Share

Rencana Kabur Yang Gagal

Aku terbangun oleh suara alarm yang memekakkan telinga. Dengan malas kubuka mata. Kalau saja hari ini nggak ada jadwal bertemu dengan dosen pembimbing maka kupastikan akan rebahan sampai siang.

Aku memang masih kuliah semester delapan dan sedang menyusun skripsi. Tapi tenang, ini nggak akan lama. Aku bertekad akan wisuda tahun ini lalu menikah dengan Juna agar aku bisa bebas dari Ian. Aku sudah nggak sabar menunggu masa-masa itu. Pernikahan adalah tiketku menuju kebebasan yang hakiki. Tapi di lain sisi realita kadang tidak selalu sejalan dengan ekspektasi. Sampai saat ini skripsiku sudah direvisi berkali-kali padahal baru bab satu. 

Kalau sudah begini gimana mungkin aku bisa menikah?

"Astagaaaa!!!" Aku berteriak saat menurunkan kaki dan hampir menginjak Greya yang nangkring di lantai kamar.

"Ngagetin aja sih kamu." Aku memegang dada meredakan detak jantungku agar kembali normal.

"Sana! Keluar!" Aku mengusirnya. Tapi si songong itu malah menatapku dengan tajam.

"Diusir malah melotot. Ini lagi si Bibi." Aku menggerutu sendiri.

Asisten rumah tangga kami punya kebiasaan buruk. Setiap kali masuk ke kamarku untuk meletakkan pakaian yang sudah disetrika ke dalam lemari dia lupa merapatkan pintu sehingga Greya bisa masuk. Dan sialnya semalam aku juga lupa mengunci pintu.

"Sana! Keluar!" Aku mengusir Greya yang masih ngetem di tempatnya.

Aku nggak pernah menyukai dia, sama dengan perasaanku pada tuannya.

Karena si mata coklat hitam itu tidak kunjung beranjak, aku mengambil sapu lalu mengusirnya keluar.

Greya lari terbirit-birit. Tepat di saat langkahku sampai di pintu, pintu kamar di seberang kamarku terbuka. Ian muncul dari dalam lalu mengambil Greya yang mencari perlindungan di kakinya.

Aku mendengkus melihat Ian menggendong Greya lalu mengelusnya penuh kasih sayang. Si gadis sok manja itu menatapku lalu mengeong sebelum Ian membawanya

masuk ke kamar.

Jangan salah. Greya bukan manusia tapi British Shorthair Cat atau kucing bulu pendek yang menjadi penghuni rumahku. Nama Greya berasal dari warna bulunya yaitu abu-abu. Dan tambahan huruf 'a' karena dia betina. 

Aku nggak suka kucing. Tapi Papi membelikan kucing dengan harga puluhan juta itu untuk Ian.

Aku sudah nggak ngerti sama sikap Papi. Bisa-bisanya buang-buang uang sebegitu banyak hanya demi orang yang bukan siapa-siapa kami. Papi dan juga Mami memperlakukan Ian sama seperti anak sendiri. Bahkan dua adik laki-lakiku kalah saing.

Selesai mandi aku turun ke bawah lalu sarapan pagi bertiga dengan kedua orang tuaku.

"Ian mana, Melo?" tanya Papi.

Kukedikkan bahu tidak tahu. Aku masih kesal sama Papi.

Aku curiga kamarku dan kamar Ian dirancang berdekatan dan berhadapan agar pria itu benar-benar bisa mengawasiku dua puluh empat jam.

Aku menghabiskan sarapan dengan buru-buru agar setelahnya bisa langsung kabur. Mumpung Ian lagi di kamar mengurus Greya.

Papi dan Mami nggak bertanya saat aku pamitan setelah sarapan. Mereka tahu aku akan pergi bimbingan. Tapi mereka pasti nggak tahu kalau aku akan pergi sendiri tanpa Ian.

Aku akan kabur dengan motor agar nggak seorang pun tahu pergerakanku. Nanti aku akan menemui Juna lalu menebus waktu kami yang hilang kemarin.

Kakiku tertahan begitu saja. Saat akan mengambil motor di garasi, Ian sudah stand by di sana. Pintu mobil bagian kiri terbuka untukku.

Aku pura-pura nggak melihat dan bergegas mengeluarkan motor.

Melihat tingkahku, Ian keluar dari mobil lalu melangkah mendekatiku.

"Kamu mau kita pake motor?" tanyanya.

"Aku, bukan kita!" bantahku ketus.

"Kalau kamu bosan pake mobil kita pake motor."

"Aku mau pergi sendiri!" ucapku keras.

Seakan tidak mendengar ucapanku Ian mengambil helm lalu memasangkan ke kepalaku beserta pengaitnya.

"Ini ngapain sih? Bisa sopan sedikit nggak?!" protesku marah.

Dasar manusia nggak punya perasaan, walau sudah dimarahi dia tetap nggak peduli. Apa kubilang, dia itu bukan manusia, tapi robot yang akan mengerjakan apa pun perintah papiku tanpa bisa membantah.

Ian kemudian mengambil alih stang motor dari tanganku.

"Naik, Melodi," suruhnya.

Aku menggeram kesal. Tapi nggak bisa lagi mengelak karena kulihat Papi melongok di pintu garasi.

Aku terpaksa naik ke boncengan Ian dan meletakkan tangan di atas paha. Tapi dia mengambil tanganku lalu menempelkan di pinggangnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status