Aku menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan bergantian dengan pintu kafe dengan perasaan gelisah. Sosok yang kutunggu sejak tadi belum juga menampakkan wujud.
Aku mulai kesal, karena Arjuna—kekasihku, belum datang juga. Padahal sudah lewat setengah jam dari waktu yang dia janjikan.
Kekesalanku semakin menjadi ketika melihat seseorang di sudut kafe sana.
Aku melengos ketika pria berbaju hitam, jeans hitam dan topi yang juga hitam itu memandang padaku.
Namanya Ian.
Dia orang paling menjengkelkan yang pernah ada. Dia selalu mengikutiku ke mana-mana. Termasuk saat aku pacaran dengan Juna.
Ian adalah pengawal pribadiku yang dibayar Papi untuk menjagaku selama hampir dua puluh empat jam.
Bayangkan, hampir dua puluh empat jam!
Ian hanya menjauh ketika aku mandi, tidur, dan buang air. Sisanya dia selalu bersamaku.
Sepanjang yang bisa kuingat, pria kaku, dingin dan berwajah datar itu sudah menjadi pengawalku sejak aku duduk di kelas delapan.
Inilah susahnya punya orang tua yang terlalu protektif. Papi merasa sebagai anak perempuan aku butuh pengawal pribadi untuk melindungiku. Masalahnya saat ini aku sudah berumur dua puluh dua tahun. Aku sudah dewasa. Sudah nggak butuh pengawalan. Aku bisa menjaga dan melindungi diri sendiri. Tapi ternyata pemikiran Papi berbeda denganku. Papi menganggapku masih membutuhkan pengawalan. Setidaknya sampai aku menikah dan memiliki suami.
Aku hampir mengambil ponsel untuk menghubungi Juna dan menanyakan keberadaannya tepat ketika lonceng di pintu kafe berbunyi. Juna muncul lalu melangkah mendekatiku.
"Sorry aku telat, tadi jemput Mama ke salon dulu," ucapnya.
Aku mengangguk pengertian walau jengkel di dalam hati.
"Belum pesan makanan?" Juna memandang meja dan hanya menemukan sebotol air mineral yang isinya tinggal setengah.
"Belum. Kan nunggu kamu."
"Pesan sekarang aja ya?"
Kuanggukkan kepala.
Juna melihat daftar menu, menanyakan apa yang kuinginkan lalu melongokkan kepalanya untuk memanggil waiter.
"Shit!" umpatnya keras ketika menemukan Ian duduk di sudut kafe. "Kamu juga bawa dia ke sini?" pandang Juna tajam padaku.
Kuanggukkan kepala, lesu.
"Kenapa orang itu harus ada di antara kita?" Juna mendesis geram saking kesalnya.
"Jadi aku harus gimana? Dia kan bodyguard aku."
"Bodyguard sih bodyguard, tapi nggak harus ngikutin kamu ke mana-mana sampai mau pacaran orang itu juga ngintilin kamu."
"Aku maunya juga begitu, Jun, tapi aku bisa apa?"
"Protes dong sama Papi kamu!"
"Aku udah sering protes sama Papi kayak yang kamu suruh, tapi Papi tetap nggak mau."
"Itulah begonya kamu. Kamu tolol. Kamu lemah. Nggak punya sikap. Makanya bisa diatur-atur seenaknya!"
Sumpah, aku sangat kesal mendengar tudingan Juna yang bego-begoin aku. Tapi di saat yang sama dia juga benar. Aku lemah karena nggak pernah berhasil membuat Papi memberhentikan Ian.
"Aku ini anak perempuan satu-satunya, Jun, makanya Papi ngerasa perlu aku punya bodyguard," kataku setelah mendapat alasan lain.
"Bukan cuma kamu. Ada ribuan atau jutaan orang yang jadi anak perempuan satu-satunya. Tapi mereka nggak kayak kamu. Nggak perlu sok-sok pake bodyguard. Emang siapa sih kamu, Melo? Keturunan ningrat? Keluarga kerajaan?"
Gaya bicara Juna yang meledekku membuat perasaan kesalku setinggi ubun-ubun. Tapi aku nggak bisa marah padanya.
Tatapanku pindah pada Ian yang masih duduk di tempatnya tanpa melakukan apa-apa. Aku semakin muak padanya. Karena dia, aku dan Juna sering bertengkar. Dia adalah satu-satunya orang ketiga dalam hubungan kami.
Juna menghabiskan makanannya tanpa bicara apa-apa. Mukanya yang masam menunjukkan padaku sebesar apa kekesalannya saat ini.
Setelah makanan kami habis Juna berjalan duluan keluar dari kafe. Aku mengikuti di belakangnya.
"Buruan!" Juna menarik tanganku dan menyuruhku masuk ke mobilnya. Kami akan pergi nonton.
"Melodi ..." Suara itu menyela. lan sudah berdiri di dekatku.
Aku merotasi bola mata, sebal. "Aku mau nonton sama Juna. Kamu pulang aja duluan," suruhku.
"Ini sudah jam sembilan. Kamu nggak akan ke mana-mana. Dan aku nggak akan pulang tanpa kamu."
Kutatap Ian dengan tajam. "Nggak ngerti ya kamu? Aku udah bilang mau nonton. Kamu pulang aja dulu. Nanti Juna yang nganterin aku pulang."
"Kamu nggak boleh pergi, Melodi," jawab Ian melarangku.
Juna yang sejak di awal sudah emosi semakin terbakar lalu mendorong dada Ian.
"Lo kenapa selalu ikut campur urusan gue sama Melodi? Mau lo apa sebenarnya?"
"Mau Melodi pulang sekarang," jawab Ian lugas.
"Tapi Melodi nggak mau pulang sama lo. Dia mau kencan dulu sama gue. Ngerti nggak lo?!" bentak Juna emosi.
"Ngerti."
"Terus kenapa masih di sini? Sana lo! Pergi!" usir Juna mengarahkan telunjuknya.
"Tidak tanpa Melodi," suara Ian dingin, sedingin wajahnya.
"Brengsek! Lo bener-bener cari masalah sama gue." Tangan Juna terkepal erat. Siap untuk melayangkan bogem mentah.
"Jun, Jun, udah. Jangan berantem di sini." Aku buru-buru mencegah sebelum perkelahian itu terjadi.
"Jadi kamu mau membela dia?" Tatapan nyalang Juna pindah padaku.
"Bukan membela, tapi—"
"Terserah!!!" Juna membentakku keras sebelum aku selesai. Selanjutnya dia masuk ke mobil dengan bantingan kuat di pintu lalu ngebut meninggalkan kafe.
Dadaku bagai akan meledak karena rasa sesak. Ini adalah pertengkaran kami yang ke sekian gara-gara Ian.
"Puas?!" Aku berteriak melampiaskan kemarahan pada Ian.
Ian nggak menjawab. Dibukakannya pintu mobil untukku lalu menunggu sampai aku masuk.
Kubanting pintu dengan keras tepat di hadapannya. Tapi seperti biasa lelaki yang tidak pernah tersenyum itu tetap tenang seakan emosi dan kemarahanku tidak berpengaruh apa-apa padanya.
***
Aku duduk menyandarkan punggung dengan wajah cemberut. Sementara manusia salju di sebelahku fokus menyetir dalam keheningan. Dia begitu tenang setelah membuat dosa besar dengan mengacaukan hubunganku bersama Juna.Aku berdecak untuk menarik perhatiannya, tapi dia nggak menoleh. Begitu juga saat aku pura-pura batuk. Dia terus memandang ke depan, seolah jalanan di depan sana jauh lebih menarik ketimbang diriku."Ian!" panggilku tidak tahan lagi.Kali ini dia memandang padaku."Berhenti jadi bodyguard aku. Aku nggak mau dikawal ke mana-mana apalagi sama kamu!" ucapku muak.Bukannya menjawab perkataanku Ian malah melengos lalu mengembalikan perhatiannya ke jalan raya."Dengar nggak sih? Aku tuh lagi ngomong sama kamu! Tuli ya kamu?!" bentakku kesal. Sudah nggak terhitung entah sudah berapa ratus atau ribu kali aku membentaknya dan berkata-kata kasar padanya, tapi robot peliharaan Papi itu tidak pernah peduli. Jika terjadi pada orang lain maka aku yakin orang itu akan sakit hati. Tapi Ian
Aku terbangun oleh suara alarm yang memekakkan telinga. Dengan malas kubuka mata. Kalau saja hari ini nggak ada jadwal bertemu dengan dosen pembimbing maka kupastikan akan rebahan sampai siang.Aku memang masih kuliah semester delapan dan sedang menyusun skripsi. Tapi tenang, ini nggak akan lama. Aku bertekad akan wisuda tahun ini lalu menikah dengan Juna agar aku bisa bebas dari Ian. Aku sudah nggak sabar menunggu masa-masa itu. Pernikahan adalah tiketku menuju kebebasan yang hakiki. Tapi di lain sisi realita kadang tidak selalu sejalan dengan ekspektasi. Sampai saat ini skripsiku sudah direvisi berkali-kali padahal baru bab satu. Kalau sudah begini gimana mungkin aku bisa menikah?"Astagaaaa!!!" Aku berteriak saat menurunkan kaki dan hampir menginjak Greya yang nangkring di lantai kamar."Ngagetin aja sih kamu." Aku memegang dada meredakan detak jantungku agar kembali normal."Sana! Keluar!" Aku mengusirnya. Tapi si songong itu malah menatapku dengan tajam."Diusir malah melotot. I
Ian berhenti di area parkir khusus kendaraan roda dua. Aku langsung meluncur turun dan bergegas pergi darinya sebelum dia mengikutiku.Namun setelah beberapa langkah bau parfumnya terus tercium seakan sedang mengejarku.Aku memutar tubuh ke belakang dan spontan berdecak melihat dia yang ternyata mengikutiku."Kok malah ikut? Tunggu aja di sini," larangku padanya. "Nggak ada Juna di sini," ucapku lagi kalau memang itu yang dikhawatirkannya.Setelahnya aku bergegas pergi. Di sela-sela langkah aku berpikir apa sesungguhnya yang membuat Papi dan Mami sebegitu kerasnya untuk memberiku pengawal. Kalau mereka takut aku pacaran kebablasan, aku bisa kok menjaga diri. Masalahnya Ian itu sudah menjadi pengawal pribadiku sejak zaman SMP dulu. Yang mana saat itu aku belum punya pacar walau udah ngerti apa itu pacaran.Gimana mau pacaran kalau tiap ada cowok yang main ke rumah Papi udah pasang tampang masam.Gimana cowok-cowok mau mendekatiku kalau Ian nggak pernah lepas dari sisiku.Setelah tamat
Dari seberang jalan aku melihat Ian mengambil ponselnya dari dalam saku lalu menekuri benda itu beberapa saat. Aku yakin dia sedang membaca pesanku. Bagus. Semoga dia paham dan nggak banyak tingkah."Ayo, Melo!"Suara Juna memutus perhatianku pada Ian. Aku cepat-cepat menoleh sebelum Juna sadar sejak tadi aku memerhatikan Ian. Bisa gawat kalau Juna tahu Ian ada di sini. Dia bisa marah dan hubungan kami yang baru akan membaik memburuk lagi.Aku masuk ke mobil. Saat mobil yang dikendarai Juna meninggalkan halaman kantor aku nggak melihat Ian di tempatnya tadi. Dia sudah pergi. Aku yakin dia pasti takut setelah kuancam tadi. Tentu saja dia nggak akan mau kehilangan gaji dan fasilitas yang diberikan Papi padanya selama ini. Aku yakin kalau dia bekerja dengan orang lain belum tentu akan mendapat yang selama ini diperolehnya dari orang tuaku."Melo, emangnya orang tua kamu ngizinin kita pergi vacay?" tanya Juna yang sedang menyetir."Mereka belum tahu tapi aku pasti diizinin kok," kataku pe
Aku baru saja mendapat kabar dari Juna bahwa dia diizinkan cuti hari Kamis dan Jumat ini. Itu artinya rencana kami untuk liburan akan segera terealisasi.Dengan tidak sabar aku keluar dari kamar untuk menemui Mami dan Papi. Keduanya seperti biasa sedang santai di ruang keluarga.Mami sedang mengupas mangga sedangkan Papi kebagian tugas menghabiskannya. Di depan mereka televisi berada dalam keadaan mati.Aku membuat batuk yang membuat keduanya sontak menoleh padaku."Eh, ada anak gadis. Sini, Nak, mau mangga?" tanya Papi padaku.Aku tersenyum lalu mengambil seiris setelah duduk di dekat keduanya."Ian mana, Melo?""Mana aku tahu. Lagian Mami Ian mulu yang ditanya." Aku mendelik sebal pada Mami.Mami tertawa. "Kan biasanya kamu sama Ian. Kamar kalian juga hadap-hadapan.""Tapi bukan berarti aku tahu. Emang aku istrinya apa?""Oh, jadi Melodi mau jadi istrinya Ian?" sambar Papi."Apaan sih, Pi?" Aku bersungut-sungut marah.Papi dan Mami kompak tertawa tanpa peduli pada perasaanku."Jadi
Aku berusaha keras membujuk Papi dan Mami agar mengizinkanku pergi tanpa Ian. Tapi seperti sudah ditebak semua orang pasti tahu apa jawabannya. Mami dan Papi sudah nggak bisa digoyahkan walaupun aku merengek-rengek. Mereka memberiku pilihan. Tetap beribur tapi dengan Ian atau tidak sama sekali."Gue sih nggak apa-apa kalau Ian mau ikut." Itu komentar Anya saat aku berkeluh kesah."Selama Ian nggak bikin ketenangan kita terganggu gue juga nggak masalah. Tapi masalahnya Juna bisa terima nggak?" Amanda menatapku ragu."Itu dia yang lagi gue pikirin. Juna pasti ngamuk kalau tahu."Sejauh ini aku belum memberitahu Juna mengenai hal tersebut. Aku belum siap untuk bertengkar lagi dengan dia."Satu-satunya jalan lo harus jujur. Bilang sama Juna kalau Ian juga bakalan ikut," kata Anya memberi solusi. Tapi bagiku itu bukanlah solusi tapi cari mati."Gue nggak mungkin sejujur itu. Kalau Juna tahu, dia pasti nggak mau pergi."Aku sudah membayangkan liburan yang menyenangkan bersama pria yang kuci
Kamis pagi aku bersiap-siap untuk pergi. Kami berlima berjanji berangkat dari rumah masing-masing lalu bertemu di bandara.Sampai sejauh ini aku belum memberitahu Juna mengenai Ian. Dan aku harap Juna nggak tantrum ketika melihat Ian nanti."Jaket sama vitamin udah, Melo?" tanya Mami sekali lagi sebelum aku berangkat. Entah sudah berapa kali Mami mengingatkan padaku mengenai hal yang sama."Udah, Mi. Semua udah di dalam tas. Obat-obatan juga.""Pembalut, minyak kayu putih sama botol air mineral?""Udah juga."Mami memang sedetail itu. Selalu menyuruhku menyiapkan hal-hal yang nggak pernah kupikirkan sebelumnya."Kalau udah nyampe kabari Mami secepatnya.""Siap, Mi." Padahal aku tahu tanpa kukabari pun Ian pasti lebih dulu memberi kabar."Nggak ada ya ceritanya tidur sekamar." Ekspresi lembut Mami berubah keras saat mengingatkanku."Iya, Mi, aku dan Juna pisah kamar kok.""Pokoknya awas kalau sampai kejadian, nanti Papi gantung."Aku tertawa mendengar selorohan Papi. Mana berani Papi
Juna bukanlah pacar pertamaku. Banyak laki-laki yang hadir sebelumnya dalam hidupku. Tapi dengan Junalah hubunganku yang paling lama. Para kekasihku sebelumnya tidak pernah ada yang bertahan lebih dari enam bulan. Penyebabnya hanya satu. Mereka merasa tidak nyaman lantaran Ian mengekoriku ke mana-mana. Dengan segala keadaanku itu akhirnya aku dilabeli sebagai anak orang kaya yang manja. Terakhir labelku bertambah sebagai gadis yang lemah karena tidak sanggup membantah keinginan orang tua.Aku nggak tahu apa cerita cintaku kali ini juga akan selesai. Aku belum siap kehilangan Juna. Perasaan cintaku padanya melebihi perasaan pada para mantanku yang lain. Dengan Junalah aku mulai serius menjalin hubungan dan berharap dia menjadi pria terakhir dalam hidupku.Mungkin terlalu dini untuk bicara mengenai pernikahan. Tapi baru dengan Juna aku berpikir ke arah itu. Juna memiliki hampir segalanya. Fisik yang menawan, pekerjaan tetap sampai kondisi finansial yang mapan. Walau tidak kupungkiri Jun