"Ra, Ibu boleh tanya?" Bu Sum menarik kursi di ruang makan, dia memperhatikan Dara yang sedang mengunyah nasi goreng buatan Bu Sum pagi itu."Ya, Bu. Ibu mau tanya apa?" Dara meneguk air putih di dalam gelas."Kamu dan dokter Rizal, benar kalian pacaran?""Uhuk ... uhuk ...." Dara tersedak membuat dia pun terbatuk-batuk. "Pake acara batuk-batuk segala. Bilang aja iya, Mbak. Lagian Ibu juga pertanyaannya bikin ketawa, mana ada sih Bu, cowok tiap malem Minggu dateng ke rumah terus mau ketemu anak gadis Ibu." Bagas meletakkan tasnya di kursi lalu menerima piring berisi nasi goreng dari Bu Sum."Kan Ibu butuh kejelasan, Gas.""Mbak, pinjem motor ya. Bagas ada tugas P5, Mbak nggak kemana-mana kan hari ini?" tanya Bagas."Sabtu ini Mbak mau ke toko buku.""Yah, kirain nggak kemana-mana." Raut wajah Bagas kecewa."Pake aja, biar Mbak naik bis Trans." "Hhmm ... nggak sama ayang bebeb?" goda Bagas menahan senyumnya."Enggak, dia ada jadwal hari ini." "Jadi bener pacaran, Ra?" Bu Sum masih p
Kenapa sih, Mas?" tanya Dara lagi. "Mas ...." Dara membelalakkan matanya saat tubuh Rizal semakin mendekat. "Mas ... mau ngapain?' tangan Dara menahan dada Rizal."Mau ambil remote." Rizal meraih remote TV tepat berada di sebelah Dara."Ih." Dara menepuk pundak lelaki itu. "Kirain mau ngapain.' "Emang mau ngapain?' Rizal senyum-senyum, diapaling senang jika usil pada Dara. Tak tahan melihat wajah kekasihnya itu memerah jika dia goda.Rizal beranjak dari tempat duduknya setelah membaca pesan yang masuk."Mas mau kemana?" "Mau ambil pesanan di bawah," jawab Rizal. "Aku ikut." Dara ikut beranjak."Sebentar aja, Ra. Di sini aman, nggak ada apa-apa. Aku cuma sebentar."Tidak sampai 10 menit Rizal sudah kembali ke unit apartemen miliknya. Saat membuka pintu dia tidak menemukan Dara di sana. Terdengar aliran air dari kamar mandi, sudah pasti kekasihnya itu berada di sana. Rizal menyiapkan makan malam untuk mereka, sengaja dia memesan beef teriyaki, salad sayur dan salad buah, dan dua kot
"Bagaimana dengan project alat kesehatan yang masuk ke rumah sakit kita?" tanya Andreas pada Hana."Dari kesepakatan bersama mereka baru mengirimkan satu batch sesuai dengan perjanjian. Semua sudah di alokasikan ke bagian purchasing untuk di proses lebih lanjut, Pa," jawab Hana.Hana adalah anak yang di asuh oleh Andreas dan Donna sejak masih bayi, dua tahun sebelum Rizal lahir melengkapi kebahagiaan keluarga mereka."Han, persiapan pernikahan kamu sudah berapa persen?""Masih 80 persen, Ma. Hari ini rencananya kami akan meeting untuk resepsi wedding nya.""Bisa nggak kamu nggak terlalu sering pulang malam. Enggak pantas calon pengantin masih sibuk pekerjaan di kantor hingga harus lembur." Donna memoleskan selai cokelat di rotinya. "Pa, bisa kan di kurangi sedikit saja kerjaan Hanna. Bagaimanapun dia harus menjaga sikap dan sifatnya sebagai keturunan kita.""Ya kan memang kerjaan di kantor apalagi urusan rumah sakit memang harus Hanna yang handle. Siapa lagi kalo bukan Hanna, Rizal? a
Motor Rizal berhenti di parkiran kost-nya siang itu. Sambil membawa dua kantung plastik berisi kebutuhan bulanannya, Rizal berjalan ke arah beranda kost eksklusif itu. Sebuah senyuman terukir di wajahnya saat melewati salah satu kamar di dekat tangga. Sedikit mengangguk dan megucap kata permisi, Rizal terus melangkah menapaki anak tangga.Siang ini rencananya, Rizal meminta Dara untuk datang ke kostnya. Karena terkadang mereka hanya punya waktu bertemu di hari Sabtu atau Minggu saja. Itu pun hanya beberapa jam saja, atau Rizal menyempatkan diri menjemput Dara di tempat kerjanya.Membereskan barang bawaannya, Rizal melanjutkan membersihkan kamarnya. Menyemprotkan pewangi di seluruh ruangan dan menyalakan pendingin ruangan agar saat Dara datang kamarnya sudah terlihat rapih.Pintu terbuka setelah diketuk dua kali oleh Dara. Senyum keduanya merekah saat saling menatap. Dara melangkah masuk ke dalam kamar kost Rizal, harum mint tercium begitu segar."Aku bawain kamu salad sayur," ujar Dar
Enggan rasanya Rizal keluar dari kamarnya menuju lantai satu rumah besar milik orangtuanya. Di bawah sudah berkumpul keluarga besar dari Andreas dan Donna, bahkan berdatangan dari siang tadi saat Rizal baru saja sampai memasuki rumah besar itu.Terdengar ketukan di pintu kamarnya beberapa kali, akhirnya mau tak mau membuat Rizal beranjak. Hana sudah berdiri di depan pintu dengan kedua tangan terentang."Adik aku akhirnya pulang." Hanya Hana yang menyambutnya dengan kehangatan."Masuk, Uni." Rizal membuka pintu kamarnya lebar-lebar.Hana duduk di pinggiran ranjang besar kamar itu. Kamar Rizal memang tidak banyak berubah, masih sama malah seperti dulu. Susunan buku-buku medis juga banyak di rak pojok kamarnya."Kenapa nggak turun?" tanya Hana."Males, Uni. Banyak tanya pasti nanti ""Kan sudah biasa itu, Cal. Dari kita kecil malah, turunlah nggak enak sama keluarga besar mama papa. Dari tadi mereka nanyain kamu.""Enggan rasanya Ical, Uni. Apalagi kalo sudah liat Mamak Dahlan di sana, r
Rizal mematut dirinya di depan kaca, bulu-bulu halus di rahangnya dia biarkan tumbuh. Penampilannya malam ini hanya mengenakan kemeja berwarna maroon dan celana chinos berwarna krem. Di lantai bawah keluarga besarnya sedang berkumpul, riuh suara gelak tawa terdengar hingga ke kamarnya. Terakhir rumahnya ini ramai seperti sekarang adalah saat dia wisuda mendapatkan gelar dokter. Menjadi kebanggaan kedua orangtuanya adalah mimpi Rizal namun bukan berarti orangtuanya bisa mengatur hidup serta menentukan jalan hidupnya sesuka hati.Rizal meraih ponselnya, kemarin dia hanya tiga kali mengirimkan pesan pada Dara. Keramaian di rumahnya memang menyita waktu, hingga malam kemarin Rizal berjanji untuk video call saja akhirnya gagal karena dia terlanjur ketiduran."Lagi apa?" Isi chat Rizal yang terkirim untuk Dara."Di rumah sedang ramai, malam ini ada acara Malam Bainai. Aku telpon kamu mungkin agak tengah malam, ya." "Jangan tidur dulu, Ra. Aku kangen."Tiga pesan terkirim, Rizal melangkah
Prosesi pernikahan Hana dan Hasan begitu sakral. Bertempat di hotel bintang lima, para tamu undangan bukan hanya dari kalangan pengusaha, tapi juga dari kalangan pejabat serta beberapa artis di negara ini.Rizal berdiri menikmati jamuan makan malam sambil mendengarkan alunan suara merdu dari salah satu artis yang di minta untuk mengisi acara. Hana begitu cantik duduk di pelaminan memakai suntiang, senyumnya terpancar. Namun entah itu sebuah senyum kepura-puraan atau nyata dia bahagia. Tidak dapat Rizal bayangkan bagaimana Hana akan mengarungi rumah tangganya nanti."Bukankah acara pernikahan dengan prosesi adat seperti ini sangat indah," ujar Anna, ibu Synthia. Wanita berbalut kebaya berwarna silver itu menghampiri Rizal.Rizal membalikkan tubuhnya, lalu dia menunduk memberi hormat pada Anna."Iya indah, Tante," jawab Rizal."Keinginan setiap orang tua itu ingin melihat anak-anaknya bukan hanya sampai dengan tercapai cita-cita mereka. Namun salah satunya seperti ini, melihat anak-anak
"Pesawatku transit dan sepertinya delay." Isi pesan Rizal untuk Dara.Sementara waktu menunjukkan pukul tiga sore, hampir dua jam Rizal menunggu di bandara Soekarno-Hatta. Bisa-bisa dia sampai Jogja malam hari, dengan begitu dia akan bertemu Dara sudah pasti keesokan harinya."Rizal?" Suara itu membuat Rizal menoleh."Maya?" "Ya ampun, tadinya aku ragu. Ternyata benar ini kamu," ujarnya dengan mata berbinar."Apa kabar?" Rizal mengulurkan tangan pada Maya, terakhir bertemu empat tahun yang lalu sebelum mereka berpisah."Baik. Aku baik, kamu?" Senyum itu masih sama, wajahnya semakin dewasa, namun matanya masih menyisakan luka. "Kemana?" tanya Rizal menelan salivanya kasar. Siapa sangka akan bertemu dengan gadis yang pernah bertahta di hatinya selama hampir lima tahun."Bali," ucapnya. "Kamu sendiri?""Jogja." Senyum Rizal nampak samar. "Duduk." Rizal menawarkan tempat duduk di ruang tunggu itu."PPDS?" tanya Maya."Begitulah, kamu sendiri ke Bali?""Oh, ada pekerjaan yang harus di s
Sore menjelang, ini adalah hari kedua Rizal mengikuti seminar kedokteran yang diadakan di hotel ini. Setiap sore, Rizal akan berdiri di teras lobby hanya untuk menunggu motor Dara keluar dari area hotel, setelahnya dia akan merasa lega. Namun sore ini, sudah hampir satu jam Rizal menunggu tetapi Dara belum juga muncul.Rizal berjalan pada sisi hotel, mengitari area itu hingga sampai pada area pintu masuk kantor Dara. Sudah terlihat sepi, Dara belum juga muncul. Rizal menghampiri seorang sekuriti menanyakan apakah masih ada karyawan yang berada di dalam."Sepertinya masih ada, Pak. Mungkin lembur," jawab sekuriti tadi."Makasih, Mas." Rizal meninggalkan tempat itu. Alih-alih masuk ke dalam hotel untuk mengambil barang-barangnya, Rizal memilih duduk di bawah pohon tepat sebelum jalan ke arah basement.Dara keluar dari kantor setengah jam kemudian, dia berjalan ke arah parkir basement khusus karyawan. Rizal memperhatikan gerak-gerik Dara, hingga mimik mukanya berubah ketika sebuah mobil
"Halo Ra," ujar Sari di seberang sana."Halo Bu." Dara baru saja meletakkan tas kerjanya di atas meja pagi itu."Kamu udah di kantor?" tanya Sari."Sudah Bu, ada yang bisa saya bantu?""Mobil saya tiba-tiba mogok, kamu bisa bawakan berkas saya ke restoran hotel, ya.""Oh baik, Bu.""Ada dua berkas di atas meja saya, satu berbahasa Inggris satu lagi bahasa Indonesia. Keduanya isinya sama, nanti tolong kamu berikan pada Mr. Richard. Dia minta laporan itu pagi ini, kebetulan dia sarapan pagi di hotel. Nanti di sana sudah ada Pak Rudi yang menemaninya. Dua berkas itu berikan saja pada Pak Rudi, biar dia yang menjelaskan semuanya," ujar Sari panjang lebar."Baik, Bu. Segera saya ke restoran nanti, apa ada lagi?" "Enggak itu aja, ini saya masih nunggu taksi online. Setengah jam lagi mungkin saya sudah di kantor. Tolong kamu handle dulu ya, Ra."Dara mengangguk tanpa menjawab dan kembali meletakkan ponselnya setelah pembicaraan selesai. Gegas dia ke ruangan Sari untuk membawa berkas laporan
"Kita putus!"Dara beranjak dari kursi panjang itu. Cepat-cepat Rizal menahan tangan Dara, lalu menggandengnya pergi dari taman. Masih dengan tangan yang menggenggam erat tangan Dara, Rizal berjalan bersisian. Semua mata menatap mereka, apalagi para perawat-perawat muda yang kesehariannya sering tebar pesona pada Rizal. Beberapa berbisik, beberapa hanya memandang, mungkin saja mereka patah hati.Rizal naik ke atas motornya, dia taruh di depan tas punggung berisi laptop berikut jas putih yang biasa dia pakai saat bekerja sudah dia masukkan lebih dulu ke dalam tas itu."Naik," kata Rizal masih dengan nada lembut.Dara bergeming."Please, naik Ra. Nanti aku jelaskan semuanya saat kita tiba di kost." Rizal memohon."Aku mau pulang," ujar Dara masih memandang ke arah lain."Nanti kuantar pulang kalo kamu sudah mendengarkan penjelasanku. Ayo naik dulu," pinta Rizal.Pada akhirnya Dara mengikuti kata-kata Rizal, meski hatinya bergemuruh karena emosi namun otaknya mengatakan sebaliknya, Dara
Dara mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan di kamarnya. Pikirannya masih bergejolak mencoba menghubungkan satu demi satu cerita yang dia dengar dan dia baca. Rasanya tidak mungkin Rizal membohonginya, tapi jika ini semua ternyata benar jelas Dara merasa selama ini dipermainkan oleh Rizal.Apakah dengan Rizal berbohong, maka Rizal bisa seenaknya mempermainkan perasaannya. Atau dengan jangan-jangan Rizal akan mengira jika Dara tahu dia dari keluarga berada maka Dara akan memanfaatkan kekayaan lelaki itu."Aku bukan cewek matre!" geram Dara.Kesal rasa hati Dara, lalu dia beranjak membuka lemari pakaiannya. Kemeja oversize berwarna nude dan celana jeans dia keluarkan dari sana. Setelah mengganti pakaiannya, Dara meraih tas selempangnya dan keluar dari kamar."Mau kemana, Ra?" tanya Bu Sum dengan membawa pewangi setrika yang akan dia berikan pada Siti."Ke rumah sakit Rizal, Bu," jawab Dara sambil memakai sepatu kets."Loh, ngapain? bukannya Nak Rizal hari ini ada jadwal kerja.""Bi
"Kalo boleh tau, ada berapa dokter di sana yang namanya sama dengan kamu." Dara menatap mata itu penuh dengan rasa penasaran berusaha mencari kebenaran di dalam sana."Maksudnya gimana?" Rizal melepas pelukannya, membawa Dara duduk di sisi tempat tidur sementara dia menarik kursi kerjanya."Ya aku mau tau, Rizal yang dimaksud Mbak-mbak perawat tadi itu dokter Rizal kamu atau ada Rizal yang lain.""Memangnya kenapa dengan Rizal yang mereka bicarakan?""Meraka bilang Rizal yang ini adalah anak seorang pengusaha, old money, kaya tujuh turunan, punya rumah sakit besar di Padang dan menjadi dokter residen di rumah sakit itu bukan dengan beasiswa tapi biaya sendiri," urai Dara.Rizal menelan salivanya kasar, jakunnya turun naik, ada kegugupan di sana. Bagaimana jika memberitahu Dara jika yang dia dengar adalah benar. Apa Dara masih tetap menerimanya atau malah sebaliknya meninggalkan Rizal karena kebohongan yang dia lakukan."Mas?" Dara membuyarkan lamunan Rizal. "Jadi, Rizal yang mereka ma
Dara terbangun dari tidurnya saat ini waktu menunjukkan jam dua siang. Cumbuan Rizal membuatnya terlena dari pagi hingga tengah hari tadi. Pelampiasan kerinduan itu nyatanya hampir saja membuat mereka lupa diri.Tangan Rizal masih berada di atas perutnya. Kekasihnya itu sebenarnya masih nampak kelelahan dan juga kurang tidur. Dara meraih ponselnya, memesan makan siang mereka melalui aplikasi online. Perutnya sudah berbunyi sedari tadi.Kembali Dara memandangi wajah Rizal, bulu-bulu halus itu dibiarkan Rizal untuk tumbuh di sana menambah ketampanan lelaki Minang ini."Ganteng, ya?" Dengan mata yang sedikit terbuka dia berhasil mengagetkan Dara yang tengah asyik menikmati wajah tampannya."Ge-er banget." Dara tertawa kecil.Rizal merapatkan tubuhnya kembali pada Dara, memperhatikan gadisnya itu yang sedang memainkan jarinya di antara bulu-bulu halus wajah Rizal."Anak siapa sih kok bisa cantik kayak gini," ucap Rizal."Anak Bu Sumiati," jawab Dara tertawa. "Enggak nyangka ya, punya pacar
"Pesawatku transit dan sepertinya delay." Isi pesan Rizal untuk Dara.Sementara waktu menunjukkan pukul tiga sore, hampir dua jam Rizal menunggu di bandara Soekarno-Hatta. Bisa-bisa dia sampai Jogja malam hari, dengan begitu dia akan bertemu Dara sudah pasti keesokan harinya."Rizal?" Suara itu membuat Rizal menoleh."Maya?" "Ya ampun, tadinya aku ragu. Ternyata benar ini kamu," ujarnya dengan mata berbinar."Apa kabar?" Rizal mengulurkan tangan pada Maya, terakhir bertemu empat tahun yang lalu sebelum mereka berpisah."Baik. Aku baik, kamu?" Senyum itu masih sama, wajahnya semakin dewasa, namun matanya masih menyisakan luka. "Kemana?" tanya Rizal menelan salivanya kasar. Siapa sangka akan bertemu dengan gadis yang pernah bertahta di hatinya selama hampir lima tahun."Bali," ucapnya. "Kamu sendiri?""Jogja." Senyum Rizal nampak samar. "Duduk." Rizal menawarkan tempat duduk di ruang tunggu itu."PPDS?" tanya Maya."Begitulah, kamu sendiri ke Bali?""Oh, ada pekerjaan yang harus di s
Prosesi pernikahan Hana dan Hasan begitu sakral. Bertempat di hotel bintang lima, para tamu undangan bukan hanya dari kalangan pengusaha, tapi juga dari kalangan pejabat serta beberapa artis di negara ini.Rizal berdiri menikmati jamuan makan malam sambil mendengarkan alunan suara merdu dari salah satu artis yang di minta untuk mengisi acara. Hana begitu cantik duduk di pelaminan memakai suntiang, senyumnya terpancar. Namun entah itu sebuah senyum kepura-puraan atau nyata dia bahagia. Tidak dapat Rizal bayangkan bagaimana Hana akan mengarungi rumah tangganya nanti."Bukankah acara pernikahan dengan prosesi adat seperti ini sangat indah," ujar Anna, ibu Synthia. Wanita berbalut kebaya berwarna silver itu menghampiri Rizal.Rizal membalikkan tubuhnya, lalu dia menunduk memberi hormat pada Anna."Iya indah, Tante," jawab Rizal."Keinginan setiap orang tua itu ingin melihat anak-anaknya bukan hanya sampai dengan tercapai cita-cita mereka. Namun salah satunya seperti ini, melihat anak-anak
Rizal mematut dirinya di depan kaca, bulu-bulu halus di rahangnya dia biarkan tumbuh. Penampilannya malam ini hanya mengenakan kemeja berwarna maroon dan celana chinos berwarna krem. Di lantai bawah keluarga besarnya sedang berkumpul, riuh suara gelak tawa terdengar hingga ke kamarnya. Terakhir rumahnya ini ramai seperti sekarang adalah saat dia wisuda mendapatkan gelar dokter. Menjadi kebanggaan kedua orangtuanya adalah mimpi Rizal namun bukan berarti orangtuanya bisa mengatur hidup serta menentukan jalan hidupnya sesuka hati.Rizal meraih ponselnya, kemarin dia hanya tiga kali mengirimkan pesan pada Dara. Keramaian di rumahnya memang menyita waktu, hingga malam kemarin Rizal berjanji untuk video call saja akhirnya gagal karena dia terlanjur ketiduran."Lagi apa?" Isi chat Rizal yang terkirim untuk Dara."Di rumah sedang ramai, malam ini ada acara Malam Bainai. Aku telpon kamu mungkin agak tengah malam, ya." "Jangan tidur dulu, Ra. Aku kangen."Tiga pesan terkirim, Rizal melangkah