Happy holiday buat semua ya....
"Butuh apa lagi?' tanya Rizal sambil mendorong troli belanjaan mereka."Daging, Mas. Sama buah-buahan." Dara melangkah ke area daging-daging segar. Baru saja dia memilih-milih daging, suara seseorang membuat dia dan Rizal menoleh ke asal suara."Kebetulan sekali bisa bertemu di sini," sapa Synthia sambil menenteng tas belanja. "Apa kabar?" "Synthia?" Rizal terperanjat. Dara menoleh pada suaminya."Suatu kebetulan banget bisa ketemu dengan kalian," ucap Synthia basa basi."Lagi di Jogja?" tanya Rizal."Yup, liburan ... belakangan ini Jogja lebih sering menyita perhatian." Synthia menatap Dara dengan sinis."Oh, enjoy holiday. Maaf kami sepertinya sudah selesai. Sudah selesai kan, Sayang?" tanya Rizal dengan penekanan kata Sayang pada Dara."Mm ... sudah." Dara pun mengangguk sambil memasukkan kantung berisi daging yang dia pilih tadi."Kapan ada waktu untuk bicara, Zal?" tanya Synthia tanpa memperdulikan Dara."Aku belum tau kapan, karena minggu-minggu ini masih persiapan untuk ujian
Dara duduk di kursi tunggu pasien, tepat di depan ruangan ICU. Ya, Bu Sum terkena stroke. Diagnosa sementara Bu Sum terkena stroke ringan. Menurut dokter Budi yang saat itu kebetulan berada di IGD, bisa jadi Bu Sum terlalu stress atau terlalu banyak pikiran."Kamu bisa ceritain ke Mbak, kenapa ibu tiba-tiba seperti ini, Gas?" tanya Dara pada Bagas yang duduk menelungkupkan wajahnya."Mbak Siti bilang, saat kejadian ada dua orang laki-laki yang datang ke rumah. Kata Mbak Siti, dua orang itu marah-marah sama Ibu.""Marah-marah kenapa? Apa ibu punya sangkutan hutang?" tanya Dara heran."Enggak lah Mbak, semiskin miskinnya kita, ibu selalu nggak mau ngutang sama orang. Dia pasti memilih bekerja siang malam buat kita daripada ada urusan hutang piutang," tegas Dara."Ya lalu kenapa ibu bisa begini?" Dara frustasi."Mbak Siti sempat bilang, lelaki itu sempat mengancam ibu.""Mengancam?" Rizal mengerutkan alisnya."Gas, coba kamu cerita yang benar. Dari awal!" Dara mulai terpancing emosi."Sab
Donna mondar mandir di ruang tunggu pasien, Hanna dan suaminya duduk dengan gelisah. Sementara Dahlan berdiri tepat di dekat pintu ruang ICU. "Cal." Hanna berdiri saat melihat Rizal datang setelah berkonsultasi dengan dokter yang menangani Andreas. "Apa kata dokter?" "Serangan jantung, tapi akan di periksa lebih lanjut langkah apa yang harus dilakukan setelah ini. Melihat kondis papa dulu, kita berdoa saja. Semoga tidak ada penyempitan pembuluh darah." "Maksud kamu apa, Cal?" Donna mendekat. "Kalo sudah mengalami itu, maka papa diharuskan pasang ring, Ma." "Ya Allah." Donna memalingkan wajahnya, Hanna mengusap punggung sang Ibu memberikan kekuatan. "Semua baik-baik aja, Ma. Papa bisa melewatinya, percaya sama aku." Bagaimanapun, sejahat apapun orang tua padanya, tetap saja yang terbaring di rumah ICU dan yang berdiri di hadapannya dengan terisak ini adalah orangtuanya. "Sebaiknya Mama istirahat dulu, aku sudah minta ruangan untuk kita beristirahat tadi. Uni bisa bawa Mama kesa
"Aku membawa Dara kemari bukan untuk memperkeruh keadaan keluarga kita. Tapi perlu kalian ketahui bahwa kami sudah sah menjadi suami dan istri. Jadi tidak ada alasan lagi untuk kalian memisahkan kami berdua. Senang ataupun tidak senang, kalian harus menerimanya." Semua orang terdiam dan menatap Rizal serta Dara. Hanna dan Hasan menarik sudut bibir, kagum dan terharu pada sikap Rizal. Lain hal dengan keluarga Synthia, hembusan napas kasar dan wajah kekecewaan kentara sekali terlihat. Jangan tanya bagaimana dengan Dahlan dan Synthia, mereka masih setia dengan drama keluarga Andreas. "Jadi biarkan kamu hidup dengan tenang dan damai. Karena kita sudah punya kehidupan sendiri-sendiri sekarang. Aku, Rizal juga tidak akan mengurusi urusan kalian. Tentang bagaimana perusahaan dan rumah sakit ini berjalan, aku serahkan pada kalian. Silahkan kalian coret namaku dari semua surat wasiat." "Mama, Papa ... Ical minta maaf, bukan karena Ical sengaja melakukan ini tapi memohon restu dari Papa dan
"Ya, Ical akan kembali ke rumah ini dengan syarat Dara ikut tinggal di sini. Kalian terima, layaknya seperti anggota keluarga yang lain."Andreas menelan ludahnya kasar, dia seperti membuat kesepakatan bisnis dengan putranya sendiri. Di sisi lain, Andreas menginginkan keluarganya kembali utuh namun di sisi lain dia masih berat menerima menantu barunya dari kalangan orang biasa."Papa nggak ada masalah, selagi semua berjalan baik-baik saja.""Secepat itu Papa merubah pendirian Papa, nggak ada maksud lain kan, Pa?""Ah, Cal ... Papa ini sudah tua. Setelah Papa pikir lagi, hidup Papa juga sudah nggak lama lagi. Jadi ya, mungkin Papa harus berdamai dengan keadaan." Andreas lalu menatap Dara."Rizal bicarakan dulu dengan istri Ical. Bulan depan Ical ujian kelulusan.""Setelahnya kembali lah," ujar Andreas penuh harap.Perbincangan antara Rizal, Dara dan Andreas pagi itu seperti membawa titik terang. Dara hanya bisa mengikuti apa yang suaminya yakini benar. Mereka tetap perlu berbicara dari
“Rancak bini si Rizal ... kamek (cantik istri Rizal)," ucap seorang kerabat jauh keluarga Rizal."Iyo, santun pulo anaknyo. Cocok dan patuik bana jo si Rizal yang gagah coga berwibawa.” (Iya, santun juga anaknya. Cocoklah dengan Rizal, ganteng dan berwibawa," ujar yang lain.)“Iyo batua, dibandiang nan ka dijodohan kapatang ko, rancak iko lai. Nampak elok dari raut mukonyo.” (Bener, dibandingkan dengan yang dijodohkan dengan Rizal waktu itu, ini lebih baik kelihatan dari wajahnya.)“Oh anak Datuak Basri Alam tu yo? Nan itu banyak urang mangecek kalau inyo suko pai ka klub malam dan hura2 se karajonyo. Ma cocok samo si Rizal ko.” (Oh anaknya Datuk Basri Alam itu? Ah kalo dia itu banyak yang bilang suka ke club, mungkin masih suka hura-hura. Mana cocok dengan Rizal.)“Iyo kan, padahal anak urang tapandang juo nak, tapi parangainyo di lua nagari awak kabanyo ndak elok." (Ah iya, padahal anak orang terpandang juga tapi kelakuannya di luar kota kita ini, gosipnya nggak bagus.)"Beruntungla
Synthia melenguh, suaranya mendesah berkali-kali, tubuhnya sudah polos dan berada di dalam kungkungan Matthew. Pria itu terkejut saat membuka pintu apartemennya malam itu. Melihat Synthia berdiri di ambang pintu dengan melempar senyum padanya.Malam setelah resepsi pernikahan Dara dan Rizal, Synthia memutuskan untuk terbang ke Jakarta. Tempat dimana dia bisa mengekspresikan dirinya lebih bebas lagi. Ini malam kedua dia menghabiskan waktunya bersama Matthew, selain menjadi teman bisnis, Matthew juga merupakan partner di atas ranjang, saat dibutuhkan."Akh ...." Desahan lembut itu kembali keluar dari bibir sensual Synthia."Sebentar lagi," ucap suara parau Matthew. Hentakan terakhir Matthew membawa pelepasan bersama mereka.Napas yang memburu dari keduanya setelah menghabiskan banyak energi malam itu. Suhu ruangan pun masih terasa panas, peluh keringat membasahi keduanya.Matthew menarik pinggang ramping yang membelakanginya itu mendekat pada tubuh telanjangnya."Mau lagi?" tanya Matthe
"Jadi mantumu belum hamil?" "Belum, Etek. Hanna juga kemarin nunggu sampai enam bulan akhirnya hamil." "Iya, tapi Hanna itu kan anak angkat mu. Sedangkan Rizal itu anakmu sendiri, jadi dia harus punya keturunan untuk meneruskan adat istiadat kita, hartamu dan banyak lagi semuanya, Don. Cukup sekali saja kau gagal dalam menjodohkan Rizal dengan anak konglomerat itu, jangan juga kau gagal mendapatkan cucu, darah daging Rizal." "Sudah berapa lama mereka menikah?" "Delapan bulan sepertinya," ujar Donna lalu menyeruput secangkir teh hangat sore itu di taman belakang. "Hampir satu tahun ... lalu wanita yang dulu mau kau jodohkan dengan Rizal, bagaimana kabarnya?" "Perusahaan Andreas masih bekerjasama dengan perusahaan orangtuanya. Kenapa Etek?" "Enggak ada, aku cuma tanya. Tapi ada baiknya kau pertimbangkan kata-kata Etek mu ini. Bisa jadi Rizal akan lama mendapatkan keturunan dari istrinya." "Maksud, Etek?" "Ya kau cari caralah bagaimana istri Rizal itu hamil. Atau kau cadangkan s
"Jadi mantumu belum hamil?" "Belum, Etek. Hanna juga kemarin nunggu sampai enam bulan akhirnya hamil." "Iya, tapi Hanna itu kan anak angkat mu. Sedangkan Rizal itu anakmu sendiri, jadi dia harus punya keturunan untuk meneruskan adat istiadat kita, hartamu dan banyak lagi semuanya, Don. Cukup sekali saja kau gagal dalam menjodohkan Rizal dengan anak konglomerat itu, jangan juga kau gagal mendapatkan cucu, darah daging Rizal." "Sudah berapa lama mereka menikah?" "Delapan bulan sepertinya," ujar Donna lalu menyeruput secangkir teh hangat sore itu di taman belakang. "Hampir satu tahun ... lalu wanita yang dulu mau kau jodohkan dengan Rizal, bagaimana kabarnya?" "Perusahaan Andreas masih bekerjasama dengan perusahaan orangtuanya. Kenapa Etek?" "Enggak ada, aku cuma tanya. Tapi ada baiknya kau pertimbangkan kata-kata Etek mu ini. Bisa jadi Rizal akan lama mendapatkan keturunan dari istrinya." "Maksud, Etek?" "Ya kau cari caralah bagaimana istri Rizal itu hamil. Atau kau cadangkan s
Synthia melenguh, suaranya mendesah berkali-kali, tubuhnya sudah polos dan berada di dalam kungkungan Matthew. Pria itu terkejut saat membuka pintu apartemennya malam itu. Melihat Synthia berdiri di ambang pintu dengan melempar senyum padanya.Malam setelah resepsi pernikahan Dara dan Rizal, Synthia memutuskan untuk terbang ke Jakarta. Tempat dimana dia bisa mengekspresikan dirinya lebih bebas lagi. Ini malam kedua dia menghabiskan waktunya bersama Matthew, selain menjadi teman bisnis, Matthew juga merupakan partner di atas ranjang, saat dibutuhkan."Akh ...." Desahan lembut itu kembali keluar dari bibir sensual Synthia."Sebentar lagi," ucap suara parau Matthew. Hentakan terakhir Matthew membawa pelepasan bersama mereka.Napas yang memburu dari keduanya setelah menghabiskan banyak energi malam itu. Suhu ruangan pun masih terasa panas, peluh keringat membasahi keduanya.Matthew menarik pinggang ramping yang membelakanginya itu mendekat pada tubuh telanjangnya."Mau lagi?" tanya Matthe
“Rancak bini si Rizal ... kamek (cantik istri Rizal)," ucap seorang kerabat jauh keluarga Rizal."Iyo, santun pulo anaknyo. Cocok dan patuik bana jo si Rizal yang gagah coga berwibawa.” (Iya, santun juga anaknya. Cocoklah dengan Rizal, ganteng dan berwibawa," ujar yang lain.)“Iyo batua, dibandiang nan ka dijodohan kapatang ko, rancak iko lai. Nampak elok dari raut mukonyo.” (Bener, dibandingkan dengan yang dijodohkan dengan Rizal waktu itu, ini lebih baik kelihatan dari wajahnya.)“Oh anak Datuak Basri Alam tu yo? Nan itu banyak urang mangecek kalau inyo suko pai ka klub malam dan hura2 se karajonyo. Ma cocok samo si Rizal ko.” (Oh anaknya Datuk Basri Alam itu? Ah kalo dia itu banyak yang bilang suka ke club, mungkin masih suka hura-hura. Mana cocok dengan Rizal.)“Iyo kan, padahal anak urang tapandang juo nak, tapi parangainyo di lua nagari awak kabanyo ndak elok." (Ah iya, padahal anak orang terpandang juga tapi kelakuannya di luar kota kita ini, gosipnya nggak bagus.)"Beruntungla
"Ya, Ical akan kembali ke rumah ini dengan syarat Dara ikut tinggal di sini. Kalian terima, layaknya seperti anggota keluarga yang lain."Andreas menelan ludahnya kasar, dia seperti membuat kesepakatan bisnis dengan putranya sendiri. Di sisi lain, Andreas menginginkan keluarganya kembali utuh namun di sisi lain dia masih berat menerima menantu barunya dari kalangan orang biasa."Papa nggak ada masalah, selagi semua berjalan baik-baik saja.""Secepat itu Papa merubah pendirian Papa, nggak ada maksud lain kan, Pa?""Ah, Cal ... Papa ini sudah tua. Setelah Papa pikir lagi, hidup Papa juga sudah nggak lama lagi. Jadi ya, mungkin Papa harus berdamai dengan keadaan." Andreas lalu menatap Dara."Rizal bicarakan dulu dengan istri Ical. Bulan depan Ical ujian kelulusan.""Setelahnya kembali lah," ujar Andreas penuh harap.Perbincangan antara Rizal, Dara dan Andreas pagi itu seperti membawa titik terang. Dara hanya bisa mengikuti apa yang suaminya yakini benar. Mereka tetap perlu berbicara dari
"Aku membawa Dara kemari bukan untuk memperkeruh keadaan keluarga kita. Tapi perlu kalian ketahui bahwa kami sudah sah menjadi suami dan istri. Jadi tidak ada alasan lagi untuk kalian memisahkan kami berdua. Senang ataupun tidak senang, kalian harus menerimanya." Semua orang terdiam dan menatap Rizal serta Dara. Hanna dan Hasan menarik sudut bibir, kagum dan terharu pada sikap Rizal. Lain hal dengan keluarga Synthia, hembusan napas kasar dan wajah kekecewaan kentara sekali terlihat. Jangan tanya bagaimana dengan Dahlan dan Synthia, mereka masih setia dengan drama keluarga Andreas. "Jadi biarkan kamu hidup dengan tenang dan damai. Karena kita sudah punya kehidupan sendiri-sendiri sekarang. Aku, Rizal juga tidak akan mengurusi urusan kalian. Tentang bagaimana perusahaan dan rumah sakit ini berjalan, aku serahkan pada kalian. Silahkan kalian coret namaku dari semua surat wasiat." "Mama, Papa ... Ical minta maaf, bukan karena Ical sengaja melakukan ini tapi memohon restu dari Papa dan
Donna mondar mandir di ruang tunggu pasien, Hanna dan suaminya duduk dengan gelisah. Sementara Dahlan berdiri tepat di dekat pintu ruang ICU. "Cal." Hanna berdiri saat melihat Rizal datang setelah berkonsultasi dengan dokter yang menangani Andreas. "Apa kata dokter?" "Serangan jantung, tapi akan di periksa lebih lanjut langkah apa yang harus dilakukan setelah ini. Melihat kondis papa dulu, kita berdoa saja. Semoga tidak ada penyempitan pembuluh darah." "Maksud kamu apa, Cal?" Donna mendekat. "Kalo sudah mengalami itu, maka papa diharuskan pasang ring, Ma." "Ya Allah." Donna memalingkan wajahnya, Hanna mengusap punggung sang Ibu memberikan kekuatan. "Semua baik-baik aja, Ma. Papa bisa melewatinya, percaya sama aku." Bagaimanapun, sejahat apapun orang tua padanya, tetap saja yang terbaring di rumah ICU dan yang berdiri di hadapannya dengan terisak ini adalah orangtuanya. "Sebaiknya Mama istirahat dulu, aku sudah minta ruangan untuk kita beristirahat tadi. Uni bisa bawa Mama kesa
Dara duduk di kursi tunggu pasien, tepat di depan ruangan ICU. Ya, Bu Sum terkena stroke. Diagnosa sementara Bu Sum terkena stroke ringan. Menurut dokter Budi yang saat itu kebetulan berada di IGD, bisa jadi Bu Sum terlalu stress atau terlalu banyak pikiran."Kamu bisa ceritain ke Mbak, kenapa ibu tiba-tiba seperti ini, Gas?" tanya Dara pada Bagas yang duduk menelungkupkan wajahnya."Mbak Siti bilang, saat kejadian ada dua orang laki-laki yang datang ke rumah. Kata Mbak Siti, dua orang itu marah-marah sama Ibu.""Marah-marah kenapa? Apa ibu punya sangkutan hutang?" tanya Dara heran."Enggak lah Mbak, semiskin miskinnya kita, ibu selalu nggak mau ngutang sama orang. Dia pasti memilih bekerja siang malam buat kita daripada ada urusan hutang piutang," tegas Dara."Ya lalu kenapa ibu bisa begini?" Dara frustasi."Mbak Siti sempat bilang, lelaki itu sempat mengancam ibu.""Mengancam?" Rizal mengerutkan alisnya."Gas, coba kamu cerita yang benar. Dari awal!" Dara mulai terpancing emosi."Sab
"Butuh apa lagi?' tanya Rizal sambil mendorong troli belanjaan mereka."Daging, Mas. Sama buah-buahan." Dara melangkah ke area daging-daging segar. Baru saja dia memilih-milih daging, suara seseorang membuat dia dan Rizal menoleh ke asal suara."Kebetulan sekali bisa bertemu di sini," sapa Synthia sambil menenteng tas belanja. "Apa kabar?" "Synthia?" Rizal terperanjat. Dara menoleh pada suaminya."Suatu kebetulan banget bisa ketemu dengan kalian," ucap Synthia basa basi."Lagi di Jogja?" tanya Rizal."Yup, liburan ... belakangan ini Jogja lebih sering menyita perhatian." Synthia menatap Dara dengan sinis."Oh, enjoy holiday. Maaf kami sepertinya sudah selesai. Sudah selesai kan, Sayang?" tanya Rizal dengan penekanan kata Sayang pada Dara."Mm ... sudah." Dara pun mengangguk sambil memasukkan kantung berisi daging yang dia pilih tadi."Kapan ada waktu untuk bicara, Zal?" tanya Synthia tanpa memperdulikan Dara."Aku belum tau kapan, karena minggu-minggu ini masih persiapan untuk ujian
"Mau apalagi Anda datang ke rumah ini?"Bu Sum berdiri dengan tangan bersedekap di depan dada. Dahlan siang itu sudah berada di serambi teras rumah Bu Sum."Saya akan terus datang ke rumah ini sampai anak ibu dan keponakan saya berpisah.""Anda ini nggak waras ya. Atau Anda memang di ciptakan Tuhan nggak punya hati. Bisa bisanya Anda yang hanya seorang manusia mau memisahkan dua orang yang saling mencintai berpisah. Entah dimana harga diri Anda.""Jangan bicarakan harga diri, jika Ibu sendiri merendahkan harga diri Ibu hanya untuk mempermantukan keponakan saya.""Benar-benar nggak waras Anda. Pergi dari sini sebelum saya teriak dan orang kampung semua datang.""Silahkan saja, saya yakin orang kampung aka tau skandal ini.""Ini bukan skandal! Mereka saling mencintai, saya dan anak saya tidak pernah memandang orang dengan materi mereka asal Anda tau!""Bu ...." Siti yang baru datang dari mengantarkan baju berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Bu Sum."Sebaiknya Anda pergi!" Wajah Bu Sum t