"Bu Sum?"
Dokter bernama Rizal itu terkejut ketika dia melihat Bu Sum berada satu ruangan dengannya. Sama halnya dengan Dara yang terkejut berjumpa kembali dengan lelaki bertubuh tinggi saat mengantarkan laundry-nya kemarin siang.
"Benar Bu Sum, kan?" Rizal memastikan lagi karena dia baru dua kali bertemu dengan wanita paruh baya itu.
"Mas Rizal? Oh Mas Rizal dokter?" Bu Sum pun terkejut.
"Sudah saling kenal rupanya," ujar dokter senior.
"Iya, Dok. Ini Bu Sum tempat saya langganan laundry. Silahkan duduk di sini Bu biar saya periksa," kata Rizal mempersilahkan Bu Sum berbaring di tempat tidur pasien.
Beberapa kali dokter Rizal menyentuh bagian leher, pundak dan tulang belikat Bu Sum. Semakin di tekan pun membuat Bu Sum semakin meringis.
"Sering angkat beban berat kah, Bu? Atau sering melakukan kegiatan yang tiba-tiba?" tanya Rizal.
"Namanya bakul cuci, Mas eh Dok. Saya pasti sering angkat beban berat," jawab Bu Sum.
"Bisa diberikan diagnosanya, Dok?" tanya dokter senior pada Rizal.
"Ada kemungkinan saraf terjepit, Dokter," jawab Rizal. "Tapi untuk pastinya bagaimana jika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut."
"Pemeriksaan lebih lanjut?" tanya Dara khawatir.
"Iya, selain nanti diberikan obat, kita harus tahu dimana saraf yang bermasalah, apalagi ini sudah berjalan dia bulan dan nggak kunjung sembuh," kata Rizal.
"Benar apa yang dikatakan Dokter Rizal, nanti saya berikan surat rujuk untuk MRI. Gunanya agar kita tahu saraf yang bermasalah dan tindakan selanjutnya yang harus kita lakukan." Dokter senior itu pun menuliskan resep obat dan surat rujukan lalu memberikannya kepada Dara.
"Semoga semakin cepat di obati maka semakin cepat sembuh," ujarnya lagi.
"Terimakasih, Dok." Dara pun beranjak membantu Bu Sum.
"Nanti kebagian administrasi minta dijadwalkan untuk MRI, setelah ada hasil MRI datang lagi kemari sesuai jadwal praktek dokter Zainal," ujar Rizal membukakan pintu untuk Dara dan Ibunya. "Semoga semakin sehat dan hindari mengangkat beban berat, ya," ujarnya lagi dan tersenyum pada Dara.
"MRI itu apa, Ra?" tanya Bu Sum saat mereka menunggu obat di bagian apotek Rumah Sakit.
"Kayak alat pendeteksi, untuk mengetahui bagian tubuh kita yang mana yang bermasalah, Bu. Sebentar Dara lihatkan alatnya," kata Dara lalu membuka aplikasi pencarian.
"Masuk ke tempat seperti itu, Ra? Ibu takut." Bu Sum mulai panik saat melihat alat medis seperti tabung.
"Ibu ... Ibu tenang ya, semakin cepat kita tahu semakin baik. Semakin cepat juga Ibu kembali sehat. Sekarang jangan pikirkan ini. Satu minggu lagi kita kesini ya, Ibu harus tenang." Dara merangkul Bu Sum dan mengusap lembut bahu wanita itu.
*****
Satu minggu berlalu pun perasaan Bu Sum masih belum menentu karena dirinya takut akan penyakit yang lebih parah.
"Pagi Bu Sum." Seseorang menyapa Bu Sum dan Dara saat menuju ruangan MRI.
"Eh Mas— dokter Rizal," jawab Bu Sum.
"Panggil biasa saja, Bu. Enggak usah pake dokter," ujarnya tersenyum. "MRI hari ini?"
"Iya, saya deg deg an," ujar Bu Sum dengan wajah panik.
"Berdoa ya Bu, semoga bukan sesuatu yang mengkhawatirkan."
"Ibu duduk di sini ya, Dara kasih ini dulu ke administrasinya." Dara sedikit menunduk pada Rizal sebelum meninggalkan Bu Sum.
"Nanti di dalam ada beberapa prosedur yang harus Ibu ikuti. Ibu tenang saja, ya," ujar Rizal sebelum dia berpamitan.
Lebih dari dua jam menunggu, akhirnya giliran Bu Sum yang memasuki ruangan pemeriksaan MRI.
"Bu Sum sudah di dalam?" Sebuah suara mengagetkan Dara yang sedang duduk tertunduk. Sosok lelaki gagah itu berdiri di depannya. Dara mengangkat kepalanya.
"Oh Dokter ... Sudah— sudah, ibu baru saja masuk ke dalam," kata Dara gugup.
"Boleh saya duduk di sini?" ujar Rizal.
"Silahkan, Dokter." Dara menggeser tubuhnya.
"Ibu kamu pasti sering angkat beban yang berat ya?"
"Iya, Dok. Kalau saya dan Bagas sekolah, ibu mengerjakan semuanya sendiri."
"Sebisa mungkin dengan kejadian ini, apapun yang berat tolong usahakan jangan sampai beliau yang mengangkat."
"Baik, Dok."
"Kamu— kuliah?"
"Iya, Dok."
"Hhmm ... semester berapa?"
"Akhir...."
"Oh ...." Rizal mulai bingung mencari bahan pembicaraan yang lain. "Mm ... berarti sudah seminggu ini laundry Bu Sum libur?"
"Oh nggak Dok, semua saya yang kerjakan. Bagas yang antar-antar."
"Loh, aku kira libur ...."
"Loh kenapa, Dok?"
"Tau gitu kan aku nggak ngucek sendiri," ujar Rizal dengan wajah kecewa.
Dara tertawa kecil.
"Nanti biar diambil sama Bagas. Atau Dokter bisa—".
"Bisa apa?"
"Bisa— mm ...."
"Apa?"
"Hubungi saya aja." Dara menyodorkan ponselnya pada Rizal.
"Ooh ... mau ngomong gitu aja lama banget." Rizal mengulum senyumnya sambil meraih ponsel Dara menghubungkan ke ponselnya. "Save nomer saya eh aku ya, nanti kalo bajunya sudah aku packing, aku hubungi kamu. Dara, kan?"
"Iya, Dara," ucapnya malu.
"Oh ya Dara, kalau hasil MRI nya sudah ada langsung bawa ke aku ya, biar kita cari solusinya. Mudah-mudahan enggak sampai tahap operasi."
"Operasi, Dok?"
"Semoga nggak, doa aja." Rizal berdiri lalu berpamitan.
******
"Bisa ambil baju di kost aku? -Rizal-"
Isi pesan itu baru saja Dara baca setelah dia selesai menyetrika baju-baju laundry.
"Capeknya ... mana Bagas belum pulang," batin Dara lalu kembali keluar dari kamarnya.
"Mau kemana?" tanya Bu Sum.
"Mau ambil baju Pak Dokter, Bu."
"Tunggu Bagas pulang saja, kamu pasti capek."
"Bagas belum tau pulang jam berapa, Bu. Hari ini dia ada kegiatan di sekolah. Biar Dara aja sekalian beli makan untuk malam ini. Dara laper," ucapnya sambil menepuk perutnya.
Cukup waktu 20 menit, Dara sudah sampai di depan pintu kost Rizal yang tak tertutup rapat. Lagi-lagi dia mendengar percakapan lelaki itu dengan bahasa daerahnya.
"Ichal alah gadang lah, Ma. Ndak ado makasuik Ichal untuak durako ka Mama Papa. Tolonglah, Ichal alun nio nikah lai. Bia Ichal tantukan surang pilihan Ichal, nio inyo urang awak maupun indak." (Ichal ini sudah dewasa, Ma. Bukan maksud Ichal jadi anak durhaka ke Mama dan Papa. Tapi tolonglah Ichal belum mau menikah. Ichal juga ingin menentukan pilihan Ichal sendiri terlepas dia orang kita ataupun bukan.)
"Iyo Ma, Ichal mangarati. Adaik harus dijunjuang tapi maso Ichal ndak buliah manantukan surang, sia yang manjadi pasangan iduik Ichal iya." (Ma. Ichal paham. Adat kita memang harus di junjung tapi bukan berarti Ichal nggak boleh nentuin sendiri siapa teman hidup Ichal.)
"Sudahlah, jan dibahas juo masalah iko lai. Mama nio Ichal angkek kaki pai dari rumah baliak?" (Sudahlah, jangan lagi di bahas masalah ini. Mama mau Ichal kabur lagi?) Kata-kata ini bagai senjata bagi Rizal untuk melindungi dirinya.
Dara memberanikan diri mengetuk pintu kamar itu.
"Sudah dulu, Ichal ada tamu," ucapnya lalu membuka lebar pintu kamar itu.
"Mau ambil baju, Dok."
"Oh iya, sebentar." Rizal kembali keluar dengan loundry bag. "Bisa bawanya?"
"Bisa," ucap Dara lalu mengangkat laundry bag yang terisi setengah itu.
"Udah biar aku aja." Rizal dengan sigap mengangkat laundry bag itu lalu berjalan mendahului Dara.
"Loh? Gimana sih?" Dara kebingungan.
"Kamu udah makan?" tanya Rizal.
"Gimana?"
"Kamu udah makan belum?" ulang Rizal.
"Oh belum."
"Makan yuk?"
"Hah?"
"Kunci motornya mana?"
"Tap—"
"Ayo." Tangan Rizal terulur meminta kunci motor Dara.
Motor Mio itu berhenti di warung tenda pinggir jalan.
"Suka seafood?"
"Hah?"
"Kamu banyak hah nya." Rizal tersenyum. "Ayo."
Beberapa lama menunggu, menu yang mereka pesan pun datang. Rizal dengan santainya melahap menu-menu yang berada di hadapannya. Sementara Dara, rasanya makanan itu susah sekali lewat di tenggorokannya.
"Aku pesenin buat Bu Sum," ujar Rizal memanggil pelayan warung tenda itu.
"Enggak usah, Dok."
"Jangan nolak, ini buat Ibu kok."
Dara hanya menghela napas panjang dan kembali meneruskan makannya.
"Semester berapa?"
"Minggu depan wisuda."
"Oh ya? jurusan apa?"
"Psikologi."
"Keren."
"Rencana setelah ini?"
"Belum tau, pokus ke ibu dulu. Kalo ibu sudah sembuh, baru mikir harus gimananya."
Rizal mengangguk angguk, sekilas di tatapnya gadis yang sedang menikmati cumi asam manis itu.
"Sudah lama ibu kerja nge laundry?"
"Semenjak bapak meninggal enam tahun lalu."
"Oh, maaf ...."
"Enggak apa-apa ... Ibu banting tulang sendiri untuk biayain sekolah saya dan Bagas. Saya juga harus berbesar hati dua tahun menunggu perekonomian keluarga kami kembali stabil baru bisa kuliah. Tapi, syukurnya semua di permudah."
"Ya, syukurlah."
"Dok, saya sudah selesai. Kasian Ibu sendirian di rumah. Terimakasih makan malamnya. Dokter mau saya antar pulang?"
"Oh, nggak usah. Makasih ya sudah nemenin makan, malam ini. Semoga hasil MRI besok baik-baik saja. Dan ini buat Bu Sum." Rizal menyerahkan dua bungkus menu untuk Dara bawa pulang.
Dara tersenyum, meraih bungkusan itu lalu menyalakan motornya.
"Mm ... Dara."
"Ya."
Dara mengurungkan motornya yang akan melaju.
"Kapan-kapan, mau kan temenin saya makan malam lagi."
"Hah?"
"Hasil MRI nya menunjukkan adanya saraf terjepit di leher, ruas C-5 dan C-6. Ini termasuk salah satu yang riskan ya, Bu. Kita ada dua solusi, keputusan saya kembalikan ke Ibu," ujar dokter Zainal, dokter senior itu."Apa, Dok?""Operasi atau—""Operasi? Waduh, Dok." Wajah Bu Sum seketika panik."Tenang dulu, Bu." Dara mengusap pundak wanita tua itu."Atau kita observasi, selain dengan obat, Ibu harus tetap memakai collar neck. Penyangga leher hingga waktu yang ditentukan.""Kalau di lihat dari hasil MRI Ibu, tonjolan pada bantalan sendi hampir mengenai saraf utama," ucap Rizal."Bahaya?" Kali ini Dara menunjukkan wajah paniknya."Bahaya kalo nggak di tanggulangi dengan cepat." Rizal menahan senyumnya saat melihat wajah Dara."Jadi gimana Dok, baiknya?" "Kita observasi dulu saja ya, dengan obat dan collar neck. Satu bulan lagi kontrol, kalo masih belum ada perubahan, mau tidak mau kita ambil tindakan operasi.""Observasi. Ok, enggak apa-apa, kan Bu?""Ibu mana baiknya aja, Ra. Ibu uda
"Ayo," ajak Rizal.Dara berdiri terpaku, di tatapnya kafe yang ada di hadapannya. Setahu Dara, kafe yang mereka kunjungi ini harga makanannya cukup mahal, sedangkan uang yang ada di dompetnya hanya tersisa seratus ribu rupiah."Karena saya yang traktir, jadi sebaiknya saya yang menentukan kita makan dimana," ujar Dara."Tapi kita sudah terlanjur sampai sini. Jadi, daripada menghabiskan waktu untuk mencari kafe yang lain lebih baik kita di sini aja.""I-iya, tapi ....""Aku udah laper, denger-denger makanan di sini enak-enak. Ayo." Rizal me lebih dulu."Seratus ribuku," lirih Dara dengan wajah sedih."Makan apa?" tanya Rizal pada Dara saat pelayan menghampiri mereka."Hhmm.... air mineral aja," jawab Dara."Loh kok air mineral?""Saya nggak laper. Yang makan Dokter aja, enggak apa-apa.""Ah, enggak gitu konsepnya." Alis Rizal bertaut. "Aku pesenin, satu beef carbonara, onion ring, dimsum satu porsi, lalu ... satu beef steak, saya minta cheese sauce-nya, terus minumannya saya minta yang
"Pagi, Dokter," sapa Bu Sum memasuki ruangan dokter spesialis saraf dengan senyum sumringah berbeda dengan saat waktu Bu Sum datang pertama kali ke ruangan itu. Ditemani Bagas, Bu Sum menceritakan perkembangan yang dia rasakan selama sebulan ini semenjak menggunakan collar neck secara rutin. "Coba saya periksa dulu, ya," ucap Dokter Zainal, dokter senior di ruangan itu selain dokter berkacamata yang lain."Udah aman ya ini, syukurlah masih bisa kita observasi kemarin ya. Diingatkan lagi ibunya untuk tidak mengangkat atau mengerjakan pekerjaan yang berat.""Terimakasih, Dokter." Mata Bu Sum masih mencari-cari. "Kalo dokter Rizal, hhmm maksud saya dokter residen yang waktu itu enggak kelihatan ya, Dokter?""Oh dokter Rizal, hari ini memang mengambil cuti ijin sakit, Bu Sum.""Oh sakit." Bu Sum terdiam. "Bu, ayo." Bagas menyentuh lengan ibunya agar bergegas meninggalkan tempat itu."Mbak-mu pulang jam berapa, Gas?" tanya Bu Sum setiba mereka di rumah."Bagas kurang tahu, Bu. Kenapa?"
"Bawa ini." Bu Sum menyerahkan kantung plastik berisi bubur ayam pagi itu."Apa ini, Bu?""Bubur ayam buat sarapan dokter Rizal.""Loh kan Dara cuma mau anter baju ke Mas Teguh, Bu. Enggak ke tempat dokter Rizal.""Sekalian, Ra. Kan satu tempat juga, lagian kasian anak rantau sakit tuh nggak ada yang ngurus. Mosok kamu tega, mana sakitnya tipes kan nggak bisa makan yang keras-keras dulu "Dara menghela napasnya, dirapihkannya kembali baju-baju yang akan dia antar pagi ini."Ya sudah, Dara pergi dulu." Dara meraih kunci motornya. "Oh iya Bu, nanti Dara pulang agak sore ya. Dara mau ketemu temen di kampus, katanya ada lowongan kerjaan di tempat dia kerja."Motor Mio itu berhenti di bangunan tiga lantai yang berisi para anak rantau. Dara mengetik pintu kamar Teguh, salah satu pelanggan laundry Bu Sum yang sangat baik padanya. "Pagi Dara," sapa lelaki itu masih dengan wajah bangun tidur."Pagi Mas Teguh," balas Dara sambil tersenyum. "Mau antar baju, Mas." Dara memberikan tas laundry ber
"Kamu sibuk besok malam?"Isi pesan dari Rizal untuk Dara. Sudah hampir satu minggu ini lelaki itu tak mendapat kabar bahkan bertemu dengan Dara. Yang datang mengantarkan atau mengambil baju kotornya hanya Bagas. Bertanya pada Bagas pun, pemuda itu hanya mengatakan sang Kakak sedang sibuk."Kebetulan aku nggak ada jadwal jaga, kita bisa ketemu?" Lagi pesan itu masuk namun belum mendapat balasan dari Dara. Hanya saja tanda centangnya sudah berwarna biru itu artinya Dara membaca pesannya.Kesal menunggu, Rizal meraih jaketnya kemudian berjalan menuju parkiran motor rumah sakit. Untung saja hari ini jam jaganya hanya sampai setelah Magrib.Motor sport itu berhenti di depan pagar rumah Dara. Lampu rumah pun sudah menyala, kios kecil tempat Bu Sum menerima pakaian laundry juga sudah di tutup. Hanya saja motor Mio milik Dara tak terlihat di sana, bisa jadi motor itu sedang di pakai oleh Bagas. Rizal mendorong motornya masuk ke halaman rumah Bu Sum. Dia letakkan helm full facenya di meja y
"Mama ada di Jogja? Sejak kapan?" tanya Rizal yang bergegas ke parkiran motor Rumah Sakit, dia harus segera menuju hotel tempat kedua orangtuanya menginap.Memasuki sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jogja, Rizal melangkahkan kakinya menuju restoran hotel itu. Wanita cantik berumur 50 puluh tahunan itu sedang berbincang dengan dua orang pria yang jelas sekali Rizal kenal, ayah dan pamannya. Entah dalam rangka apa ketiga orang yang dituakan ini datang tiba-tiba ke Jogja. "Ma, Pa." Rizal berdiri di antara mereka yang duduk di meja makan besar mengulurkan tangannya, menyalami kedua orangtuanya. Matanya melirik ke arah lelaki berkacamata dengan tatapan datar."Mamak, apa kabar?" Rizal kembali sedikit membungkuk, menyalami kakak pertama dari sang Ibu."Haa ...tumben Ichal langsuang tibo manamui Mama Papa, biasonyo tunggu sahari duo hari dulu baru ka tibo kamari, itupun kalau indak tapaso ndak ka tibo do," sindir Donna, ibu Rizal.(Tumben langsung nemuin Mama sama Papa, biasanya Ma
"Ini Synthia, anak dari Datuk Basri Alam," ujar Donna. "Kamu masih ingat kan, Synthia kecil dulu sering ke rumah kita."Rizal pun tersenyum, tidak pernah terbesit di ingatannya tentang wanita di hadapannya ini pernah datang ke rumahnya. Atau memang dia yang sudah lupa."Enggak sering Tante, cuma beberapa kali sebelum Bunda bawa Synthia ke Australia."Wanita yang umurnya mungkin hanya berbeda satu tahun di bawah Rizal ini pun mengulurkan tangannya."Apa kabar?""Baik," jawab Rizal canggung."Jadi pertemuan kali ini memang sangat mendadak," ujar lelaki yang umurnya di atas lebih tua dari Rizal. Mungkin hampir memasuki 40 tahun. Lelaki itu Amar kakak laki laki tertua Synthia."Kebetulan kami juga ada perjalanan bisnis ke Jogja, dan Bunda memberi tahu kalau Tante Donna dan Om Andreas sedang berada di Jogja. Mengenai kerjasama perusahaan yang pernah kita bahas tempo hari, kami selalu wakil dari perusahaan menyetujui persyaratan dan perjanjiannya.""Mengenai kelanjutannya, kita bicarakan de
Rizal menuntun motornya masuk ke pekarangan rumah Dara. Sudah menjadi kebiasaannya selama bertamu ke rumah gadis itu, Rizal psti mematikan motornya, maklum saja suara motor sport milik Rizal memang terdengar sedikit berisik."Loh, Mas Dokter." Bagas yang baru saja masuk ke pekarangan rumah kaget melihat Rizal juga baru datang."Gas," sapa Rizal. "Dara ada?""Ada, aku panggil dulu." Bagas memarkirkan motornya."Eh, Gas ... ini buat kamu dan ibu." Rizal memberikan satu kantung plastik berwarna putih."Makasih, Mas Dokter. Aku panggil Mbak Dara dulu." Bagas masuk ke dalam rumah dengan hati senang membawa bungkusan yang dari harumnya saja sudah bisa dia tebak."Emang rejeki anak soleh," ujar Bagas menaruh kantung plastik berisi dua tempat martabak manis dan martabak telur. "Tau aja ngambil hatinya," kekeh Bagas lalu melangkah menuju kamar Dara."Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun dia buka. "Ada yang cari tuh."Dara gelagapan, "siapa?""Pake nanya ... sana temuin dulu