu hanya mengatakan jangan muncul saat ada dia. Dan sekarang dia udah nggak ada."

Tuh kan, paling bisa emang kalau cari alasan.

Kutatap Ian dengan ekspresi sebal. Dia membalas tatapanku dengan datar. Hanya itu satu-satunya ekspresi yang dia miliki. Dia terlalu sulit untuk dibaca. Aku nggak tahu kapan dia bahagia, kapan dia sedih dan kapan dia marah. Justru di sini akulah yang selalu marah padanya. Dalam situasi apa pun dia tetap bertahan dengan raut lempengnya itu. Sering aku berpikir dan bertanya-tanya. Jangan-jangan dia memang nggak punya perasaan seperti manusia normal.

Aku curiga dia bukan manusia, tapi robot.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status