Share

Gagal Ciuman

Aku duduk menyandarkan punggung dengan wajah cemberut. Sementara manusia salju di sebelahku fokus menyetir dalam keheningan. Dia begitu tenang setelah membuat dosa besar dengan mengacaukan hubunganku bersama Juna.

Aku berdecak untuk menarik perhatiannya, tapi dia nggak menoleh. Begitu juga saat aku pura-pura batuk. Dia terus memandang ke depan, seolah jalanan di depan sana jauh lebih menarik ketimbang diriku.

"Ian!" panggilku tidak tahan lagi.

Kali ini dia memandang padaku.

"Berhenti jadi bodyguard aku. Aku nggak mau dikawal ke mana-mana apalagi sama kamu!" ucapku muak.

Bukannya menjawab perkataanku Ian malah melengos lalu mengembalikan perhatiannya ke jalan raya.

"Dengar nggak sih? Aku tuh lagi ngomong sama kamu! Tuli ya kamu?!" bentakku kesal. Sudah nggak terhitung entah sudah berapa ratus atau ribu kali aku membentaknya dan berkata-kata kasar padanya, tapi robot peliharaan Papi itu tidak pernah peduli. Jika terjadi pada orang lain maka aku yakin orang itu akan sakit hati. Tapi Ian tidak. Dia memang robot, bukan manusia yang memiliki perasaan.

"Kamu dibayar berapa sama Papi? Aku akan bayar kamu dua kali lipat bahkan lebih. Asal kamu berhenti jadi bodyguard-ku lalu pergi sejauh mungkin dan jangan pernah kembali!" Aku mengajukan tawaran menggiurkan padanya. Aku yakin Papi pasti menggajinya dengan bayaran yang nggak sedikit.

Ian bergeming. Dia tidak merespon alih-alih akan menerima tawaranku. Dia terus memandang ke jalanan. Mengabaikanku yang ingin menyiram mukanya dengan air keras detik ini juga.

Dasar sialan. Apa sih yang diinginkannya? Apa yang ada di otaknya?

"Berhenti!" perintahku keras sambil mencoba membuka paksa pintu mobil yang tentu saja nggak akan bisa karena semuanya berada dalam kendali central lock.

"Ian! Berhenti! Aku mau turun di sini!" Aku berteriak kuat-kuat. Suaraku menggema memenuhi seisi kabin.

Ian menghentikan mobil lalu menekan central lock.

Dengan gerakan kasar kubuka pintu mobil lalu meloncat turun dari sana.

Aku disambut oleh rintik gerimis setibanya di luar.

Kuperhatikan ke sekeliling. Tidak ada apa-apa di sini selain bangunan-bangunan tinggi dan sorot cahaya dari lampu mobil yang melintas.

Aku mencoba menghentikan mobil-mobil itu dan berharap salah satunya akan memberi tumpangan. Tapi orang gila mana yang akan berhenti lalu memberi tebengan pada orang yang nggak dikenalnya?

Belum hilang akal, kuambil ponsel dari dalam tas lalu mencoba memesan taksi.

Mungkin malam ini aku memang lagi apes. Nggak ada driver yang mau mengambil orderanku. Sementara gerimis kecil mulai bertransformasi menjadi hujan deras.

Memandang ke sebelah kanan, aku menemukan mobilku masih menyala dengan Ian yang duduk tenang di balik kemudi. Dia tidak turun lalu berusaha membujukku agar kembali naik. Benar-benar nggak punya perasaan.

Karena hujan terus mengguyur aku terpaksa kembali ke mobil. Kubanting pintu kuat-kuat. Ian tidak bereaksi apa-apa. Menoleh pun tidak.

Beginilah jadinya kalau robot dan manusia salju dipadukan dalam satu jiwa.

***

"Anak gadis kok jalannya buru-buru? Yang anggun dong," ujar Papi saat aku tiba di rumah. Papi dan Mami sedang santai berdua menikmati siaran berita malam.

"Aku nggak mau pake bodyguard lagi, Pi. Aku nggak mau dikawal ke mana-mana. Aku sudah dewasa!" sergahku melampiaskan emosi.

"Sudah dewasa kok masih mencak-mencak kayak anak kecil nggak dibeliin mainan?" kata Papi santai.

Sungguh, aku sangat menghormati kedua orang tuaku. Aku nggak ingin melawan mereka. Tapi yang namanya lagi emosi siapa yang bisa menahan?

"Pi, Mi, tahu nggak, aku sama Juna tuh bertengkar gara-gara Ian," ucapku dengan suara bergetar. Rasanya aku ingin menangis saking sakit hati pada Ian.

"Juna pacarnya Melodi?" respon Papi. Padahal Papi tahu persis hanya ada satu Arjuna di dalam hidupku.

"Melodi yang bertengkar sama Juna kok malah Ian yang disalahin?" Mami ikut bereaksi.

"Gimana aku nggak nyalahin dia, Mi. Aku mau nonton sama Juna tapi Ian ngelarang aku."

"Ya wajar kan. Udah jam berapa coba?"

"Tadi baru jam sembilan, Mi, dan jadwal filmnya tuh jam setengah sepuluh."

"Film apaan tuh? Masa jadwalnya jam segitu?" Papi menatapku penuh selidik.

"Film biasa, Pi, tapi memang jadwal tayangnya jam segitu. Papi kayak nggak pernah muda." Aku memberengut.

Papi dan Mami mengulum senyum di bibir masing-masing.

"Dulu waktu Papi sama Mami masih muda, kami nggak pernah nonton film ke bioskop jam segitu. Tontonan Papi dan Mami nggak aneh-aneh. Paling Baby's Day Out. Dan itu pun nontonnya di TV, bukan gelap-gelapan di bioskop," terang Papi yang membuatku kian kesal. Masa zaman mereka mau disamain dengan sekarang. "Eh, Melodi tahu Baby's Day Out nggak? Lucu deh." Papi tertawa geli. Pun dengan Mami.

"Yang lucu tuh Papi. Masa aku udah segede gini masih pake bodyguard? Kenapa harus aku, Pi? Lakeizia sama Julia juga perempuan, tapi mereka nggak pake bodyguard." Aku menyebut nama para sepupu lalu bersedekap menunjukkan kalau tidak setuju dengan sikap Papi.

Papi dan Mami hanya tersenyum menanggapi aksi protesku. Padahal aku ingin alasan yang lebih masuk akal melebihi 'karena kamu anak perempuan satu-satunya yang menjadi kesayangan Papi dan Mami'.

"Itu karena Melodi sangat istimewa," jawab Papi.

Bukan jawaban seperti ini yang ingin kudengar.

"Lagian apa salahnya punya bodyguard? Malah bagus kan? Ada yang melindungi dan membantu Melodi kalau ada apa-apa."

"Tapi ini sudah keterlaluan. Bodyguard itu fungsinya hanya menjaga, bukan mengatur apalagi sampai merusak hubungan orang yang dijaga dengan pacarnya."

"Ian bukan mengatur tapi hanya mengingatkan demi kebaikan Melodi."

Papi masih saja membela dia. Kadang aku heran yang anak kandung Papi sebenarnya aku atau Ian.

"Lagian apa bagusnya pacar Melodi itu? Cuma modal tampang dan harta orang tua. Pacar yang baik nggak akan pernah marah-marah sama pacarnya hanya karena masalah sepele."

Aku berdecak lalu naik ke lantai dua tempat kamarku berada karena aku kalah berdebat dengan Papi.

Setiba di kamar kubanting tubuh di kasur lalu memeriksa ponsel kalau saja ada pesan dari Juna. Tapi nggak ada apa-apa. Notifikasiku kosong. Juna juga nggak meneleponku.

Lalu kukirim pesan padanya yang beirisikan, “Jun, sorry soal yang tadi. Aku minta maaf ya. Kamu jangan marah dong. Aku jadi nggak bisa tidur kalau didiemin sama kamu.”

Pesanku nggak terkirim. Saat kutelepon ternyata Juna nggak bisa dihubungi. Dia mematikan ponselnya. Dia marah besar padaku.

Hal ini bukanlah yang pertama. Sudah sangat sering dan berulang-ulang terjadi. Juna tidak terima karena Ian terus mengikutiku ke mana-mana. Bahkan saat Juna akan menciumku Ian juga ada di sana. Juna yang tadinya bermaksud mencium bibirku pada akhirnya hanya bisa mengecup pipi atau dahiku. Kami nggak pernah berhasil french kiss satu kali pun. Jadi kebayang kan betapa kesalnya aku dan Juna pada Ian?

Pernah saat aku dan Juna nonton ke bioskop Ian juga ikut. Tapi dia duduk persis di sebelahku. Jadi gimana mau french kiss atau make out kayak orang-orang?

Begitu juga kalau aku jalan ke mal lalu ke toilet. Ian akan membuntutiku lalu menunggu di depan pintu. Aku yakin andai saja bisa dia juga ikut masuk ke dalam bilik toilet.

Dia mengawasi pergerakanku setiap detik. Dia mengunci langkahku hingga aku selalu berada dalam radarnya. Dia bangsat. Aku membencinya sampai ke tulang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status