"Ayo," ajak Rizal.
Dara berdiri terpaku, di tatapnya kafe yang ada di hadapannya. Setahu Dara, kafe yang mereka kunjungi ini harga makanannya cukup mahal, sedangkan uang yang ada di dompetnya hanya tersisa seratus ribu rupiah.
"Karena saya yang traktir, jadi sebaiknya saya yang menentukan kita makan dimana," ujar Dara.
"Tapi kita sudah terlanjur sampai sini. Jadi, daripada menghabiskan waktu untuk mencari kafe yang lain lebih baik kita di sini aja."
"I-iya, tapi ...."
"Aku udah laper, denger-denger makanan di sini enak-enak. Ayo." Rizal me lebih dulu.
"Seratus ribuku," lirih Dara dengan wajah sedih.
"Makan apa?" tanya Rizal pada Dara saat pelayan menghampiri mereka.
"Hhmm.... air mineral aja," jawab Dara.
"Loh kok air mineral?"
"Saya nggak laper. Yang makan Dokter aja, enggak apa-apa."
"Ah, enggak gitu konsepnya." Alis Rizal bertaut. "Aku pesenin, satu beef carbonara, onion ring, dimsum satu porsi, lalu ... satu beef steak, saya minta cheese sauce-nya, terus minumannya saya minta yang segar, yang enak, yang favoritnya di tempat ini," ujar Rizal lalu menutup buku menu memberikannya kepada pelayan.
Dara menelan salivanya kasar, bagaimana mungkin dia bisa membayar semua pesanan Rizal dengan uang seratus ribu yang dia punya.
"Kamu kenapa? Kok gelisah?"
"Eng-enggak, nggak apa-apa."
"Kayak nggak seneng gitu mukanya." Rizal menyandarkan tubuhnya.
"Bukan gitu ... tapi, gimana ya bilangnya. Mm ... gini, Dok." Dara mengehentikan ucapannya, dia sejenak berpikir. "Jadi ... sebenarnya ...."
"Jadi?"
"Gini, Dok. Saya cuma bawa uang seratus ribu, gimana kalo saya pinjam uang Dokter dulu untuk bayar makan malam hari ini. Karena sepertinya, uang saya nggak cukup." Dara menggigit bibir bawahnya menunggu reaksi Rizal.
"Ok, mau berapa kali bayar?"
"Berapa kali bayar apanya, Dok?"
"Ya bayar hutangnya, katanya malam ini kamu mau pinjam uang aku."
"Oh gitu."
"Haha, bercanda. Kamu kira aku tega liat kamu bayar makanan yang udah masuk ke perut aku dengan cara berhutang."
"Tapi kan, saya udah janji mau traktir. Walaupun nggak nyangka sih kalo harus traktir di tempat semewah ini."
"Khusus malam ini aku yang bayar, kamu cukup nikmati apa yang terhidang di sini."
"Terimakasih untuk makan malamnya," ucap Dara. "Tapi lain kali, kalo saya yang traktir artinya saya yang menentukan tempatnya."
Rizal tersenyum, matanya menatap rumah sederhana yang di terangi cahaya lampu. Sebuah plang bertuliskan "Laundry Bu Sum" terpasang di sisi sebelah kiri pagar. Sementara terdapat satu bangunan terpisah yang bisa jadi tempat beraktivitas Bu Sum menerima jasa laundry-nya.
"Kabari aku kalo kamu sudah siap traktir aku." Rizal menyalakan mesin motornya. "Sampaikan salam untuk Bu Sum."
Dara hanya mengangguk, seutas senyum mengiringi kepergian Rizal malam itu.
*****
Bagas sibuk mengabadikan momen bahagia hari ini. Bahkan tangis Bu Sum pun tak luput dari bidikan kamera ponselnya. Gadis berkebaya biru muda dengan hiasan tipis dan toga yang menghiasi kepalanya itu terlihat begitu anggun.
"Terimakasih karena sudah mewujudkan impian Ibu," ucap Bu Sum memeluk erat Dara. "Terimakasih karena sudah mau bersabar ya, Ra."
"Dara seharunya yang berterimakasih pada Ibu, karena Ibu, Dara bisa seperti sekarang. Sayang Ibu banyak-banyak," tutur lembut Dara memeluk Bu Sum.
"Selamat ya, Mbak."
"Makasih ya, Gas. Taun depan kamu yang berjuang untuk masuk ke kampus ini."
Bagas memberikan pelukan sayangnya pada Dara. Siapa yang sangka mereka harus hidup tanpa peran seorang ayah, dan membantu perjuangan sang Ibu.
"Mbak," ujar Bagas melepaskan pelukannya dan memberi isyarat pada Dara. "Ada yang datang." Bagas pun tersenyum.
Dara menoleh ke arah yang Bagas tuju. Rizal dari kejauhan melangkah ke arah mereka.
"Kenapa dia di sini?"
"Sebenarnya Bagas mau ngaku ke Mbak."
"Tentang apa?"
"Ingat seminggu lalu waktu Bagas antar laundry ke kost Paradigma. Bagas ketemu dokter muda itu, dia tanya kenapa bukan Mbak yang antar. Ya Bagas kasih tau, nah tadi malam dia chat Bagas, nanyain Mbak juga. Ya Bagas kasih tau lagi," ujar Bagas polos. "Kayaknya sih feeling Bagas, dokter itu naksir Mbak."
"Hush, kamu ada-ada aja. Dia mendekat, jadi gimana ini?" Dara serba salah.
"Ciee salting ...," goda Bagas.
"Bagas, jangan gitu sama Mbak-mu." Bu Sum menepuk pundak Bagas.
"Selamat siang, Bu Sum," sapa Rizal yang hari itu mengenakan batik. "Bagas ...."
"Yup, Mas Dokter." Bagas mengulum senyumnya.
"Dara ...." Pandangan Rizal beralih pada Dara. "Selamat ya, mm ... ini buat kamu." Rizal memberikan satu buket berisi boneka dan beberapa tangkai bunga.
"Makasih, Dok," jawab Dara malu.
"Poto lagi aja, keburu tambah panas nih." Bagas mencairkan suasana yang terlihat canggung itu. "Mbak sama Mas dokter dulu nanti bareng sama Ibu, ya." Bagas mengedipkan sebelah matanya pada Bu Sum, Bu Sum hanya tersenyum melihat kelakuan anak lelakinya itu.
"Masuk dulu, Nak Rizal. Kita makan bareng, Ibu sudah siapin makan siang untuk syukuran atas kelulusan Dara." Bu Sum membuka pintu rumahnya.
"Bagas bantuin Ibu, ya."
Bagas buru-buru mengikuti langkah kaki Bu Sum. Karena sedari tadi tatapan mata Dara tak pernah lepas darinya. Apalagi saat kepulangan mereka tadi dari kampus, mau tak mau Dara mengurungkan niatnya memesan taksi online, karena ide Bagas yang harus membuatnya berboncengan dengan Rizal sementara Bagas bersama Bu Sum.
"Masuk, Dok." Dara meletakkan perlengkapan wisudanya diatas meja tamu kemudian dia susun sandal heels yang dibelinya dari hasil menabung tiga bulan itu di dekat pintu masuk.
"Dokter mau minum apa?" tanya Dara yang berusaha tak kikuk di depan Rizal.
"Air putih aja."
"Air putih datang ..." Bagas datang membawa dua gelas air putih dan satu piring berisi aneka kue. "Ibu bilang, sebentar lagi sop iganya dihidangkan." Hidung Bagas kembang kempis menahan tawa lantaran melihat wajah Dara yang memerah.
"Bagas ...."
"Bagas masih harus bantu ibu di belakang, Mbak," jawab pemuda itu cepat.
Dara menghela napas panjang melihat kelakuan adiknya yang menurutnya sangatlah berlebihan. Mau tak mau Dara ikut duduk menemani Rizal yang tersenyum lantaran melihat kelakuan Bagas.
"Bagas itu ternyata orangnya seru, ya. Pinter bersosialisasi."
"Iya, begitulah."
"Gimana, lega udah wisuda?"
"Iya, lega banget. Akhirnya bisa mengurangi beban ibu."
Rizal mengangguk angguk.
"Rencana selanjutnya?"
"Bantuin ibu dan nyoba cari-cari kerja," jawab Dara. "Hhmm ... makasih sudah datang."
Rizal tersenyum. "Maaf ya, aku tiba-tiba datang tanpa kasih tau. Kupikir nggak ada salahnya mengunjungi seorang teman yang sedang merayakan momen bahagianya."
Dara mengangguk.
"Makan siang sudah siap." Bu Sum muncul dari balik pembatas ruangan. "Ayo, kita rayakan hari bahagia ini." Tatapan wanita tua itu begitu teduh, satu janji pada mendiang suaminya sudah dia selesaikan.
"Pagi, Dokter," sapa Bu Sum memasuki ruangan dokter spesialis saraf dengan senyum sumringah berbeda dengan saat waktu Bu Sum datang pertama kali ke ruangan itu. Ditemani Bagas, Bu Sum menceritakan perkembangan yang dia rasakan selama sebulan ini semenjak menggunakan collar neck secara rutin. "Coba saya periksa dulu, ya," ucap Dokter Zainal, dokter senior di ruangan itu selain dokter berkacamata yang lain."Udah aman ya ini, syukurlah masih bisa kita observasi kemarin ya. Diingatkan lagi ibunya untuk tidak mengangkat atau mengerjakan pekerjaan yang berat.""Terimakasih, Dokter." Mata Bu Sum masih mencari-cari. "Kalo dokter Rizal, hhmm maksud saya dokter residen yang waktu itu enggak kelihatan ya, Dokter?""Oh dokter Rizal, hari ini memang mengambil cuti ijin sakit, Bu Sum.""Oh sakit." Bu Sum terdiam. "Bu, ayo." Bagas menyentuh lengan ibunya agar bergegas meninggalkan tempat itu."Mbak-mu pulang jam berapa, Gas?" tanya Bu Sum setiba mereka di rumah."Bagas kurang tahu, Bu. Kenapa?"
"Bawa ini." Bu Sum menyerahkan kantung plastik berisi bubur ayam pagi itu."Apa ini, Bu?""Bubur ayam buat sarapan dokter Rizal.""Loh kan Dara cuma mau anter baju ke Mas Teguh, Bu. Enggak ke tempat dokter Rizal.""Sekalian, Ra. Kan satu tempat juga, lagian kasian anak rantau sakit tuh nggak ada yang ngurus. Mosok kamu tega, mana sakitnya tipes kan nggak bisa makan yang keras-keras dulu "Dara menghela napasnya, dirapihkannya kembali baju-baju yang akan dia antar pagi ini."Ya sudah, Dara pergi dulu." Dara meraih kunci motornya. "Oh iya Bu, nanti Dara pulang agak sore ya. Dara mau ketemu temen di kampus, katanya ada lowongan kerjaan di tempat dia kerja."Motor Mio itu berhenti di bangunan tiga lantai yang berisi para anak rantau. Dara mengetik pintu kamar Teguh, salah satu pelanggan laundry Bu Sum yang sangat baik padanya. "Pagi Dara," sapa lelaki itu masih dengan wajah bangun tidur."Pagi Mas Teguh," balas Dara sambil tersenyum. "Mau antar baju, Mas." Dara memberikan tas laundry ber
"Kamu sibuk besok malam?"Isi pesan dari Rizal untuk Dara. Sudah hampir satu minggu ini lelaki itu tak mendapat kabar bahkan bertemu dengan Dara. Yang datang mengantarkan atau mengambil baju kotornya hanya Bagas. Bertanya pada Bagas pun, pemuda itu hanya mengatakan sang Kakak sedang sibuk."Kebetulan aku nggak ada jadwal jaga, kita bisa ketemu?" Lagi pesan itu masuk namun belum mendapat balasan dari Dara. Hanya saja tanda centangnya sudah berwarna biru itu artinya Dara membaca pesannya.Kesal menunggu, Rizal meraih jaketnya kemudian berjalan menuju parkiran motor rumah sakit. Untung saja hari ini jam jaganya hanya sampai setelah Magrib.Motor sport itu berhenti di depan pagar rumah Dara. Lampu rumah pun sudah menyala, kios kecil tempat Bu Sum menerima pakaian laundry juga sudah di tutup. Hanya saja motor Mio milik Dara tak terlihat di sana, bisa jadi motor itu sedang di pakai oleh Bagas. Rizal mendorong motornya masuk ke halaman rumah Bu Sum. Dia letakkan helm full facenya di meja y
"Mama ada di Jogja? Sejak kapan?" tanya Rizal yang bergegas ke parkiran motor Rumah Sakit, dia harus segera menuju hotel tempat kedua orangtuanya menginap.Memasuki sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jogja, Rizal melangkahkan kakinya menuju restoran hotel itu. Wanita cantik berumur 50 puluh tahunan itu sedang berbincang dengan dua orang pria yang jelas sekali Rizal kenal, ayah dan pamannya. Entah dalam rangka apa ketiga orang yang dituakan ini datang tiba-tiba ke Jogja. "Ma, Pa." Rizal berdiri di antara mereka yang duduk di meja makan besar mengulurkan tangannya, menyalami kedua orangtuanya. Matanya melirik ke arah lelaki berkacamata dengan tatapan datar."Mamak, apa kabar?" Rizal kembali sedikit membungkuk, menyalami kakak pertama dari sang Ibu."Haa ...tumben Ichal langsuang tibo manamui Mama Papa, biasonyo tunggu sahari duo hari dulu baru ka tibo kamari, itupun kalau indak tapaso ndak ka tibo do," sindir Donna, ibu Rizal.(Tumben langsung nemuin Mama sama Papa, biasanya Ma
"Ini Synthia, anak dari Datuk Basri Alam," ujar Donna. "Kamu masih ingat kan, Synthia kecil dulu sering ke rumah kita."Rizal pun tersenyum, tidak pernah terbesit di ingatannya tentang wanita di hadapannya ini pernah datang ke rumahnya. Atau memang dia yang sudah lupa."Enggak sering Tante, cuma beberapa kali sebelum Bunda bawa Synthia ke Australia."Wanita yang umurnya mungkin hanya berbeda satu tahun di bawah Rizal ini pun mengulurkan tangannya."Apa kabar?""Baik," jawab Rizal canggung."Jadi pertemuan kali ini memang sangat mendadak," ujar lelaki yang umurnya di atas lebih tua dari Rizal. Mungkin hampir memasuki 40 tahun. Lelaki itu Amar kakak laki laki tertua Synthia."Kebetulan kami juga ada perjalanan bisnis ke Jogja, dan Bunda memberi tahu kalau Tante Donna dan Om Andreas sedang berada di Jogja. Mengenai kerjasama perusahaan yang pernah kita bahas tempo hari, kami selalu wakil dari perusahaan menyetujui persyaratan dan perjanjiannya.""Mengenai kelanjutannya, kita bicarakan de
Rizal menuntun motornya masuk ke pekarangan rumah Dara. Sudah menjadi kebiasaannya selama bertamu ke rumah gadis itu, Rizal psti mematikan motornya, maklum saja suara motor sport milik Rizal memang terdengar sedikit berisik."Loh, Mas Dokter." Bagas yang baru saja masuk ke pekarangan rumah kaget melihat Rizal juga baru datang."Gas," sapa Rizal. "Dara ada?""Ada, aku panggil dulu." Bagas memarkirkan motornya."Eh, Gas ... ini buat kamu dan ibu." Rizal memberikan satu kantung plastik berwarna putih."Makasih, Mas Dokter. Aku panggil Mbak Dara dulu." Bagas masuk ke dalam rumah dengan hati senang membawa bungkusan yang dari harumnya saja sudah bisa dia tebak."Emang rejeki anak soleh," ujar Bagas menaruh kantung plastik berisi dua tempat martabak manis dan martabak telur. "Tau aja ngambil hatinya," kekeh Bagas lalu melangkah menuju kamar Dara."Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun dia buka. "Ada yang cari tuh."Dara gelagapan, "siapa?""Pake nanya ... sana temuin dulu
Senyum Rizal kembali terukir, ingatannya masih melekat saat tadi dirinya memberanikan diri menyatakan perasaannya pada Dara. Tiba-tiba memeluk gadis itu, bahkan wajah mereka sempat dekat beberapa inci lagi, saling menatap sendu.Lamunannya buyar saat pesan masuk ke ponselnya dari sang Mama."Mama besok pagi pulang, penerbangan jam tujuh pagi. Malam ini sempatkan bertemu Mama dan Papa." Isi pesan itu rasanya enggan Rizal baca, toh selama ini juga orangtuanya datang dan pergi sesuka hati. Datang dengan melimpahkan masalah padanya, dan pergi meninggalkan masalah baru.Seperti pertemuan malam itu dengan Synthia dan Amar. Rizal baru mengetahui kalau ada rencana paman dan orangtuanya menjodohkannya dengan Synthia dengan alasan menjadikan kerajaan bisnis mereka khususnya rumah sakit berkembang lebih pesat lagi. Salah satunya menambah jangkauan bisnis sang Ayah yang mencoba bermain di pertambangan. Dan Synthia siang itu mengatakan sendiri pada Rizal. "Ya aku nggak bisa memaksa kamu, tapi ad
"Pagi Mas Teguh, mau antar laundry." sapa Dara gadis 24 tahun itu tersenyum saat pintu kamar terbuka."Eh Dara, kok tumben?" Teguh salah satu penghuni kost-kostan eksklusif di daerah Seturan itu semakin membuka lebar pintu kamarnya."Ibu sakit, Dara nganggur ... ya udah jadinya Dara yang antar."Teguh mengangguk-angguk, "eh iya sebentar." Dia kemudian masuk sebentar tak berapa lama sudah kembali dengan membawa uang ratusan beberapa lembar. "Ini uang laundry bulan ini," ujar Teguh memberikan empat lembar uang ratusan. "Dan ini buat Dara, kata Ibu Sum ... Dara wisuda akhir bulan kan?""Eh ...." Dara menolak."Cuma segini, buat persiapan wisuda," ujar lelaki beranak satu yang jauh dari keluarga kecilnya lantaran kembali menuntut ilmu di kota melanjutkan jenjang S2 nya. "Dapat salam juga dari istriku, mudah-mudahan bulan depan bisa ketemu kamu katanya.""Wah, Mas ... Dara jadi nggak enak.""Terima, kalo belum dibutuhkan ya di tabung." "Makasih ya Mas," ucap Dara dengan mata berkaca-kaca.