"Kamu sibuk besok malam?"
Isi pesan dari Rizal untuk Dara. Sudah hampir satu minggu ini lelaki itu tak mendapat kabar bahkan bertemu dengan Dara. Yang datang mengantarkan atau mengambil baju kotornya hanya Bagas. Bertanya pada Bagas pun, pemuda itu hanya mengatakan sang Kakak sedang sibuk.
"Kebetulan aku nggak ada jadwal jaga, kita bisa ketemu?"
Lagi pesan itu masuk namun belum mendapat balasan dari Dara. Hanya saja tanda centangnya sudah berwarna biru itu artinya Dara membaca pesannya.
Kesal menunggu, Rizal meraih jaketnya kemudian berjalan menuju parkiran motor rumah sakit. Untung saja hari ini jam jaganya hanya sampai setelah Magrib.
Motor sport itu berhenti di depan pagar rumah Dara. Lampu rumah pun sudah menyala, kios kecil tempat Bu Sum menerima pakaian laundry juga sudah di tutup. Hanya saja motor Mio milik Dara tak terlihat di sana, bisa jadi motor itu sedang di pakai oleh Bagas.
Rizal mendorong motornya masuk ke halaman rumah Bu Sum. Dia letakkan helm full facenya di meja yang berada di teras. Terdengar suara dari dalam ketika ketukan di pintu berbunyi sebanyak tiga kali.
"Dokter Rizal?' Bu Sum terkejut melihat Rizal berdiri di depan pintu rumahnya.
"Malam Bu Sum, maaf mengganggu, Dara nya ada?"
"Masuk dulu," ajak Bu Sum.
"Di teras aja, Bu ...," tolak Rizal.
"Ibu kira ada apa malam-malam." Bu Sum tersenyum. "Soalnya seingat Ibu, pakaiannya baru di ambil tadi, toh?"
"Iya, Bu." Rizal menunduk malu.
"Ternyata mau ketemu Dara. Sebentar ya, Ibu panggil dulu." Bu Sum masuk meninggalkan Rizal yang masih berdiri di sana.
"Dokter Rizal?" Dara berdiri di ambang pintu menggunakan daster sebatas lutut di balut kardigan rajut berwarna krem.
Rizal membalikkan tubuhnya, matanya terkesiap melihat gadis berkulit kuning langsat dengan rambut yang di cepol asal nampak begitu polosnya.
"Dara— mm ... gini eh. I—ini, aku ...."
"Apa?"
"Aku chat kamu, kenapa nggak di bales?" Setelah gugup ingin berkata apa, akhirnya Rizal pun mengutarakan kedatangannya malam itu.
"Oh, ponsel aku rusak. Masih di servis, belum ku ambil. Silahkan duduk."
"Tapi pesannya terbaca," ujar Rizal penasaran.
"Bisa jadi di baca yang servis kali ya." Dara pun ikut mengerutkan alisnya. "Coba besok aku kesana. Dokter kesini cuma mau tanya itu?" tanya Dara.
"Hah?" Rizal serba salah. Kalau seperti ini, jelas sekali tidak terlihat dia adalah seorang dokter PPDS.
"Sudah makan?" tanya Dara lagi.
"Belum," jawab Rizal cepat. Jelas saja sedari sorei dia belum menyentuh nasi.
"Sebentar aku ganti baju dulu," ujar Dara lalu berlari masuk ke dalam rumah.
Selang berapa lama, gadis itu sudah muncul kembali di teras mengenakan celana jeans, kaos serta kardigan yang sebelumnya dia kenakan.
"Jalan kaki aja, ya? Di gang sebelah ada yang jual nasi goreng enak. Kali ini aku yang traktir." Dara berjalan menuju pagar, Rizal tersenyum melihat tingkah gadis itu.
"Memangnya Bu Sum nggak marah kamu keluar malem-malem, jalan kaki lagi." Rizal berjalan di sisi kanan Dara.
"Sama cowok lagi, ya kan." Dara melirik ke arah Rizal sambil tersenyum.
"Nah iya, untung cowoknya aku coba kalo yang lain."
Dara menyunggingkan senyuman, "Ibu itu orang yang selalu percaya sama anak-anaknya, apalagi cuma perkara jalan kaki beli nasi goreng. Yang penting pulangnya bawa nasi goreng juga buat ibu."
"Oh gitu, semacam sogokan?" Rizal ganti melirik Dara.
"Ya enggaklah, kan emang aku belom makan, ibu juga belom, jadi nggak ada istilah sogok menyogok."
Berjalan beriringan membuat keduanya semakin akrab, sesekali tangan mereka bersentuhan meski terhalang jaket dan kardigan yang mereka kenakan tapi tetap saja ada rasa yang menggelitik seru di hati mereka.
Memasuki sebuah warung nasi goreng yang tidak begitu ramai, Dara memesan dua nasi goreng dan dua es jeruk untuk mereka.
"Duduk dimana?" Dara melihat beberapa tempat duduk yang masih kosong.
"Kalo bisa sih menduduki hatimu," jawab Rizal sedikit menunduk mendekati tubuh Dara.
Dara lagi-lagi mengulum senyum, sepertinya dia akan terbiasa mendengarkan kata-kata gombalan dari Rizal yang sebenarnya memang membuat hatinya jadi meleleh.
"Lesehan, mau?"
"Dimana aja asal sama kamu, aku mau?"
Dara kali ini tak dapat menahan tawanya, reflek tangannya mencubit pinggang Rizal.
"Sekali lagi kayak gitu, beneran aku nggak bakal bales chat dari kamu," ujar Dara gemas.
"Pedes ternyata."
"Apanya? Oh nasi gorengnya mau yang pedas?"
"Cubitan kamu, sakit banget." Rizal meringis.
"Siapa suruh, rasain deh." Dara tertawa kecil.
Duduk di lesehan sambil menikmati nasi goreng yang memang terbilang enak di lidah, perlahan hujan pun turun meski hanya rintik.
"Gimana info kerjaan yang kamu bilang minggu lalu?" tanya Rizal sambil meraih tempat kaleng yang berisi kerupuk.
"Sudah mulai kerja dari dua hari yang lalu, ya hanya perbantuan sih sampai yang menempati posisi aku sekarang kembali masuk kerja."
"Kok gitu?"
"Melahirkan."
"Oh, setelah dia kembali terus kamu gimana?"
"Ya tergantung yang punya perusahaan, tapi aku nggak mau mikirin gimana-gimananya dulu, ya g penting udah kerja bisa bantu ibu. Itu udah cukup."
Rizal mengangguk angguk, baru kali ini dia bertemu dengan seorang gadis yang mau melakukan apa saja untuk keluarganya.
"Kenapa?" tanya Dara.
"Salut aja sama kamu."
"Dokter juga kalo dari keluarga biasa-biasa seperti kami dan berada di posisi seperti aku juga akan melakukan hal yang sama. Jadi bukan sesuatu yang harus di kagumi."
Lagi-lagi Rizal hanya mengangguk, dia setuju dengan cara berpikir Dara. Sayangnya dia memang bukan dari keluarga biasa-biasa saja.
Orang tua Rizal adalah salah satu pengusaha ternama juga pemilik rumah sakit bertaraf internasional di daerahnya. Rizal bisa meneruskan pendidikan ke program spesialis saat ini pun bukan hanya sekedar keinginannya saja tapi juga keharusan demi kemajuan rumah sakit yang di pimpin oleh sang Ibu.
"Dokter sendiri pasti juga pakai beasiswa kan bisa meneruskan PPDS di sini?"
"Oh— eh, iya," bohong Rizal.
Jarak berjalan kaki menuju kembali ke rumah Bu Sum begitu singkat bagi Rizal. Rasanya enggan sekali dia membawa motornya keluar dari pekarangan rumah itu.
"Makasih makan malamnya ya, kali ini pilihan kamu benar-benar sesuai dengan keadaan perut aku," kekeh Rizal.
"Sama-sama, sekarang kita impas ya," ucap Dara.
"Maksudnya impas?"
"Ya aku nggak ada hutang sama kamu," jelas Dara.
"Hhmm ... gitu ya. Berarti setelah ini kita nggak ketemu lagi?"
Deg
Hati Dara kembali bergetar, lelaki dihadapannya ini tidak pantang menyerah.
"Maksud aku, kita masih bisa bertemu? Selain antar dan ambil baju laundry?" Kedua alis Rizal naik menunggu kepastian.
Helaan napas panjang dan senyum yang terkulum di bibir Dara seakan menjawab semuanya.
"Okeh, kalo gitu aku pamit ya. Titip salam untuk Bu Sum."
Dara mengangguk.
Sebelum menyalakan mesin motor dan memakai helmnya, Rizal kembali memberikan pertanyaan pada Dara da berharap jawaban itu adalah iya.
"Pulang kerja jam berapa? Besok aku nggak ada jam jaga malam, kita ketemu lagi, bisa?"
"Astaga."
"Aku takut kamunya kangen."
"Mama ada di Jogja? Sejak kapan?" tanya Rizal yang bergegas ke parkiran motor Rumah Sakit, dia harus segera menuju hotel tempat kedua orangtuanya menginap.Memasuki sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jogja, Rizal melangkahkan kakinya menuju restoran hotel itu. Wanita cantik berumur 50 puluh tahunan itu sedang berbincang dengan dua orang pria yang jelas sekali Rizal kenal, ayah dan pamannya. Entah dalam rangka apa ketiga orang yang dituakan ini datang tiba-tiba ke Jogja. "Ma, Pa." Rizal berdiri di antara mereka yang duduk di meja makan besar mengulurkan tangannya, menyalami kedua orangtuanya. Matanya melirik ke arah lelaki berkacamata dengan tatapan datar."Mamak, apa kabar?" Rizal kembali sedikit membungkuk, menyalami kakak pertama dari sang Ibu."Haa ...tumben Ichal langsuang tibo manamui Mama Papa, biasonyo tunggu sahari duo hari dulu baru ka tibo kamari, itupun kalau indak tapaso ndak ka tibo do," sindir Donna, ibu Rizal.(Tumben langsung nemuin Mama sama Papa, biasanya Ma
"Ini Synthia, anak dari Datuk Basri Alam," ujar Donna. "Kamu masih ingat kan, Synthia kecil dulu sering ke rumah kita."Rizal pun tersenyum, tidak pernah terbesit di ingatannya tentang wanita di hadapannya ini pernah datang ke rumahnya. Atau memang dia yang sudah lupa."Enggak sering Tante, cuma beberapa kali sebelum Bunda bawa Synthia ke Australia."Wanita yang umurnya mungkin hanya berbeda satu tahun di bawah Rizal ini pun mengulurkan tangannya."Apa kabar?""Baik," jawab Rizal canggung."Jadi pertemuan kali ini memang sangat mendadak," ujar lelaki yang umurnya di atas lebih tua dari Rizal. Mungkin hampir memasuki 40 tahun. Lelaki itu Amar kakak laki laki tertua Synthia."Kebetulan kami juga ada perjalanan bisnis ke Jogja, dan Bunda memberi tahu kalau Tante Donna dan Om Andreas sedang berada di Jogja. Mengenai kerjasama perusahaan yang pernah kita bahas tempo hari, kami selalu wakil dari perusahaan menyetujui persyaratan dan perjanjiannya.""Mengenai kelanjutannya, kita bicarakan de
Rizal menuntun motornya masuk ke pekarangan rumah Dara. Sudah menjadi kebiasaannya selama bertamu ke rumah gadis itu, Rizal psti mematikan motornya, maklum saja suara motor sport milik Rizal memang terdengar sedikit berisik."Loh, Mas Dokter." Bagas yang baru saja masuk ke pekarangan rumah kaget melihat Rizal juga baru datang."Gas," sapa Rizal. "Dara ada?""Ada, aku panggil dulu." Bagas memarkirkan motornya."Eh, Gas ... ini buat kamu dan ibu." Rizal memberikan satu kantung plastik berwarna putih."Makasih, Mas Dokter. Aku panggil Mbak Dara dulu." Bagas masuk ke dalam rumah dengan hati senang membawa bungkusan yang dari harumnya saja sudah bisa dia tebak."Emang rejeki anak soleh," ujar Bagas menaruh kantung plastik berisi dua tempat martabak manis dan martabak telur. "Tau aja ngambil hatinya," kekeh Bagas lalu melangkah menuju kamar Dara."Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun dia buka. "Ada yang cari tuh."Dara gelagapan, "siapa?""Pake nanya ... sana temuin dulu
Senyum Rizal kembali terukir, ingatannya masih melekat saat tadi dirinya memberanikan diri menyatakan perasaannya pada Dara. Tiba-tiba memeluk gadis itu, bahkan wajah mereka sempat dekat beberapa inci lagi, saling menatap sendu.Lamunannya buyar saat pesan masuk ke ponselnya dari sang Mama."Mama besok pagi pulang, penerbangan jam tujuh pagi. Malam ini sempatkan bertemu Mama dan Papa." Isi pesan itu rasanya enggan Rizal baca, toh selama ini juga orangtuanya datang dan pergi sesuka hati. Datang dengan melimpahkan masalah padanya, dan pergi meninggalkan masalah baru.Seperti pertemuan malam itu dengan Synthia dan Amar. Rizal baru mengetahui kalau ada rencana paman dan orangtuanya menjodohkannya dengan Synthia dengan alasan menjadikan kerajaan bisnis mereka khususnya rumah sakit berkembang lebih pesat lagi. Salah satunya menambah jangkauan bisnis sang Ayah yang mencoba bermain di pertambangan. Dan Synthia siang itu mengatakan sendiri pada Rizal. "Ya aku nggak bisa memaksa kamu, tapi ad
"Ra, Ibu boleh tanya?" Bu Sum menarik kursi di ruang makan, dia memperhatikan Dara yang sedang mengunyah nasi goreng buatan Bu Sum pagi itu."Ya, Bu. Ibu mau tanya apa?" Dara meneguk air putih di dalam gelas."Kamu dan dokter Rizal, benar kalian pacaran?""Uhuk ... uhuk ...." Dara tersedak membuat dia pun terbatuk-batuk. "Pake acara batuk-batuk segala. Bilang aja iya, Mbak. Lagian Ibu juga pertanyaannya bikin ketawa, mana ada sih Bu, cowok tiap malem Minggu dateng ke rumah terus mau ketemu anak gadis Ibu." Bagas meletakkan tasnya di kursi lalu menerima piring berisi nasi goreng dari Bu Sum."Kan Ibu butuh kejelasan, Gas.""Mbak, pinjem motor ya. Bagas ada tugas P5, Mbak nggak kemana-mana kan hari ini?" tanya Bagas."Sabtu ini Mbak mau ke toko buku.""Yah, kirain nggak kemana-mana." Raut wajah Bagas kecewa."Pake aja, biar Mbak naik bis Trans." "Hhmm ... nggak sama ayang bebeb?" goda Bagas menahan senyumnya."Enggak, dia ada jadwal hari ini." "Jadi bener pacaran, Ra?" Bu Sum masih p
Kenapa sih, Mas?" tanya Dara lagi. "Mas ...." Dara membelalakkan matanya saat tubuh Rizal semakin mendekat. "Mas ... mau ngapain?' tangan Dara menahan dada Rizal."Mau ambil remote." Rizal meraih remote TV tepat berada di sebelah Dara."Ih." Dara menepuk pundak lelaki itu. "Kirain mau ngapain.' "Emang mau ngapain?' Rizal senyum-senyum, diapaling senang jika usil pada Dara. Tak tahan melihat wajah kekasihnya itu memerah jika dia goda.Rizal beranjak dari tempat duduknya setelah membaca pesan yang masuk."Mas mau kemana?" "Mau ambil pesanan di bawah," jawab Rizal. "Aku ikut." Dara ikut beranjak."Sebentar aja, Ra. Di sini aman, nggak ada apa-apa. Aku cuma sebentar."Tidak sampai 10 menit Rizal sudah kembali ke unit apartemen miliknya. Saat membuka pintu dia tidak menemukan Dara di sana. Terdengar aliran air dari kamar mandi, sudah pasti kekasihnya itu berada di sana. Rizal menyiapkan makan malam untuk mereka, sengaja dia memesan beef teriyaki, salad sayur dan salad buah, dan dua kot
"Bagaimana dengan project alat kesehatan yang masuk ke rumah sakit kita?" tanya Andreas pada Hana."Dari kesepakatan bersama mereka baru mengirimkan satu batch sesuai dengan perjanjian. Semua sudah di alokasikan ke bagian purchasing untuk di proses lebih lanjut, Pa," jawab Hana.Hana adalah anak yang di asuh oleh Andreas dan Donna sejak masih bayi, dua tahun sebelum Rizal lahir melengkapi kebahagiaan keluarga mereka."Han, persiapan pernikahan kamu sudah berapa persen?""Masih 80 persen, Ma. Hari ini rencananya kami akan meeting untuk resepsi wedding nya.""Bisa nggak kamu nggak terlalu sering pulang malam. Enggak pantas calon pengantin masih sibuk pekerjaan di kantor hingga harus lembur." Donna memoleskan selai cokelat di rotinya. "Pa, bisa kan di kurangi sedikit saja kerjaan Hanna. Bagaimanapun dia harus menjaga sikap dan sifatnya sebagai keturunan kita.""Ya kan memang kerjaan di kantor apalagi urusan rumah sakit memang harus Hanna yang handle. Siapa lagi kalo bukan Hanna, Rizal? a
Motor Rizal berhenti di parkiran kost-nya siang itu. Sambil membawa dua kantung plastik berisi kebutuhan bulanannya, Rizal berjalan ke arah beranda kost eksklusif itu. Sebuah senyuman terukir di wajahnya saat melewati salah satu kamar di dekat tangga. Sedikit mengangguk dan megucap kata permisi, Rizal terus melangkah menapaki anak tangga.Siang ini rencananya, Rizal meminta Dara untuk datang ke kostnya. Karena terkadang mereka hanya punya waktu bertemu di hari Sabtu atau Minggu saja. Itu pun hanya beberapa jam saja, atau Rizal menyempatkan diri menjemput Dara di tempat kerjanya.Membereskan barang bawaannya, Rizal melanjutkan membersihkan kamarnya. Menyemprotkan pewangi di seluruh ruangan dan menyalakan pendingin ruangan agar saat Dara datang kamarnya sudah terlihat rapih.Pintu terbuka setelah diketuk dua kali oleh Dara. Senyum keduanya merekah saat saling menatap. Dara melangkah masuk ke dalam kamar kost Rizal, harum mint tercium begitu segar."Aku bawain kamu salad sayur," ujar Dar
"Jadi mantumu belum hamil?" "Belum, Etek. Hanna juga kemarin nunggu sampai enam bulan akhirnya hamil." "Iya, tapi Hanna itu kan anak angkat mu. Sedangkan Rizal itu anakmu sendiri, jadi dia harus punya keturunan untuk meneruskan adat istiadat kita, hartamu dan banyak lagi semuanya, Don. Cukup sekali saja kau gagal dalam menjodohkan Rizal dengan anak konglomerat itu, jangan juga kau gagal mendapatkan cucu, darah daging Rizal." "Sudah berapa lama mereka menikah?" "Delapan bulan sepertinya," ujar Donna lalu menyeruput secangkir teh hangat sore itu di taman belakang. "Hampir satu tahun ... lalu wanita yang dulu mau kau jodohkan dengan Rizal, bagaimana kabarnya?" "Perusahaan Andreas masih bekerjasama dengan perusahaan orangtuanya. Kenapa Etek?" "Enggak ada, aku cuma tanya. Tapi ada baiknya kau pertimbangkan kata-kata Etek mu ini. Bisa jadi Rizal akan lama mendapatkan keturunan dari istrinya." "Maksud, Etek?" "Ya kau cari caralah bagaimana istri Rizal itu hamil. Atau kau cadangkan s
Synthia melenguh, suaranya mendesah berkali-kali, tubuhnya sudah polos dan berada di dalam kungkungan Matthew. Pria itu terkejut saat membuka pintu apartemennya malam itu. Melihat Synthia berdiri di ambang pintu dengan melempar senyum padanya.Malam setelah resepsi pernikahan Dara dan Rizal, Synthia memutuskan untuk terbang ke Jakarta. Tempat dimana dia bisa mengekspresikan dirinya lebih bebas lagi. Ini malam kedua dia menghabiskan waktunya bersama Matthew, selain menjadi teman bisnis, Matthew juga merupakan partner di atas ranjang, saat dibutuhkan."Akh ...." Desahan lembut itu kembali keluar dari bibir sensual Synthia."Sebentar lagi," ucap suara parau Matthew. Hentakan terakhir Matthew membawa pelepasan bersama mereka.Napas yang memburu dari keduanya setelah menghabiskan banyak energi malam itu. Suhu ruangan pun masih terasa panas, peluh keringat membasahi keduanya.Matthew menarik pinggang ramping yang membelakanginya itu mendekat pada tubuh telanjangnya."Mau lagi?" tanya Matthe
“Rancak bini si Rizal ... kamek (cantik istri Rizal)," ucap seorang kerabat jauh keluarga Rizal."Iyo, santun pulo anaknyo. Cocok dan patuik bana jo si Rizal yang gagah coga berwibawa.” (Iya, santun juga anaknya. Cocoklah dengan Rizal, ganteng dan berwibawa," ujar yang lain.)“Iyo batua, dibandiang nan ka dijodohan kapatang ko, rancak iko lai. Nampak elok dari raut mukonyo.” (Bener, dibandingkan dengan yang dijodohkan dengan Rizal waktu itu, ini lebih baik kelihatan dari wajahnya.)“Oh anak Datuak Basri Alam tu yo? Nan itu banyak urang mangecek kalau inyo suko pai ka klub malam dan hura2 se karajonyo. Ma cocok samo si Rizal ko.” (Oh anaknya Datuk Basri Alam itu? Ah kalo dia itu banyak yang bilang suka ke club, mungkin masih suka hura-hura. Mana cocok dengan Rizal.)“Iyo kan, padahal anak urang tapandang juo nak, tapi parangainyo di lua nagari awak kabanyo ndak elok." (Ah iya, padahal anak orang terpandang juga tapi kelakuannya di luar kota kita ini, gosipnya nggak bagus.)"Beruntungla
"Ya, Ical akan kembali ke rumah ini dengan syarat Dara ikut tinggal di sini. Kalian terima, layaknya seperti anggota keluarga yang lain."Andreas menelan ludahnya kasar, dia seperti membuat kesepakatan bisnis dengan putranya sendiri. Di sisi lain, Andreas menginginkan keluarganya kembali utuh namun di sisi lain dia masih berat menerima menantu barunya dari kalangan orang biasa."Papa nggak ada masalah, selagi semua berjalan baik-baik saja.""Secepat itu Papa merubah pendirian Papa, nggak ada maksud lain kan, Pa?""Ah, Cal ... Papa ini sudah tua. Setelah Papa pikir lagi, hidup Papa juga sudah nggak lama lagi. Jadi ya, mungkin Papa harus berdamai dengan keadaan." Andreas lalu menatap Dara."Rizal bicarakan dulu dengan istri Ical. Bulan depan Ical ujian kelulusan.""Setelahnya kembali lah," ujar Andreas penuh harap.Perbincangan antara Rizal, Dara dan Andreas pagi itu seperti membawa titik terang. Dara hanya bisa mengikuti apa yang suaminya yakini benar. Mereka tetap perlu berbicara dari
"Aku membawa Dara kemari bukan untuk memperkeruh keadaan keluarga kita. Tapi perlu kalian ketahui bahwa kami sudah sah menjadi suami dan istri. Jadi tidak ada alasan lagi untuk kalian memisahkan kami berdua. Senang ataupun tidak senang, kalian harus menerimanya." Semua orang terdiam dan menatap Rizal serta Dara. Hanna dan Hasan menarik sudut bibir, kagum dan terharu pada sikap Rizal. Lain hal dengan keluarga Synthia, hembusan napas kasar dan wajah kekecewaan kentara sekali terlihat. Jangan tanya bagaimana dengan Dahlan dan Synthia, mereka masih setia dengan drama keluarga Andreas. "Jadi biarkan kamu hidup dengan tenang dan damai. Karena kita sudah punya kehidupan sendiri-sendiri sekarang. Aku, Rizal juga tidak akan mengurusi urusan kalian. Tentang bagaimana perusahaan dan rumah sakit ini berjalan, aku serahkan pada kalian. Silahkan kalian coret namaku dari semua surat wasiat." "Mama, Papa ... Ical minta maaf, bukan karena Ical sengaja melakukan ini tapi memohon restu dari Papa dan
Donna mondar mandir di ruang tunggu pasien, Hanna dan suaminya duduk dengan gelisah. Sementara Dahlan berdiri tepat di dekat pintu ruang ICU. "Cal." Hanna berdiri saat melihat Rizal datang setelah berkonsultasi dengan dokter yang menangani Andreas. "Apa kata dokter?" "Serangan jantung, tapi akan di periksa lebih lanjut langkah apa yang harus dilakukan setelah ini. Melihat kondis papa dulu, kita berdoa saja. Semoga tidak ada penyempitan pembuluh darah." "Maksud kamu apa, Cal?" Donna mendekat. "Kalo sudah mengalami itu, maka papa diharuskan pasang ring, Ma." "Ya Allah." Donna memalingkan wajahnya, Hanna mengusap punggung sang Ibu memberikan kekuatan. "Semua baik-baik aja, Ma. Papa bisa melewatinya, percaya sama aku." Bagaimanapun, sejahat apapun orang tua padanya, tetap saja yang terbaring di rumah ICU dan yang berdiri di hadapannya dengan terisak ini adalah orangtuanya. "Sebaiknya Mama istirahat dulu, aku sudah minta ruangan untuk kita beristirahat tadi. Uni bisa bawa Mama kesa
Dara duduk di kursi tunggu pasien, tepat di depan ruangan ICU. Ya, Bu Sum terkena stroke. Diagnosa sementara Bu Sum terkena stroke ringan. Menurut dokter Budi yang saat itu kebetulan berada di IGD, bisa jadi Bu Sum terlalu stress atau terlalu banyak pikiran."Kamu bisa ceritain ke Mbak, kenapa ibu tiba-tiba seperti ini, Gas?" tanya Dara pada Bagas yang duduk menelungkupkan wajahnya."Mbak Siti bilang, saat kejadian ada dua orang laki-laki yang datang ke rumah. Kata Mbak Siti, dua orang itu marah-marah sama Ibu.""Marah-marah kenapa? Apa ibu punya sangkutan hutang?" tanya Dara heran."Enggak lah Mbak, semiskin miskinnya kita, ibu selalu nggak mau ngutang sama orang. Dia pasti memilih bekerja siang malam buat kita daripada ada urusan hutang piutang," tegas Dara."Ya lalu kenapa ibu bisa begini?" Dara frustasi."Mbak Siti sempat bilang, lelaki itu sempat mengancam ibu.""Mengancam?" Rizal mengerutkan alisnya."Gas, coba kamu cerita yang benar. Dari awal!" Dara mulai terpancing emosi."Sab
"Butuh apa lagi?' tanya Rizal sambil mendorong troli belanjaan mereka."Daging, Mas. Sama buah-buahan." Dara melangkah ke area daging-daging segar. Baru saja dia memilih-milih daging, suara seseorang membuat dia dan Rizal menoleh ke asal suara."Kebetulan sekali bisa bertemu di sini," sapa Synthia sambil menenteng tas belanja. "Apa kabar?" "Synthia?" Rizal terperanjat. Dara menoleh pada suaminya."Suatu kebetulan banget bisa ketemu dengan kalian," ucap Synthia basa basi."Lagi di Jogja?" tanya Rizal."Yup, liburan ... belakangan ini Jogja lebih sering menyita perhatian." Synthia menatap Dara dengan sinis."Oh, enjoy holiday. Maaf kami sepertinya sudah selesai. Sudah selesai kan, Sayang?" tanya Rizal dengan penekanan kata Sayang pada Dara."Mm ... sudah." Dara pun mengangguk sambil memasukkan kantung berisi daging yang dia pilih tadi."Kapan ada waktu untuk bicara, Zal?" tanya Synthia tanpa memperdulikan Dara."Aku belum tau kapan, karena minggu-minggu ini masih persiapan untuk ujian
"Mau apalagi Anda datang ke rumah ini?"Bu Sum berdiri dengan tangan bersedekap di depan dada. Dahlan siang itu sudah berada di serambi teras rumah Bu Sum."Saya akan terus datang ke rumah ini sampai anak ibu dan keponakan saya berpisah.""Anda ini nggak waras ya. Atau Anda memang di ciptakan Tuhan nggak punya hati. Bisa bisanya Anda yang hanya seorang manusia mau memisahkan dua orang yang saling mencintai berpisah. Entah dimana harga diri Anda.""Jangan bicarakan harga diri, jika Ibu sendiri merendahkan harga diri Ibu hanya untuk mempermantukan keponakan saya.""Benar-benar nggak waras Anda. Pergi dari sini sebelum saya teriak dan orang kampung semua datang.""Silahkan saja, saya yakin orang kampung aka tau skandal ini.""Ini bukan skandal! Mereka saling mencintai, saya dan anak saya tidak pernah memandang orang dengan materi mereka asal Anda tau!""Bu ...." Siti yang baru datang dari mengantarkan baju berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Bu Sum."Sebaiknya Anda pergi!" Wajah Bu Sum t