"Pagi Mas Teguh, mau antar laundry." sapa Dara gadis 24 tahun itu tersenyum saat pintu kamar terbuka.
"Eh Dara, kok tumben?" Teguh salah satu penghuni kost-kostan eksklusif di daerah Seturan itu semakin membuka lebar pintu kamarnya.
"Ibu sakit, Dara nganggur ... ya udah jadinya Dara yang antar."
Teguh mengangguk-angguk, "eh iya sebentar." Dia kemudian masuk sebentar tak berapa lama sudah kembali dengan membawa uang ratusan beberapa lembar. "Ini uang laundry bulan ini," ujar Teguh memberikan empat lembar uang ratusan. "Dan ini buat Dara, kata Ibu Sum ... Dara wisuda akhir bulan kan?"
"Eh ...." Dara menolak.
"Cuma segini, buat persiapan wisuda," ujar lelaki beranak satu yang jauh dari keluarga kecilnya lantaran kembali menuntut ilmu di kota melanjutkan jenjang S2 nya. "Dapat salam juga dari istriku, mudah-mudahan bulan depan bisa ketemu kamu katanya."
"Wah, Mas ... Dara jadi nggak enak."
"Terima, kalo belum dibutuhkan ya di tabung."
"Makasih ya Mas," ucap Dara dengan mata berkaca-kaca.
"Sama-sama, salam buat ibu ya. Semoga cepat sembuh."
"Iya, Mas."
"Mau antar kemana lagi?"
"Ini ada dua pack lagi kata ibu buat kamar 22, di atas ya Mas?"
"Oh anak baru itu, baru pindah ... dokter kalo nggak salah."
"Oh oke kalo gitu, Dara antar dulu ya."
"Kuat?" tanya Teguh melihat tubuh semampai itu membawa dua bungkusan berisi baju. Dara hanya menoleh sambil mengacungkan ibu jarinya.
Dara berdiri di depan pintu yang sedikit terbuka, mendengar percakapan seorang lelaki dengan bahasa daerah tertentu sepertinya berbicara melalui panggilan telepon. Dia mengurungkan ketukan di pintu saat mendengar nada tinggi lelaki itu seakan marah.
"Ma, Ichal alah kecekkan ka Mama ... batalkan sajo! Indak ado tunangan tuka cincin apolai pernikahan. Ichal nio fokus samo kuliah Ichal. Tingga duo tahun lai, Ma, tolonglah mangarati." (Sudah Ichal bilang kan Ma, batalkan! Enggak ada pertunangan apalagi pernikahan. Ichal masih harus pokus dengan pendidikan Ichal. Tinggal dua tahun lagi Ma, tolonglah mengerti.)
"Enggak Ma, enggak ... cukup Ichal bilang! Atau mama sama papa mau Ichal lari lagi!".
Seketika ruangan itu senyap tak ada lagi suara, Dara masih terpaku di sana tanpa sadar sosok lelaki bertubuh tinggi itu berdiri di depannya.
"Cari siapa?" tanyanya garang.
Dara mengangkat wajahnya, tubuh itu hanya berselisih kira-kira hampir 20 sentimeter dari tinggi tubuhnya.
"Oh ... eh, ini— mau antar laundry," ucap Dara gugup.
"Kamu siapa?" Pertanyaan itu seperti mengintimidasi.
"Sa—saya Dara, anak Bu Sum."
"Oh ibu laundry kemarin? Kenapa bukan dia?"
"Ibu sakit, jadi saya yang antar. Kalo begitu saya permisi," ujar Dara cepat-cepat melangkah.
"Uangnya?" panggil lelaki bernama Rizal itu.
"Mau dibayar sekarang?" Dara menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Lah? mau di bayar enggak?"
"Ya terserah, kata ibu bisa harian, mingguan atau bulanan."
"Oh ... mingguan aja kalo gitu," jawabnya.
Dara mengulum senyumnya, lalu kembali melangkah menuruni anak tangga. Tiba di parkiran motor kost eksklusif itu, Dara menyalakan motor Mio tuanya dan melaju perlahan. Tanpa sadar pun, Rizal melihat ke arah gadis itu hingga kendaraan Dara tak lagi nampak.
*****
"Surat rujukannya sudah bisa di pakai besok," ujar Bagas menyodorkan surat rujukan BPJS pada Dara. "Tapi Bagas nggak bisa antar ya Mbak, Bagas ada latihan untuk acara lusa di sekolah."
"Sebentar, besok Sabtu kan nggak sekolah."
"Latihan Mbak, acaranya Senin. Mbak bisa kan?"
"Bisa sih tapi mungkin jam 10-an, karena pagi-pagi sekali Mbak mau liat-liat kebaya di tempat persewaan."
"Ibu pergi sendiri juga enggak apa-apa kok kalo kalian sibuk." Wanita paruh baya itu keluar dari kamarnya dengan tempelan beberapa koyok di area kepalanya serta leher.
"Bisa, Bu ... Lagian itu dokternya kata perawat tadi praktek jam 11 di Rumah Sakit." Bagas membantu Bu Sum duduk di kursi makan. "Hati-hati, Bu."
"Iya bisa kok, Bu. Oh iya laundry sudah Dara antar semua, sisa yang belum di setrika dan cuci nanti biar Dara yang kerjakan."
"Semoga Ibu cepet sehat ya, biar kerjaan Ibu nggak numpuk," ucap Bu Sum melihat dua kantung plastik besar berisi baju yang belum di cuci dan dua tas laundry yang tinggal di setrika.
"Enggak usah Ibu pikirkan, semua beres kalo Dara dan Bagas yang kerjakan, iya kan Gas?"
"Siap." Bagas memberi sikap hormat.
*****
"Antrian 12, Bu," kata Dara sambil menuntun Bu Sum duduk di kursi panjang rumah sakit salah satu universitas negeri di kota itu. "Minum dulu." Dara menyodorkan sebotol air mineral kepada Bu Sum.
"Ini yang periksa dokter spesialisnya kan, Ra?" Mata Bu Sum membaca papan nama dokter spesialis saraf di pintu berwarna putih itu.
"Ya iya dong, Bu. Kan kita mau ketemu dokternya masa perawatnya." Dara tertawa kecil.
"Kata tetangga, di sini banyak dokter yang masih belajar, takutnya Ibu jadi kelinci percobaan."
"Kelinci percobaan gimana? Ibu ada-ada aja. Udah tenang, yang penting sekarang kita pokus untuk pengobatan Ibu. Biar kita tahu kenapa leher, pundak dan belikat Ibu suka sakit."
Nomer antrian Bu Sum pun akhirnya mendapat urutannya. Pintu ruangan dokter pun terbuka, di dalam ruangan itu nampak tiga orang yang memakai jas berwarna putih. Ketiganya adalah laki-laki, satu dari mereka sudah cukup tua dan senior dan satu lagi tersenyum pada mereka, serta satunya lagi sedang membereskan hasil poto rontgen dari pasien sebelumnya.
"Selamat siang, Dok," sapa Dara sambil mengangguk dan menarik kursi untuk Bu Sum duduk.
"Selamat siang," ucap dokter yang lebih senior. "Silahkan duduk, ada keluhan apa, Mbak?"
"Ibu saya, Dok. Katanya pundak, leher dan belikatnya sakit. Sudah minum obat dari Puskesmas tapi hampir dua bulan ini masih sakit." Dara menjelaskan.
"Kita periksa dulu ya, Bu. Dokter Rizal bisa bantu saya," pinta sang Dokter senior pada salah satu dokter yang di awal masuk masih sibuk membereskan hasil rontgen pasien sebelumnya.
"Bu Sum?" Dokter bernama Rizal itu terkejut ketika dia melihat Bu Sum berada satu ruangan dengannya. Sama halnya dengan Dara yang terkejut berjumpa kembali dengan lelaki bertubuh tinggi saat mengantarkan laundry-nya kemarin siang."Benar Bu Sum, kan?" Rizal memastikan lagi karena dia baru dua kali bertemu dengan wanita paruh baya itu."Mas Rizal? Oh Mas Rizal dokter?" Bu Sum pun terkejut. "Sudah saling kenal rupanya," ujar dokter senior. "Iya, Dok. Ini Bu Sum tempat saya langganan laundry. Silahkan duduk di sini Bu biar saya periksa," kata Rizal mempersilahkan Bu Sum berbaring di tempat tidur pasien.Beberapa kali dokter Rizal menyentuh bagian leher, pundak dan tulang belikat Bu Sum. Semakin di tekan pun membuat Bu Sum semakin meringis."Sering angkat beban berat kah, Bu? Atau sering melakukan kegiatan yang tiba-tiba?" tanya Rizal."Namanya bakul cuci, Mas eh Dok. Saya pasti sering angkat beban berat," jawab Bu Sum."Bisa diberikan diagnosanya, Dok?" tanya dokter senior pada Rizal.
"Hasil MRI nya menunjukkan adanya saraf terjepit di leher, ruas C-5 dan C-6. Ini termasuk salah satu yang riskan ya, Bu. Kita ada dua solusi, keputusan saya kembalikan ke Ibu," ujar dokter Zainal, dokter senior itu."Apa, Dok?""Operasi atau—""Operasi? Waduh, Dok." Wajah Bu Sum seketika panik."Tenang dulu, Bu." Dara mengusap pundak wanita tua itu."Atau kita observasi, selain dengan obat, Ibu harus tetap memakai collar neck. Penyangga leher hingga waktu yang ditentukan.""Kalau di lihat dari hasil MRI Ibu, tonjolan pada bantalan sendi hampir mengenai saraf utama," ucap Rizal."Bahaya?" Kali ini Dara menunjukkan wajah paniknya."Bahaya kalo nggak di tanggulangi dengan cepat." Rizal menahan senyumnya saat melihat wajah Dara."Jadi gimana Dok, baiknya?" "Kita observasi dulu saja ya, dengan obat dan collar neck. Satu bulan lagi kontrol, kalo masih belum ada perubahan, mau tidak mau kita ambil tindakan operasi.""Observasi. Ok, enggak apa-apa, kan Bu?""Ibu mana baiknya aja, Ra. Ibu uda
"Ayo," ajak Rizal.Dara berdiri terpaku, di tatapnya kafe yang ada di hadapannya. Setahu Dara, kafe yang mereka kunjungi ini harga makanannya cukup mahal, sedangkan uang yang ada di dompetnya hanya tersisa seratus ribu rupiah."Karena saya yang traktir, jadi sebaiknya saya yang menentukan kita makan dimana," ujar Dara."Tapi kita sudah terlanjur sampai sini. Jadi, daripada menghabiskan waktu untuk mencari kafe yang lain lebih baik kita di sini aja.""I-iya, tapi ....""Aku udah laper, denger-denger makanan di sini enak-enak. Ayo." Rizal me lebih dulu."Seratus ribuku," lirih Dara dengan wajah sedih."Makan apa?" tanya Rizal pada Dara saat pelayan menghampiri mereka."Hhmm.... air mineral aja," jawab Dara."Loh kok air mineral?""Saya nggak laper. Yang makan Dokter aja, enggak apa-apa.""Ah, enggak gitu konsepnya." Alis Rizal bertaut. "Aku pesenin, satu beef carbonara, onion ring, dimsum satu porsi, lalu ... satu beef steak, saya minta cheese sauce-nya, terus minumannya saya minta yang
"Pagi, Dokter," sapa Bu Sum memasuki ruangan dokter spesialis saraf dengan senyum sumringah berbeda dengan saat waktu Bu Sum datang pertama kali ke ruangan itu. Ditemani Bagas, Bu Sum menceritakan perkembangan yang dia rasakan selama sebulan ini semenjak menggunakan collar neck secara rutin. "Coba saya periksa dulu, ya," ucap Dokter Zainal, dokter senior di ruangan itu selain dokter berkacamata yang lain."Udah aman ya ini, syukurlah masih bisa kita observasi kemarin ya. Diingatkan lagi ibunya untuk tidak mengangkat atau mengerjakan pekerjaan yang berat.""Terimakasih, Dokter." Mata Bu Sum masih mencari-cari. "Kalo dokter Rizal, hhmm maksud saya dokter residen yang waktu itu enggak kelihatan ya, Dokter?""Oh dokter Rizal, hari ini memang mengambil cuti ijin sakit, Bu Sum.""Oh sakit." Bu Sum terdiam. "Bu, ayo." Bagas menyentuh lengan ibunya agar bergegas meninggalkan tempat itu."Mbak-mu pulang jam berapa, Gas?" tanya Bu Sum setiba mereka di rumah."Bagas kurang tahu, Bu. Kenapa?"
"Bawa ini." Bu Sum menyerahkan kantung plastik berisi bubur ayam pagi itu."Apa ini, Bu?""Bubur ayam buat sarapan dokter Rizal.""Loh kan Dara cuma mau anter baju ke Mas Teguh, Bu. Enggak ke tempat dokter Rizal.""Sekalian, Ra. Kan satu tempat juga, lagian kasian anak rantau sakit tuh nggak ada yang ngurus. Mosok kamu tega, mana sakitnya tipes kan nggak bisa makan yang keras-keras dulu "Dara menghela napasnya, dirapihkannya kembali baju-baju yang akan dia antar pagi ini."Ya sudah, Dara pergi dulu." Dara meraih kunci motornya. "Oh iya Bu, nanti Dara pulang agak sore ya. Dara mau ketemu temen di kampus, katanya ada lowongan kerjaan di tempat dia kerja."Motor Mio itu berhenti di bangunan tiga lantai yang berisi para anak rantau. Dara mengetik pintu kamar Teguh, salah satu pelanggan laundry Bu Sum yang sangat baik padanya. "Pagi Dara," sapa lelaki itu masih dengan wajah bangun tidur."Pagi Mas Teguh," balas Dara sambil tersenyum. "Mau antar baju, Mas." Dara memberikan tas laundry ber
"Kamu sibuk besok malam?"Isi pesan dari Rizal untuk Dara. Sudah hampir satu minggu ini lelaki itu tak mendapat kabar bahkan bertemu dengan Dara. Yang datang mengantarkan atau mengambil baju kotornya hanya Bagas. Bertanya pada Bagas pun, pemuda itu hanya mengatakan sang Kakak sedang sibuk."Kebetulan aku nggak ada jadwal jaga, kita bisa ketemu?" Lagi pesan itu masuk namun belum mendapat balasan dari Dara. Hanya saja tanda centangnya sudah berwarna biru itu artinya Dara membaca pesannya.Kesal menunggu, Rizal meraih jaketnya kemudian berjalan menuju parkiran motor rumah sakit. Untung saja hari ini jam jaganya hanya sampai setelah Magrib.Motor sport itu berhenti di depan pagar rumah Dara. Lampu rumah pun sudah menyala, kios kecil tempat Bu Sum menerima pakaian laundry juga sudah di tutup. Hanya saja motor Mio milik Dara tak terlihat di sana, bisa jadi motor itu sedang di pakai oleh Bagas. Rizal mendorong motornya masuk ke halaman rumah Bu Sum. Dia letakkan helm full facenya di meja y
"Mama ada di Jogja? Sejak kapan?" tanya Rizal yang bergegas ke parkiran motor Rumah Sakit, dia harus segera menuju hotel tempat kedua orangtuanya menginap.Memasuki sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jogja, Rizal melangkahkan kakinya menuju restoran hotel itu. Wanita cantik berumur 50 puluh tahunan itu sedang berbincang dengan dua orang pria yang jelas sekali Rizal kenal, ayah dan pamannya. Entah dalam rangka apa ketiga orang yang dituakan ini datang tiba-tiba ke Jogja. "Ma, Pa." Rizal berdiri di antara mereka yang duduk di meja makan besar mengulurkan tangannya, menyalami kedua orangtuanya. Matanya melirik ke arah lelaki berkacamata dengan tatapan datar."Mamak, apa kabar?" Rizal kembali sedikit membungkuk, menyalami kakak pertama dari sang Ibu."Haa ...tumben Ichal langsuang tibo manamui Mama Papa, biasonyo tunggu sahari duo hari dulu baru ka tibo kamari, itupun kalau indak tapaso ndak ka tibo do," sindir Donna, ibu Rizal.(Tumben langsung nemuin Mama sama Papa, biasanya Ma
"Ini Synthia, anak dari Datuk Basri Alam," ujar Donna. "Kamu masih ingat kan, Synthia kecil dulu sering ke rumah kita."Rizal pun tersenyum, tidak pernah terbesit di ingatannya tentang wanita di hadapannya ini pernah datang ke rumahnya. Atau memang dia yang sudah lupa."Enggak sering Tante, cuma beberapa kali sebelum Bunda bawa Synthia ke Australia."Wanita yang umurnya mungkin hanya berbeda satu tahun di bawah Rizal ini pun mengulurkan tangannya."Apa kabar?""Baik," jawab Rizal canggung."Jadi pertemuan kali ini memang sangat mendadak," ujar lelaki yang umurnya di atas lebih tua dari Rizal. Mungkin hampir memasuki 40 tahun. Lelaki itu Amar kakak laki laki tertua Synthia."Kebetulan kami juga ada perjalanan bisnis ke Jogja, dan Bunda memberi tahu kalau Tante Donna dan Om Andreas sedang berada di Jogja. Mengenai kerjasama perusahaan yang pernah kita bahas tempo hari, kami selalu wakil dari perusahaan menyetujui persyaratan dan perjanjiannya.""Mengenai kelanjutannya, kita bicarakan de