Prosesi pernikahan Hana dan Hasan begitu sakral. Bertempat di hotel bintang lima, para tamu undangan bukan hanya dari kalangan pengusaha, tapi juga dari kalangan pejabat serta beberapa artis di negara ini.Rizal berdiri menikmati jamuan makan malam sambil mendengarkan alunan suara merdu dari salah satu artis yang di minta untuk mengisi acara. Hana begitu cantik duduk di pelaminan memakai suntiang, senyumnya terpancar. Namun entah itu sebuah senyum kepura-puraan atau nyata dia bahagia. Tidak dapat Rizal bayangkan bagaimana Hana akan mengarungi rumah tangganya nanti."Bukankah acara pernikahan dengan prosesi adat seperti ini sangat indah," ujar Anna, ibu Synthia. Wanita berbalut kebaya berwarna silver itu menghampiri Rizal.Rizal membalikkan tubuhnya, lalu dia menunduk memberi hormat pada Anna."Iya indah, Tante," jawab Rizal."Keinginan setiap orang tua itu ingin melihat anak-anaknya bukan hanya sampai dengan tercapai cita-cita mereka. Namun salah satunya seperti ini, melihat anak-anak
"Pesawatku transit dan sepertinya delay." Isi pesan Rizal untuk Dara.Sementara waktu menunjukkan pukul tiga sore, hampir dua jam Rizal menunggu di bandara Soekarno-Hatta. Bisa-bisa dia sampai Jogja malam hari, dengan begitu dia akan bertemu Dara sudah pasti keesokan harinya."Rizal?" Suara itu membuat Rizal menoleh."Maya?" "Ya ampun, tadinya aku ragu. Ternyata benar ini kamu," ujarnya dengan mata berbinar."Apa kabar?" Rizal mengulurkan tangan pada Maya, terakhir bertemu empat tahun yang lalu sebelum mereka berpisah."Baik. Aku baik, kamu?" Senyum itu masih sama, wajahnya semakin dewasa, namun matanya masih menyisakan luka. "Kemana?" tanya Rizal menelan salivanya kasar. Siapa sangka akan bertemu dengan gadis yang pernah bertahta di hatinya selama hampir lima tahun."Bali," ucapnya. "Kamu sendiri?""Jogja." Senyum Rizal nampak samar. "Duduk." Rizal menawarkan tempat duduk di ruang tunggu itu."PPDS?" tanya Maya."Begitulah, kamu sendiri ke Bali?""Oh, ada pekerjaan yang harus di s
Dara terbangun dari tidurnya saat ini waktu menunjukkan jam dua siang. Cumbuan Rizal membuatnya terlena dari pagi hingga tengah hari tadi. Pelampiasan kerinduan itu nyatanya hampir saja membuat mereka lupa diri.Tangan Rizal masih berada di atas perutnya. Kekasihnya itu sebenarnya masih nampak kelelahan dan juga kurang tidur. Dara meraih ponselnya, memesan makan siang mereka melalui aplikasi online. Perutnya sudah berbunyi sedari tadi.Kembali Dara memandangi wajah Rizal, bulu-bulu halus itu dibiarkan Rizal untuk tumbuh di sana menambah ketampanan lelaki Minang ini."Ganteng, ya?" Dengan mata yang sedikit terbuka dia berhasil mengagetkan Dara yang tengah asyik menikmati wajah tampannya."Ge-er banget." Dara tertawa kecil.Rizal merapatkan tubuhnya kembali pada Dara, memperhatikan gadisnya itu yang sedang memainkan jarinya di antara bulu-bulu halus wajah Rizal."Anak siapa sih kok bisa cantik kayak gini," ucap Rizal."Anak Bu Sumiati," jawab Dara tertawa. "Enggak nyangka ya, punya pacar
"Kalo boleh tau, ada berapa dokter di sana yang namanya sama dengan kamu." Dara menatap mata itu penuh dengan rasa penasaran berusaha mencari kebenaran di dalam sana."Maksudnya gimana?" Rizal melepas pelukannya, membawa Dara duduk di sisi tempat tidur sementara dia menarik kursi kerjanya."Ya aku mau tau, Rizal yang dimaksud Mbak-mbak perawat tadi itu dokter Rizal kamu atau ada Rizal yang lain.""Memangnya kenapa dengan Rizal yang mereka bicarakan?""Meraka bilang Rizal yang ini adalah anak seorang pengusaha, old money, kaya tujuh turunan, punya rumah sakit besar di Padang dan menjadi dokter residen di rumah sakit itu bukan dengan beasiswa tapi biaya sendiri," urai Dara.Rizal menelan salivanya kasar, jakunnya turun naik, ada kegugupan di sana. Bagaimana jika memberitahu Dara jika yang dia dengar adalah benar. Apa Dara masih tetap menerimanya atau malah sebaliknya meninggalkan Rizal karena kebohongan yang dia lakukan."Mas?" Dara membuyarkan lamunan Rizal. "Jadi, Rizal yang mereka ma
Dara mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan di kamarnya. Pikirannya masih bergejolak mencoba menghubungkan satu demi satu cerita yang dia dengar dan dia baca. Rasanya tidak mungkin Rizal membohonginya, tapi jika ini semua ternyata benar jelas Dara merasa selama ini dipermainkan oleh Rizal.Apakah dengan Rizal berbohong, maka Rizal bisa seenaknya mempermainkan perasaannya. Atau dengan jangan-jangan Rizal akan mengira jika Dara tahu dia dari keluarga berada maka Dara akan memanfaatkan kekayaan lelaki itu."Aku bukan cewek matre!" geram Dara.Kesal rasa hati Dara, lalu dia beranjak membuka lemari pakaiannya. Kemeja oversize berwarna nude dan celana jeans dia keluarkan dari sana. Setelah mengganti pakaiannya, Dara meraih tas selempangnya dan keluar dari kamar."Mau kemana, Ra?" tanya Bu Sum dengan membawa pewangi setrika yang akan dia berikan pada Siti."Ke rumah sakit Rizal, Bu," jawab Dara sambil memakai sepatu kets."Loh, ngapain? bukannya Nak Rizal hari ini ada jadwal kerja.""Bi
"Kita putus!"Dara beranjak dari kursi panjang itu. Cepat-cepat Rizal menahan tangan Dara, lalu menggandengnya pergi dari taman. Masih dengan tangan yang menggenggam erat tangan Dara, Rizal berjalan bersisian. Semua mata menatap mereka, apalagi para perawat-perawat muda yang kesehariannya sering tebar pesona pada Rizal. Beberapa berbisik, beberapa hanya memandang, mungkin saja mereka patah hati.Rizal naik ke atas motornya, dia taruh di depan tas punggung berisi laptop berikut jas putih yang biasa dia pakai saat bekerja sudah dia masukkan lebih dulu ke dalam tas itu."Naik," kata Rizal masih dengan nada lembut.Dara bergeming."Please, naik Ra. Nanti aku jelaskan semuanya saat kita tiba di kost." Rizal memohon."Aku mau pulang," ujar Dara masih memandang ke arah lain."Nanti kuantar pulang kalo kamu sudah mendengarkan penjelasanku. Ayo naik dulu," pinta Rizal.Pada akhirnya Dara mengikuti kata-kata Rizal, meski hatinya bergemuruh karena emosi namun otaknya mengatakan sebaliknya, Dara
"Halo Ra," ujar Sari di seberang sana."Halo Bu." Dara baru saja meletakkan tas kerjanya di atas meja pagi itu."Kamu udah di kantor?" tanya Sari."Sudah Bu, ada yang bisa saya bantu?""Mobil saya tiba-tiba mogok, kamu bisa bawakan berkas saya ke restoran hotel, ya.""Oh baik, Bu.""Ada dua berkas di atas meja saya, satu berbahasa Inggris satu lagi bahasa Indonesia. Keduanya isinya sama, nanti tolong kamu berikan pada Mr. Richard. Dia minta laporan itu pagi ini, kebetulan dia sarapan pagi di hotel. Nanti di sana sudah ada Pak Rudi yang menemaninya. Dua berkas itu berikan saja pada Pak Rudi, biar dia yang menjelaskan semuanya," ujar Sari panjang lebar."Baik, Bu. Segera saya ke restoran nanti, apa ada lagi?" "Enggak itu aja, ini saya masih nunggu taksi online. Setengah jam lagi mungkin saya sudah di kantor. Tolong kamu handle dulu ya, Ra."Dara mengangguk tanpa menjawab dan kembali meletakkan ponselnya setelah pembicaraan selesai. Gegas dia ke ruangan Sari untuk membawa berkas laporan
Sore menjelang, ini adalah hari kedua Rizal mengikuti seminar kedokteran yang diadakan di hotel ini. Setiap sore, Rizal akan berdiri di teras lobby hanya untuk menunggu motor Dara keluar dari area hotel, setelahnya dia akan merasa lega. Namun sore ini, sudah hampir satu jam Rizal menunggu tetapi Dara belum juga muncul.Rizal berjalan pada sisi hotel, mengitari area itu hingga sampai pada area pintu masuk kantor Dara. Sudah terlihat sepi, Dara belum juga muncul. Rizal menghampiri seorang sekuriti menanyakan apakah masih ada karyawan yang berada di dalam."Sepertinya masih ada, Pak. Mungkin lembur," jawab sekuriti tadi."Makasih, Mas." Rizal meninggalkan tempat itu. Alih-alih masuk ke dalam hotel untuk mengambil barang-barangnya, Rizal memilih duduk di bawah pohon tepat sebelum jalan ke arah basement.Dara keluar dari kantor setengah jam kemudian, dia berjalan ke arah parkir basement khusus karyawan. Rizal memperhatikan gerak-gerik Dara, hingga mimik mukanya berubah ketika sebuah mobil
Mesin pendeteksi jantung masih berbunyi secara normal. Beberapa kali dokter Zainal meminta alat operasi kepada perawat, sementara Rizal sesekali membantu dan memperhatikan bagaimana dokter senior itu melakukan pekerjaannya dengan teliti dan seksama.Pagi ini operasi besar seorang pasien dengan rekam medis pecah pembuluh darah di bagian otak. Operasi yang dilakukan hampir berjalan selama empat jam. Kasus yang selalu rumit bagi dokter bedah saraf dan diperlukan ke hati-hatian dalam menindak lanjuti.Satu jam kemudian operasi pun selesai dilaksanakan. Dokter Zainal berdiskusi lebih dulu dengan dokter-dokter terkait yang lainnya mengenai keadaan pasien. Tugas yang harus dilakukan oleh Rizal adalah memberikan pengertian pada keluarga pasien, bahwa operasi ini berhasil namun kondisi pasien masih diantara 50-50 untuk kembali normal seperti semula."Bisa ya, Dok?" Dokter Zainal memastikan Rizal bisa mengendalikan kondisi saat ini."Bisa, Dok."Dokter Zainal menepuk pundak Rizal, dia keluar le
"Ra, bangun Ra ... udah jam empat subuh. Mau liat matahari terbit nggak? Ra ...."Ini kali kedua Bu Sum membangunkan Dara. Gadis itu masih meringkuk di dalam selimut, sungguh ini ide Bu Sum membuat tulang-tulang nya rontok karena kedinginan."Ra, mau ikut nggak? Ibu tinggal ya, itu Bagas udah nunggu di depan. Sekalian Ibu ke Mushola nanti kamu nyusul ya.""Hhmm ...." Hanya itu yang terdengar dari jawaban Dara.Fajar mulai nampak, Bu Sum dan Bagas memutuskan berjalan menikmati udara pagi. Puncak gunung mulai terlihat, perkebunan sayur di kanan kiri jalan menjadi pemandangan alam yang tak dapat tergantikan dengan apapun.Sementara di bilik kamar villa, Dara masih meringkuk di dalam selimut putihnya. Bunyi alarm mau tak mau membuatnya membuka mata sedikit demi sedikit. Angka yang berada di layar ponselnya sontak membuatnya terkejut. Waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi sudah telat sepertinya untuk menikmati munculnya matahari pagi. Dara bergegas, meraih sweater tebalnya lalu masuk
Sore menjelang, ini adalah hari kedua Rizal mengikuti seminar kedokteran yang diadakan di hotel ini. Setiap sore, Rizal akan berdiri di teras lobby hanya untuk menunggu motor Dara keluar dari area hotel, setelahnya dia akan merasa lega. Namun sore ini, sudah hampir satu jam Rizal menunggu tetapi Dara belum juga muncul.Rizal berjalan pada sisi hotel, mengitari area itu hingga sampai pada area pintu masuk kantor Dara. Sudah terlihat sepi, Dara belum juga muncul. Rizal menghampiri seorang sekuriti menanyakan apakah masih ada karyawan yang berada di dalam."Sepertinya masih ada, Pak. Mungkin lembur," jawab sekuriti tadi."Makasih, Mas." Rizal meninggalkan tempat itu. Alih-alih masuk ke dalam hotel untuk mengambil barang-barangnya, Rizal memilih duduk di bawah pohon tepat sebelum jalan ke arah basement.Dara keluar dari kantor setengah jam kemudian, dia berjalan ke arah parkir basement khusus karyawan. Rizal memperhatikan gerak-gerik Dara, hingga mimik mukanya berubah ketika sebuah mobil
"Halo Ra," ujar Sari di seberang sana."Halo Bu." Dara baru saja meletakkan tas kerjanya di atas meja pagi itu."Kamu udah di kantor?" tanya Sari."Sudah Bu, ada yang bisa saya bantu?""Mobil saya tiba-tiba mogok, kamu bisa bawakan berkas saya ke restoran hotel, ya.""Oh baik, Bu.""Ada dua berkas di atas meja saya, satu berbahasa Inggris satu lagi bahasa Indonesia. Keduanya isinya sama, nanti tolong kamu berikan pada Mr. Richard. Dia minta laporan itu pagi ini, kebetulan dia sarapan pagi di hotel. Nanti di sana sudah ada Pak Rudi yang menemaninya. Dua berkas itu berikan saja pada Pak Rudi, biar dia yang menjelaskan semuanya," ujar Sari panjang lebar."Baik, Bu. Segera saya ke restoran nanti, apa ada lagi?" "Enggak itu aja, ini saya masih nunggu taksi online. Setengah jam lagi mungkin saya sudah di kantor. Tolong kamu handle dulu ya, Ra."Dara mengangguk tanpa menjawab dan kembali meletakkan ponselnya setelah pembicaraan selesai. Gegas dia ke ruangan Sari untuk membawa berkas laporan
"Kita putus!"Dara beranjak dari kursi panjang itu. Cepat-cepat Rizal menahan tangan Dara, lalu menggandengnya pergi dari taman. Masih dengan tangan yang menggenggam erat tangan Dara, Rizal berjalan bersisian. Semua mata menatap mereka, apalagi para perawat-perawat muda yang kesehariannya sering tebar pesona pada Rizal. Beberapa berbisik, beberapa hanya memandang, mungkin saja mereka patah hati.Rizal naik ke atas motornya, dia taruh di depan tas punggung berisi laptop berikut jas putih yang biasa dia pakai saat bekerja sudah dia masukkan lebih dulu ke dalam tas itu."Naik," kata Rizal masih dengan nada lembut.Dara bergeming."Please, naik Ra. Nanti aku jelaskan semuanya saat kita tiba di kost." Rizal memohon."Aku mau pulang," ujar Dara masih memandang ke arah lain."Nanti kuantar pulang kalo kamu sudah mendengarkan penjelasanku. Ayo naik dulu," pinta Rizal.Pada akhirnya Dara mengikuti kata-kata Rizal, meski hatinya bergemuruh karena emosi namun otaknya mengatakan sebaliknya, Dara
Dara mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan di kamarnya. Pikirannya masih bergejolak mencoba menghubungkan satu demi satu cerita yang dia dengar dan dia baca. Rasanya tidak mungkin Rizal membohonginya, tapi jika ini semua ternyata benar jelas Dara merasa selama ini dipermainkan oleh Rizal.Apakah dengan Rizal berbohong, maka Rizal bisa seenaknya mempermainkan perasaannya. Atau dengan jangan-jangan Rizal akan mengira jika Dara tahu dia dari keluarga berada maka Dara akan memanfaatkan kekayaan lelaki itu."Aku bukan cewek matre!" geram Dara.Kesal rasa hati Dara, lalu dia beranjak membuka lemari pakaiannya. Kemeja oversize berwarna nude dan celana jeans dia keluarkan dari sana. Setelah mengganti pakaiannya, Dara meraih tas selempangnya dan keluar dari kamar."Mau kemana, Ra?" tanya Bu Sum dengan membawa pewangi setrika yang akan dia berikan pada Siti."Ke rumah sakit Rizal, Bu," jawab Dara sambil memakai sepatu kets."Loh, ngapain? bukannya Nak Rizal hari ini ada jadwal kerja.""Bi
"Kalo boleh tau, ada berapa dokter di sana yang namanya sama dengan kamu." Dara menatap mata itu penuh dengan rasa penasaran berusaha mencari kebenaran di dalam sana."Maksudnya gimana?" Rizal melepas pelukannya, membawa Dara duduk di sisi tempat tidur sementara dia menarik kursi kerjanya."Ya aku mau tau, Rizal yang dimaksud Mbak-mbak perawat tadi itu dokter Rizal kamu atau ada Rizal yang lain.""Memangnya kenapa dengan Rizal yang mereka bicarakan?""Meraka bilang Rizal yang ini adalah anak seorang pengusaha, old money, kaya tujuh turunan, punya rumah sakit besar di Padang dan menjadi dokter residen di rumah sakit itu bukan dengan beasiswa tapi biaya sendiri," urai Dara.Rizal menelan salivanya kasar, jakunnya turun naik, ada kegugupan di sana. Bagaimana jika memberitahu Dara jika yang dia dengar adalah benar. Apa Dara masih tetap menerimanya atau malah sebaliknya meninggalkan Rizal karena kebohongan yang dia lakukan."Mas?" Dara membuyarkan lamunan Rizal. "Jadi, Rizal yang mereka ma
Dara terbangun dari tidurnya saat ini waktu menunjukkan jam dua siang. Cumbuan Rizal membuatnya terlena dari pagi hingga tengah hari tadi. Pelampiasan kerinduan itu nyatanya hampir saja membuat mereka lupa diri.Tangan Rizal masih berada di atas perutnya. Kekasihnya itu sebenarnya masih nampak kelelahan dan juga kurang tidur. Dara meraih ponselnya, memesan makan siang mereka melalui aplikasi online. Perutnya sudah berbunyi sedari tadi.Kembali Dara memandangi wajah Rizal, bulu-bulu halus itu dibiarkan Rizal untuk tumbuh di sana menambah ketampanan lelaki Minang ini."Ganteng, ya?" Dengan mata yang sedikit terbuka dia berhasil mengagetkan Dara yang tengah asyik menikmati wajah tampannya."Ge-er banget." Dara tertawa kecil.Rizal merapatkan tubuhnya kembali pada Dara, memperhatikan gadisnya itu yang sedang memainkan jarinya di antara bulu-bulu halus wajah Rizal."Anak siapa sih kok bisa cantik kayak gini," ucap Rizal."Anak Bu Sumiati," jawab Dara tertawa. "Enggak nyangka ya, punya pacar
"Pesawatku transit dan sepertinya delay." Isi pesan Rizal untuk Dara.Sementara waktu menunjukkan pukul tiga sore, hampir dua jam Rizal menunggu di bandara Soekarno-Hatta. Bisa-bisa dia sampai Jogja malam hari, dengan begitu dia akan bertemu Dara sudah pasti keesokan harinya."Rizal?" Suara itu membuat Rizal menoleh."Maya?" "Ya ampun, tadinya aku ragu. Ternyata benar ini kamu," ujarnya dengan mata berbinar."Apa kabar?" Rizal mengulurkan tangan pada Maya, terakhir bertemu empat tahun yang lalu sebelum mereka berpisah."Baik. Aku baik, kamu?" Senyum itu masih sama, wajahnya semakin dewasa, namun matanya masih menyisakan luka. "Kemana?" tanya Rizal menelan salivanya kasar. Siapa sangka akan bertemu dengan gadis yang pernah bertahta di hatinya selama hampir lima tahun."Bali," ucapnya. "Kamu sendiri?""Jogja." Senyum Rizal nampak samar. "Duduk." Rizal menawarkan tempat duduk di ruang tunggu itu."PPDS?" tanya Maya."Begitulah, kamu sendiri ke Bali?""Oh, ada pekerjaan yang harus di s