Beauty and The Mafia

Beauty and The Mafia

last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-27
Oleh:  Laquisha BayTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
6 Peringkat. 6 Ulasan-ulasan
62Bab
21.7KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

[21+] Diculik sejumlah pria asing dan dijadikan tawanan oleh Marco Botticelli—sang mafia, merupakan nasib paling tragis yang dialami Rosetta Alighieri. Dia dituduh mencuri kalung warisan pria itu akibat kesalahpahaman yang diciptakan Caritta Alighieri—saudari kembarnya. Hidup Rosetta pun langsung berubah detik itu juga. Terlibat dalam cinta sekaligus melangkah pada lingkaran intrik, seolah-olah menjadi sesuatu yang memang digariskan sejak lama untuk mereka. Ketika Marco kemudian menawarkan komitmen, jawaban apa yang akan Rosetta berikan padanya? Orang waras mana yang sudi menerjunkan dirinya dalam dunia kelam milik spesialis kriminal?

Lihat lebih banyak

Bab 1

1. Pelacur

“Aku tidak suka basa-basi. Siapa namamu?”

“Panggil saja Leah.”

“Leah? Nama yang menarik.”

Wanita berambut panjang yang mengaku sebagai Leah itu hanya tersenyum menanggapi. Dia menyilangkan sepasang tungkainya dengan gerakan sensual—menyingkap sebagian kulit paha yang halus, lantas mematikan puntung rokok miliknya di dalam asbak. Senyum lebar menghiasi sudut bibirnya yang dipolesi lipstik warna merah.

“Aku punya nama samaran bagi profesiku. Anggap saja itu cara kami bekerja,” komentar Leah lagi dengan sopan.

Pria tersebut kemudian mengangguk memberi respons. Dia kembali menyesap vodka-nya—minuman beralkohol yang baru saja dia pesan beberapa menit lalu—dengan hati-hati. Pikirannya berkelana pada sesuatu yang menonjol di balik blus sutra lawan bicaranya.

“Apa aku boleh menyebutmu Tuan Marco saja dan—”

“Botticelli. Tuan Botticelli,” tegas si pria itu tanpa balas memandang ke arah wanita cantik yang sedang menatapnya dengan sorot mata ‘lapar’.

“Jadi, apa kita sepakat dengan harganya?”

“Nominal sama sekali bukan masalah. Aku akan memberi tarif yang pantas untuk pelayanan yang kau berikan. Aku selalu royal terhadap jalang-jalang sepertimu.”

Leah tersentak dengan pernyataan di kalimat terakhir yang terdengar menghinanya. Dia memang pelacur, tetapi belum pernah ada yang secara terang-terangan menyebutnya serendah itu. Pria bernama Marco yang ada di hadapannya tersebut bercakap dengan lugas—terlalu objektif malah, sampai-sampai dia merasa jengah pada dirinya sendiri.

Marco bukan tipikal lawan jenis yang sering Leah temui. Pria itu berbeda, seolah-olah ada sesuatu dalam nada bicaranya yang menciptakan sensasi gentar di kedua lutut Leah sewaktu mereka melakukan interaksi. Sejenis sinyal peringatan bahwa dia merupakan orang yang harus dijauhi.

“Ba-baiklah, Tuan Botticelli. Aku setuju,” sahut Leah dengan terbata-bata.

“Akan ada seseorang yang mengurus uangnya untukmu. Kau hanya harus mempersiapkan dirimu sekarang.”

“Y-ya,” balasnya sambil mengangguk.

Leah menyeka keningnya yang mendadak mengeluarkan keringat. Dia belum pernah merasa segugup itu sebelumnya. Pria mana pun yang akan menggunakan jasanya selalu bersikap kasual dan manis, tetapi Marco justru dingin dan penuh intimidasi.

Tatapan tajam Marco beralih pada aksi salah tingkah Leah yang membuang muka darinya. Pria itu menyipitkan mata, lantas berujar, “Mengapa kau berperilaku seperti wanita yang baru mendapatkan mangsa untuk pertama kalinya?”

‘Apa katanya? Mangsa? Apa dia pikir aku predator?’ batin Leah. Dia spontan berdeham-deham membersihkan tenggorokan sesaat sebelum memberikan jawaban. Leah menyisir ujung rambutnya dengan jemari, kemudian menggeleng dengan ragu.

Perasaan aneh tersebut refleks mengisi dada Leah dan mengingatkannya pada pengalaman ‘pertama’ yang masih belum cukup lama berlalu. Usianya akan genap dua puluh tahun bulan depan. Namun, sepak terjangnya dalam menggaet para pria berdompet tebal sudah tergolong mumpuni.

“A-aku hanya tidak sabar ingin memulainya denganmu.”

Marco kemudian memberi kode pada salah satu bawahannya—pria setinggi seratus-enam-puluh-lima senti dengan kumis tebal itu—untuk mendekat. Dia memberi perintah dalam aksen Italia-nya yang kental. Detik berikutnya, Marco kembali mengunci tatapan pada Leah yang tengah membereskan kotak rokok ke dalam kantong rok kerutnya.

“Ikutlah denganku sekarang.”

Leah lagi-lagi hanya mengangguk. Keberaniannya menguap bersama seluruh kepercayaan diri yang sempat dia punya. Keadaan yang semula nyaman otomatis berubah menjadi serba canggung dan membuat langkahnya urung untuk mengekori pria bermata biru itu.

“Ada apa?” tegur Marco yang menangkap gelagat ganjil dari Leah.

“Ti-tidak.”

“Aku bertanya padamu untuk yang terakhir kalinya. Apa kau siap melayaniku atau—”

“Tentu saja,” sela Leah yang seketika menguatkan hatinya.

Ada dua alasan yang membuat Leah mengabaikan rasa takutnya. Pertama adalah uang. Kedua adalah kembali lagi pada alasan yang pertama; uang. Dia menggilai dolar seperti dia menyukai koleksi tas mahal yang terjejer rapi di dalam lemari pribadinya.

Sebagian besar penghasilan Leah akan berwujud dalam aneka barang bermerek yang selalu dia pajang di apartemennya. Wanita itu menghamba pada setiap sen yang masuk ke dalam rekeningnya sebagai imbalan dari kerja kerasnya di atas ranjang. Kegiatan yang telah menjadi rutinitasnya selama sepuluh bulan belakangan.

Mereka pun menaiki tangga yang terhubung ke lantai dua. Di sana, Marco meminta Leah masuk dan melakukan tugasnya. Wanita itu sempat tercengang dengan nuansa kamar yang dia datangi—megah dengan sejumlah akses yang hanya diperuntukkan bagi penyewa khusus.

Leah belum pernah mendapatkan pelanggan yang mengajaknya ‘tidur’ di ruang seistimewa itu hanya untuk aktivitas satu malam mereka. Dengan tujuh sosok pengawal yang selalu berjaga di dekat pintu dan punya gaya searogan dirinya, Marco sudah pasti bukan pria biasa. Dia bisa jadi seorang miliarder atau mungkin juga tokoh penting, pikirnya.

“Menarilah untukku,” pinta Marco yang masih menonton Leah terpana di posisinya.

“Me-menari?”

Marco menarik punggung kursi yang terbuat dari kayu itu dan menyandarkan tubuhnya. Dia memindai ekspresi wajah Leah, lantas mengangguk mengiyakan. Enggan membuka mulut untuk menyuarakan isi kepalanya.

“Ba-baiklah, Tuan Botticelli.”

Itu juga pertama kalinya Leah mendapatkan perintah untuk menunjukkan tarian, alih-alih mengangkangkan kedua kakinya. Dia menurut—mematuhi Marco yang tetap bergeming di tempat duduknya, kemudian menanggalkan semua pakaiannya satu-persatu tanpa menyisakan apa pun. Senyum kikuk wanita itu serta-merta terkulum di sudut bibirnya.

Leah mencoba menggerakkan pinggulnya dengan gerakan erotis. Namun, dia justru terlihat kaku dan konyol di sana. Marco pun berdecih, lantas menertawakan wanita itu dengan sorot mata puas.

“A-apa ada yang salah?” cicit Leah yang kedua pipinya terasa panas sekarang.

“Kau payah,” cemooh Marco yang kembali mengumbar kekehan pendeknya.

“Aku memang bukan penari, Tuan Botticelli. Aku hanya—”

“Jadi, apa bakat yang kau punya?”

Leah sontak mengerjap-ngerjap bingung dan menyahut, “Bakat? Apa maksudmu?”

“Sayang sekali, kau hanya cantik dan menarik untuk dinikmati.”

“Mengapa kau—”

“Menghinamu? Karena aku menginginkannya. Itu saja. Mendekatlah dan lepaskan celanaku.”

Leah menggertakkan gigi, kemudian menahan guncangan emosi yang akan meletup di dadanya. Dia teringat pada pundi-pundi lebih yang akan membuatnya sanggup untuk menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan dalam menit-menit yang jauh lebih lama dari biasa. ‘Lakukan saja demi setelan lingerie edisi terbaru bulan depan,’ batinnya.

Marco menyunggingkan seringainya, lantas berdiri dan menunggu Leah datang. Wanita itu pun bersimpuh di bawah kaki Marco—menarik ujung kemeja yang menutupi pengait gesper—agar dapat melepaskannya dari pinggang si pria dengan cekatan. Dia sudah terlatih untuk meloloskan sesuatu yang mendesak perhatiannya di balik sana.

Aset kebanggaan Marco seketika tampil dengan kepadatan penuh di depan Leah sesaat setelah dia menurunkan ritsleting itu bersama sisa kain pelindung yang terakhir. Kesiap syok sontak mengudara lewat mulut Leah yang terkejut pada intensitas sempurna dari pemandangan di hadapannya. Tangguh dan siap untuk memulai permainan.

“Sentuhlah dia dengan lidahmu,” titah Marco dengan sorot mata angkuhnya.

***

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Eliana Puspita
is the best
2022-09-29 20:43:32
1
user avatar
Yen Lamour
Ceritanya keren, semangat terus ya kak thor ^^ izin numpang promo ya, ada yg suka mafia romance? Yuk mampir juga ke tempatku. Siapa tahu jg suka. Terima kasih ya kak thor & kakak semuanya ^_^
2022-08-04 18:37:51
0
user avatar
DeyaaDeyaa
Keren. Lanjut.
2022-06-01 17:51:18
1
user avatar
agneslovely2014
Bagus Kak ceritanya, gelo dah diksinya keren ... pengin juga bisa pake diksi yang bikin bahasanya berbunga-bunga ...
2022-05-25 05:48:17
2
user avatar
ririfaiz105
bagus. apa bisa up lebih dari 1 bab ya kalau bisa, thor
2022-05-16 21:50:21
1
user avatar
butarbutarhilda
epik. tatanan bahasanya bagus banget.
2022-05-15 05:06:24
1
62 Bab
1. Pelacur
“Aku tidak suka basa-basi. Siapa namamu?”“Panggil saja Leah.”“Leah? Nama yang menarik.”Wanita berambut panjang yang mengaku sebagai Leah itu hanya tersenyum menanggapi. Dia menyilangkan sepasang tungkainya dengan gerakan sensual—menyingkap sebagian kulit paha yang halus, lantas mematikan puntung rokok miliknya di dalam asbak. Senyum lebar menghiasi sudut bibirnya yang dipolesi lipstik warna merah.“Aku punya nama samaran bagi profesiku. Anggap saja itu cara kami bekerja,” komentar Leah lagi dengan sopan.Pria tersebut kemudian mengangguk memberi respons. Dia kembali menyesap vodka-nya—minuman beralkohol yang baru saja dia pesan beberapa menit lalu—dengan hati-hati. Pikirannya berkelana pada sesuatu yang menonjol di balik blus sutra lawan bicaranya.“Apa aku boleh menyebutmu Tuan Marco saja dan—”“Botticelli. Tuan Botticelli,” tegas si pria itu tanpa balas memandang ke arah wanita can
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-03-09
Baca selengkapnya
2. Kalung Warisan
Akal sehat Leah luruh oleh gelombang pasang yang seketika muncul memorak-porandakan isi kepalanya. Erangan garau tersebut langsung meluncur lewat bibir seksi sang wanita. Dia baru saja menjemput orgasme kedua yang datang menyapu tubuhnya.Sepasang tungkai Leah mengejang ke atas bersama geliat acak yang mengacaukan seluruh sistem pernapasannya. Pergulatan panas itu pun kembali berlanjut sesaat setelah Marco menarik pinggangnya—mendudukkan wanita bermata cokelat yang masih gemetar tersebut ke dalam pangkuan, lantas memacu ritme yang sama. Lagi dan lagi.Punggung Leah terguncang hebat. Dia mendesah jauh lebih keras dari sebelumnya, sementara Marco yang bergerak kelewat liar itu tetap bertahan pada ambisi untuk meraih sesuatu yang akan segera hadir melalui penyatuan mereka. Detik berikutnya, terjangan yang luar biasa sontak tercurah penuh di ujung karet pelindung.Marco menggerung, kemudian menggeram tertahan atas aksi panjang yang membuat segen
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-03-09
Baca selengkapnya
3. Antara Belenggu dan Hasrat
“Kembaliannya, Nona Alighieri.”“Terima kasih, Nyonya Moretti.”Rosetta menyunggingkan senyumnya sesaat sebelum menerima beberapa lembar pecahan euro dari si kasir dan memasukkannya ke dalam dompet. Dia beranjak ke samping—membiarkan pengunjung selanjutnya maju, lantas bergegas melangkah keluar. Wanita itu menenteng tiga kantong belanjaan yang berisi stok bahan makanan untuk dua minggu berikutnya. Senandung lagu lawas pun mengalun dari mulut Rosetta di perjalanan pulang. Dia mendendangkan nyanyian salah satu grup musik favoritnya dan mengambil rute melalui jalan pintas. Sesuatu yang biasa wanita itu lakukan untuk membunuh rasa takut di antara minimnya pencahayaan pada gang sempit yang akan dia lalui.Rosetta melenggang tanpa memedulikan suasana yang kian lama kian redup di sekitarnya. Situasi temaram itu menyambutnya di tengah-tengah lorong dan membuat Rosetta berhenti sejenak untuk mendongakkan kepala—menatap langit, kemudian
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-03-09
Baca selengkapnya
4. Bukan Wanita Bayaran
Kalimat terakhir spontan membuat tenggorokan Rosetta tercekat. Menjadi pelacurnya sekali lagi katanya? Dia sama sekali bukan jalang yang suka menjajakan diri di luar sana—menawarkan tarif fantastis untuk kencan satu malam, lantas menikmati gelimang dosa sekaligus nikmat pada waktu yang sama.“Aku bukan pelacur!” tampik Rosetta yang kemudian tersedak oleh isak tangisnya sendiri.“Sampai kapan kau ingin memainkan peran sok sucimu di hadapanku?”“Percayalah padaku, kumohon. Aku hanya seorang pengasuh. Aku tidak pernah menjual diri pada siapa pun,” sanggahnya lagi.“Apa yang kau maksud ‘pengasuh di atas ranjang’?”“A-apa?”Kekehan pendek Marco kembali terdengar menyelingi air mata yang turun di kedua pipi Rosetta. Pria itu merengkuh rahang Rosetta yang bersimpuh dalam ketidakberdayaannya, lantas memindai garis wajah cantik tersebut dengan tatapan penuh emosi. Sorot mata dendam—perasaan yang kini mengalir
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-03-10
Baca selengkapnya
5. Pria Setengah Iblis
“Apa yang terjadi? Wanita yang bersamaku semalam bukan perawan. Itukah sebabnya dia melawanku mati-matian tadi?” gumam Marco di antara isak tangis Rosetta.Marco kembali menengok ke arah wanita yang sedang bergelung rapat menutupi tubuh polosnya dengan ujung seprai tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada bercak darah yang mengering di dekat pinggul Rosetta. Tanda yang meninggalkan sisa dari pergumulan panas mereka.“Apa dia orang yang berbeda?”Marco mendengus gusar, lantas menyambar kemeja miliknya di pinggir ranjang dan mengenakan pakaian itu tanpa memedulikan bagian yang kusut di sejumlah area. Dia keluar sambil menenteng gesper—mengedarkan pandang ke sekeliling—mencari para bawahannya yang biasa berjaga di beberapa titik tertentu.“Giuseppe! Matteo!” panggil Marco pada mereka.Seseorang yang bernama Giuseppe itu kemudian menghampiri Marco dengan segera. Dia menjatuhkan puntung yang tinggal separuh tersebut
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-03-10
Baca selengkapnya
6. Budak Seksual
“Apa maksudmu?”“Maksudku adalah aku menginginkanmu.”Rosetta mendadak membeku di bawah tatapan Marco yang memindai wajahnya dengan kerlingan penuh hasrat. Aksi yang sukses membuat punggungnya kembali gemetar tanpa sanggup dia kendalikan lagi. ‘Apa-apaan itu? Menginginkanku?’ batinnya.“Apa kau sadar dengan ucapanmu?”“Tentu saja, Rosetta.”Rosetta. Ada sesuatu yang membuat Marco mendadak menyukai cara lidahnya menggeliat mengeja nama itu di langit-langit mulutnya. Sesuatu yang membuat degup jantung pria itu bekerja lebih cepat. Sesuatu yang menciptakan sensasi asing lain di dadanya.“Menginginkanku sebagai budak seksualmu? Kau orang yang sangat menjijikkan!”“Budak seksual? Aku hanya ingin menyanderamu sampai wanita kurang ajar itu muncul di depanku.”“Apa hubunganku dengan pencuri itu? Mengapa aku harus menjadi tawanan karenanya?”Marco menyipitkan mata—men
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-03-17
Baca selengkapnya
7. Sadisme
“Aku harus pergi dari Puglia secepatnya sebelum orang-orang Tuan Botticelli menangkapku,” gumam Caritta sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.“Aku akan menjual kalung curiannya ke Tuan Salvoni nanti malam. Uang itu akan kupakai untuk pulang ke Magnolia Springs,” celotehnya lagi.Telepon seluler milik Caritta yang ada di atas ranjang mendadak berdering dan membuat pekerjaannya terhenti untuk sementara. Dia meraup benda elektronik keluaran terbaru itu dengan penuh semangat. Bukti bahwa suasana hatinya sedang baik.“Nyonya Carfagna?”“Leah? Sayang? Di mana kau?” sapa sang wanita dengan dialek selatannya itu.  “Aku ada di Hotel Firenze. Aku akan kembali ke kota kelahiranku lusa. Ada apa?” sahut Caritta yang kemudian mengempaskan pantatnya ke kursi lincak—bangku panjang yang terbuat dari bahan bambu dengan susunan bilah berongga pada bagian sandaran—di dekat jendela.“Aku membawa berita yang
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-03-17
Baca selengkapnya
8. Klaim
“Terima kasih,” ucap Rosetta pada seorang pelayan yang baru saja mengantarkan senampan penuh sajian khas kawasan utara tersebut untuknya.Remaja tanggung itu langsung meletakkan semuanya di atas meja yang ada di samping ranjang. Dia bekerja dengan cekatan, tetapi hati-hati. Rambut pendeknya disisir rapi—memakai bando warna abu-abu yang selaras dengan corak pada seragam ala maid yang sedang dia kenakan—dalam potongan sebahu.Kepala pelayan muda itu hanya mengangguk pada Rosetta tanpa menyahut atau terlihat ingin mengucapkan basa-basi pagi pada majikan barunya. Dia mundur beberapa langkah sebelum Rosetta sempat mengintip menu yang tersedia di sana. Senyumnya yang samar terbit dan lagi-lagi mengangguk dengan sopan.“Tung-tunggu, Nona—um, Nona Sanzio?” tahan Rosetta sambil membaca tanda pengenal yang tersemat di dada sebelah kiri si pelayan. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”“Tinggallah sebentar,” pintanya lagi.
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-03-17
Baca selengkapnya
9. Dirantai Seperti Anjing
“Masuklah. Tuan Pacciardi sedang menunggu Anda,” sapa seorang penjaga yang baru saja mempersilakan Caritta masuk ke dalam kawasan megah hunian milik keluarga politisi itu.“Terima kasih,” sahut Caritta sambil menganggukkan kepala, lantas melenggang dengan rasa gugup hebat yang memadati dadanya.Area itu sangat luas dan dilengkapi dengan material elite yang fantastis di setiap sudutnya. Sesuatu yang akan membuat siapa saja berdecak kagum pada pencapaian luar biasa yang sang senator hasilkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Sesuatu yang juga mampu membuat Caritta terperangah takjub dengan keadaan di sekelilingnya.“Apa Anda yang bernama Leah?” tegur seseorang yang lain. “Eh? Aku—um, ya, aku Leah.”Pelayan wanita yang berkucir kuda itu melemparkan senyum sesaat sebelum melanjutkan, “Mari, saya antarkan ke sana.”Caritta lagi-lagi mengangguk tanpa mengedipkan mata—memandang lekat-lekat pada penampi
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-05
Baca selengkapnya
10. "Tidurlah denganku, Rosetta."
“Maaf tentang tadi. Aku memang suka bercanda.”Pria misterius itu kemudian menyunggingkan senyumnya yang menawan dan menuangkan teh bunga krisan lewat teko jenis kaca tersebut ke dalam cawan milik Rosetta. Aroma khusus seketika menguar mengundang rasa ingin tahunya terbit untuk mencicipi minuman. Dia pun mengintip di antara kepulan asap yang meliuk tanpa henti.“Apa kau pernah mencoba teh khas Cina sebelumnya?” sambungnya lagi.“Belum,” gumam Rosetta yang balas memandang ke arah pria di hadapannya dengan sorot mata kagum.“Cobalah sekarang. Kau akan terkejut dengan cita rasanya yang sangat lain.”Rosetta menurut—mengangkat wadah yang terbuat dari bahan keramik tersebut ke mulutnya, lantas menyesap dengan hati-hati. Sensasi baru itu serta-merta melapisi seluruh indra pengecapnya dan membuat dia takjub pada sensasi yang ditawarkan. Ringan, tetapi manis.“Bagaimana menurutmu?”“Enak.”
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-05
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status