Share

Bab 4. Mari Kita Rayakan

"Ayo," ajak Rizal.

Dara berdiri terpaku, di tatapnya kafe yang ada di hadapannya. Setahu Dara, kafe yang mereka kunjungi ini harga makanannya cukup mahal, sedangkan uang yang ada di dompetnya hanya tersisa seratus ribu rupiah.

"Karena saya yang traktir, jadi sebaiknya saya yang menentukan kita makan dimana," ujar Dara.

"Tapi kita sudah terlanjur sampai sini. Jadi, daripada menghabiskan waktu untuk mencari kafe yang lain lebih baik kita di sini aja."

"I-iya, tapi ...."

"Aku udah laper, denger-denger makanan di sini enak-enak. Ayo." Rizal me lebih dulu.

"Seratus ribuku," lirih Dara dengan wajah sedih.

"Makan apa?" tanya Rizal pada Dara saat pelayan menghampiri mereka.

"Hhmm.... air mineral aja," jawab Dara.

"Loh kok air mineral?"

"Saya nggak laper. Yang makan Dokter aja, enggak apa-apa."

"Ah, enggak gitu konsepnya." Alis Rizal bertaut. "Aku pesenin, satu beef carbonara, onion ring, dimsum satu porsi, lalu ... satu beef steak, saya minta cheese sauce-nya, terus minumannya saya minta yang segar, yang enak, yang favoritnya di tempat ini," ujar Rizal lalu menutup buku menu memberikannya kepada pelayan.

Dara menelan salivanya kasar, bagaimana mungkin dia bisa membayar semua pesanan Rizal dengan uang seratus ribu yang dia punya.

"Kamu kenapa? Kok gelisah?"

"Eng-enggak, nggak apa-apa."

"Kayak nggak seneng gitu mukanya." Rizal menyandarkan tubuhnya. 

"Bukan gitu ... tapi, gimana ya bilangnya. Mm ... gini, Dok." Dara mengehentikan ucapannya, dia sejenak berpikir. "Jadi ... sebenarnya ...."

"Jadi?"

"Gini, Dok. Saya cuma bawa uang seratus ribu, gimana kalo saya pinjam uang Dokter dulu untuk bayar makan malam hari ini. Karena sepertinya, uang saya nggak cukup." Dara menggigit bibir bawahnya menunggu reaksi Rizal.

"Ok, mau berapa kali bayar?" 

"Berapa kali bayar apanya, Dok?"

"Ya bayar hutangnya, katanya malam ini kamu mau pinjam uang aku."

"Oh gitu."

"Haha, bercanda. Kamu kira aku tega liat kamu bayar makanan yang udah masuk ke perut aku dengan cara berhutang."

"Tapi kan, saya udah janji mau traktir. Walaupun nggak nyangka sih kalo harus traktir di tempat semewah ini." 

"Khusus malam ini aku yang bayar, kamu cukup nikmati apa yang terhidang di sini."

"Terimakasih untuk makan malamnya," ucap Dara. "Tapi lain kali, kalo saya yang traktir artinya saya yang menentukan tempatnya."

Rizal tersenyum, matanya menatap rumah sederhana yang di terangi cahaya lampu. Sebuah plang bertuliskan "Laundry Bu Sum" terpasang di sisi sebelah kiri pagar. Sementara terdapat satu bangunan terpisah yang bisa jadi tempat beraktivitas Bu Sum menerima jasa laundry-nya.

"Kabari aku kalo kamu sudah siap traktir aku." Rizal menyalakan mesin motornya. "Sampaikan salam untuk Bu Sum."

Dara hanya mengangguk, seutas senyum mengiringi kepergian Rizal malam itu.

*****

Bagas sibuk mengabadikan momen bahagia hari ini. Bahkan tangis Bu Sum pun tak luput dari bidikan kamera ponselnya. Gadis berkebaya biru muda dengan hiasan tipis dan toga yang menghiasi kepalanya itu terlihat begitu anggun.

"Terimakasih karena sudah mewujudkan impian Ibu," ucap Bu Sum memeluk erat Dara. "Terimakasih karena sudah mau bersabar ya, Ra."

"Dara seharunya yang berterimakasih pada Ibu, karena Ibu, Dara bisa seperti sekarang. Sayang Ibu banyak-banyak," tutur lembut Dara memeluk Bu Sum.

"Selamat ya, Mbak."

"Makasih ya, Gas. Taun depan kamu yang berjuang untuk masuk ke kampus ini."

Bagas memberikan pelukan sayangnya pada Dara. Siapa yang sangka mereka harus hidup tanpa peran seorang ayah, dan membantu perjuangan sang Ibu.

"Mbak," ujar Bagas melepaskan pelukannya dan memberi isyarat pada Dara. "Ada yang datang." Bagas pun tersenyum.

Dara menoleh ke arah yang Bagas tuju. Rizal dari kejauhan melangkah ke arah mereka.

"Kenapa dia di sini?" 

"Sebenarnya Bagas mau ngaku ke Mbak."

"Tentang apa?"

"Ingat seminggu lalu waktu Bagas antar laundry ke kost Paradigma. Bagas ketemu dokter muda itu, dia tanya kenapa bukan Mbak yang antar. Ya Bagas kasih tau, nah tadi malam dia chat Bagas, nanyain Mbak juga. Ya Bagas kasih tau lagi," ujar Bagas polos. "Kayaknya sih feeling Bagas, dokter itu naksir Mbak."

"Hush, kamu ada-ada aja. Dia mendekat, jadi gimana ini?" Dara serba salah.

"Ciee salting ...," goda Bagas.

"Bagas, jangan gitu sama Mbak-mu." Bu Sum menepuk pundak Bagas.

"Selamat siang, Bu Sum," sapa Rizal yang hari itu mengenakan batik. "Bagas ...."

"Yup, Mas Dokter." Bagas mengulum senyumnya.

"Dara ...." Pandangan Rizal beralih pada Dara. "Selamat ya, mm ... ini buat kamu." Rizal memberikan satu buket berisi boneka dan beberapa tangkai bunga. 

"Makasih, Dok," jawab Dara malu.

"Poto lagi aja, keburu tambah panas nih." Bagas mencairkan suasana yang terlihat canggung itu. "Mbak sama Mas dokter dulu nanti bareng sama Ibu, ya." Bagas mengedipkan sebelah matanya pada Bu Sum, Bu Sum hanya tersenyum melihat kelakuan anak lelakinya itu.

"Masuk dulu, Nak Rizal. Kita makan bareng, Ibu sudah siapin makan siang untuk syukuran atas kelulusan Dara." Bu Sum membuka pintu rumahnya.

"Bagas bantuin Ibu, ya." 

Bagas buru-buru mengikuti langkah kaki Bu Sum. Karena sedari tadi tatapan mata Dara tak pernah lepas darinya. Apalagi saat kepulangan mereka tadi dari kampus, mau tak mau Dara mengurungkan niatnya memesan taksi online, karena ide Bagas yang harus membuatnya berboncengan dengan Rizal sementara Bagas bersama Bu Sum.

"Masuk, Dok." Dara meletakkan perlengkapan wisudanya diatas meja tamu kemudian dia susun sandal heels yang dibelinya dari hasil menabung tiga bulan itu di dekat pintu masuk.

"Dokter mau minum apa?" tanya Dara yang berusaha tak kikuk di depan Rizal.

"Air putih aja."

"Air putih datang ..." Bagas datang membawa dua gelas air putih dan satu piring berisi aneka kue. "Ibu bilang, sebentar lagi sop iganya dihidangkan." Hidung Bagas kembang kempis menahan tawa lantaran melihat wajah Dara yang memerah.

"Bagas ...."

"Bagas masih harus bantu ibu di belakang, Mbak," jawab pemuda itu cepat.

Dara menghela napas panjang melihat kelakuan adiknya yang menurutnya sangatlah berlebihan. Mau tak mau Dara ikut duduk menemani Rizal yang tersenyum lantaran melihat kelakuan Bagas.

"Bagas itu ternyata orangnya seru, ya. Pinter bersosialisasi."

"Iya, begitulah."

"Gimana, lega udah wisuda?"

"Iya, lega banget. Akhirnya bisa mengurangi beban ibu."

Rizal mengangguk angguk.

"Rencana selanjutnya?"

"Bantuin ibu dan nyoba cari-cari kerja," jawab Dara. "Hhmm ... makasih sudah datang."

Rizal tersenyum. "Maaf ya, aku tiba-tiba datang tanpa kasih tau. Kupikir nggak ada salahnya mengunjungi seorang teman yang sedang merayakan momen bahagianya."

Dara mengangguk. 

"Makan siang sudah siap." Bu Sum muncul dari balik pembatas ruangan. "Ayo, kita rayakan hari bahagia ini." Tatapan wanita tua itu begitu teduh, satu janji pada mendiang suaminya sudah dia selesaikan. 

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Sepertinya dokter Rizal suka deh sama Dara ,sampai spesial datang saat wisuda Dara
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Hahahaha Bagas kocak ya ... Curiga nih Bagas ada sesuatu dgn dokter Rizal biar Dara dekat sama dokter Rizal
goodnovel comment avatar
Christina Natalia
ayo Bu makan SOP iga sambal tempe goreng emping wehhhh nikmat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status