“Apa yang terjadi? Wanita yang bersamaku semalam bukan perawan. Itukah sebabnya dia melawanku mati-matian tadi?” gumam Marco di antara isak tangis Rosetta.
Marco kembali menengok ke arah wanita yang sedang bergelung rapat menutupi tubuh polosnya dengan ujung seprai tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada bercak darah yang mengering di dekat pinggul Rosetta. Tanda yang meninggalkan sisa dari pergumulan panas mereka.“Apa dia orang yang berbeda?”Marco mendengus gusar, lantas menyambar kemeja miliknya di pinggir ranjang dan mengenakan pakaian itu tanpa memedulikan bagian yang kusut di sejumlah area. Dia keluar sambil menenteng gesper—mengedarkan pandang ke sekeliling—mencari para bawahannya yang biasa berjaga di beberapa titik tertentu.“Giuseppe! Matteo!” panggil Marco pada mereka.Seseorang yang bernama Giuseppe itu kemudian menghampiri Marco dengan segera. Dia menjatuhkan puntung yang tinggal separuh tersebut dan menginjaknya hingga remuk, sementara Matteo datang dari sisi yang berlawanan dengan tergesa-gesa. Mereka menghadap pada Marco yang ekspresi wajahnya sontak berubah kaku.“Kalian menangkap target yang salah! Dia bukan wanita yang kucari.”Giuseppe menoleh pada Matteo yang keningnya seketika mengernyit heran. Tatapan pria bergigi jarang itu pun kembali pada Marco dan menyahut, “Dia adalah wanita yang sama dengan yang ada di dalam potret, Tuan Botticelli.”“Mereka hanya mirip!”“Mi-mirip? Bagaimana—”“Mereka jelas berbeda. Dia perawan dan wanita yang menghabiskan waktu bersamaku kemarin telah terlatih untuk melayani pria.”“Apa mereka kembar?” celetuk Matteo yang langsung menyita perhatian Marco dan Giuseppe sepenuhnya.“Kembar?” desis Marco yang sontak menyipitkan mata.“Itu bisa jadi, Tuan Botticelli. Maksud saya, mereka memang persis, tetapi tetap saja berbeda. Apa lagi kemungkinan yang paling cocok untuk itu?”“Aku ingin kalian menyelidikinya sekarang juga.”“Baik,” balas Giuseppe dan Matteo secara serentak.Mereka beranjak dari sana—meninggalkan Marco yang bergeming di posisinya—pikiran pria itu melayang pada momen liar yang dia nikmati bersama Leah. Wanita panggilan yang sengaja dia sewa untuk pelepasan hasratnya itu memang serupa dengan Rosetta. Saudarinya yang masih menangis sesenggukan di kamar.“Kacau!” rutuk Marco sambil menyugar kasar sebagian rambutnya.Siapa sangka masalah mereka akan berubah menjadi serumit itu? Seseorang yang ingin Marco hukum bukan Rosetta. Namun, Leah—si pencuri licik yang telah membawa kalung warisan dari mendiang orang tuanya. Marco salah sasaran. Dia bukan hanya menyakiti Rosetta, tetapi juga menghancurkannya. Sesuatu yang selalu terjadi dalam dunianya yang kotor—melindas siapa saja yang berani menghalangi jalan pria itu—untuk mencapai tujuan.Mengapa sesuatu yang biasa itu justru berganti menjadi sejenis kekhawatiran ganjil di hati Marco? Dia mendadak menaruh simpati pada Rosetta. Ke mana sosok penerus Botticelli yang dikenal kejam dan tanpa belas kasih itu pergi?Marco merasa bersalah, tetapi hanya untuk sekejap. Egonya kembali melesat naik ke puncak—menenggelamkan semua perasaan yang sempat melunak itu di lapisan paling dasar, lantas membiarkan segalanya karam tanpa jejak. Dia akan mengatur siasat lain agar Leah muncul di depannya.Rosetta.Jika mereka memang saudari kandung, maka Leah pasti akan datang menyelamatkannya. Ide cemerlang itu menyesaki kepala Marco dengan sejuta harap agar rencananya dapat berjalan sesuai seperti yang dia inginkan. Rosetta akan menghadapi takdir buruknya sekali lagi dengan status sebagai tawanan.“Bukankah itu sempurna?” bisik Marco pada dirinya sendiri.Marco pun kembali ke dalam kamar dan menemukan Rosetta yang tengah duduk sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Kelopak matanya terpejam rapat—menahan sensasi nyeri di selangkangannya—menunggu rasa perih itu hilang. Bibirnya sesekali merintih mengundang simpati Marco hadir—lagi.“Kau harus membersihkan diri.”Rosetta spontan terkesiap dan beringsut mundur ke samping—meringkuk di dekat nakas—dengan sekujur tubuh yang gemetar. Dia kelewat kalut untuk mampu berpikir dengan rasional sekarang. Satu-satunya yang wanita itu inginkan hanya dibebaskan.“Aku akan membantumu.”Suara bariton milik Marco berhasil membuat Rosetta mendongak—mengintip melalui sela-sela rambut yang kusut—dengan gentar yang masih mengendap di dadanya. Dua pasang mata itu pun serta-merta bertemu—biru kelam yang menghanyutkan dan cokelat terang yang redup oleh luka-luka di hatinya. Jenis tatapan yang sanggup meruntuhkan seluruh ambisi dalam diri pria itu.Detik berikutnya, Marco bergerak menghambur langkah dan menggendong Rosetta yang lagi-lagi mengeluarkan kesiap syok. Mereka menuju ke kamar mandi—merawat wanita itu dengan penuh perlindungan—menepikan segenap emosinya ke pinggir. Sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.Marco membiarkan insting kelelakiannya mengambil alih untuk menebus semua kesalahpahaman di antara mereka. Menebarkan sisi barunya yang lembut. Dia mengeringkan rambut panjang Rosetta yang basah dengan handuk, lantas memasangkan kimono yang ukurannya dua kali lebih besar pada wanita itu. “Aku tidak mengerti. Mengapa kau melakukannya?” tanya Rosetta yang berpaling menghindari sorot mata tajam Marco.“Apa itu penting?”“Demi Tuhan, kau baru saja memperkosaku. Lima belas menit lalu kau masih menjadi pria buas yang mengerikan itu dan kini kau menjadi orang yang sangat berbeda dari sebelumnya.”Marco mencengkeram dagu Rosetta—menyejajarkan tatapan mereka dan menjawab, “Aku tahu itu, tetapi bukankah kau juga menikmatinya?”“Berani-beraninya kau! Aku akan menuntutmu.”Kekehan menyebalkan itu kembali mengudara dan membuat Rosetta marah. “Aku akan memenjarakanmu, Tuan Botticelli.”“Memenjarakanku?” seloroh Marco dengan nada yang dibuat-buat.“Jika kau pikir ucapanku hanya lelucon konyol bagimu, maka bersiaplah untuk membusuk lebih lama di dalam sana.”“Namamu Rosetta, bukan? Dengarlah, Rosetta. Kau boleh melaporkanku dengan bukti dan tuduhan apa saja pada polisi, tetapi ada yang harus kau tahu tentang diriku.”Marco membuat jeda—mengunci pandangan mereka satu sama lain, kemudian meneruskan, “Hukum diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kakiku. Tidak ada satu orang pun yang dapat menyentuh Marco Botticelli.”Rosetta lupa bahwa dia tengah berurusan dengan sang mafia. Siapa yang berani mengusik keluarga mereka? Pria itu merupakan sosok yang kebal hukum—menurut selentingan kabar yang beredar, dia juga setuju untuk ikut mendanai beberapa fasilitas pemerintah di Bari dan Napoli dari pendapatan bisnis terlarangnya.“Orang macam apa kau?” geram Rosetta sambil menepis genggaman Marco dari wajahnya.“Aku? Anggap saja setengah iblis.”“I-iblis?”“Aku sudah lupa caranya berbuat baik dan membedakan mana perilaku yang manusiawi atau tidak sejak lama.”Rosetta menelan air ludahnya dengan susah payah. Dia lagi-lagi memandang Marco yang masih menatapnya dan berujar, “Aku bertaruh kau juga sudah tahu bahwa aku bukan wanita yang sedang kau cari. Mengapa kau masih menyanderaku?”“Karena aku Marco dan aku terbiasa mendapatkan sesuatu yang kuinginkan.”***“Apa maksudmu?”“Maksudku adalah aku menginginkanmu.”Rosetta mendadak membeku di bawah tatapan Marco yang memindai wajahnya dengan kerlingan penuh hasrat. Aksi yang sukses membuat punggungnya kembali gemetar tanpa sanggup dia kendalikan lagi. ‘Apa-apaan itu? Menginginkanku?’ batinnya.“Apa kau sadar dengan ucapanmu?”“Tentu saja, Rosetta.”Rosetta. Ada sesuatu yang membuat Marco mendadak menyukai cara lidahnya menggeliat mengeja nama itu di langit-langit mulutnya. Sesuatu yang membuat degup jantung pria itu bekerja lebih cepat. Sesuatu yang menciptakan sensasi asing lain di dadanya.“Menginginkanku sebagai budak seksualmu? Kau orang yang sangat menjijikkan!”“Budak seksual? Aku hanya ingin menyanderamu sampai wanita kurang ajar itu muncul di depanku.”“Apa hubunganku dengan pencuri itu? Mengapa aku harus menjadi tawanan karenanya?”Marco menyipitkan mata—men
“Aku harus pergi dari Puglia secepatnya sebelum orang-orang Tuan Botticelli menangkapku,” gumam Caritta sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.“Aku akan menjual kalung curiannya ke Tuan Salvoni nanti malam. Uang itu akan kupakai untuk pulang ke Magnolia Springs,” celotehnya lagi.Telepon seluler milik Caritta yang ada di atas ranjang mendadak berdering dan membuat pekerjaannya terhenti untuk sementara. Dia meraup benda elektronik keluaran terbaru itu dengan penuh semangat. Bukti bahwa suasana hatinya sedang baik.“Nyonya Carfagna?”“Leah? Sayang? Di mana kau?” sapa sang wanita dengan dialek selatannya itu. “Aku ada di Hotel Firenze. Aku akan kembali ke kota kelahiranku lusa. Ada apa?” sahut Caritta yang kemudian mengempaskan pantatnya ke kursi lincak—bangku panjang yang terbuat dari bahan bambu dengan susunan bilah berongga pada bagian sandaran—di dekat jendela.“Aku membawa berita yang
“Terima kasih,” ucap Rosetta pada seorang pelayan yang baru saja mengantarkan senampan penuh sajian khas kawasan utara tersebut untuknya.Remaja tanggung itu langsung meletakkan semuanya di atas meja yang ada di samping ranjang. Dia bekerja dengan cekatan, tetapi hati-hati. Rambut pendeknya disisir rapi—memakai bando warna abu-abu yang selaras dengan corak pada seragam ala maid yang sedang dia kenakan—dalam potongan sebahu.Kepala pelayan muda itu hanya mengangguk pada Rosetta tanpa menyahut atau terlihat ingin mengucapkan basa-basi pagi pada majikan barunya. Dia mundur beberapa langkah sebelum Rosetta sempat mengintip menu yang tersedia di sana. Senyumnya yang samar terbit dan lagi-lagi mengangguk dengan sopan.“Tung-tunggu, Nona—um, Nona Sanzio?” tahan Rosetta sambil membaca tanda pengenal yang tersemat di dada sebelah kiri si pelayan. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”“Tinggallah sebentar,” pintanya lagi.
“Masuklah. Tuan Pacciardi sedang menunggu Anda,” sapa seorang penjaga yang baru saja mempersilakan Caritta masuk ke dalam kawasan megah hunian milik keluarga politisi itu.“Terima kasih,” sahut Caritta sambil menganggukkan kepala, lantas melenggang dengan rasa gugup hebat yang memadati dadanya.Area itu sangat luas dan dilengkapi dengan material elite yang fantastis di setiap sudutnya. Sesuatu yang akan membuat siapa saja berdecak kagum pada pencapaian luar biasa yang sang senator hasilkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Sesuatu yang juga mampu membuat Caritta terperangah takjub dengan keadaan di sekelilingnya.“Apa Anda yang bernama Leah?” tegur seseorang yang lain. “Eh? Aku—um, ya, aku Leah.”Pelayan wanita yang berkucir kuda itu melemparkan senyum sesaat sebelum melanjutkan, “Mari, saya antarkan ke sana.”Caritta lagi-lagi mengangguk tanpa mengedipkan mata—memandang lekat-lekat pada penampi
“Maaf tentang tadi. Aku memang suka bercanda.”Pria misterius itu kemudian menyunggingkan senyumnya yang menawan dan menuangkan teh bunga krisan lewat teko jenis kaca tersebut ke dalam cawan milik Rosetta. Aroma khusus seketika menguar mengundang rasa ingin tahunya terbit untuk mencicipi minuman. Dia pun mengintip di antara kepulan asap yang meliuk tanpa henti.“Apa kau pernah mencoba teh khas Cina sebelumnya?” sambungnya lagi.“Belum,” gumam Rosetta yang balas memandang ke arah pria di hadapannya dengan sorot mata kagum.“Cobalah sekarang. Kau akan terkejut dengan cita rasanya yang sangat lain.”Rosetta menurut—mengangkat wadah yang terbuat dari bahan keramik tersebut ke mulutnya, lantas menyesap dengan hati-hati. Sensasi baru itu serta-merta melapisi seluruh indra pengecapnya dan membuat dia takjub pada sensasi yang ditawarkan. Ringan, tetapi manis.“Bagaimana menurutmu?”“Enak.”
“Bukankah aku baru saja mengatakannya padamu? Dia milikku. Aku tidak terbiasa untuk membagi sesuatu yang kupunya dengan orang lain,” desis Marco yang kemudian menggertakkan giginya.Seringai yang sarat akan ejekan itu seketika muncul di sudut bibir Ludovic. Dia menelengkan kepalanya sedikit, lantas menyipitkan mata. Pandangan pria tersebut terkunci hanya pada Marco yang sedang menyembunyikan sepasang kepalan tangannya di dalam saku mantel kardigan polosnya.“Tidak ada yang terjadi. Kami hanya mengobrol. Kau boleh membawa Rosetta pergi,” balas Ludovic yang justru memilih untuk mengalah.“Aku tidak ingin ikut dengannya,” tolak Rosetta yang serta-merta membangkitkan emosi Marco.“Kau harus kembali ke dalam kamarmu sekarang,” perintah Marco yang membuat nada penekanan di bagian akhir kalimat.“Aku belum menghabiskan minumanku,” kilah Rosetta yang mencari alasan agar tetap tinggal.“Don’t cross my line or
“Bagaimana kabar wanita kurang ajar itu? Di mana dia sekarang?”Giuseppe pun menoleh pada rekannya sesaat sebelum menjawab sang pemimpin. Dia menelan air ludahnya dengan susah payah, lantas menyahut, “Er—kami kehilangan jejaknya, Tuan Botticelli.”“Kehilangan jejak?” desis Marco yang siap untuk meluapkan emosinya di hadapan mereka.“Kami hanya mampu melacaknya hingga ke daerah timur. Dia terlihat sedang memasuki Hotel Firenze lusa kemarin, tetapi kami tidak menemukan keberadaannya lagi sejak sore.”“Sial!” maki Marco yang kemudian menendang salah satu kaki meja dan membuat benda itu terbalik dengan keadaan patah.“Apa kalian tidak mampu melakukan sesuatu dengan benar? Apa kalian tidak malu menyebut diri kalian mafia?” jeritnya lagi sambil menudingkan jari telunjuknya pada wajah mereka.“Maafkan kami, Tuan Botticelli. Kami mengaku salah,” balas sepuluh orang itu dengan serentak. “Maaf?
“Tamu Tuan Salvoni?” tanya salah satu penjaga yang memegang senjata api berlaras panjang itu dengan tatapan penuh selidik.“Aku Caritta. Dia mengenalku. Aku punya janji temu untuk sebuah bisnis kecil bersamanya.”“Baiklah. Berdiri dengan tegap dan angkat kedua tanganmu ke atas. Kami akan memeriksa tubuhmu sebelum masuk,” pinta pria berhidung besar itu.Dua orang penjaga lain pun mengulum senyum mereka sesaat setelah menonton jemari rekannya menggerayangi punggung Caritta. Sentuhan itu kemudian merendah menuruni bagian pinggul dan membuatnya terkesiap oleh rasa syok. Menerbitkan ambisinya untuk menampar wajah pria kurang ajar tersebut dengan keras.“Percayalah padaku. Aku tidak membawa benda apa pun yang berbahaya,” desis Caritta sambil mengetatkan rahangnya.“Kita tidak pernah tahu barang-barang yang mampu disembunyikan di balik rok rimpelmu, bukan? Jadi, biarkan aku mengintipnya sedikit agar—”“Dasa
Rosetta spontan menghapus air matanya dengan terburu-buru. Ludovic yang melihat aksinya kemudian menahan kedua pergelangan tangan Rosetta dan menggeleng lembut. Seringai samar tergambar di sudut bibirnya sebelum berujar, “Tidak ada yang salah dengan kesedihanmu, Sayang. Kita semua memang merasa kehilangan.”“Maaf—”“You don’t have to be sorry,” potong pria itu.“Aku tidak bermaksud untuk membandingkanmu dengan Marco. Aku hanya... hanya... menghibur diri dari luka yang masih belum sembuh sepenuhnya.”“Aku tahu itu,” desah Ludovic yang merangkul pinggang Rosetta ke sisi tubuhnya.“Aku tidak mendengarmu datang,” kata Rosetta selepas berhasil menguasai emosinya lagi dan jejak air mata di wajahnya mengering.Ludovic beralih mengulurkan kedua tangannya pada tubuh kecil Beatrice dan mendekapnya dalam gendongan, lantas menjawab, “Aku naik taksi kemari. Taleo sedang sibuk membantuku mengawasi pabrik. Lagi pula, aku juga ingin mengunjungi kakakku sesekali.”“Beatrice baru saja menaruh buket bun
Seorang wanita dalam balutan jumpsuit nuansa hitam dan sepatu berhak rendah model pointed-toe pump yang senada itu baru saja turun dari mobil. Benda yang ditentengnya adalah dua buket bunga forget me not. Diletakkan dengan hati-hati pada sebuah keranjang bambu yang dihadiahkan seseorang padanya kemarin sore.Punggungnya berbalik cepat, mengulurkan kedua tangannya ke arah jok, lantas menggendong tubuh bocah kecil yang sedang menggenggam sebuah bola plastik di tangan kirinya tersebut. Bibir menggemaskan itu tertawa sewaktu ibunya mengecup ringan salah satu pipinya selepas dia dirangkul erat dalam gendongan. Sepasang iris biru lautnya kemudian mengerjap-ngerjap melihat ke sekeliling yang terasa asing baginya.“Apa kau menyukainya, Sayang? Memang bukan pemandangan yang biasa kau lihat, tetapi Mom janji kau akan menikmatinya. Tempatnya sangat rindang dan nyaman untuk kau bertemu dengan Dad,” katanya sambil menyelipkan sehelai rambut cokelatnya yang berkibar ditiup angin ke daun telinga kan
“Segelas martini dingin di sore yang cerah merupakan sesuatu yang sempurna untuk menutup hari, bukan?” ucap Ludovic yang mengerling pada Taleo sambil mengangkat gelas miliknya ke atas.“Tentu saja, Tuan Muda.”“Bersulang?” tawar pria itu lagi dan mendekatkan bibir gelasnya pada bibir gelas Taleo.Taleo mengangguk mengiyakan dengan senyum samar yang menghiasi wajahnya. Dia memajukan gelas dan bunyi denting sontak saling beradu di udara. Kedua alisnya terangkat membentuk ekspresi setuju.“Untuk hidup yang lebih baik ke depannya,” harap Ludovic yang kemudian terkekeh menertawakan kalimatnya sendiri.“Dan kebahagiaan bagi Tuan Muda,” tambah Taleo yang menelengkan kepalanya.Ludovic menyesap martininya dengan hati-hati. Dua butir buah zaitun yang mengendap di dasar gelas pun menggelinding naik ke permukaan. Berlomba-lomba mendekati mulut pria itu dan menyumpalnya lewat gravitasi yang berubah oleh sisi gelas yang condong.“Rasanya nikmat sekali seperti dosa,” desah Ludovic selepas menyeka b
Sebelum Rosetta sempat mencerna maksud dari ucapan Marco, pria itu sudah membuka pintu mobil dan membantingnya dengan kasar. Para bawahannya maju lebih dahulu, memasang benteng perlindungan bagi tuannya, lantas mengacungkan senjata laras panjang di tangan mereka pada kelompok Salvoni.Rosetta yang gemetar dan putus asa di dalam Mercedes-Benz berbodi tangguh itu menutup mulutnya sendiri. Membungkam kesiapnya sebelum berubah menjadi jerit ngeri yang akan melenyapkan pita suaranya. Berjuang menekan ketegangan yang menari di sekeliling mereka ke lapisan paling dasar.Ketenangan yang didambakan Rosetta kembali menjauh dari jangkauan. Segala sesuatunya mengabur dari pandangan dan memaksa Rosetta untuk bergerak atau dia akan terperangkap tanpa proteksi. Dia kemudian berlindung ke balik jok kemudi, menarik sebuah kotak kayu yang ada di bawahnya dan mengambil sebuah pistol bermetode dual action yang tersimpan di dalam sana.Jemari Rosetta meraih benda itu dengan hawa dingin yang seketika melun
Langit terasa runtuh menimpa Rosetta selepas dia sadar siang itu. Pandangannya kemudian memindai ke seantero kamar. Ada seorang dokter pribadi yang sudah dia kenal dengan baik sedang merawatnya. Pria berkacamata minus kepercayaan Marco itu melemparkan senyum tipis pada Rosetta. Dia memeriksa tekanan darahnya yang kelewat rendah. Bercakap-cakap dengan Marco sebentar sebelum melanjutkan pengecekan lainnya.“Apa itu benar? Caritta? Dia... dia sudah... apa polisi tidak salah mengidentifikasi?” tanya Rosetta yang berjuang keras menahan bulir air matanya jatuh.Marco mengetatkan rahangnya dalam diam. Berharap dapat mentransfer kekuatan lebih untuk kekasihnya yang masih syok atas kabar buruk itu. Namun, satu-satunya yang mampu dia katakan hanya mengiyakan dengan ekspresi muram.Marco tahu Rosetta terpukul atas berita kematian saudari kembarnya. Siapa yang menyangka bahwa jasad Caritta akan ditemukan di tepi dermaga dengan kondisi setengah membusuk karena terseret gelombang? Hasil penyelidik
Dua minggu berlalu dengan cepat. Pagi itu cuaca sedikit lebih cerah dan membuat Rosetta terbangun karena sinar matahari yang menerobos masuk melalui sisi jendela. Dia mengerjap-ngerjap sebentar sebelum memutuskan untuk bangkit dari balik selimut menuruni ranjang.Satu tangan Rosetta terulur ke depan. Kepalanya setengah menunduk sambil menyibak sebagian tirai dan mengintip suasana di luar. Cahaya itu pun langsung menembus indra penglihatannya dalam sekejap.Kening Rosetta otomatis mengernyit. Sepasang matanya menyipit sebagai reaksi silau yang tertangkap olehnya. Dia menoleh ke arah ranjang, memperhatikan Marco yang masih berkutat dengan mimpi-mimpinya di sana.“Salah satu pemandangan yang ingin selalu kulihat adalah pria itu ada di dekatku setiap hari,” bisik Rosetta yang berdiri di depan tirai dalam kondisi tersibak separuh.Kesadarannya akan sesuatu yang penting mendadak menyentak pikiran Rosetta. Langkahnya kemudian berlalu menuju ke nakas yang ditata persis di samping kiri ranjang
“Rosetta? Siapa yang peduli? Bunuh saja sekalian.”Suara lain yang lebih rendah dari suara pertama menyahut, “Itu mudah untukku, tetapi bagaimana dengan Marco?”“Dia bagianku.”“Menghabisi satu tikus kecil lemah seperti kekasihnya akan jadi penggenapan rekorku yang ke seratus,” balasnya dengan nada puas.“Bagaimana dengan Ludovic?”“Siapa Ludovic?”“Putra kedua Botticelli. Kau tidak tahu dia?” tanya rekannya lagi.“Aku tidak pernah mendengar reputasinya di dunia bawah.”Pria dengan cerutu yang menyala di bibirnya itu mengembuskan asap tebal sambil mendongakkan kepalanya ke atas dan menjawab, “Dia memang tidak menggeluti dunia yang sama dengan kakaknya. Aku juga hanya melihatnya sesekali. Dia mengelola pabrik dan perkebunan anggur. Mereka mengambil jalan yang berbeda.”“Itu mengingatkanku pada sebuah lelucon tentang iblis dan malaikat yang pernah kudengar sewaktu kecil,” kekeh pria yang sedang memegangi sebotol bir di tangan kirinya itu. “Dia lebih terlihat seperti pengecut yang selal
“Tiga kali lipat dari tarif biasa. Harga yang menggiurkan, bukan? Bagaimana menurutmu?” bujuk Fabio lewat telepon selulernya.“Lima.”“Lima? Apa kau berniat merampokku?”“Kau memesanku secara khusus, Tuan Salvoni. Kau tahu aku sedang terburu-buru dan akan meninggalkan Puglia esok pagi.”“Baiklah. Kita sepakat,” balas Fabio kemudian dengan berat hati.Caritta yang mendeteksi nada enggan dalam suara pria itu hanya mengulum senyum puas tanpa menanggapi. Pelanggan terakhirnya akan membuat jumlah saldo di rekeningnya kembali membengkak. Setelah itu, dia akan pulang dan membuka sebuah toko roti seperti orang tuanya dahulu. Kembali ke Magnolia Springs akan menumbuhkan harapan baru dalam hidup Caritta lagi. Sesuatu yang dia pikir mustahil untuk dia punya selepas kekacauan yang telah terjadi selama belakangan terakhir. Mimpi-mimpi itu akan segera terwujud, pikirnya.“Sampai jumpa satu jam lagi, Tuan Salvoni!” tutup Caritta di ujung sana.Caritta menumpangi taksi untuk tiba di kediaman Salvoni
“Apa yang terjadi?” tanyanya lagi.“Ka-kaki kiriku terkilir.”Marco langsung bergerak sigap dan memindahkan tubuh Rosetta dari jangkauan Ludovic dengan hati-hati. Menariknya ke dalam pangkuan. Memandangi wajah kekasihnya dengan penuh arti, seolah-olah mengisyaratkan bahwa dia tahu sesuatu.“Kau tidak membutuhkan ini,” desis Marco yang kemudian melepaskan mantel kasmir juga syal rajut itu dan melemparkannya lagi pada Ludovic.“Aku tidak suka mencium bau pria lain di tubuhmu,” sambungnya sambil menyampirkan mantel kardigan miliknya di kedua pundak Rosetta.“Ma-maafkan aku,” bisik Rosetta yang menunduk menghindari tatapan tajam Marco.“Apa kau telah membuat kesalahan yang begitu besar sampai-sampai kau harus mengucapkan permintaan maaf padaku?” pancingnya tanpa memedulikan Ludovic yang ekspresinya berubah padam oleh rasa jengkel.“Tidak. Maksudku, aku minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kau harus menggendongku gara-gara kakiku yang sakit.”“Kau baru sadar sekarang?” balas pria itu ketu