"Pagi, Dokter," sapa Bu Sum memasuki ruangan dokter spesialis saraf dengan senyum sumringah berbeda dengan saat waktu Bu Sum datang pertama kali ke ruangan itu.
Ditemani Bagas, Bu Sum menceritakan perkembangan yang dia rasakan selama sebulan ini semenjak menggunakan collar neck secara rutin.
"Coba saya periksa dulu, ya," ucap Dokter Zainal, dokter senior di ruangan itu selain dokter berkacamata yang lain.
"Udah aman ya ini, syukurlah masih bisa kita observasi kemarin ya. Diingatkan lagi ibunya untuk tidak mengangkat atau mengerjakan pekerjaan yang berat."
"Terimakasih, Dokter." Mata Bu Sum masih mencari-cari. "Kalo dokter Rizal, hhmm maksud saya dokter residen yang waktu itu enggak kelihatan ya, Dokter?"
"Oh dokter Rizal, hari ini memang mengambil cuti ijin sakit, Bu Sum."
"Oh sakit." Bu Sum terdiam.
"Bu, ayo." Bagas menyentuh lengan ibunya agar bergegas meninggalkan tempat itu.
"Mbak-mu pulang jam berapa, Gas?" tanya Bu Sum setiba mereka di rumah.
"Bagas kurang tahu, Bu. Kenapa?"
"Ibu mau buatkan dokter Rizal makanan. Kan tadi dokter di rumah sakit bilang kalo dokter Rizal sakit. Apa kamu mau antarkan makanan ke kost nya?"
"Wah Bu, habis ini kan Bagas izin mau latihan basket. Gimana kalo Mbak Dara aja? Antar sore-sore juga nggak apa-apa kali, Bu." Bagas menaikturunkan alisnya.
"Ck, ya sudah kalo gitu. Eh jangan lupa sebelum pergi angkatin jemuran dulu," pesan Bu Sum lalu melangkah menuju dapur.
*****
"Nganterin makanan?" tanya Dara yang baru saja sampai. Gadis itu menarik kursi makan dan menuangkan minuman ke dalam gelas. "Dalam rangka apa?"
"Dokter Rizal sakit, Ibu mau kirimkan makanan untuk dia. Kasian Ra, anak kost apalagi sedang sakit."
"Ya ampun, Bu. Sudah pasti dia bisa mengurus dirinya sendiri, ditambah lagi kan dia dokter. Lagian ngapain sih kirim-kirim makanan, nanti di kira ada maksud yang enggak-enggak."
"Enggak boleh kayak gitu, Ra. Dokter Rizal itu baik loh, apalagi selama Ibu sakit dia sangat perhatian sama Ibu. Belum lagi—"
"Iya-iya, nanti Dara anterin makanannya. Dara mandi dulu, gerah."
Dara mengetik pintu itu sudah sebanyak lima kali, namun belum ada jawaban dari dalam kamar kost Rizal.
"Ck, mana sih orangnya."
Dara kembali mengetuk pintu itu, namun lagi-lagi tak satupun jawaban terdengar dari balik pintu. Dara merogoh tote bag nya, dia mulai menekan nama Rizal di layar ponselnya. Beberapa kali terdengar nada sambung namun belum juga terjawab.
"Aduh gimana ini?"
Kembali Dara mengetuk pintu kamar Rizal, hingga akhirnya dirinya tersentak lantaran tepukan di pundaknya.
"Astaga." Dara terkejut ketika melihat Rizal sudah berada di belakangnya.
"Dara?"
"Ka— kata ibu Pak dokter sakit, ja—jadi saya kesini mau anterin ini." Dara memberikan dua paper bag berisi nasi, sayur sop, ayam goreng dan beberapa buah-buahan. Dara melihat raut wajah Rizal yang memucat.
"Masuk dulu, yuk" ucap Rizal dengan suara pelan.
Dara melangkah mengikuti langkah Rizal memasuki kamar berukuran cukup besar itu. Ya, baru kali ini dia berada di suatu ruangan hanya berdua dengan lawan jenis tentu saja selain Bagas, adiknya.
Ruangan yang cukup rapih untuk seorang pria lajang. Lajang? Dara baru menyadarinya, apakah Rizal seorang lelaki tanpa pasangan atau dia sudah memiliki ke kasih.
"Sebaiknya Dokter berisitirahat dulu, saya pamit." Dara meletakkan dua paper bag tadi di atas meja bersebelahan dengan laptop Rizal.
"Aku bisa minta tolong sesuatu sama kamu?" Rizal mendekati tempat tidur dan merebahkan tubuhnya di sana.
"Hah?"
Mata Dara terbelalak melihat Rizal dengan santainya meringkuk di atas tempat tidur. Hatinya tergetar melihat lelaki itu sepertinya menahan sakit.
"Dokter mau saya bantu apa?"
"Hhmm ...."
Rizal masih belum menjawab pertanyaan Dara. Dara melangkah mendekat, ragu-ragu dia menyentuhkan tangannya pada dahi Rizal.
"Astaga, Dokter kenapa bisa panas begini. Dokter sudah makan?" Bergegas Dara membuka masakan yang dia bawa tadi, memindahkannya pada mangkuk serta piring.
"Dok, ayo kita makan dulu," ucap Dara sambil menggoyangkan lembut lengan Rizal.
Rizal beranjak, mengubah posisi tidurnya menjadi duduk di pinggiran tempat tidur. Dara memberikan sepiring nasi lengkap dengan isinya.
"Bisa?" tanya Dara, sungguh dia merasa kasihan pada lelaki itu. "Saya suapkan?" Dan sungguh baru kali ini dia menatap mata itu sangat lama.
"Maaf ya menyusahkan kamu." Rizal membuka mulutnya menerima suapan demi suapan dari Dara. "Kamu tadi sudah lama berdiri di depan pintu?"
"Lumayan sampai saya takut dokter di dalam kenapa-kenapa."
"Kamu khawatir?"
"Engg— eh iya lah, soalnya ibu bilang Dokter sakit. Eh ternyata orangnya malah keluyuran."
"Siapa?"
"Kamu ... eh Pak Dokter." Rasanya pipi gadis itu merona merah.
"Aku ke dokter," jawab Rizal lalu merogoh saku celana cargo-nya memberikan bungkus plastik berisi obat-obatan.
"Dokter pergi ke dokter?"
"Kenapa? Enggak boleh?" Rizal tertawa kecil lalu tiba-tiba meringis memegang kepalanya.
"Eh, kenapa?" Buru-buru Dara memberikan Rizal segelas air. "Sakit banget ya?"
Rizal tersenyum menahan sakit di kepalanya.
"Terus dokternya bilang Pak dokter sakit apa?"
"Tipes."
"Ya ampun, artinya Dokter harus istirahat total. Dokter kecapekan mungkin, kerjanya terlalu di forsir."
"Aku kira kamu orangnya nggak terlalu banyak bicara, nyatanya cerewet juga."
"Eh, maaf." Dara menelan kasar ludahnya.
"Aku malah seneng, walopun sedikit pusing." Rizal tertawa kecil. "Makasih ya, Dara."
Tatapan mata itu begitu tulus, entah mengapa Dara merasakan sesuatu yang menggelitik di hatinya.
"Sebaiknya saya pulang."
"Aku belum selesai, loh." Rizal mengingatkan jika isi piring makanannya yang belum habis.
"Takut bikin Dokter makin pusing kalo saya lama-lama di sini."
"Siapa bilang? Aku malah seneng kamu di sini. Besok kesini lagi, ya," kekeh Rizal.
"Jangan lupa di minum obatnya," ujar Dara beranjak dari duduknya dengan wajah cemberut.
"Eh, mau kemana?" Tangan Rizal menahan tangan Dara membuat rasa yang menggelitik di hatinya semakin terasa kuat apalagi debar jantungnya yang seakan ingin meloncat keluar
"Pulang." Wajah gadis itu merona merah.
"Yakin?"
"Astaga, orang sakit bisa nyebelin juga."
Rizal tertawa tapi tetap dengan sedikit meringis menahan sakit di kepalanya.
"Janji besok kesini."
Dara hanya diam lalu melangkah keluar dari kamar Rizal yang berhasil memporak-porandakan hatinya malam itu.
"Dara ... Dara ... Dara ...." Beberapa kali Rizal menyebut nama gadis itu. "Salah sendiri siapa suruh manis, kan aku jadi suka."
"Bawa ini." Bu Sum menyerahkan kantung plastik berisi bubur ayam pagi itu."Apa ini, Bu?""Bubur ayam buat sarapan dokter Rizal.""Loh kan Dara cuma mau anter baju ke Mas Teguh, Bu. Enggak ke tempat dokter Rizal.""Sekalian, Ra. Kan satu tempat juga, lagian kasian anak rantau sakit tuh nggak ada yang ngurus. Mosok kamu tega, mana sakitnya tipes kan nggak bisa makan yang keras-keras dulu "Dara menghela napasnya, dirapihkannya kembali baju-baju yang akan dia antar pagi ini."Ya sudah, Dara pergi dulu." Dara meraih kunci motornya. "Oh iya Bu, nanti Dara pulang agak sore ya. Dara mau ketemu temen di kampus, katanya ada lowongan kerjaan di tempat dia kerja."Motor Mio itu berhenti di bangunan tiga lantai yang berisi para anak rantau. Dara mengetik pintu kamar Teguh, salah satu pelanggan laundry Bu Sum yang sangat baik padanya. "Pagi Dara," sapa lelaki itu masih dengan wajah bangun tidur."Pagi Mas Teguh," balas Dara sambil tersenyum. "Mau antar baju, Mas." Dara memberikan tas laundry ber
"Kamu sibuk besok malam?"Isi pesan dari Rizal untuk Dara. Sudah hampir satu minggu ini lelaki itu tak mendapat kabar bahkan bertemu dengan Dara. Yang datang mengantarkan atau mengambil baju kotornya hanya Bagas. Bertanya pada Bagas pun, pemuda itu hanya mengatakan sang Kakak sedang sibuk."Kebetulan aku nggak ada jadwal jaga, kita bisa ketemu?" Lagi pesan itu masuk namun belum mendapat balasan dari Dara. Hanya saja tanda centangnya sudah berwarna biru itu artinya Dara membaca pesannya.Kesal menunggu, Rizal meraih jaketnya kemudian berjalan menuju parkiran motor rumah sakit. Untung saja hari ini jam jaganya hanya sampai setelah Magrib.Motor sport itu berhenti di depan pagar rumah Dara. Lampu rumah pun sudah menyala, kios kecil tempat Bu Sum menerima pakaian laundry juga sudah di tutup. Hanya saja motor Mio milik Dara tak terlihat di sana, bisa jadi motor itu sedang di pakai oleh Bagas. Rizal mendorong motornya masuk ke halaman rumah Bu Sum. Dia letakkan helm full facenya di meja y
"Mama ada di Jogja? Sejak kapan?" tanya Rizal yang bergegas ke parkiran motor Rumah Sakit, dia harus segera menuju hotel tempat kedua orangtuanya menginap.Memasuki sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jogja, Rizal melangkahkan kakinya menuju restoran hotel itu. Wanita cantik berumur 50 puluh tahunan itu sedang berbincang dengan dua orang pria yang jelas sekali Rizal kenal, ayah dan pamannya. Entah dalam rangka apa ketiga orang yang dituakan ini datang tiba-tiba ke Jogja. "Ma, Pa." Rizal berdiri di antara mereka yang duduk di meja makan besar mengulurkan tangannya, menyalami kedua orangtuanya. Matanya melirik ke arah lelaki berkacamata dengan tatapan datar."Mamak, apa kabar?" Rizal kembali sedikit membungkuk, menyalami kakak pertama dari sang Ibu."Haa ...tumben Ichal langsuang tibo manamui Mama Papa, biasonyo tunggu sahari duo hari dulu baru ka tibo kamari, itupun kalau indak tapaso ndak ka tibo do," sindir Donna, ibu Rizal.(Tumben langsung nemuin Mama sama Papa, biasanya Ma
"Ini Synthia, anak dari Datuk Basri Alam," ujar Donna. "Kamu masih ingat kan, Synthia kecil dulu sering ke rumah kita."Rizal pun tersenyum, tidak pernah terbesit di ingatannya tentang wanita di hadapannya ini pernah datang ke rumahnya. Atau memang dia yang sudah lupa."Enggak sering Tante, cuma beberapa kali sebelum Bunda bawa Synthia ke Australia."Wanita yang umurnya mungkin hanya berbeda satu tahun di bawah Rizal ini pun mengulurkan tangannya."Apa kabar?""Baik," jawab Rizal canggung."Jadi pertemuan kali ini memang sangat mendadak," ujar lelaki yang umurnya di atas lebih tua dari Rizal. Mungkin hampir memasuki 40 tahun. Lelaki itu Amar kakak laki laki tertua Synthia."Kebetulan kami juga ada perjalanan bisnis ke Jogja, dan Bunda memberi tahu kalau Tante Donna dan Om Andreas sedang berada di Jogja. Mengenai kerjasama perusahaan yang pernah kita bahas tempo hari, kami selalu wakil dari perusahaan menyetujui persyaratan dan perjanjiannya.""Mengenai kelanjutannya, kita bicarakan de
Rizal menuntun motornya masuk ke pekarangan rumah Dara. Sudah menjadi kebiasaannya selama bertamu ke rumah gadis itu, Rizal psti mematikan motornya, maklum saja suara motor sport milik Rizal memang terdengar sedikit berisik."Loh, Mas Dokter." Bagas yang baru saja masuk ke pekarangan rumah kaget melihat Rizal juga baru datang."Gas," sapa Rizal. "Dara ada?""Ada, aku panggil dulu." Bagas memarkirkan motornya."Eh, Gas ... ini buat kamu dan ibu." Rizal memberikan satu kantung plastik berwarna putih."Makasih, Mas Dokter. Aku panggil Mbak Dara dulu." Bagas masuk ke dalam rumah dengan hati senang membawa bungkusan yang dari harumnya saja sudah bisa dia tebak."Emang rejeki anak soleh," ujar Bagas menaruh kantung plastik berisi dua tempat martabak manis dan martabak telur. "Tau aja ngambil hatinya," kekeh Bagas lalu melangkah menuju kamar Dara."Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun dia buka. "Ada yang cari tuh."Dara gelagapan, "siapa?""Pake nanya ... sana temuin dulu
Senyum Rizal kembali terukir, ingatannya masih melekat saat tadi dirinya memberanikan diri menyatakan perasaannya pada Dara. Tiba-tiba memeluk gadis itu, bahkan wajah mereka sempat dekat beberapa inci lagi, saling menatap sendu.Lamunannya buyar saat pesan masuk ke ponselnya dari sang Mama."Mama besok pagi pulang, penerbangan jam tujuh pagi. Malam ini sempatkan bertemu Mama dan Papa." Isi pesan itu rasanya enggan Rizal baca, toh selama ini juga orangtuanya datang dan pergi sesuka hati. Datang dengan melimpahkan masalah padanya, dan pergi meninggalkan masalah baru.Seperti pertemuan malam itu dengan Synthia dan Amar. Rizal baru mengetahui kalau ada rencana paman dan orangtuanya menjodohkannya dengan Synthia dengan alasan menjadikan kerajaan bisnis mereka khususnya rumah sakit berkembang lebih pesat lagi. Salah satunya menambah jangkauan bisnis sang Ayah yang mencoba bermain di pertambangan. Dan Synthia siang itu mengatakan sendiri pada Rizal. "Ya aku nggak bisa memaksa kamu, tapi ad
"Ra, Ibu boleh tanya?" Bu Sum menarik kursi di ruang makan, dia memperhatikan Dara yang sedang mengunyah nasi goreng buatan Bu Sum pagi itu."Ya, Bu. Ibu mau tanya apa?" Dara meneguk air putih di dalam gelas."Kamu dan dokter Rizal, benar kalian pacaran?""Uhuk ... uhuk ...." Dara tersedak membuat dia pun terbatuk-batuk. "Pake acara batuk-batuk segala. Bilang aja iya, Mbak. Lagian Ibu juga pertanyaannya bikin ketawa, mana ada sih Bu, cowok tiap malem Minggu dateng ke rumah terus mau ketemu anak gadis Ibu." Bagas meletakkan tasnya di kursi lalu menerima piring berisi nasi goreng dari Bu Sum."Kan Ibu butuh kejelasan, Gas.""Mbak, pinjem motor ya. Bagas ada tugas P5, Mbak nggak kemana-mana kan hari ini?" tanya Bagas."Sabtu ini Mbak mau ke toko buku.""Yah, kirain nggak kemana-mana." Raut wajah Bagas kecewa."Pake aja, biar Mbak naik bis Trans." "Hhmm ... nggak sama ayang bebeb?" goda Bagas menahan senyumnya."Enggak, dia ada jadwal hari ini." "Jadi bener pacaran, Ra?" Bu Sum masih p
Kenapa sih, Mas?" tanya Dara lagi. "Mas ...." Dara membelalakkan matanya saat tubuh Rizal semakin mendekat. "Mas ... mau ngapain?' tangan Dara menahan dada Rizal."Mau ambil remote." Rizal meraih remote TV tepat berada di sebelah Dara."Ih." Dara menepuk pundak lelaki itu. "Kirain mau ngapain.' "Emang mau ngapain?' Rizal senyum-senyum, diapaling senang jika usil pada Dara. Tak tahan melihat wajah kekasihnya itu memerah jika dia goda.Rizal beranjak dari tempat duduknya setelah membaca pesan yang masuk."Mas mau kemana?" "Mau ambil pesanan di bawah," jawab Rizal. "Aku ikut." Dara ikut beranjak."Sebentar aja, Ra. Di sini aman, nggak ada apa-apa. Aku cuma sebentar."Tidak sampai 10 menit Rizal sudah kembali ke unit apartemen miliknya. Saat membuka pintu dia tidak menemukan Dara di sana. Terdengar aliran air dari kamar mandi, sudah pasti kekasihnya itu berada di sana. Rizal menyiapkan makan malam untuk mereka, sengaja dia memesan beef teriyaki, salad sayur dan salad buah, dan dua kot
Dara duduk di kursi tunggu pasien, tepat di depan ruangan ICU. Ya, Bu Sum terkena stroke. Diagnosa sementara Bu Sum terkena stroke ringan. Menurut dokter Budi yang saat itu kebetulan berada di IGD, bisa jadi Bu Sum terlalu stress atau terlalu banyak pikiran."Kamu bisa ceritain ke Mbak, kenapa ibu tiba-tiba seperti ini, Gas?" tanya Dara pada Bagas yang duduk menelungkupkan wajahnya."Mbak Siti bilang, saat kejadian ada dua orang laki-laki yang datang ke rumah. Kata Mbak Siti, dua orang itu marah-marah sama Ibu.""Marah-marah kenapa? Apa ibu punya sangkutan hutang?" tanya Dara heran."Enggak lah Mbak, semiskin miskinnya kita, ibu selalu nggak mau ngutang sama orang. Dia pasti memilih bekerja siang malam buat kita daripada ada urusan hutang piutang," tegas Dara."Ya lalu kenapa ibu bisa begini?" Dara frustasi."Mbak Siti sempat bilang, lelaki itu sempat mengancam ibu.""Mengancam?" Rizal mengerutkan alisnya."Gas, coba kamu cerita yang benar. Dari awal!" Dara mulai terpancing emosi."Sa
"Butuh apa lagi?' tanya Rizal sambil mendorong troli belanjaan mereka."Daging, Mas. Sama buah-buahan." Dara melangkah ke area daging-daging segar. Baru saja dia memilih-milih daging, suara seseorang membuat dia dan Rizal menoleh ke asal suara."Kebetulan sekali bisa bertemu di sini," sapa Synthia sambil menenteng tas belanja. "Apa kabar?" "Synthia?" Rizal terperanjat. Dara menoleh pada suaminya."Suatu kebetulan banget bisa ketemu dengan kalian," ucap Synthia basa basi."Lagi di Jogja?" tanya Rizal."Yup, liburan ... belakangan ini Jogja lebih sering menyita perhatian." Synthia menatap Dara dengan sinis."Oh, enjoy holiday. Maaf kami sepertinya sudah selesai. Sudah selesai kan, Sayang?" tanya Rizal dengan penekanan kata Sayang pada Dara."Mm ... sudah." Dara pun mengangguk sambil memasukkan kantung berisi daging yang dia pilih tadi."Kapan ada waktu untuk bicara, Zal?" tanya Synthia tanpa memperdulikan Dara."Aku belum tau kapan, karena minggu-minggu ini masih persiapan untuk ujian
"Mau apalagi Anda datang ke rumah ini?"Bu Sum berdiri dengan tangan bersedekap di depan dada. Dahlan siang itu sudah berada di serambi teras rumah Bu Sum."Saya akan terus datang ke rumah ini sampai anak ibu dan keponakan saya berpisah.""Anda ini nggak waras ya. Atau Anda memang di ciptakan Tuhan nggak punya hati. Bisa bisanya Anda yang hanya seorang manusia mau memisahkan dua orang yang saling mencintai berpisah. Entah dimana harga diri Anda.""Jangan bicarakan harga diri, jika Ibu sendiri merendahkan harga diri Ibu hanya untuk mempermantukan keponakan saya.""Benar-benar nggak waras Anda. Pergi dari sini sebelum saya teriak dan orang kampung semua datang.""Silahkan saja, saya yakin orang kampung aka tau skandal ini.""Ini bukan skandal! Mereka saling mencintai, saya dan anak saya tidak pernah memandang orang dengan materi mereka asal Anda tau!""Bu ...." Siti yang baru datang dari mengantarkan baju berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Bu Sum."Sebaiknya Anda pergi!" Wajah Bu Sum t
Hingar bingar suara musik membisingkan telinga. Tubuh Synthia meliuk bergerak mengikuti irama lagu. Sambil memegang gelas berisi wine, tubuh indah itu bergerak begitu erotis. Semakin alunan irama itu mengalun kencang semakin tubuh indah Synthia bergerak seperti lepas kendali."Rugi banget laki-laki yang nggak bisa milikin kamu," bisik suara itu dari belakang telinganya membuat Synthia memutar tubuhnya."Apa?" tanyanya dengan suara lebih keras."Aku boleh temenin kamu malam ini?" tanya lelaki bertubuh atletis dengan wajah blasteran."Boleh," ujar Synthia sambil menghisap rokoknya lalu kembali memutar tubuhnya membelakangi lelaki tadi dan bergerak menempel pada tubuh lelaki itu."Kamu sendirian?" tanya lelaki itu ikut bergerak mengikuti gerak tubuh Synthia yang jujur saja membuatnya berhasrat pada gadis berwajah cantik dan seksi itu."Iya, kamu?""Aku juga, gimana kalo malam ini kita habiskan waktu berdua, mau?"Synthia membalikkan tubuhnya menghadap sang lelaki. Tangannya sudah bergela
"Aku khawatir dengan ibu," ujar Dara saat perjalanan pulang ke rumah mereka."Aman, Ra. Tadi aku udah ke rumah Pak RT minta pengamanan jaga malamnya lebih di perketat. Mudah-mudahan semua warga juga lebih perduli dengan keamanan kampung.""Iya, mudah-mudahan ya Mas.""Atau kamu mau Ibu ikut tinggal sama kita?""Ibu yang nggak mau, Mas. Dia bilang gimana dengan usaha laundry nya.""Ya sudah, artinya kita tetap seperti ini aja. Kalo aku jadwal jaga malam ya tidur tempat ibu. Sesekali weekend ibu kita ajak tidur di rumah." Rizal mengusak rambut istrinya. "Ini kita mau pulang atau belanja bulanan dulu?"*****Satu minggu berlalu setelah kejadian sore itu, Dara dan Rizal masih melakukan rutinitas yang sama dan sering menginap di rumah Bu Sum. Bagas sudah mulai persiapan ujian akhir di sekolahnya. Lelaki berusia 18 tahun itu sekarang lebih sibuk dari biasanya bimbingan belajar serta pelajaran tambahan di sekolah."Gimana keadaan, sudah aman?" tanya Budi siang itu saat mereka sedang makan si
"Ibu sakit," kata Bagas saat menyambut kedatangan Dara dan Rizal."Sejak kapan?""Kemarin siang waktu aku pulang, ibu udah di kamar aja tapi untungnya masih mau makan."Dara membuka pintu kamar Bu Sum, wanita paruh baya itu meringkuk menghadap dinding dengan selimut yang menutupi hingga pinggang.Dara melangkah masuk disusk Rizal da Bagas. Duduk di sisi ranjang, Dara membelai lembut lengan sang Ibu."Bu ....""Hhmm ...."Dara meletakkan tangannya pada kening Bu Sum, tidak panas malah teraba dingin. "Ibu sudah makan?" Bu Sum mengangguk. "Aku buatin teh hangat ya, biar enakan badannya."Bu Sum menggeleng."Ibu ngerasain sakit dimana?" tanya Dara lagi."Ibu nggak kenapa-kenapa. Ibu baik-baik aja, cuma butuh istirahat," ujar Bu Sum tanpa menoleh ke arah Dara.Ya, sebenarnya mata wanita tua itu sembab, semalaman dia menangis ketakutan meratapi nasib putrinya. Dan pada akhirnya Bu Sum memutuskan untuk tidak menceritakan kedatangan Dahlan ke rumah mereka kemarin. Biarlah dia yang menghada
Jogja di guyur hujan dari malam hingga pagi ini. Mobil Brio hitam milik Rizal terparkir di halaman rumah Bu Sum. Pintu depan rumah itu sudah terbuka dari jam enam pagi tadi. Tumbuhan-tumbuhan hijau di pekarangan rumah Bu Sum tambah menyejukkan pagi ini.Jam tiga pagi tadi Rizal sampai di rumah Bu Sum. Seperti biasa, jika Rizal jadwal malam di rumah sakit sudah pasti Dara tidur di rumah Bu Sum. "Ibu bawakan bekal aja ya buat kalian," ujar Bu Sum mengantarkan anak dan menantunya kembali berangkat kerja. "Enggak usah Bu, kami makan di luar aja," jawab Dara sambil mencium tangan ibunya diikuti Rizal."Nanti kami pulang ke rumah ya, Bu," kata Rizal."Iya, pokoknya kalo kalian ke rumah Ibu pasti senang."Rizal dan Dara masuk ke mobil di payungi oleh Bu Sum. Bu Sum melambaikan tangan ketika mobil melaju keluar dari pekarangan rumahnya."Ini rumah ibu nya, Pak. Sepertinya mereka memang tinggal di sini bersama orangtua wanita itu," ujar informan yang di bayar oleh Synthia pada Dahlan.Ya, mo
"Liat ini." Anna menyodorkan ponselnya pada Synthia. "Anaknya teman Bunda yang kasih tau." Anna menarik kursi makan di hadapan Synthia.Sebuah poto pernikahan di sebuah resto daerah pinggir pantai di Jogja yang menunjukkan pasangan pengantin baru sedang berciuman usai acara pernikahan mereka."Rizal?" Synthia terkejut."Poto itu sempat viral ternyata beberapa hari lalu. Resto itu seperti mendapatkan promo untuk acara pernikahan lantaran poto mereka di antara senja di daerah pantai." Bibir itu tersenyum sinis tak suka."Mereka menikah, Bun. Aku harus gimana?" Synthia panik."Mereka menikah tanpa restu orang tua Rizal lah. Kamu masih ada kesempatan untuk membuat mereka berpisah, Syn. Sudah jelas keluarga Rizal nggak setuju sama wanita itu.""Ya ampun, mereka sudah menikah, Bun." Synthia mengacak rambutnya frustasi."Enggak usah lebay, enggak usah ngeluh. Usaha kamu nggak cukup besar dalam memisahkan mereka. Sekarang apa buktinya, kamu kalah.""Harusnya kemarin aku buat mati saja gadis J
Pagi itu Dara masih mengenaka baju tidur berbahan satin, dia tengah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Rambut yang dia gulung tinggi ke atas memperlihatkan leher jenjangnya, nampak beberapa warna kemerahan menghiasi leher miliknya. Ya, tiga hari menjadi istri Rizal banyak hal-hal baru yang dia ketahui mengenai sifat dan sikap Rizal. Bukan hanya romantis, suaminya terlalu sering memanjakannya, apalagi dalam hal makanan. Sering memberinya hadiah, meski sekecil apapun. Hanya satu yang tidak di sukai oleh Dara, jika Rizal buang angin sembarangan. Hal yang lucu, kadang bisa membuat mereka saling menyalahkan. "Masak apa?" Rizal memeluk Dara dari belakang. Tangannya bergerak bebas kesana kemari menelusuri tubuh istrinya hingga Dara kegelian."Cuma masak mie instan," jawab Dara menoleh hingga mengenai hidung mancung milik Rizal. "Mie instan sering-sering nggak baik loh, Sayang.""Kan nggak setiap hari, Mas. Emang yang baik setiap hari apa?" goda Dara."Ini." Rizal memba