Share

Bab 8. Siapa Dia?

"Mama ada di Jogja? Sejak kapan?" tanya Rizal yang bergegas ke parkiran motor Rumah Sakit, dia harus segera menuju hotel tempat kedua orangtuanya menginap.

Memasuki sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jogja, Rizal melangkahkan kakinya menuju restoran hotel itu. Wanita cantik berumur 50 puluh tahunan itu sedang berbincang dengan dua orang pria yang jelas sekali Rizal kenal, ayah dan pamannya. Entah dalam rangka apa ketiga orang yang dituakan ini datang tiba-tiba ke Jogja. 

"Ma, Pa." 

Rizal berdiri di antara mereka yang duduk di meja makan besar mengulurkan tangannya, menyalami kedua orangtuanya. Matanya melirik ke arah lelaki berkacamata dengan tatapan datar.

"Mamak, apa kabar?" Rizal kembali sedikit membungkuk, menyalami kakak pertama dari sang Ibu.

"Haa ...tumben Ichal langsuang tibo manamui Mama Papa, biasonyo tunggu sahari duo hari dulu baru ka tibo kamari, itupun kalau indak tapaso ndak ka tibo do," sindir Donna, ibu Rizal.(Tumben langsung nemuin Mama sama Papa, biasanya Mama Papa harus nunggu dua hari dulu baru bisa ketemu kamu, itu juga seperti terpaksa.)

"Perasaan Mama aja itu." Rizal menarik kursi di sebelah Donna.

"Gimana kuliah kamu? praktek dan lainnya?" 

"Lumayan Pa, menyita waktu."

"Sampai enggan untuk pulang, sibuk sekali sepertinya." Donna kembali menyindir Rizal.

"Maleh Ma. Tiok pulang nan ditanyo ituuu se taruih. Bilo nikah ka bilo nikah se." (Males juga, Ma. Setiap pulang di tanya kapan nikah terus.) Rizal meneguk air minum di depannya.

"Umua awak tu alah kapalo tigo, tantu lah iyo itu nan Mama tanyo taruih, bilo Ichal nio manikah." (Umur kamu itu kepala tiga tahun depan, jelas lah Mama tanya kapan kamu mau nikah.)

"Rizal belom siap, Ma."

"Kapan siapnya, sementara waktu terus berjalan." Kali ini Dahlan, sang Paman angkat bicara.

"Alun adi pikiran Ichal ka situ lai, mancari jodoh ndak sagampang itu doh, Mak. (Ichal belum kepikiran, lagian nyari jodoh nggak segampang itu, Mak.) Rizal menelan salivanya kasar, memang butuh keberanian kalau berbicara dengan pamannya.

"Makonyo, makasuik kami datang ka Jogja ko, guno membahas soal perjodohan untuak Ichal," ucap Andreas. (Makanya, kami datang ke Jogja ini ingin membahas tentang perjodohan kamu.)

"Ck, ini lagi." Rizal mengusak rambutnya. "Pendidikan spesialis Ichal alun salasai lai, Pa. Masih banyak yang harus Ichal salasaikan. Andai Ichal manikah jo pilihan Mama, Papa dan Mamak, sia yang bisa manjamin padusi tu sanggup manunggu Ichal. Alun lai karajo Ichal yang kadang indak mengenal waktu." (Pendidikan spesialis Ichal juga belum selesai, Pa. Masih banyak yang harus Ichal kerjakan, semisal Ichal menikah dengan pilihan Papa, Mama dan Mamak apa bisa menjamin gadis itu mampu menunggu Ichal. Belum lagi, pekerjaan Ichal yang kadang tak pandang waktu.)

"Kalo itu bisa saja semua dibicarakan, Chal. Tinggal kamu nya bersedia atau enggak?" Dahlan kembali menatap tajam ke arah keponakannya.

"Mak, ado apo Mak? Kok bantuaknyo Mamak basumangaik manga membahas perjodohan ko?" (Kenapa Mamak sepertinya menggebu sekali dalam perjodohan ini?)

"Ya karena adat kita yang sudah turun temurun," jawab Dahlan. "Anak dipangku, kamanakan dibimbiang."

Rizal terdiam.

"Kamu tau artinya? Mamak perjelas di sini, tanggung jawab Mamak lebih besar pada kamu, keponakan Mamak daripada tanggung jawab Mamak ke anak Mamak sendiri."

"Kamu dengar kata Mamakmu, Chal. Ada baiknya kamu turuti kemauan kami, ini demi kebaikan kamu sendiri." Andreas beranjak dari tempat duduknya. 

"Bisuak Mama ado maundang urang datang untuak makan malam samo2 jo awak, Inyo baru datang dari Jakarta. Tolong luangkan waktu Ichal untuak hadir bisuak." (Mama besok mengundang seseorang untuk makan malam dengan kita, dia baru datang dari Jakarta besok. Tolong luangkan waktu kamu, Chal.)

Donna meletakkan napkin di atas meja makan, dia ikut beranjak meninggalkan ruangan itu menyusul suaminya. Melihat kedua orangtuanya meninggalkan ruangan itu, Rizal pun meraih kunci motornya.

"Rumah sakit kita akan mengadakan kerjasama dengan perusahaan alat kesehatan bertaraf internasional. Besok jangan nggak dateng, Rumah Sakit itu nanti berada dalam kepemimpinan kamu," ujar Dahlan menatap Rizal.

"Ichal pulang dulu." Tanpa menoleh sedikitpun pada Dahlan, dia terus melangkah menuju lobby hotel dan tak berpikir untuk mampir terlebih dulu ke kamar orangtuanya.

*****

"Maaf semalam janji kita harus batal." 

Dara membaca isi pesan Rizal pagi ini. 

"Enggak apa-apa," balas Dara di sertai gambar ekspresi tersenyum.

"Mungkin beberapa hari ke depan kita bakal jarang ketemu." Rizal kembali mengirimkan pesan.

"Ok. Selamat bekerja ya, jangan lupa sarapan," balas Dara.

"Kamu juga."

Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan, di tambah lagi ini adalah akhir bulan. Dara di minta untuk mengelola database karyawan dua tahun terakhir oleh manager HRD.

"Sudah selesai?" tanya Sari, HRD manager tempat Dara bekerja.

"Sedikit lagi, Bu." Dara membereskan tumpukan file di atas mejanya.

"Kalo sudah selesai semua, tolong matikan semua lampu ruangan ini ya, Ra. Jangan malam-malam, ini udah lebih jam delapan."

"Baik, Bu. Ini sedikit lagi, selesai langsung saya email ke Ibu."

"Ok, saya duluan ya." 

Di ruangan itu hanya tertinggal Dara seorang. Siapa sangka Dara bisa bekerja di hotel ini, meskipun hanya karyawan kontrak namun patut di syukuri untuk seorang fresh graduate seperti dirinya.

"Selesai." 

Tepat pukul sembilan malam Dara selesai mengerjakan pekerjaannya. Sambil meluruskan otot-otot yang tegang selama seharian ini Dara meraih ponselnya yang sejak sore tak dia sentuh. Beberapa pesan baru dia baca diantaranya Bagas dan Bu Sum.

"Sibuk sepertinya," pikir Dara saat melihat tidak ada pesan masuk dari Rizal.

Dara meraih sweater rajutnya, dia berjalan ke arah parkiran motor khusus karyawan. Perlahan laju motor itu melewati jendela besar di sisi hotel yang merupakan restoran. Matanya sekejap melihat seorang pria yang sangat dia kenal. Tapi kali ini pria itu tidak sendirian,  dia bersama lima orang lainnya. Dua diantaranya wanita.

Dara tetap melaju dengan motor Mio nya, meski pikirannya melayang ke restoran tadi. 

"Dokter Rizal dengan siapa? Oh mungkin koleganya, bukankah dia seorang dokter." 

Dara menepis jauh pikirannya, lagi pula kenapa dia harus berpikir jauh sedangkan dia dan Rizal hanya sebatas teman.

"Ah entahlah siapa mereka, tapi kenapa ada wanita cantik disana. Bahkan duduknya pun bersebelahan dengan dia."

Lagi-lagi rasa penasaran Dara memenuhi isi kepalanya.

"Siapa dia?"

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Jadi Dara bertanya2 deh ??
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Rupa nya Dara kerja di hotel yg tempat nginap kedua ortu nya Rizal Dan Dara tanpa sengaja lihat ada Rizal di resto sama orang banyak dan ada cewek Pasti itu cewek yg mau di jodohkan dgn Rizal
goodnovel comment avatar
Christina Natalia
hehehe....tenang dara kamu lah pemilik hati pak dokter
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status