Share

Bab 5. Kan Aku Jadi Suka

"Pagi, Dokter," sapa Bu Sum memasuki ruangan dokter spesialis saraf dengan senyum sumringah berbeda dengan saat waktu Bu Sum datang pertama kali ke ruangan itu. 

Ditemani Bagas, Bu Sum menceritakan perkembangan yang dia rasakan selama sebulan ini semenjak menggunakan collar neck secara rutin. 

"Coba saya periksa dulu, ya," ucap Dokter Zainal, dokter senior di ruangan itu selain dokter berkacamata yang lain.

"Udah aman ya ini, syukurlah masih bisa kita observasi kemarin ya. Diingatkan lagi ibunya untuk tidak mengangkat atau mengerjakan pekerjaan yang berat."

"Terimakasih, Dokter." Mata Bu Sum masih mencari-cari. "Kalo dokter Rizal, hhmm maksud saya dokter residen yang waktu itu enggak kelihatan ya, Dokter?"

"Oh dokter Rizal, hari ini memang mengambil cuti ijin sakit, Bu Sum."

"Oh sakit." Bu Sum terdiam. 

"Bu, ayo." Bagas menyentuh lengan ibunya agar bergegas meninggalkan tempat itu.

"Mbak-mu pulang jam berapa, Gas?" tanya Bu Sum setiba mereka di rumah.

"Bagas kurang tahu, Bu. Kenapa?"

"Ibu mau buatkan dokter Rizal makanan. Kan tadi dokter di rumah sakit bilang kalo dokter Rizal sakit. Apa kamu mau antarkan makanan ke kost nya?"

"Wah Bu, habis ini kan Bagas izin mau latihan basket. Gimana kalo Mbak Dara aja? Antar sore-sore juga nggak apa-apa kali, Bu." Bagas menaikturunkan alisnya.

"Ck, ya sudah kalo gitu. Eh jangan lupa sebelum pergi angkatin jemuran dulu," pesan Bu Sum lalu melangkah menuju dapur.

*****

"Nganterin makanan?" tanya Dara yang baru saja sampai. Gadis itu menarik kursi makan dan menuangkan minuman ke dalam gelas. "Dalam rangka apa?"

"Dokter Rizal sakit, Ibu mau kirimkan makanan untuk dia. Kasian Ra, anak kost apalagi sedang sakit."

"Ya ampun, Bu. Sudah pasti dia bisa mengurus dirinya sendiri, ditambah lagi kan dia dokter. Lagian ngapain sih kirim-kirim makanan, nanti di kira ada maksud yang enggak-enggak."

"Enggak boleh kayak gitu, Ra. Dokter Rizal itu baik loh, apalagi selama Ibu sakit dia sangat perhatian sama Ibu. Belum lagi—"

"Iya-iya, nanti Dara anterin makanannya. Dara mandi dulu, gerah."

Dara mengetik pintu itu sudah sebanyak lima kali, namun belum ada jawaban dari dalam kamar kost Rizal. 

"Ck, mana sih orangnya."

Dara kembali mengetuk pintu itu, namun lagi-lagi tak satupun jawaban terdengar dari balik pintu. Dara merogoh tote bag nya, dia mulai menekan nama Rizal di layar ponselnya. Beberapa kali terdengar nada sambung namun belum juga terjawab.

"Aduh gimana ini?"

Kembali Dara mengetuk pintu kamar Rizal, hingga akhirnya dirinya tersentak lantaran tepukan di pundaknya.

"Astaga." Dara terkejut ketika melihat Rizal sudah berada di belakangnya.

"Dara?"

"Ka— kata ibu Pak dokter sakit, ja—jadi saya kesini mau anterin ini." Dara memberikan dua paper bag berisi nasi, sayur sop, ayam goreng dan beberapa buah-buahan. Dara melihat raut wajah Rizal yang memucat. 

"Masuk dulu, yuk" ucap Rizal dengan suara pelan. 

Dara melangkah mengikuti langkah Rizal memasuki kamar berukuran cukup besar itu. Ya, baru kali ini dia berada di suatu ruangan hanya berdua dengan lawan jenis tentu saja selain Bagas, adiknya.

Ruangan yang cukup rapih untuk seorang pria lajang. Lajang? Dara baru menyadarinya, apakah Rizal seorang lelaki tanpa pasangan atau dia sudah memiliki ke kasih.

"Sebaiknya Dokter berisitirahat dulu, saya pamit." Dara meletakkan dua paper bag tadi di atas meja bersebelahan dengan laptop Rizal.

"Aku bisa minta tolong sesuatu sama kamu?" Rizal mendekati tempat tidur dan merebahkan tubuhnya di sana.

"Hah?" 

Mata Dara terbelalak melihat Rizal dengan santainya meringkuk di atas tempat tidur. Hatinya tergetar melihat lelaki itu sepertinya menahan sakit. 

"Dokter mau saya bantu apa?"

"Hhmm ...." 

Rizal masih belum menjawab pertanyaan Dara. Dara melangkah mendekat, ragu-ragu dia menyentuhkan tangannya pada dahi Rizal.

"Astaga, Dokter kenapa bisa panas begini. Dokter sudah makan?" Bergegas Dara membuka masakan yang dia bawa tadi, memindahkannya pada mangkuk serta piring.

"Dok, ayo kita makan dulu," ucap Dara sambil menggoyangkan lembut lengan Rizal. 

Rizal beranjak, mengubah posisi tidurnya menjadi duduk di pinggiran tempat tidur. Dara memberikan sepiring nasi lengkap dengan isinya.

"Bisa?" tanya Dara, sungguh dia merasa kasihan pada lelaki itu. "Saya suapkan?" Dan sungguh baru kali ini dia menatap mata itu sangat lama.

"Maaf ya menyusahkan kamu." Rizal membuka mulutnya menerima suapan demi suapan dari Dara. "Kamu tadi sudah lama berdiri di depan pintu?" 

"Lumayan sampai saya takut dokter di dalam kenapa-kenapa."

"Kamu khawatir?"

"Engg— eh iya lah, soalnya ibu bilang Dokter sakit. Eh ternyata orangnya malah keluyuran."

"Siapa?"

"Kamu ... eh Pak Dokter." Rasanya pipi gadis itu merona merah.

"Aku ke dokter," jawab Rizal lalu merogoh saku celana cargo-nya memberikan bungkus plastik berisi obat-obatan.

"Dokter pergi ke dokter?"

"Kenapa? Enggak boleh?" Rizal tertawa kecil lalu tiba-tiba meringis memegang kepalanya.

"Eh, kenapa?" Buru-buru Dara memberikan Rizal segelas air. "Sakit banget ya?"

Rizal tersenyum menahan sakit di kepalanya.

"Terus dokternya bilang Pak dokter sakit apa?"

"Tipes."

"Ya ampun, artinya Dokter harus istirahat total. Dokter kecapekan mungkin, kerjanya terlalu di forsir." 

"Aku kira kamu orangnya nggak terlalu banyak bicara, nyatanya cerewet juga."

"Eh, maaf." Dara menelan kasar ludahnya.

"Aku malah seneng, walopun sedikit pusing." Rizal tertawa kecil. "Makasih ya, Dara." 

Tatapan mata itu begitu tulus, entah mengapa Dara merasakan sesuatu yang menggelitik di hatinya.

"Sebaiknya saya pulang." 

"Aku belum selesai, loh." Rizal mengingatkan jika isi piring makanannya yang belum habis.

"Takut bikin Dokter makin pusing kalo saya lama-lama di sini."

"Siapa bilang? Aku malah seneng kamu di sini. Besok kesini lagi, ya," kekeh Rizal.

"Jangan lupa di minum obatnya," ujar Dara beranjak dari duduknya dengan wajah cemberut.

"Eh, mau kemana?" Tangan Rizal menahan tangan Dara membuat rasa yang menggelitik di hatinya semakin terasa kuat apalagi debar jantungnya yang seakan ingin meloncat keluar 

"Pulang." Wajah gadis itu merona merah.

"Yakin?"

"Astaga, orang sakit bisa nyebelin juga."

Rizal tertawa tapi tetap dengan sedikit meringis menahan sakit di kepalanya.

"Janji besok kesini."

Dara hanya diam lalu melangkah keluar dari kamar Rizal yang berhasil memporak-porandakan hatinya malam itu.

"Dara ... Dara ... Dara ...." Beberapa kali Rizal menyebut nama gadis itu. "Salah sendiri siapa suruh manis, kan aku jadi suka."

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Meletek hati adek bang hahaha
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Cieeeh .....pak dokter syuka tuh sama Dara hihihi
goodnovel comment avatar
Christina Natalia
hehehehe.... manis...,knpa aku yg senyum2 sendiri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status