Share

Bodyguard Tampan Kesayanganku
Bodyguard Tampan Kesayanganku
Penulis: Zizara Geoveldy

Bodyguard Dingin Nan Tampan

Aku menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan bergantian dengan pintu kafe dengan perasaan gelisah. Sosok yang kutunggu sejak tadi belum juga menampakkan wujud.

Aku mulai kesal, karena Arjuna—kekasihku, belum datang juga. Padahal sudah lewat setengah jam dari waktu yang dia janjikan.

Kekesalanku semakin menjadi ketika melihat seseorang di sudut kafe sana.

Aku melengos ketika pria berbaju hitam, jeans hitam dan topi yang juga hitam itu memandang padaku.

Namanya Ian.

Dia orang paling menjengkelkan yang pernah ada. Dia selalu mengikutiku ke mana-mana. Termasuk saat aku pacaran dengan Juna.

Ian adalah pengawal pribadiku yang dibayar Papi untuk menjagaku selama hampir dua puluh empat jam.

Bayangkan, hampir dua puluh empat jam!

Ian hanya menjauh ketika aku mandi, tidur, dan buang air. Sisanya dia selalu bersamaku.

Sepanjang yang bisa kuingat, pria kaku, dingin dan berwajah datar itu sudah menjadi pengawalku sejak aku duduk di kelas delapan.

Inilah susahnya punya orang tua yang terlalu protektif. Papi merasa sebagai anak perempuan aku butuh pengawal pribadi untuk melindungiku. Masalahnya saat ini aku sudah berumur dua puluh dua tahun. Aku sudah dewasa. Sudah nggak butuh pengawalan. Aku bisa menjaga dan melindungi diri sendiri. Tapi ternyata pemikiran Papi berbeda denganku. Papi menganggapku masih membutuhkan pengawalan. Setidaknya sampai aku menikah dan memiliki suami.

Aku hampir mengambil ponsel untuk menghubungi Juna dan menanyakan keberadaannya tepat ketika lonceng di pintu kafe berbunyi. Juna muncul lalu melangkah mendekatiku.

"Sorry aku telat, tadi jemput Mama ke salon dulu," ucapnya.

Aku mengangguk pengertian walau jengkel di dalam hati.

"Belum pesan makanan?" Juna memandang meja dan hanya menemukan sebotol air mineral yang isinya tinggal setengah.

"Belum. Kan nunggu kamu."

"Pesan sekarang aja ya?"

Kuanggukkan kepala.

Juna melihat daftar menu, menanyakan apa yang kuinginkan lalu melongokkan kepalanya untuk memanggil waiter.

"Shit!" umpatnya keras ketika menemukan Ian duduk di sudut kafe. "Kamu juga bawa dia ke sini?" pandang Juna tajam padaku.

Kuanggukkan kepala, lesu.

"Kenapa orang itu harus ada di antara kita?" Juna mendesis geram saking kesalnya.

"Jadi aku harus gimana? Dia kan bodyguard aku."

"Bodyguard sih bodyguard, tapi nggak harus ngikutin kamu ke mana-mana sampai mau pacaran orang itu juga ngintilin kamu."

"Aku maunya juga begitu, Jun, tapi aku bisa apa?"

"Protes dong sama Papi kamu!"

"Aku udah sering protes sama Papi kayak yang kamu suruh, tapi Papi tetap nggak mau."

"Itulah begonya kamu. Kamu tolol. Kamu lemah. Nggak punya sikap. Makanya bisa diatur-atur seenaknya!"

Sumpah, aku sangat kesal mendengar tudingan Juna yang bego-begoin aku. Tapi di saat yang sama dia juga benar. Aku lemah karena nggak pernah berhasil membuat Papi memberhentikan Ian.

"Aku ini anak perempuan satu-satunya, Jun, makanya Papi ngerasa perlu aku punya bodyguard," kataku setelah mendapat alasan lain.

"Bukan cuma kamu. Ada ribuan atau jutaan orang yang jadi anak perempuan satu-satunya. Tapi mereka nggak kayak kamu. Nggak perlu sok-sok pake bodyguard. Emang siapa sih kamu, Melo? Keturunan ningrat? Keluarga kerajaan?"

Gaya bicara Juna yang meledekku membuat perasaan kesalku setinggi ubun-ubun. Tapi aku nggak bisa marah padanya.

Tatapanku pindah pada Ian yang masih duduk di tempatnya tanpa melakukan apa-apa. Aku semakin muak padanya. Karena dia, aku dan Juna sering bertengkar. Dia adalah satu-satunya orang ketiga dalam hubungan kami.

Juna menghabiskan makanannya tanpa bicara apa-apa. Mukanya yang masam menunjukkan padaku sebesar apa kekesalannya saat ini.

Setelah makanan kami habis Juna berjalan duluan keluar dari kafe. Aku mengikuti di belakangnya.

"Buruan!" Juna menarik tanganku dan menyuruhku masuk ke mobilnya. Kami akan pergi nonton.

"Melodi ..." Suara itu menyela. lan sudah berdiri di dekatku.

Aku merotasi bola mata, sebal. "Aku mau nonton sama Juna. Kamu pulang aja duluan," suruhku.

"Ini sudah jam sembilan. Kamu nggak akan ke mana-mana. Dan aku nggak akan pulang tanpa kamu."

Kutatap Ian dengan tajam. "Nggak ngerti ya kamu? Aku udah bilang mau nonton. Kamu pulang aja dulu. Nanti Juna yang nganterin aku pulang."

"Kamu nggak boleh pergi, Melodi," jawab Ian melarangku.

Juna yang sejak di awal sudah emosi semakin terbakar lalu mendorong dada Ian.

"Lo kenapa selalu ikut campur urusan gue sama Melodi? Mau lo apa sebenarnya?"

"Mau Melodi pulang sekarang," jawab Ian lugas.

"Tapi Melodi nggak mau pulang sama lo. Dia mau kencan dulu sama gue. Ngerti nggak lo?!" bentak Juna emosi.

"Ngerti."

"Terus kenapa masih di sini? Sana lo! Pergi!" usir Juna mengarahkan telunjuknya.

"Tidak tanpa Melodi," suara Ian dingin, sedingin wajahnya.

"Brengsek! Lo bener-bener cari masalah sama gue." Tangan Juna terkepal erat. Siap untuk melayangkan bogem mentah.

"Jun, Jun, udah. Jangan berantem di sini." Aku buru-buru mencegah sebelum perkelahian itu terjadi.

"Jadi kamu mau membela dia?" Tatapan nyalang Juna pindah padaku.

"Bukan membela, tapi—"

"Terserah!!!" Juna membentakku keras sebelum aku selesai. Selanjutnya dia masuk ke mobil dengan bantingan kuat di pintu lalu ngebut meninggalkan kafe.

Dadaku bagai akan meledak karena rasa sesak. Ini adalah pertengkaran kami yang ke sekian gara-gara Ian.

"Puas?!" Aku berteriak melampiaskan kemarahan pada Ian.

Ian nggak menjawab. Dibukakannya pintu mobil untukku lalu menunggu sampai aku masuk.

Kubanting pintu dengan keras tepat di hadapannya. Tapi seperti biasa lelaki yang tidak pernah tersenyum itu tetap tenang seakan emosi dan kemarahanku tidak berpengaruh apa-apa padanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status