"Aku nggak bisa ikut ke rumah bapak kamu, Pa. Nanti anak-anak mau ada les berenang. Kapan-kapan saja kalau mereka senggang, ya," ucap Siska dengan memoles wajah cantiknya." Tapi, Ma ….""Pendidikan anak-anak juga penting lho, Pa. Lagian ibu itu 'kan kangennya sama Papa bukan sama anak-anak. Aku mau yang terbaik buat anak-anak, hidupnya harus jauh lebih baik dari aku." Siska meninggikan intonasi bicaranya. Membuat Rudi bungkam tanpa berani membantahnya. Ah, Rudi terlalu lemah di hadapan sang istri yang cantik jelita itu.Dia akan selalu bertekuk lutut apapun yang diucapkan Siska. Sepatah kata keluar maka sang istri akan sangat murka."Ya sudahlah, hati-hati di jalan!" ☀️☀️"Ya Allah, Rudi …" Ibu Rukmini menangis sesenggukan melihat putra semata wayangnya datang dengan membawa bahan pokok.Bukan bawaannya yang di tangisi, tapi kedatangan anak lelakinya yang membuatnya terharu. Rindu yang menggumpal di kalbu seketika mencair melihat sosok yang selama ini ditunggu-tunggu kehadirannya.
"Mas, Ibu sama Sisil mau ke sini, nginep. Katanya sih mau cari kerja di sini, di kantor kamu ada lowongan tidak?" tanya Siska saat makan malam. "Belum ada." Rudi menjawab pertanyaan istrinya dengan singkat. Dalam hati dia bingung harus mencari alasan apa buat segala pertanyaan Siska. Kepalanya terasa berputar dan dia sesekali memejamkan mata tajamnya tersebut untuk mengatur strategi.Sisil adik perempuan Siska saat ini memang tengah mencari pekerjaan, habis lulus kuliah. Biaya sekolah Sisil yang membantu adalah Rudi, sayangnya Rudi tidak ingat kalau dia juga punya adik perempuan yang juga butuh bantuan darinya.Seolah lepas tangan, keluarga Rudi sama sekali tidak di bantu pemasukannya. Memang Pak Rosadi tidak pernah meminta anaknya ikut membiayai hidup mereka, namun, apa salahnya jika Rudi sebagai anak tertua yang telah sukses menyisihkan sedikit rezekinya kepada ayah serta ibunya yang masih sehat.Siska memegang kendali atas rumah tangga yang di imami oleh Rudi. Pengelolaan keuangan
"Sisil … ibu … seneng banget kalian kesini, yuk masuk!" Siska terlihat bahagia kedatangan orang tua dan adiknya.Bu Sari membawa oleh-oleh dari kampungnya dengan berjalan sedikit kepayahan. "Mana menantu Ibu yang ganteng, kerja?" tanya Bu Sari dengan mata berbinar."Kerja dong, Bu. Kalau nggak kerja nanti aku makan apa." Sisil merasa kecapekan, wajahnya penuh peluh sehingga membuat ada kemerah-merahan di pipinya. "Sil, ambilin ibu minum! Mau dingin apa panas, Bu?" tanya Siska dengan masih memeluk ibunya."Dingin saja, mana cucu ibu? Mereka sekolah?""Les, Bu. Nih, diminum dulu!" Mereka bertiga saling melempar canda, Siska sangat bahagia bisa bertemu dengan keluarganya. Hingga tanpa terasa, anak-anaknya yang sedang mengikuti les tidak di jemputnya."Permisi, Mbak Siska, ini Toni sama Indri tadi saya bawa karena mungkin Mbak lula menjemputnya," Mbak Dini tetangga Siska datang dengan kedua anak Siska."Terima kasih banyak ya, Jeng.""Sama-sama, permisi."☀️☀️Rudi tercengang melihat
"Lho, kamu masak, Sil?" tanya Rudi dengan wajah keheranan.Sisil mengangguk dan tersenyum manis, aduk iparnya itu memang rajin. Jika sedang main ke rumah mereka selalu saja membersihkan rumah, masak dan mencuci baju. Sedang Siska menikmati hari-harinya dengan menata tubuhnya yang semakin sintal. Wajah cantiknya membuat sang suami selalu mengambil alih semua pekerjaan rumah jika dia enggan bergerak.Makanan sudah tertata rapi di meja makan, membuat perut yang kosong semakin bertambah riuh meminta untuk diisi. Senyum Rudi mengembang saat sang istri datang dengan rambut yang dililit dengan handuk. "Sarapan, Ma!" ajak Rudi."Iya, sini aku ambilin. Oh, ya, Pa aku …" Suara Siska terhenti karena aca bel rumah sedang berbunyi. "Siapa yang pagi-pagi begini bertamu?" guman Siska dengan melangkah menuju pintu.Mata Siska terbelalak melihat iparnya datang dengan pakaian yang sangat rapi dan seperti sedang hendak pergi melamar kerja. Dipandanginya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Siska m
"Tidak apa, kamu bisa mencari pekerjaan lain kok, Rin. Rezeki, jodoh dan maut sudah ditentukan sama yang diatas," hibur Bu Rukmini ketika Rini menceritakan semua yang terjadi saat di rumah Kakaknya.Rini memang sedikit luruh hatinya, cita-citanya ingin bekerja di kantor telah kandas. Bagaimana mungkin lagi dia bisa mencari pekerjaan dengan hanya seorang tamatan SMA? Bu Rukmini yang melihat kesedihan di raut wajah putrinya itu turut sedih, namun, ditutupi nya dengan berbagai nasehat supaya terlihat tegar. "Bagaimana kalau kita jualan bakso saja? Kita bisa memulainya dari rumah, karena untuk memyewa kios itu perlu modal banyak. Sedang, uang bapak belum cukup, setuju?" Ide Bapak membuat Rini sedikit terhenyak.Di saat dirinya sedang dalam hati yang tidak karuan, orang tuanya justru menyemangati dengan sepenuh hati. Meski raga mereka tidaklah sekuat dulu, namun, semangatnya membuat Rini menitikkan buliran bening."Ibu 'kan dulu jualan bakso, tetapi karena belum rejekinya makanya berhent
"Ayo, Sil, kamu siap-siap untuk melamar kerja dulu! Biar nanti, Mbak yang lanjutkan pekerjaannya saja!" perintah Siska terhadap adiknya.Sisil menurut, dengan senang hati dia pergi mandi dan berpakaian rapi demi mendapatkan pekerjaan di kantor. Senyum bahagia menghiasi bibir Sisil sejak kakaknya meminta Rudi untuk mengajaknya pergi melamar pekerjaan di kantor tempat Kakak iparnya bekerja itu.Rudi menunggu di ruang tamu dengan memainkan gadget yang selalu setia digenggamnya. Tidak ada rasa bersalah terhadap Rini, meski tanpa sengaja pertikaiannya tadi pagi menyisakan luka di hati sang adik. Rudi hanya merasakan sedikit lega karena pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan olehnya kini dilakukan oleh Sisil. Biasanya setiap pagi seusai sholat subuh, Rudi akan mengerjakan segala pekerjaan rumah.Lalu setiap pulang dari kerja, dia dihidangkan dengan seember besar pakaian kotor yang masih terendam dengan setia karena menunggunya untuk di cuci. Piring kotor bertumpuk bak gunung memenuhi was
"Pa, besok akan ada arisan di rumah. Sofa itu aku mau buang, ganti yang baru."Rendi yang baru menikmati makan malamnya seketika terhenyak dari duduknya. Dahinya berkerut mendengar permintaan dari istrinya itu."Itu, 'kan masih bagus, Ma," ujar Rudi dengan melanjutkan lagi makan malamnya.Siska memasang wajah masam, ingin saja rasanya ia berteriak di depan wajah suaminya itu jika tidak ada anak-anak mereka saat itu juga. Di hentakkan kaki ke lantai dengan keras lalu melangkah menuju Rudi yang sedang menikmati rezeki yang diterimanya."Pa, malulah kalau sofa yang sudah kusam begitu masih terpampang di ruang tamu. Teman-teman, Mama itu orang-orang kaya semua. Mama saja dibuat heran kalau sedang main ke rumah mereka, mau ditaruh dimana muka Mama nanti kalau sofa buluk itu masih disana?" ujar Siska dengan gigi bergemeletuk."Ma …." "Sudahlah, Mama sudah pesan kok. Sebentar lagi juga datang." "Kok tidak bilang-bilang dulu, Ma …." "Kalau bilang pasti, Papa tidak akan setuju dan mengeluar
"Maaf, Rin. Bukannya, Mas telah berbuat jahat sama kamu, namun, Mas benar-benar sedang membutuhkan bantuanmu sekarang!" Rendi menggenggam tangan Rini dengan pandangan yang sendu.Reni memalingkan mukanya ke samping, bukan karena dia membenci Rudi. Akan tetapi, Rini berusaha menyembunyikan air mata yang suatu saat bisa menetes kapan saja sesuai dengan kemauannya.Warisan tanah yang tidak seberapa yang terletak di samping rumah Pak Rosadi, bapaknya Rudi. Yang menurut Siska adalah bagian untuk Rudi, akan dijual meski belum bersertifikat.Maka, Rini pun harus ikut andil dalam hal itu. Rini, masih saja bergeming. Niat hati ingin menjaga pemberian sang bapak untuk tempat tinggal Rudi kelak jika ingin pulang dan tinggal di kampung sudah lenyap. Rini, dilema. Antara setuju dengan permintaan Rudi atau bersikukuh untuk menjaganya hingga suatu saat nanti. Entahlah. "Sebenarnya ibu tidak rela jika tanah itu dijual, Rud. Itu satu-satunya pemberian bapakmu untuk kelak jika kalian ingin hidup menu