"Mas, Ibu sama Sisil mau ke sini, nginep. Katanya sih mau cari kerja di sini, di kantor kamu ada lowongan tidak?" tanya Siska saat makan malam.
"Belum ada." Rudi menjawab pertanyaan istrinya dengan singkat. Dalam hati dia bingung harus mencari alasan apa buat segala pertanyaan Siska. Kepalanya terasa berputar dan dia sesekali memejamkan mata tajamnya tersebut untuk mengatur strategi. Sisil adik perempuan Siska saat ini memang tengah mencari pekerjaan, habis lulus kuliah. Biaya sekolah Sisil yang membantu adalah Rudi, sayangnya Rudi tidak ingat kalau dia juga punya adik perempuan yang juga butuh bantuan darinya. Seolah lepas tangan, keluarga Rudi sama sekali tidak di bantu pemasukannya. Memang Pak Rosadi tidak pernah meminta anaknya ikut membiayai hidup mereka, namun, apa salahnya jika Rudi sebagai anak tertua yang telah sukses menyisihkan sedikit rezekinya kepada ayah serta ibunya yang masih sehat. Siska memegang kendali atas rumah tangga yang di imami oleh Rudi. Pengelolaan keuangan Rudi tidak tahu menahu. Yang dia tahu adalah bekerja dan bekerja saja. Karena dia lebih memilih diam daripada harus bersitegang dengan istrinya tercinta. Siska cemberut melihat wajah sang suami datar-datar saja menanggapi perbincangan mereka. Hatinya terluka menerima balasan pertanyaan yang dikemukakan. Dia merasa jengkel dan memasang wajah masam. Setelah mengantar kedua anaknya menuju peraduan, Siska mengambil nafas sejenak untuk menghadapi sang suami yang tiba-tiba berubah menjadi pemurung. "Kamu kenapa? Nggak suka kalau ibu dan adikku mau kesini?" ucapnya ketus. "Suka, kenapa sih kamu jadi uring-uringan begini. Sudah, ah, aku mau istirahat dulu." Rudi berjalan ke dapur untuk cuci tangan dan mulut, setelahnya masuk ke dalam kamar. Suasana hatinya sedang tidak enak. Kemarin Bu Rukmini berpesan, kalau ada waktu bolehlah semalam saja menginap di rumahnya. Ingin rasanya dia mengajak anak serta istrinya, tapi, Rudi tahu jawaban apa yang akan diterimanya itu. Sudah pasti Siska akan menolak. Istrinya itu akan merasa jijik jika harus menginjakkan kaki di rumah orang tua Rudi, di sini dia benar-benar bimbang dan bingung. "Kamu kenapa sih, cemberut begitu? Ada masalah saat kamu main di rumah Bapakmu?" "Ibu meminta kita menginap dalam satu malam saja, kamu mau 'kan?" Rudi tidak bisa menyimpan semuanya sendiri. Diberanikan dirinya mengutarakan apa yang sejak dari rumah orang tuanya itu terhadap istrinya. "Mas …." "Nggak bisa? Kenapa?" sela Rudi dengan menatap tajam ke manik Siska. Siska menghembuskan nafasnya kasar lalu memutar bola matanya malas, seakan enggan menjawab pertanyaan sang suami. Namun, Rudi masih setia menunggu jawaban apa yang akan dia berikan. Sekian menit ruangan itu hening tanpa suara, hanya nafas yang terdengar berat yang mendominasi suasana. Siska berusaha mencari alasan yang tepat agar suaminya tidak dapat lagi membujuknya. Otaknya berputar-putar mencari jawaban, sedang netra Rudi masih saja menatap tajam ke arahnya yang seolah ingin menguliti tanpa rasa belas kasihan. "Besok 'kan Ibu sama Sisil mau kesini," akhirnya jawaban keluar dengan senyum manis menghiasi bibir seksi Siska. Dia bergelayut manja di lengan Rudi, tangannya traveling ke bagian dada yang kekar itu. Hati Rudi seketika berdesir tak karuan, hingga yang namanya nafsu merajai batinnya. Netranya menatap dengan nafsu, hasrat yang datang secara mendadak melampiaskannya tanpa ampun. Hingga Rudi lupa akan tujuan utamanya. ☀️☀️"Sisil … ibu … seneng banget kalian kesini, yuk masuk!" Siska terlihat bahagia kedatangan orang tua dan adiknya.Bu Sari membawa oleh-oleh dari kampungnya dengan berjalan sedikit kepayahan. "Mana menantu Ibu yang ganteng, kerja?" tanya Bu Sari dengan mata berbinar."Kerja dong, Bu. Kalau nggak kerja nanti aku makan apa." Sisil merasa kecapekan, wajahnya penuh peluh sehingga membuat ada kemerah-merahan di pipinya. "Sil, ambilin ibu minum! Mau dingin apa panas, Bu?" tanya Siska dengan masih memeluk ibunya."Dingin saja, mana cucu ibu? Mereka sekolah?""Les, Bu. Nih, diminum dulu!" Mereka bertiga saling melempar canda, Siska sangat bahagia bisa bertemu dengan keluarganya. Hingga tanpa terasa, anak-anaknya yang sedang mengikuti les tidak di jemputnya."Permisi, Mbak Siska, ini Toni sama Indri tadi saya bawa karena mungkin Mbak lula menjemputnya," Mbak Dini tetangga Siska datang dengan kedua anak Siska."Terima kasih banyak ya, Jeng.""Sama-sama, permisi."☀️☀️Rudi tercengang melihat
"Lho, kamu masak, Sil?" tanya Rudi dengan wajah keheranan.Sisil mengangguk dan tersenyum manis, aduk iparnya itu memang rajin. Jika sedang main ke rumah mereka selalu saja membersihkan rumah, masak dan mencuci baju. Sedang Siska menikmati hari-harinya dengan menata tubuhnya yang semakin sintal. Wajah cantiknya membuat sang suami selalu mengambil alih semua pekerjaan rumah jika dia enggan bergerak.Makanan sudah tertata rapi di meja makan, membuat perut yang kosong semakin bertambah riuh meminta untuk diisi. Senyum Rudi mengembang saat sang istri datang dengan rambut yang dililit dengan handuk. "Sarapan, Ma!" ajak Rudi."Iya, sini aku ambilin. Oh, ya, Pa aku …" Suara Siska terhenti karena aca bel rumah sedang berbunyi. "Siapa yang pagi-pagi begini bertamu?" guman Siska dengan melangkah menuju pintu.Mata Siska terbelalak melihat iparnya datang dengan pakaian yang sangat rapi dan seperti sedang hendak pergi melamar kerja. Dipandanginya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Siska m
"Tidak apa, kamu bisa mencari pekerjaan lain kok, Rin. Rezeki, jodoh dan maut sudah ditentukan sama yang diatas," hibur Bu Rukmini ketika Rini menceritakan semua yang terjadi saat di rumah Kakaknya.Rini memang sedikit luruh hatinya, cita-citanya ingin bekerja di kantor telah kandas. Bagaimana mungkin lagi dia bisa mencari pekerjaan dengan hanya seorang tamatan SMA? Bu Rukmini yang melihat kesedihan di raut wajah putrinya itu turut sedih, namun, ditutupi nya dengan berbagai nasehat supaya terlihat tegar. "Bagaimana kalau kita jualan bakso saja? Kita bisa memulainya dari rumah, karena untuk memyewa kios itu perlu modal banyak. Sedang, uang bapak belum cukup, setuju?" Ide Bapak membuat Rini sedikit terhenyak.Di saat dirinya sedang dalam hati yang tidak karuan, orang tuanya justru menyemangati dengan sepenuh hati. Meski raga mereka tidaklah sekuat dulu, namun, semangatnya membuat Rini menitikkan buliran bening."Ibu 'kan dulu jualan bakso, tetapi karena belum rejekinya makanya berhent
"Ayo, Sil, kamu siap-siap untuk melamar kerja dulu! Biar nanti, Mbak yang lanjutkan pekerjaannya saja!" perintah Siska terhadap adiknya.Sisil menurut, dengan senang hati dia pergi mandi dan berpakaian rapi demi mendapatkan pekerjaan di kantor. Senyum bahagia menghiasi bibir Sisil sejak kakaknya meminta Rudi untuk mengajaknya pergi melamar pekerjaan di kantor tempat Kakak iparnya bekerja itu.Rudi menunggu di ruang tamu dengan memainkan gadget yang selalu setia digenggamnya. Tidak ada rasa bersalah terhadap Rini, meski tanpa sengaja pertikaiannya tadi pagi menyisakan luka di hati sang adik. Rudi hanya merasakan sedikit lega karena pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan olehnya kini dilakukan oleh Sisil. Biasanya setiap pagi seusai sholat subuh, Rudi akan mengerjakan segala pekerjaan rumah.Lalu setiap pulang dari kerja, dia dihidangkan dengan seember besar pakaian kotor yang masih terendam dengan setia karena menunggunya untuk di cuci. Piring kotor bertumpuk bak gunung memenuhi was
"Pa, besok akan ada arisan di rumah. Sofa itu aku mau buang, ganti yang baru."Rendi yang baru menikmati makan malamnya seketika terhenyak dari duduknya. Dahinya berkerut mendengar permintaan dari istrinya itu."Itu, 'kan masih bagus, Ma," ujar Rudi dengan melanjutkan lagi makan malamnya.Siska memasang wajah masam, ingin saja rasanya ia berteriak di depan wajah suaminya itu jika tidak ada anak-anak mereka saat itu juga. Di hentakkan kaki ke lantai dengan keras lalu melangkah menuju Rudi yang sedang menikmati rezeki yang diterimanya."Pa, malulah kalau sofa yang sudah kusam begitu masih terpampang di ruang tamu. Teman-teman, Mama itu orang-orang kaya semua. Mama saja dibuat heran kalau sedang main ke rumah mereka, mau ditaruh dimana muka Mama nanti kalau sofa buluk itu masih disana?" ujar Siska dengan gigi bergemeletuk."Ma …." "Sudahlah, Mama sudah pesan kok. Sebentar lagi juga datang." "Kok tidak bilang-bilang dulu, Ma …." "Kalau bilang pasti, Papa tidak akan setuju dan mengeluar
"Maaf, Rin. Bukannya, Mas telah berbuat jahat sama kamu, namun, Mas benar-benar sedang membutuhkan bantuanmu sekarang!" Rendi menggenggam tangan Rini dengan pandangan yang sendu.Reni memalingkan mukanya ke samping, bukan karena dia membenci Rudi. Akan tetapi, Rini berusaha menyembunyikan air mata yang suatu saat bisa menetes kapan saja sesuai dengan kemauannya.Warisan tanah yang tidak seberapa yang terletak di samping rumah Pak Rosadi, bapaknya Rudi. Yang menurut Siska adalah bagian untuk Rudi, akan dijual meski belum bersertifikat.Maka, Rini pun harus ikut andil dalam hal itu. Rini, masih saja bergeming. Niat hati ingin menjaga pemberian sang bapak untuk tempat tinggal Rudi kelak jika ingin pulang dan tinggal di kampung sudah lenyap. Rini, dilema. Antara setuju dengan permintaan Rudi atau bersikukuh untuk menjaganya hingga suatu saat nanti. Entahlah. "Sebenarnya ibu tidak rela jika tanah itu dijual, Rud. Itu satu-satunya pemberian bapakmu untuk kelak jika kalian ingin hidup menu
"Kalau begini 'kan kita bisa bahagia, punya mobil sendiri tanpa harus rental kalau mau bepergian. Iya, 'kan anak-anak?" tanya Siska dengan menyilangkan kakinya.Senyum manis mengembang di bibir seksi Siska karena keinginannya terkabul dengan cepat, sesuai dengan rencananya. Anak-anak Siska dan Rudi pun senang bukan kepalang karena kehidupan mereka lebih baik dari sebelumnya. Kehidupan mewah selama ini yang sering diimpikan akhirnya terkabul tanpa harus bersusah payah untuk mengeluarkan keringat. Sifat Siska menurun ke anak-anaknya, bagaikan pepatah buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. "Ma, besok Toni akan kuliah, butuh uang banyak untuk membeli pakaian baru. Aku nggak mau pakai yang lama, memangnya Mama mau aku terlihat kumal di antara yang lain?" ujar Toni dengan mengerlingkan sebelah matanya ke arah Siska. "Iya, nanti kalau Papamu gajian kita belanja apapun kebutuhan kamu," jawab Siska dengan entengnya."Mama memang yang terbaik, selalu memberikan apa yang aku minta," ujar T
Semenjak kecelakaan saat liburan itu, Rudi mengalami stroke. Semua tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali, membuat hari-hari Rudi begitu penuh dengan kesengsaraan. Istri yang di gadang-gadang karena kecantikannya kini mulai enggan menjaga juga merawat sang suami. Bahkan anak-anak Rudi sekalipun tidak pernah menyapa atau ikut berpartisipasi dalam merawat sang ayah. Rudi berkecil hati dan tidak ada semangat untuk hidup lebih panjang lagi. Keseharian Rudi tidak pernah terlepas dari ruangan yang sempit dan sirkulasi udara yang baik. Siska memberikan ruangan untuk pembantu bagi suaminya yang dahulu sangat mencintai dan menyayangi tanpa balas itu.Saat hendak makan, Rudi hanya berteriak dan memanggil sang istri maupun anak-anak karena perut terasa melilit dan tenggorokan kering tanpa air. Saat malam tiba, Rudi hanya bisa menangis dengan tersedu-sedu akan nasib yang telah menimpanya. Dia akan tidur sendirian ditempat yang membuatnya tidak nyaman itu."Ini, makan sendiri!" Piring berisi