Home / Romansa / Beauty and The Mafia / 2. Kalung Warisan

Share

2. Kalung Warisan

Author: Laquisha Bay
last update Last Updated: 2022-03-09 17:25:22

Akal sehat Leah luruh oleh gelombang pasang yang seketika muncul memorak-porandakan isi kepalanya. Erangan garau tersebut langsung meluncur lewat bibir seksi sang wanita. Dia baru saja menjemput orgasme kedua yang datang menyapu tubuhnya.

Sepasang tungkai Leah mengejang ke atas bersama geliat acak yang mengacaukan seluruh sistem pernapasannya. Pergulatan panas itu pun kembali berlanjut sesaat setelah Marco menarik pinggangnya—mendudukkan wanita bermata cokelat yang masih gemetar tersebut ke dalam pangkuan, lantas memacu ritme yang sama. Lagi dan lagi.

Punggung Leah terguncang hebat. Dia mendesah jauh lebih keras dari sebelumnya, sementara Marco yang bergerak kelewat liar itu tetap bertahan pada ambisi untuk meraih sesuatu yang akan segera hadir melalui penyatuan mereka. Detik berikutnya, terjangan yang luar biasa sontak tercurah penuh di ujung karet pelindung.

Marco menggerung, kemudian menggeram tertahan atas aksi panjang yang membuat segenap tenaganya habis dihantam sensasi puas. Dia mendorong Leah dari posisi semula dan mengistirahatkan staminanya yang hanya tinggal separuh. Itu seks yang dahsyat, pikirnya.

Selepas menjadi stabil dan siap untuk petualangan selanjutnya, Marco memerintahkan Leah agar mengambil pengaman baru dari balik laci. Dia menunggu wanita itu mengoyak foil, lantas memasangkannya di area yang basah oleh sisa pergumulan mereka. Puncak itu masih setangguh juga setegang sesi pertama.

Bukti bahwa Marco punya performa yang fantastis seperti pesonanya. Dibekali sejuta daya pikat. Dingin, tetapi terkenal sebagai bajingan yang rupawan. Leah bertaruh siapa pun yang menjadi partner ranjang pria itu berikutnya akan kewalahan dan takluk tanpa harus berpikir dua kali.

“Apa kau masih sanggup melakukannya?” desis Leah yang baru selesai melekatkan benda berbahan lateks tersebut di antara kedua paha Marco.

“Kau meragukanku, hm?”

“Bu-bukan—”

“Kemarilah, berbaring di sampingku.”

Leah mengangguk—mematuhi pinta Marco, merebahkan dirinya persis di sebelah pria itu dengan semua gentar yang betah menetap. Mereka kembali mengarungi rasa yang siap mengantarnya menuju ke persepsi tiada akhir. Sesuatu yang akan membuat Leah lebur dalam ruang tanpa batas di benaknya.

Marco lagi-lagi mengayunkan pinggulnya dengan tempo yang pas. Memompa dan menghancurkan pusat tubuh Leah yang kian lama kian licin oleh aktivitas mereka. Tautan dalam gaya spooning itu membuat lebih banyak desahan mengudara.

Kayuhan Marco menguat—laju dan laju, menghantam celah paling pribadi milik Leah. Leher wanita itu refleks menjenjang setelah Marco menambah intensitas gempuran. Dia pun serta-merta melenguh oleh gelitik yang mencengkeram rapat di bagian intinya.

“Aku tidak tahan lagi,” bisik Leah yang sorot matanya membuang ke segala arah.

Ombak itu kembali datang menyerbu tubuh mereka. Leah otomatis menggelepar di bawah kendali Marco yang ikut hancur dengannya. Untuk sejenak, dunia terasa lain bagi dua insan yang sedang larut dalam kenikmatan yang mereka reguk bersama. 

Obrolan basa-basi menjadi penutup sebelum Marco tertidur selepas menyalurkan seluruh energinya. Dia lelap di seperempat malam tanpa menyadari rencana licik Leah yang terbit untuk mengambil salah satu barang pria itu. Kalung warisan dengan liontin berbentuk naga yang akan mengeluarkan pendar setiap kali diterpa cahaya.

Marco meletakkan aksesori tersebut di atas nakas—membiarkannya tergeletak di sana, mengundang hasrat Leah untuk menyimpan sesuatu yang bukan miliknya. Dia akan dapat uang yang besar dari hasil penjualan. Cukup banyak demi tambahan koleksinya di lemari.

Konyol, tetapi kelancangan membuat Leah memutuskan untuk berhenti peduli. Persetan dengan Marco yang akan marah atau risiko tertangkap basah atas aksi nekatnya, toh pria itu juga kaya. Jadi, apa salahnya mencuri sedikit receh dari sang taipan asing?

Leah kemudian menuruni ranjang dengan hati-hati—berusaha meminimalisir suara, enggan menciptakan gerakan ceroboh yang akan membuat Marco menyudahi mimpinya. Dia berjingkat ke tujuan—menyambar kalung, lantas mengantonginya tanpa ragu. Wanita itu pun bergegas mengenakan kembali semua pakaiannya dan keluar melalui jendela.

Jam-jam berlalu. Marco mendadak terbangun oleh jerit alarm yang menyala dari telepon selulernya. Dia membuka mata dan hanya menemukan kekosongan yang menari di setiap sudut—tanpa sosok Leah di mana pun, pemandangan terjanggal yang menyapa fajarnya kala itu.

“Di mana dia?” gumam Marco sambil mengusap-usap wajahnya.

Pandangan Marco mengedar ke sekeliling. Dia lagi-lagi mencari figur cantik yang sudah menghabiskan waktu bersamanya itu di sejumlah lokasi lain, tetapi Leah memang tiada di sana. Kehampaan menyeruak turun dan menyentak pikirannya.

“Berengsek! Apa dia kabur?”

Marco meraup kemeja yang tergantung di dekat sofa, lantas menyampirkannya ke pundak. Dia mengecek benda yang semula ditaruh di atas nakas. Namun, barang berharganya itu telah raib dan memancing emosinya untuk pecah dalam sekejap.

Marco sontak berteriak memanggil nama bawahannya satu-persatu yang masih berjaga di depan pintu. Kedua pundaknya bergetar menahan amarah yang seketika naik menggulung dirinya. Dia bersumpah akan menangkap Leah yang kurang ajar itu untuk dilelang pada para Syekh di Syria.

“A-ada apa, Tuan Botticelli?” tanya salah satu dari mereka yang memakai topi fedora dengan terbata-bata.

Marco spontan melayangkan tatapan tajamnya dan menghardik mereka dengan sederet kalimat kasar. Dia mencela kinerja buruk mereka sampai-sampai membuat seorang wanita biasa seperti Leah mampu melarikan diri tanpa jejak. Pria itu kembali meluapkan amukan yang menjejali dadanya.

“Dasar tidak becus! Kalian bodoh!” umpatnya lagi.

“Ka-kami tidak melihat sesuatu yang aneh, Tuan Botticelli. Kami selalu berjaga sepanjang malam.”

Sorot mata Marco langsung terkunci pada pria yang baru saja menyahuti makiannya. Dia maju—menarik kerah jas hingga tubuh yang hanya punya ukuran tinggi rata-rata itu sedikit terangkat dari tempatnya berpijak, kemudian membalas, “Dia lenyap bersama kalung warisanku dan kau masih berani menjawab bahwa kau tidak melihat sesuatu yang ganjil?”

“Ma-maafkan saya.”

Marco langsung menyipitkan mata dan melepaskan genggamannya dengan cara mendorong. Pria itu pun serta-merta terhuyung ke belakang—menabrak vas hias, sebelum jatuh menimpa pria lain yang tengah berdiri sambil menundukkan kepala. Mereka hanya diam sebab menutup mulut merupakan satu-satunya metode paling tepat untuk menghadapi badai dalam diri sang pimpinan.

Mereka sudah terbiasa dengan sifat temperamen Marco. Dia adalah penguasa dan pendominasi—semua penduduk di Puglia juga tahu itu, seolah-olah menindas memang menjadi takdir yang digariskan sejak lama untuknya. Darah campuran Italia-Meksiko mengalir di setiap nadinya—menyumbangkan segenap daya tarik yang sulit terbantahkan dari balik otot-otot liatnya yang menawan.

“Carilah jalang itu sekarang dan seret dia ke hadapanku dalam keadaan hidup atau mati!” sembur Marco tanpa mengalihkan pandangan dari wajah-wajah takut mereka.

Itu perintah yang hukumnya mutlak untuk dipenuhi. Mereka harus berhasil atau Marco akan menghukum mereka tanpa ampun. Entah bagaimana, tetapi yang dia inginkan hanya barang tersebut dapat kembali secara utuh ke tangannya lagi.

***

Related chapters

  • Beauty and The Mafia   3. Antara Belenggu dan Hasrat

    “Kembaliannya, Nona Alighieri.”“Terima kasih, Nyonya Moretti.”Rosetta menyunggingkan senyumnya sesaat sebelum menerima beberapa lembar pecahan euro dari si kasir dan memasukkannya ke dalam dompet. Dia beranjak ke samping—membiarkan pengunjung selanjutnya maju, lantas bergegas melangkah keluar. Wanita itu menenteng tiga kantong belanjaan yang berisi stok bahan makanan untuk dua minggu berikutnya. Senandung lagu lawas pun mengalun dari mulut Rosetta di perjalanan pulang. Dia mendendangkan nyanyian salah satu grup musik favoritnya dan mengambil rute melalui jalan pintas. Sesuatu yang biasa wanita itu lakukan untuk membunuh rasa takut di antara minimnya pencahayaan pada gang sempit yang akan dia lalui.Rosetta melenggang tanpa memedulikan suasana yang kian lama kian redup di sekitarnya. Situasi temaram itu menyambutnya di tengah-tengah lorong dan membuat Rosetta berhenti sejenak untuk mendongakkan kepala—menatap langit, kemudian

    Last Updated : 2022-03-09
  • Beauty and The Mafia   4. Bukan Wanita Bayaran

    Kalimat terakhir spontan membuat tenggorokan Rosetta tercekat. Menjadi pelacurnya sekali lagi katanya? Dia sama sekali bukan jalang yang suka menjajakan diri di luar sana—menawarkan tarif fantastis untuk kencan satu malam, lantas menikmati gelimang dosa sekaligus nikmat pada waktu yang sama.“Aku bukan pelacur!” tampik Rosetta yang kemudian tersedak oleh isak tangisnya sendiri.“Sampai kapan kau ingin memainkan peran sok sucimu di hadapanku?”“Percayalah padaku, kumohon. Aku hanya seorang pengasuh. Aku tidak pernah menjual diri pada siapa pun,” sanggahnya lagi.“Apa yang kau maksud ‘pengasuh di atas ranjang’?”“A-apa?”Kekehan pendek Marco kembali terdengar menyelingi air mata yang turun di kedua pipi Rosetta. Pria itu merengkuh rahang Rosetta yang bersimpuh dalam ketidakberdayaannya, lantas memindai garis wajah cantik tersebut dengan tatapan penuh emosi. Sorot mata dendam—perasaan yang kini mengalir

    Last Updated : 2022-03-10
  • Beauty and The Mafia   5. Pria Setengah Iblis

    “Apa yang terjadi? Wanita yang bersamaku semalam bukan perawan. Itukah sebabnya dia melawanku mati-matian tadi?” gumam Marco di antara isak tangis Rosetta.Marco kembali menengok ke arah wanita yang sedang bergelung rapat menutupi tubuh polosnya dengan ujung seprai tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada bercak darah yang mengering di dekat pinggul Rosetta. Tanda yang meninggalkan sisa dari pergumulan panas mereka.“Apa dia orang yang berbeda?”Marco mendengus gusar, lantas menyambar kemeja miliknya di pinggir ranjang dan mengenakan pakaian itu tanpa memedulikan bagian yang kusut di sejumlah area. Dia keluar sambil menenteng gesper—mengedarkan pandang ke sekeliling—mencari para bawahannya yang biasa berjaga di beberapa titik tertentu.“Giuseppe! Matteo!” panggil Marco pada mereka.Seseorang yang bernama Giuseppe itu kemudian menghampiri Marco dengan segera. Dia menjatuhkan puntung yang tinggal separuh tersebut

    Last Updated : 2022-03-10
  • Beauty and The Mafia   6. Budak Seksual

    “Apa maksudmu?”“Maksudku adalah aku menginginkanmu.”Rosetta mendadak membeku di bawah tatapan Marco yang memindai wajahnya dengan kerlingan penuh hasrat. Aksi yang sukses membuat punggungnya kembali gemetar tanpa sanggup dia kendalikan lagi. ‘Apa-apaan itu? Menginginkanku?’ batinnya.“Apa kau sadar dengan ucapanmu?”“Tentu saja, Rosetta.”Rosetta. Ada sesuatu yang membuat Marco mendadak menyukai cara lidahnya menggeliat mengeja nama itu di langit-langit mulutnya. Sesuatu yang membuat degup jantung pria itu bekerja lebih cepat. Sesuatu yang menciptakan sensasi asing lain di dadanya.“Menginginkanku sebagai budak seksualmu? Kau orang yang sangat menjijikkan!”“Budak seksual? Aku hanya ingin menyanderamu sampai wanita kurang ajar itu muncul di depanku.”“Apa hubunganku dengan pencuri itu? Mengapa aku harus menjadi tawanan karenanya?”Marco menyipitkan mata—men

    Last Updated : 2022-03-17
  • Beauty and The Mafia   7. Sadisme

    “Aku harus pergi dari Puglia secepatnya sebelum orang-orang Tuan Botticelli menangkapku,” gumam Caritta sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.“Aku akan menjual kalung curiannya ke Tuan Salvoni nanti malam. Uang itu akan kupakai untuk pulang ke Magnolia Springs,” celotehnya lagi.Telepon seluler milik Caritta yang ada di atas ranjang mendadak berdering dan membuat pekerjaannya terhenti untuk sementara. Dia meraup benda elektronik keluaran terbaru itu dengan penuh semangat. Bukti bahwa suasana hatinya sedang baik.“Nyonya Carfagna?”“Leah? Sayang? Di mana kau?” sapa sang wanita dengan dialek selatannya itu.  “Aku ada di Hotel Firenze. Aku akan kembali ke kota kelahiranku lusa. Ada apa?” sahut Caritta yang kemudian mengempaskan pantatnya ke kursi lincak—bangku panjang yang terbuat dari bahan bambu dengan susunan bilah berongga pada bagian sandaran—di dekat jendela.“Aku membawa berita yang

    Last Updated : 2022-03-17
  • Beauty and The Mafia   8. Klaim

    “Terima kasih,” ucap Rosetta pada seorang pelayan yang baru saja mengantarkan senampan penuh sajian khas kawasan utara tersebut untuknya.Remaja tanggung itu langsung meletakkan semuanya di atas meja yang ada di samping ranjang. Dia bekerja dengan cekatan, tetapi hati-hati. Rambut pendeknya disisir rapi—memakai bando warna abu-abu yang selaras dengan corak pada seragam ala maid yang sedang dia kenakan—dalam potongan sebahu.Kepala pelayan muda itu hanya mengangguk pada Rosetta tanpa menyahut atau terlihat ingin mengucapkan basa-basi pagi pada majikan barunya. Dia mundur beberapa langkah sebelum Rosetta sempat mengintip menu yang tersedia di sana. Senyumnya yang samar terbit dan lagi-lagi mengangguk dengan sopan.“Tung-tunggu, Nona—um, Nona Sanzio?” tahan Rosetta sambil membaca tanda pengenal yang tersemat di dada sebelah kiri si pelayan. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”“Tinggallah sebentar,” pintanya lagi.

    Last Updated : 2022-03-17
  • Beauty and The Mafia   9. Dirantai Seperti Anjing

    “Masuklah. Tuan Pacciardi sedang menunggu Anda,” sapa seorang penjaga yang baru saja mempersilakan Caritta masuk ke dalam kawasan megah hunian milik keluarga politisi itu.“Terima kasih,” sahut Caritta sambil menganggukkan kepala, lantas melenggang dengan rasa gugup hebat yang memadati dadanya.Area itu sangat luas dan dilengkapi dengan material elite yang fantastis di setiap sudutnya. Sesuatu yang akan membuat siapa saja berdecak kagum pada pencapaian luar biasa yang sang senator hasilkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Sesuatu yang juga mampu membuat Caritta terperangah takjub dengan keadaan di sekelilingnya.“Apa Anda yang bernama Leah?” tegur seseorang yang lain. “Eh? Aku—um, ya, aku Leah.”Pelayan wanita yang berkucir kuda itu melemparkan senyum sesaat sebelum melanjutkan, “Mari, saya antarkan ke sana.”Caritta lagi-lagi mengangguk tanpa mengedipkan mata—memandang lekat-lekat pada penampi

    Last Updated : 2022-04-05
  • Beauty and The Mafia   10. "Tidurlah denganku, Rosetta."

    “Maaf tentang tadi. Aku memang suka bercanda.”Pria misterius itu kemudian menyunggingkan senyumnya yang menawan dan menuangkan teh bunga krisan lewat teko jenis kaca tersebut ke dalam cawan milik Rosetta. Aroma khusus seketika menguar mengundang rasa ingin tahunya terbit untuk mencicipi minuman. Dia pun mengintip di antara kepulan asap yang meliuk tanpa henti.“Apa kau pernah mencoba teh khas Cina sebelumnya?” sambungnya lagi.“Belum,” gumam Rosetta yang balas memandang ke arah pria di hadapannya dengan sorot mata kagum.“Cobalah sekarang. Kau akan terkejut dengan cita rasanya yang sangat lain.”Rosetta menurut—mengangkat wadah yang terbuat dari bahan keramik tersebut ke mulutnya, lantas menyesap dengan hati-hati. Sensasi baru itu serta-merta melapisi seluruh indra pengecapnya dan membuat dia takjub pada sensasi yang ditawarkan. Ringan, tetapi manis.“Bagaimana menurutmu?”“Enak.”

    Last Updated : 2022-04-05

Latest chapter

  • Beauty and The Mafia   Bab Ekstra - Lembar Masa Depan

    Rosetta spontan menghapus air matanya dengan terburu-buru. Ludovic yang melihat aksinya kemudian menahan kedua pergelangan tangan Rosetta dan menggeleng lembut. Seringai samar tergambar di sudut bibirnya sebelum berujar, “Tidak ada yang salah dengan kesedihanmu, Sayang. Kita semua memang merasa kehilangan.”“Maaf—”“You don’t have to be sorry,” potong pria itu.“Aku tidak bermaksud untuk membandingkanmu dengan Marco. Aku hanya... hanya... menghibur diri dari luka yang masih belum sembuh sepenuhnya.”“Aku tahu itu,” desah Ludovic yang merangkul pinggang Rosetta ke sisi tubuhnya.“Aku tidak mendengarmu datang,” kata Rosetta selepas berhasil menguasai emosinya lagi dan jejak air mata di wajahnya mengering.Ludovic beralih mengulurkan kedua tangannya pada tubuh kecil Beatrice dan mendekapnya dalam gendongan, lantas menjawab, “Aku naik taksi kemari. Taleo sedang sibuk membantuku mengawasi pabrik. Lagi pula, aku juga ingin mengunjungi kakakku sesekali.”“Beatrice baru saja menaruh buket bun

  • Beauty and The Mafia   Bab Ekstra - "Aku merindukanmu sebanyak aku membencimu."

    Seorang wanita dalam balutan jumpsuit nuansa hitam dan sepatu berhak rendah model pointed-toe pump yang senada itu baru saja turun dari mobil. Benda yang ditentengnya adalah dua buket bunga forget me not. Diletakkan dengan hati-hati pada sebuah keranjang bambu yang dihadiahkan seseorang padanya kemarin sore.Punggungnya berbalik cepat, mengulurkan kedua tangannya ke arah jok, lantas menggendong tubuh bocah kecil yang sedang menggenggam sebuah bola plastik di tangan kirinya tersebut. Bibir menggemaskan itu tertawa sewaktu ibunya mengecup ringan salah satu pipinya selepas dia dirangkul erat dalam gendongan. Sepasang iris biru lautnya kemudian mengerjap-ngerjap melihat ke sekeliling yang terasa asing baginya.“Apa kau menyukainya, Sayang? Memang bukan pemandangan yang biasa kau lihat, tetapi Mom janji kau akan menikmatinya. Tempatnya sangat rindang dan nyaman untuk kau bertemu dengan Dad,” katanya sambil menyelipkan sehelai rambut cokelatnya yang berkibar ditiup angin ke daun telinga kan

  • Beauty and The Mafia   60. Permainan Ular Tangga

    “Segelas martini dingin di sore yang cerah merupakan sesuatu yang sempurna untuk menutup hari, bukan?” ucap Ludovic yang mengerling pada Taleo sambil mengangkat gelas miliknya ke atas.“Tentu saja, Tuan Muda.”“Bersulang?” tawar pria itu lagi dan mendekatkan bibir gelasnya pada bibir gelas Taleo.Taleo mengangguk mengiyakan dengan senyum samar yang menghiasi wajahnya. Dia memajukan gelas dan bunyi denting sontak saling beradu di udara. Kedua alisnya terangkat membentuk ekspresi setuju.“Untuk hidup yang lebih baik ke depannya,” harap Ludovic yang kemudian terkekeh menertawakan kalimatnya sendiri.“Dan kebahagiaan bagi Tuan Muda,” tambah Taleo yang menelengkan kepalanya.Ludovic menyesap martininya dengan hati-hati. Dua butir buah zaitun yang mengendap di dasar gelas pun menggelinding naik ke permukaan. Berlomba-lomba mendekati mulut pria itu dan menyumpalnya lewat gravitasi yang berubah oleh sisi gelas yang condong.“Rasanya nikmat sekali seperti dosa,” desah Ludovic selepas menyeka b

  • Beauty and The Mafia   59. Janji yang Diingkari

    Sebelum Rosetta sempat mencerna maksud dari ucapan Marco, pria itu sudah membuka pintu mobil dan membantingnya dengan kasar. Para bawahannya maju lebih dahulu, memasang benteng perlindungan bagi tuannya, lantas mengacungkan senjata laras panjang di tangan mereka pada kelompok Salvoni.Rosetta yang gemetar dan putus asa di dalam Mercedes-Benz berbodi tangguh itu menutup mulutnya sendiri. Membungkam kesiapnya sebelum berubah menjadi jerit ngeri yang akan melenyapkan pita suaranya. Berjuang menekan ketegangan yang menari di sekeliling mereka ke lapisan paling dasar.Ketenangan yang didambakan Rosetta kembali menjauh dari jangkauan. Segala sesuatunya mengabur dari pandangan dan memaksa Rosetta untuk bergerak atau dia akan terperangkap tanpa proteksi. Dia kemudian berlindung ke balik jok kemudi, menarik sebuah kotak kayu yang ada di bawahnya dan mengambil sebuah pistol bermetode dual action yang tersimpan di dalam sana.Jemari Rosetta meraih benda itu dengan hawa dingin yang seketika melun

  • Beauty and The Mafia   58. Identitas Mayat

    Langit terasa runtuh menimpa Rosetta selepas dia sadar siang itu. Pandangannya kemudian memindai ke seantero kamar. Ada seorang dokter pribadi yang sudah dia kenal dengan baik sedang merawatnya. Pria berkacamata minus kepercayaan Marco itu melemparkan senyum tipis pada Rosetta. Dia memeriksa tekanan darahnya yang kelewat rendah. Bercakap-cakap dengan Marco sebentar sebelum melanjutkan pengecekan lainnya.“Apa itu benar? Caritta? Dia... dia sudah... apa polisi tidak salah mengidentifikasi?” tanya Rosetta yang berjuang keras menahan bulir air matanya jatuh.Marco mengetatkan rahangnya dalam diam. Berharap dapat mentransfer kekuatan lebih untuk kekasihnya yang masih syok atas kabar buruk itu. Namun, satu-satunya yang mampu dia katakan hanya mengiyakan dengan ekspresi muram.Marco tahu Rosetta terpukul atas berita kematian saudari kembarnya. Siapa yang menyangka bahwa jasad Caritta akan ditemukan di tepi dermaga dengan kondisi setengah membusuk karena terseret gelombang? Hasil penyelidik

  • Beauty and The Mafia   57. Bunga Tidur

    Dua minggu berlalu dengan cepat. Pagi itu cuaca sedikit lebih cerah dan membuat Rosetta terbangun karena sinar matahari yang menerobos masuk melalui sisi jendela. Dia mengerjap-ngerjap sebentar sebelum memutuskan untuk bangkit dari balik selimut menuruni ranjang.Satu tangan Rosetta terulur ke depan. Kepalanya setengah menunduk sambil menyibak sebagian tirai dan mengintip suasana di luar. Cahaya itu pun langsung menembus indra penglihatannya dalam sekejap.Kening Rosetta otomatis mengernyit. Sepasang matanya menyipit sebagai reaksi silau yang tertangkap olehnya. Dia menoleh ke arah ranjang, memperhatikan Marco yang masih berkutat dengan mimpi-mimpinya di sana.“Salah satu pemandangan yang ingin selalu kulihat adalah pria itu ada di dekatku setiap hari,” bisik Rosetta yang berdiri di depan tirai dalam kondisi tersibak separuh.Kesadarannya akan sesuatu yang penting mendadak menyentak pikiran Rosetta. Langkahnya kemudian berlalu menuju ke nakas yang ditata persis di samping kiri ranjang

  • Beauty and The Mafia   56. Mayat yang Dilarung ke Laut

    “Rosetta? Siapa yang peduli? Bunuh saja sekalian.”Suara lain yang lebih rendah dari suara pertama menyahut, “Itu mudah untukku, tetapi bagaimana dengan Marco?”“Dia bagianku.”“Menghabisi satu tikus kecil lemah seperti kekasihnya akan jadi penggenapan rekorku yang ke seratus,” balasnya dengan nada puas.“Bagaimana dengan Ludovic?”“Siapa Ludovic?”“Putra kedua Botticelli. Kau tidak tahu dia?” tanya rekannya lagi.“Aku tidak pernah mendengar reputasinya di dunia bawah.”Pria dengan cerutu yang menyala di bibirnya itu mengembuskan asap tebal sambil mendongakkan kepalanya ke atas dan menjawab, “Dia memang tidak menggeluti dunia yang sama dengan kakaknya. Aku juga hanya melihatnya sesekali. Dia mengelola pabrik dan perkebunan anggur. Mereka mengambil jalan yang berbeda.”“Itu mengingatkanku pada sebuah lelucon tentang iblis dan malaikat yang pernah kudengar sewaktu kecil,” kekeh pria yang sedang memegangi sebotol bir di tangan kirinya itu. “Dia lebih terlihat seperti pengecut yang selal

  • Beauty and The Mafia   55. Ledakan Gairah

    “Tiga kali lipat dari tarif biasa. Harga yang menggiurkan, bukan? Bagaimana menurutmu?” bujuk Fabio lewat telepon selulernya.“Lima.”“Lima? Apa kau berniat merampokku?”“Kau memesanku secara khusus, Tuan Salvoni. Kau tahu aku sedang terburu-buru dan akan meninggalkan Puglia esok pagi.”“Baiklah. Kita sepakat,” balas Fabio kemudian dengan berat hati.Caritta yang mendeteksi nada enggan dalam suara pria itu hanya mengulum senyum puas tanpa menanggapi. Pelanggan terakhirnya akan membuat jumlah saldo di rekeningnya kembali membengkak. Setelah itu, dia akan pulang dan membuka sebuah toko roti seperti orang tuanya dahulu. Kembali ke Magnolia Springs akan menumbuhkan harapan baru dalam hidup Caritta lagi. Sesuatu yang dia pikir mustahil untuk dia punya selepas kekacauan yang telah terjadi selama belakangan terakhir. Mimpi-mimpi itu akan segera terwujud, pikirnya.“Sampai jumpa satu jam lagi, Tuan Salvoni!” tutup Caritta di ujung sana.Caritta menumpangi taksi untuk tiba di kediaman Salvoni

  • Beauty and The Mafia   54. Mengundang Bencana

    “Apa yang terjadi?” tanyanya lagi.“Ka-kaki kiriku terkilir.”Marco langsung bergerak sigap dan memindahkan tubuh Rosetta dari jangkauan Ludovic dengan hati-hati. Menariknya ke dalam pangkuan. Memandangi wajah kekasihnya dengan penuh arti, seolah-olah mengisyaratkan bahwa dia tahu sesuatu.“Kau tidak membutuhkan ini,” desis Marco yang kemudian melepaskan mantel kasmir juga syal rajut itu dan melemparkannya lagi pada Ludovic.“Aku tidak suka mencium bau pria lain di tubuhmu,” sambungnya sambil menyampirkan mantel kardigan miliknya di kedua pundak Rosetta.“Ma-maafkan aku,” bisik Rosetta yang menunduk menghindari tatapan tajam Marco.“Apa kau telah membuat kesalahan yang begitu besar sampai-sampai kau harus mengucapkan permintaan maaf padaku?” pancingnya tanpa memedulikan Ludovic yang ekspresinya berubah padam oleh rasa jengkel.“Tidak. Maksudku, aku minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kau harus menggendongku gara-gara kakiku yang sakit.”“Kau baru sadar sekarang?” balas pria itu ketu

DMCA.com Protection Status