"Bu Sum?"
Dokter bernama Rizal itu terkejut ketika dia melihat Bu Sum berada satu ruangan dengannya. Sama halnya dengan Dara yang terkejut berjumpa kembali dengan lelaki bertubuh tinggi saat mengantarkan laundry-nya kemarin siang.
"Benar Bu Sum, kan?" Rizal memastikan lagi karena dia baru dua kali bertemu dengan wanita paruh baya itu.
"Mas Rizal? Oh Mas Rizal dokter?" Bu Sum pun terkejut.
"Sudah saling kenal rupanya," ujar dokter senior.
"Iya, Dok. Ini Bu Sum tempat saya langganan laundry. Silahkan duduk di sini Bu biar saya periksa," kata Rizal mempersilahkan Bu Sum berbaring di tempat tidur pasien.
Beberapa kali dokter Rizal menyentuh bagian leher, pundak dan tulang belikat Bu Sum. Semakin di tekan pun membuat Bu Sum semakin meringis.
"Sering angkat beban berat kah, Bu? Atau sering melakukan kegiatan yang tiba-tiba?" tanya Rizal.
"Namanya bakul cuci, Mas eh Dok. Saya pasti sering angkat beban berat," jawab Bu Sum.
"Bisa diberikan diagnosanya, Dok?" tanya dokter senior pada Rizal.
"Ada kemungkinan saraf terjepit, Dokter," jawab Rizal. "Tapi untuk pastinya bagaimana jika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut."
"Pemeriksaan lebih lanjut?" tanya Dara khawatir.
"Iya, selain nanti diberikan obat, kita harus tahu dimana saraf yang bermasalah, apalagi ini sudah berjalan dia bulan dan nggak kunjung sembuh," kata Rizal.
"Benar apa yang dikatakan Dokter Rizal, nanti saya berikan surat rujuk untuk MRI. Gunanya agar kita tahu saraf yang bermasalah dan tindakan selanjutnya yang harus kita lakukan." Dokter senior itu pun menuliskan resep obat dan surat rujukan lalu memberikannya kepada Dara.
"Semoga semakin cepat di obati maka semakin cepat sembuh," ujarnya lagi.
"Terimakasih, Dok." Dara pun beranjak membantu Bu Sum.
"Nanti kebagian administrasi minta dijadwalkan untuk MRI, setelah ada hasil MRI datang lagi kemari sesuai jadwal praktek dokter Zainal," ujar Rizal membukakan pintu untuk Dara dan Ibunya. "Semoga semakin sehat dan hindari mengangkat beban berat, ya," ujarnya lagi dan tersenyum pada Dara.
"MRI itu apa, Ra?" tanya Bu Sum saat mereka menunggu obat di bagian apotek Rumah Sakit.
"Kayak alat pendeteksi, untuk mengetahui bagian tubuh kita yang mana yang bermasalah, Bu. Sebentar Dara lihatkan alatnya," kata Dara lalu membuka aplikasi pencarian.
"Masuk ke tempat seperti itu, Ra? Ibu takut." Bu Sum mulai panik saat melihat alat medis seperti tabung.
"Ibu ... Ibu tenang ya, semakin cepat kita tahu semakin baik. Semakin cepat juga Ibu kembali sehat. Sekarang jangan pikirkan ini. Satu minggu lagi kita kesini ya, Ibu harus tenang." Dara merangkul Bu Sum dan mengusap lembut bahu wanita itu.
*****
Satu minggu berlalu pun perasaan Bu Sum masih belum menentu karena dirinya takut akan penyakit yang lebih parah.
"Pagi Bu Sum." Seseorang menyapa Bu Sum dan Dara saat menuju ruangan MRI.
"Eh Mas— dokter Rizal," jawab Bu Sum.
"Panggil biasa saja, Bu. Enggak usah pake dokter," ujarnya tersenyum. "MRI hari ini?"
"Iya, saya deg deg an," ujar Bu Sum dengan wajah panik.
"Berdoa ya Bu, semoga bukan sesuatu yang mengkhawatirkan."
"Ibu duduk di sini ya, Dara kasih ini dulu ke administrasinya." Dara sedikit menunduk pada Rizal sebelum meninggalkan Bu Sum.
"Nanti di dalam ada beberapa prosedur yang harus Ibu ikuti. Ibu tenang saja, ya," ujar Rizal sebelum dia berpamitan.
Lebih dari dua jam menunggu, akhirnya giliran Bu Sum yang memasuki ruangan pemeriksaan MRI.
"Bu Sum sudah di dalam?" Sebuah suara mengagetkan Dara yang sedang duduk tertunduk. Sosok lelaki gagah itu berdiri di depannya. Dara mengangkat kepalanya.
"Oh Dokter ... Sudah— sudah, ibu baru saja masuk ke dalam," kata Dara gugup.
"Boleh saya duduk di sini?" ujar Rizal.
"Silahkan, Dokter." Dara menggeser tubuhnya.
"Ibu kamu pasti sering angkat beban yang berat ya?"
"Iya, Dok. Kalau saya dan Bagas sekolah, ibu mengerjakan semuanya sendiri."
"Sebisa mungkin dengan kejadian ini, apapun yang berat tolong usahakan jangan sampai beliau yang mengangkat."
"Baik, Dok."
"Kamu— kuliah?"
"Iya, Dok."
"Hhmm ... semester berapa?"
"Akhir...."
"Oh ...." Rizal mulai bingung mencari bahan pembicaraan yang lain. "Mm ... berarti sudah seminggu ini laundry Bu Sum libur?"
"Oh nggak Dok, semua saya yang kerjakan. Bagas yang antar-antar."
"Loh, aku kira libur ...."
"Loh kenapa, Dok?"
"Tau gitu kan aku nggak ngucek sendiri," ujar Rizal dengan wajah kecewa.
Dara tertawa kecil.
"Nanti biar diambil sama Bagas. Atau Dokter bisa—".
"Bisa apa?"
"Bisa— mm ...."
"Apa?"
"Hubungi saya aja." Dara menyodorkan ponselnya pada Rizal.
"Ooh ... mau ngomong gitu aja lama banget." Rizal mengulum senyumnya sambil meraih ponsel Dara menghubungkan ke ponselnya. "Save nomer saya eh aku ya, nanti kalo bajunya sudah aku packing, aku hubungi kamu. Dara, kan?"
"Iya, Dara," ucapnya malu.
"Oh ya Dara, kalau hasil MRI nya sudah ada langsung bawa ke aku ya, biar kita cari solusinya. Mudah-mudahan enggak sampai tahap operasi."
"Operasi, Dok?"
"Semoga nggak, doa aja." Rizal berdiri lalu berpamitan.
******
"Bisa ambil baju di kost aku? -Rizal-"
Isi pesan itu baru saja Dara baca setelah dia selesai menyetrika baju-baju laundry.
"Capeknya ... mana Bagas belum pulang," batin Dara lalu kembali keluar dari kamarnya.
"Mau kemana?" tanya Bu Sum.
"Mau ambil baju Pak Dokter, Bu."
"Tunggu Bagas pulang saja, kamu pasti capek."
"Bagas belum tau pulang jam berapa, Bu. Hari ini dia ada kegiatan di sekolah. Biar Dara aja sekalian beli makan untuk malam ini. Dara laper," ucapnya sambil menepuk perutnya.
Cukup waktu 20 menit, Dara sudah sampai di depan pintu kost Rizal yang tak tertutup rapat. Lagi-lagi dia mendengar percakapan lelaki itu dengan bahasa daerahnya.
"Ichal alah gadang lah, Ma. Ndak ado makasuik Ichal untuak durako ka Mama Papa. Tolonglah, Ichal alun nio nikah lai. Bia Ichal tantukan surang pilihan Ichal, nio inyo urang awak maupun indak." (Ichal ini sudah dewasa, Ma. Bukan maksud Ichal jadi anak durhaka ke Mama dan Papa. Tapi tolonglah Ichal belum mau menikah. Ichal juga ingin menentukan pilihan Ichal sendiri terlepas dia orang kita ataupun bukan.)
"Iyo Ma, Ichal mangarati. Adaik harus dijunjuang tapi maso Ichal ndak buliah manantukan surang, sia yang manjadi pasangan iduik Ichal iya." (Ma. Ichal paham. Adat kita memang harus di junjung tapi bukan berarti Ichal nggak boleh nentuin sendiri siapa teman hidup Ichal.)
"Sudahlah, jan dibahas juo masalah iko lai. Mama nio Ichal angkek kaki pai dari rumah baliak?" (Sudahlah, jangan lagi di bahas masalah ini. Mama mau Ichal kabur lagi?) Kata-kata ini bagai senjata bagi Rizal untuk melindungi dirinya.
Dara memberanikan diri mengetuk pintu kamar itu.
"Sudah dulu, Ichal ada tamu," ucapnya lalu membuka lebar pintu kamar itu.
"Mau ambil baju, Dok."
"Oh iya, sebentar." Rizal kembali keluar dengan loundry bag. "Bisa bawanya?"
"Bisa," ucap Dara lalu mengangkat laundry bag yang terisi setengah itu.
"Udah biar aku aja." Rizal dengan sigap mengangkat laundry bag itu lalu berjalan mendahului Dara.
"Loh? Gimana sih?" Dara kebingungan.
"Kamu udah makan?" tanya Rizal.
"Gimana?"
"Kamu udah makan belum?" ulang Rizal.
"Oh belum."
"Makan yuk?"
"Hah?"
"Kunci motornya mana?"
"Tap—"
"Ayo." Tangan Rizal terulur meminta kunci motor Dara.
Motor Mio itu berhenti di warung tenda pinggir jalan.
"Suka seafood?"
"Hah?"
"Kamu banyak hah nya." Rizal tersenyum. "Ayo."
Beberapa lama menunggu, menu yang mereka pesan pun datang. Rizal dengan santainya melahap menu-menu yang berada di hadapannya. Sementara Dara, rasanya makanan itu susah sekali lewat di tenggorokannya.
"Aku pesenin buat Bu Sum," ujar Rizal memanggil pelayan warung tenda itu.
"Enggak usah, Dok."
"Jangan nolak, ini buat Ibu kok."
Dara hanya menghela napas panjang dan kembali meneruskan makannya.
"Semester berapa?"
"Minggu depan wisuda."
"Oh ya? jurusan apa?"
"Psikologi."
"Keren."
"Rencana setelah ini?"
"Belum tau, pokus ke ibu dulu. Kalo ibu sudah sembuh, baru mikir harus gimananya."
Rizal mengangguk angguk, sekilas di tatapnya gadis yang sedang menikmati cumi asam manis itu.
"Sudah lama ibu kerja nge laundry?"
"Semenjak bapak meninggal enam tahun lalu."
"Oh, maaf ...."
"Enggak apa-apa ... Ibu banting tulang sendiri untuk biayain sekolah saya dan Bagas. Saya juga harus berbesar hati dua tahun menunggu perekonomian keluarga kami kembali stabil baru bisa kuliah. Tapi, syukurnya semua di permudah."
"Ya, syukurlah."
"Dok, saya sudah selesai. Kasian Ibu sendirian di rumah. Terimakasih makan malamnya. Dokter mau saya antar pulang?"
"Oh, nggak usah. Makasih ya sudah nemenin makan, malam ini. Semoga hasil MRI besok baik-baik saja. Dan ini buat Bu Sum." Rizal menyerahkan dua bungkus menu untuk Dara bawa pulang.
Dara tersenyum, meraih bungkusan itu lalu menyalakan motornya.
"Mm ... Dara."
"Ya."
Dara mengurungkan motornya yang akan melaju.
"Kapan-kapan, mau kan temenin saya makan malam lagi."
"Hah?"
"Hasil MRI nya menunjukkan adanya saraf terjepit di leher, ruas C-5 dan C-6. Ini termasuk salah satu yang riskan ya, Bu. Kita ada dua solusi, keputusan saya kembalikan ke Ibu," ujar dokter Zainal, dokter senior itu."Apa, Dok?""Operasi atau—""Operasi? Waduh, Dok." Wajah Bu Sum seketika panik."Tenang dulu, Bu." Dara mengusap pundak wanita tua itu."Atau kita observasi, selain dengan obat, Ibu harus tetap memakai collar neck. Penyangga leher hingga waktu yang ditentukan.""Kalau di lihat dari hasil MRI Ibu, tonjolan pada bantalan sendi hampir mengenai saraf utama," ucap Rizal."Bahaya?" Kali ini Dara menunjukkan wajah paniknya."Bahaya kalo nggak di tanggulangi dengan cepat." Rizal menahan senyumnya saat melihat wajah Dara."Jadi gimana Dok, baiknya?" "Kita observasi dulu saja ya, dengan obat dan collar neck. Satu bulan lagi kontrol, kalo masih belum ada perubahan, mau tidak mau kita ambil tindakan operasi.""Observasi. Ok, enggak apa-apa, kan Bu?""Ibu mana baiknya aja, Ra. Ibu uda
"Ayo," ajak Rizal.Dara berdiri terpaku, di tatapnya kafe yang ada di hadapannya. Setahu Dara, kafe yang mereka kunjungi ini harga makanannya cukup mahal, sedangkan uang yang ada di dompetnya hanya tersisa seratus ribu rupiah."Karena saya yang traktir, jadi sebaiknya saya yang menentukan kita makan dimana," ujar Dara."Tapi kita sudah terlanjur sampai sini. Jadi, daripada menghabiskan waktu untuk mencari kafe yang lain lebih baik kita di sini aja.""I-iya, tapi ....""Aku udah laper, denger-denger makanan di sini enak-enak. Ayo." Rizal me lebih dulu."Seratus ribuku," lirih Dara dengan wajah sedih."Makan apa?" tanya Rizal pada Dara saat pelayan menghampiri mereka."Hhmm.... air mineral aja," jawab Dara."Loh kok air mineral?""Saya nggak laper. Yang makan Dokter aja, enggak apa-apa.""Ah, enggak gitu konsepnya." Alis Rizal bertaut. "Aku pesenin, satu beef carbonara, onion ring, dimsum satu porsi, lalu ... satu beef steak, saya minta cheese sauce-nya, terus minumannya saya minta yang
"Pagi, Dokter," sapa Bu Sum memasuki ruangan dokter spesialis saraf dengan senyum sumringah berbeda dengan saat waktu Bu Sum datang pertama kali ke ruangan itu. Ditemani Bagas, Bu Sum menceritakan perkembangan yang dia rasakan selama sebulan ini semenjak menggunakan collar neck secara rutin. "Coba saya periksa dulu, ya," ucap Dokter Zainal, dokter senior di ruangan itu selain dokter berkacamata yang lain."Udah aman ya ini, syukurlah masih bisa kita observasi kemarin ya. Diingatkan lagi ibunya untuk tidak mengangkat atau mengerjakan pekerjaan yang berat.""Terimakasih, Dokter." Mata Bu Sum masih mencari-cari. "Kalo dokter Rizal, hhmm maksud saya dokter residen yang waktu itu enggak kelihatan ya, Dokter?""Oh dokter Rizal, hari ini memang mengambil cuti ijin sakit, Bu Sum.""Oh sakit." Bu Sum terdiam. "Bu, ayo." Bagas menyentuh lengan ibunya agar bergegas meninggalkan tempat itu."Mbak-mu pulang jam berapa, Gas?" tanya Bu Sum setiba mereka di rumah."Bagas kurang tahu, Bu. Kenapa?"
"Bawa ini." Bu Sum menyerahkan kantung plastik berisi bubur ayam pagi itu."Apa ini, Bu?""Bubur ayam buat sarapan dokter Rizal.""Loh kan Dara cuma mau anter baju ke Mas Teguh, Bu. Enggak ke tempat dokter Rizal.""Sekalian, Ra. Kan satu tempat juga, lagian kasian anak rantau sakit tuh nggak ada yang ngurus. Mosok kamu tega, mana sakitnya tipes kan nggak bisa makan yang keras-keras dulu "Dara menghela napasnya, dirapihkannya kembali baju-baju yang akan dia antar pagi ini."Ya sudah, Dara pergi dulu." Dara meraih kunci motornya. "Oh iya Bu, nanti Dara pulang agak sore ya. Dara mau ketemu temen di kampus, katanya ada lowongan kerjaan di tempat dia kerja."Motor Mio itu berhenti di bangunan tiga lantai yang berisi para anak rantau. Dara mengetik pintu kamar Teguh, salah satu pelanggan laundry Bu Sum yang sangat baik padanya. "Pagi Dara," sapa lelaki itu masih dengan wajah bangun tidur."Pagi Mas Teguh," balas Dara sambil tersenyum. "Mau antar baju, Mas." Dara memberikan tas laundry ber
"Kamu sibuk besok malam?"Isi pesan dari Rizal untuk Dara. Sudah hampir satu minggu ini lelaki itu tak mendapat kabar bahkan bertemu dengan Dara. Yang datang mengantarkan atau mengambil baju kotornya hanya Bagas. Bertanya pada Bagas pun, pemuda itu hanya mengatakan sang Kakak sedang sibuk."Kebetulan aku nggak ada jadwal jaga, kita bisa ketemu?" Lagi pesan itu masuk namun belum mendapat balasan dari Dara. Hanya saja tanda centangnya sudah berwarna biru itu artinya Dara membaca pesannya.Kesal menunggu, Rizal meraih jaketnya kemudian berjalan menuju parkiran motor rumah sakit. Untung saja hari ini jam jaganya hanya sampai setelah Magrib.Motor sport itu berhenti di depan pagar rumah Dara. Lampu rumah pun sudah menyala, kios kecil tempat Bu Sum menerima pakaian laundry juga sudah di tutup. Hanya saja motor Mio milik Dara tak terlihat di sana, bisa jadi motor itu sedang di pakai oleh Bagas. Rizal mendorong motornya masuk ke halaman rumah Bu Sum. Dia letakkan helm full facenya di meja y
"Mama ada di Jogja? Sejak kapan?" tanya Rizal yang bergegas ke parkiran motor Rumah Sakit, dia harus segera menuju hotel tempat kedua orangtuanya menginap.Memasuki sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jogja, Rizal melangkahkan kakinya menuju restoran hotel itu. Wanita cantik berumur 50 puluh tahunan itu sedang berbincang dengan dua orang pria yang jelas sekali Rizal kenal, ayah dan pamannya. Entah dalam rangka apa ketiga orang yang dituakan ini datang tiba-tiba ke Jogja. "Ma, Pa." Rizal berdiri di antara mereka yang duduk di meja makan besar mengulurkan tangannya, menyalami kedua orangtuanya. Matanya melirik ke arah lelaki berkacamata dengan tatapan datar."Mamak, apa kabar?" Rizal kembali sedikit membungkuk, menyalami kakak pertama dari sang Ibu."Haa ...tumben Ichal langsuang tibo manamui Mama Papa, biasonyo tunggu sahari duo hari dulu baru ka tibo kamari, itupun kalau indak tapaso ndak ka tibo do," sindir Donna, ibu Rizal.(Tumben langsung nemuin Mama sama Papa, biasanya Ma
"Ini Synthia, anak dari Datuk Basri Alam," ujar Donna. "Kamu masih ingat kan, Synthia kecil dulu sering ke rumah kita."Rizal pun tersenyum, tidak pernah terbesit di ingatannya tentang wanita di hadapannya ini pernah datang ke rumahnya. Atau memang dia yang sudah lupa."Enggak sering Tante, cuma beberapa kali sebelum Bunda bawa Synthia ke Australia."Wanita yang umurnya mungkin hanya berbeda satu tahun di bawah Rizal ini pun mengulurkan tangannya."Apa kabar?""Baik," jawab Rizal canggung."Jadi pertemuan kali ini memang sangat mendadak," ujar lelaki yang umurnya di atas lebih tua dari Rizal. Mungkin hampir memasuki 40 tahun. Lelaki itu Amar kakak laki laki tertua Synthia."Kebetulan kami juga ada perjalanan bisnis ke Jogja, dan Bunda memberi tahu kalau Tante Donna dan Om Andreas sedang berada di Jogja. Mengenai kerjasama perusahaan yang pernah kita bahas tempo hari, kami selalu wakil dari perusahaan menyetujui persyaratan dan perjanjiannya.""Mengenai kelanjutannya, kita bicarakan de
Rizal menuntun motornya masuk ke pekarangan rumah Dara. Sudah menjadi kebiasaannya selama bertamu ke rumah gadis itu, Rizal psti mematikan motornya, maklum saja suara motor sport milik Rizal memang terdengar sedikit berisik."Loh, Mas Dokter." Bagas yang baru saja masuk ke pekarangan rumah kaget melihat Rizal juga baru datang."Gas," sapa Rizal. "Dara ada?""Ada, aku panggil dulu." Bagas memarkirkan motornya."Eh, Gas ... ini buat kamu dan ibu." Rizal memberikan satu kantung plastik berwarna putih."Makasih, Mas Dokter. Aku panggil Mbak Dara dulu." Bagas masuk ke dalam rumah dengan hati senang membawa bungkusan yang dari harumnya saja sudah bisa dia tebak."Emang rejeki anak soleh," ujar Bagas menaruh kantung plastik berisi dua tempat martabak manis dan martabak telur. "Tau aja ngambil hatinya," kekeh Bagas lalu melangkah menuju kamar Dara."Mbak." Suara Bagas terdengar dari balik pintu, pintu pun dia buka. "Ada yang cari tuh."Dara gelagapan, "siapa?""Pake nanya ... sana temuin dulu
Sore menjelang, ini adalah hari kedua Rizal mengikuti seminar kedokteran yang diadakan di hotel ini. Setiap sore, Rizal akan berdiri di teras lobby hanya untuk menunggu motor Dara keluar dari area hotel, setelahnya dia akan merasa lega. Namun sore ini, sudah hampir satu jam Rizal menunggu tetapi Dara belum juga muncul.Rizal berjalan pada sisi hotel, mengitari area itu hingga sampai pada area pintu masuk kantor Dara. Sudah terlihat sepi, Dara belum juga muncul. Rizal menghampiri seorang sekuriti menanyakan apakah masih ada karyawan yang berada di dalam."Sepertinya masih ada, Pak. Mungkin lembur," jawab sekuriti tadi."Makasih, Mas." Rizal meninggalkan tempat itu. Alih-alih masuk ke dalam hotel untuk mengambil barang-barangnya, Rizal memilih duduk di bawah pohon tepat sebelum jalan ke arah basement.Dara keluar dari kantor setengah jam kemudian, dia berjalan ke arah parkir basement khusus karyawan. Rizal memperhatikan gerak-gerik Dara, hingga mimik mukanya berubah ketika sebuah mobil
"Halo Ra," ujar Sari di seberang sana."Halo Bu." Dara baru saja meletakkan tas kerjanya di atas meja pagi itu."Kamu udah di kantor?" tanya Sari."Sudah Bu, ada yang bisa saya bantu?""Mobil saya tiba-tiba mogok, kamu bisa bawakan berkas saya ke restoran hotel, ya.""Oh baik, Bu.""Ada dua berkas di atas meja saya, satu berbahasa Inggris satu lagi bahasa Indonesia. Keduanya isinya sama, nanti tolong kamu berikan pada Mr. Richard. Dia minta laporan itu pagi ini, kebetulan dia sarapan pagi di hotel. Nanti di sana sudah ada Pak Rudi yang menemaninya. Dua berkas itu berikan saja pada Pak Rudi, biar dia yang menjelaskan semuanya," ujar Sari panjang lebar."Baik, Bu. Segera saya ke restoran nanti, apa ada lagi?" "Enggak itu aja, ini saya masih nunggu taksi online. Setengah jam lagi mungkin saya sudah di kantor. Tolong kamu handle dulu ya, Ra."Dara mengangguk tanpa menjawab dan kembali meletakkan ponselnya setelah pembicaraan selesai. Gegas dia ke ruangan Sari untuk membawa berkas laporan
"Kita putus!"Dara beranjak dari kursi panjang itu. Cepat-cepat Rizal menahan tangan Dara, lalu menggandengnya pergi dari taman. Masih dengan tangan yang menggenggam erat tangan Dara, Rizal berjalan bersisian. Semua mata menatap mereka, apalagi para perawat-perawat muda yang kesehariannya sering tebar pesona pada Rizal. Beberapa berbisik, beberapa hanya memandang, mungkin saja mereka patah hati.Rizal naik ke atas motornya, dia taruh di depan tas punggung berisi laptop berikut jas putih yang biasa dia pakai saat bekerja sudah dia masukkan lebih dulu ke dalam tas itu."Naik," kata Rizal masih dengan nada lembut.Dara bergeming."Please, naik Ra. Nanti aku jelaskan semuanya saat kita tiba di kost." Rizal memohon."Aku mau pulang," ujar Dara masih memandang ke arah lain."Nanti kuantar pulang kalo kamu sudah mendengarkan penjelasanku. Ayo naik dulu," pinta Rizal.Pada akhirnya Dara mengikuti kata-kata Rizal, meski hatinya bergemuruh karena emosi namun otaknya mengatakan sebaliknya, Dara
Dara mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan di kamarnya. Pikirannya masih bergejolak mencoba menghubungkan satu demi satu cerita yang dia dengar dan dia baca. Rasanya tidak mungkin Rizal membohonginya, tapi jika ini semua ternyata benar jelas Dara merasa selama ini dipermainkan oleh Rizal.Apakah dengan Rizal berbohong, maka Rizal bisa seenaknya mempermainkan perasaannya. Atau dengan jangan-jangan Rizal akan mengira jika Dara tahu dia dari keluarga berada maka Dara akan memanfaatkan kekayaan lelaki itu."Aku bukan cewek matre!" geram Dara.Kesal rasa hati Dara, lalu dia beranjak membuka lemari pakaiannya. Kemeja oversize berwarna nude dan celana jeans dia keluarkan dari sana. Setelah mengganti pakaiannya, Dara meraih tas selempangnya dan keluar dari kamar."Mau kemana, Ra?" tanya Bu Sum dengan membawa pewangi setrika yang akan dia berikan pada Siti."Ke rumah sakit Rizal, Bu," jawab Dara sambil memakai sepatu kets."Loh, ngapain? bukannya Nak Rizal hari ini ada jadwal kerja.""Bi
"Kalo boleh tau, ada berapa dokter di sana yang namanya sama dengan kamu." Dara menatap mata itu penuh dengan rasa penasaran berusaha mencari kebenaran di dalam sana."Maksudnya gimana?" Rizal melepas pelukannya, membawa Dara duduk di sisi tempat tidur sementara dia menarik kursi kerjanya."Ya aku mau tau, Rizal yang dimaksud Mbak-mbak perawat tadi itu dokter Rizal kamu atau ada Rizal yang lain.""Memangnya kenapa dengan Rizal yang mereka bicarakan?""Meraka bilang Rizal yang ini adalah anak seorang pengusaha, old money, kaya tujuh turunan, punya rumah sakit besar di Padang dan menjadi dokter residen di rumah sakit itu bukan dengan beasiswa tapi biaya sendiri," urai Dara.Rizal menelan salivanya kasar, jakunnya turun naik, ada kegugupan di sana. Bagaimana jika memberitahu Dara jika yang dia dengar adalah benar. Apa Dara masih tetap menerimanya atau malah sebaliknya meninggalkan Rizal karena kebohongan yang dia lakukan."Mas?" Dara membuyarkan lamunan Rizal. "Jadi, Rizal yang mereka ma
Dara terbangun dari tidurnya saat ini waktu menunjukkan jam dua siang. Cumbuan Rizal membuatnya terlena dari pagi hingga tengah hari tadi. Pelampiasan kerinduan itu nyatanya hampir saja membuat mereka lupa diri.Tangan Rizal masih berada di atas perutnya. Kekasihnya itu sebenarnya masih nampak kelelahan dan juga kurang tidur. Dara meraih ponselnya, memesan makan siang mereka melalui aplikasi online. Perutnya sudah berbunyi sedari tadi.Kembali Dara memandangi wajah Rizal, bulu-bulu halus itu dibiarkan Rizal untuk tumbuh di sana menambah ketampanan lelaki Minang ini."Ganteng, ya?" Dengan mata yang sedikit terbuka dia berhasil mengagetkan Dara yang tengah asyik menikmati wajah tampannya."Ge-er banget." Dara tertawa kecil.Rizal merapatkan tubuhnya kembali pada Dara, memperhatikan gadisnya itu yang sedang memainkan jarinya di antara bulu-bulu halus wajah Rizal."Anak siapa sih kok bisa cantik kayak gini," ucap Rizal."Anak Bu Sumiati," jawab Dara tertawa. "Enggak nyangka ya, punya pacar
"Pesawatku transit dan sepertinya delay." Isi pesan Rizal untuk Dara.Sementara waktu menunjukkan pukul tiga sore, hampir dua jam Rizal menunggu di bandara Soekarno-Hatta. Bisa-bisa dia sampai Jogja malam hari, dengan begitu dia akan bertemu Dara sudah pasti keesokan harinya."Rizal?" Suara itu membuat Rizal menoleh."Maya?" "Ya ampun, tadinya aku ragu. Ternyata benar ini kamu," ujarnya dengan mata berbinar."Apa kabar?" Rizal mengulurkan tangan pada Maya, terakhir bertemu empat tahun yang lalu sebelum mereka berpisah."Baik. Aku baik, kamu?" Senyum itu masih sama, wajahnya semakin dewasa, namun matanya masih menyisakan luka. "Kemana?" tanya Rizal menelan salivanya kasar. Siapa sangka akan bertemu dengan gadis yang pernah bertahta di hatinya selama hampir lima tahun."Bali," ucapnya. "Kamu sendiri?""Jogja." Senyum Rizal nampak samar. "Duduk." Rizal menawarkan tempat duduk di ruang tunggu itu."PPDS?" tanya Maya."Begitulah, kamu sendiri ke Bali?""Oh, ada pekerjaan yang harus di s
Prosesi pernikahan Hana dan Hasan begitu sakral. Bertempat di hotel bintang lima, para tamu undangan bukan hanya dari kalangan pengusaha, tapi juga dari kalangan pejabat serta beberapa artis di negara ini.Rizal berdiri menikmati jamuan makan malam sambil mendengarkan alunan suara merdu dari salah satu artis yang di minta untuk mengisi acara. Hana begitu cantik duduk di pelaminan memakai suntiang, senyumnya terpancar. Namun entah itu sebuah senyum kepura-puraan atau nyata dia bahagia. Tidak dapat Rizal bayangkan bagaimana Hana akan mengarungi rumah tangganya nanti."Bukankah acara pernikahan dengan prosesi adat seperti ini sangat indah," ujar Anna, ibu Synthia. Wanita berbalut kebaya berwarna silver itu menghampiri Rizal.Rizal membalikkan tubuhnya, lalu dia menunduk memberi hormat pada Anna."Iya indah, Tante," jawab Rizal."Keinginan setiap orang tua itu ingin melihat anak-anaknya bukan hanya sampai dengan tercapai cita-cita mereka. Namun salah satunya seperti ini, melihat anak-anak
Rizal mematut dirinya di depan kaca, bulu-bulu halus di rahangnya dia biarkan tumbuh. Penampilannya malam ini hanya mengenakan kemeja berwarna maroon dan celana chinos berwarna krem. Di lantai bawah keluarga besarnya sedang berkumpul, riuh suara gelak tawa terdengar hingga ke kamarnya. Terakhir rumahnya ini ramai seperti sekarang adalah saat dia wisuda mendapatkan gelar dokter. Menjadi kebanggaan kedua orangtuanya adalah mimpi Rizal namun bukan berarti orangtuanya bisa mengatur hidup serta menentukan jalan hidupnya sesuka hati.Rizal meraih ponselnya, kemarin dia hanya tiga kali mengirimkan pesan pada Dara. Keramaian di rumahnya memang menyita waktu, hingga malam kemarin Rizal berjanji untuk video call saja akhirnya gagal karena dia terlanjur ketiduran."Lagi apa?" Isi chat Rizal yang terkirim untuk Dara."Di rumah sedang ramai, malam ini ada acara Malam Bainai. Aku telpon kamu mungkin agak tengah malam, ya." "Jangan tidur dulu, Ra. Aku kangen."Tiga pesan terkirim, Rizal melangkah