Rini mengelus perutnya yang kian membuncit, tendangan demi tendangan dia rasakan saat mencoba berbicara dengan bayinya yang masih dalam kandungan. Memandang jauh ke depan, Rini seolah berada dalam masa lalu. Bayangan-bayangan indah bersama ayah dan ibu serta Rudi datang memenuhi pikirannya. "Andai mereka masih ada di dunia ini pasti akan bahagia melihatku akan melahirkan," gumam Rini sendu. Tanpa terasa air mata turun dari sudut mata indahnya tersebut. Setetes, dua tetes hingga akhirnya deras membasahi pipi. "Hidup ini memang tidak semulus apa yang kita inginkan, kita di tuntut untuk menjadi pribadi tangguh dengan selalu di cambuk oleh ujian dan masalah yang tak henti-hentinya singgah dalam kehidupan kita. Tetaplah kokoh berdiri, sesekali mengeluh itu manusiawi, tapi jangan keterusan," ujar Yoga yanh melihat sang istri duduk termenung memandang langit yang menggantung. "Apa aku mampu?" "Kenapa tidak? Semua orang akan mampu jika selalu bergandengan tangan, berjalan bersama tanpa
"Kapan kamu lahiran? Ternyata suamimu dari golongan orang berada juga, ya?" Lagi-lagi Rini kembali di buat kaget saat Siska berbicara, wanita yang duduk di teras depan sambil mendengarkan musik untuk merelaksasi pikiran itu seketika menoleh ke sumber suara. Tidak ada salam ataupun panggilan untuk namanya, tiba-tiba Siska berbicara dan duduk di kursi tepatnya di depan Rini. Jantung Rini bergerak kencang dan tidak beraturan melihat ada gelagat aneh dari iparnya itu. "Apa maksudmu, Mbak?""Nggak ada, aku hanya ingin main saja. Kebetulan kita tetanggaan di sini, apa salahnya aku main ke rumah iparku yang baik hati." Bibir merah itu mengerucut dengan alis yang naik-turun. Rini mulai jengah dan ketakutan jika Siska akan berbuat nekat dan di luar batas. Sedang Yoga dan Bu Ratna tidak ada di rumah. Mereka pergi ke pasar untuk membeli perlengkapan bayi yang akan segera lahir.Sungguh pemandangan yang membuat bulu kuduk Rini berdiri dan nafasnya yang sulit dikendalikan. Ketakutannya jauh mel
Rini kelelahan saat malam tiba, didalam kamar dia memijat kakinya pelan. Meski agak kesusahan, tapi dia melakukannya dengan bersenandung kecil dan sesekali tersenyum sendiri. Rasa nyeri yang datang tiba-tiba membuat jantung wanita yang tengah hamil besar itu berpacu dengan kencang. Keringat dingin mulai berjatuhan dari punggung. Membasahi seluruh tubuh yang terasa panas dingin. "Kamu kenapa, Rin?" tanya Bu Ratna yang melihat perubahan wajah pada menantunya tersebut.Rini yang memejamkan mata saat merasakan sakit lalu bernapas lega dengan menyeka keringatnya itu membuat sang mertua meyakini kalau Rini memang sudah waktunya melahirkan. "Kita ke Puskesmas terdekat, ya!" ajak Bu Ratna dengan mengelus punggung Rini yang basah. Wanita itu menggeleng pelan, belum tentu rasa sakit yang datang dan pergi itu adalah salah satu ciri ibu yang hendak melahirkan.Rini masih kekeh untuk di rumah saja dengan merebahkan diri di kasur. Sesekali digigitnya bibir bawah demi menahan sesuatu yang terasa
"Pah, Mama mau arisan, jangan lupa cuci baju yang sudah aku rendam di ember, ya!" perintah Siska kepada suaminya Rudi yang baru saja pulang dari kerja. "Jangan terlalu lama nguceknya, nanti pakaian itu bisa rusak. Aku nggak mau semua barang kesukaanku jadi lecet," imbuh Siska.Hari Sabtu membuat Rudi untuk pulang lebih awal, ingin menikmati akhir pekan bersama keluarga kecilnya. Namun, saat sampai di rumah malah istrinya hendak pergi bersama teman-teman arisannya."Arisan kok malam sih, Ma?" tanya Rudi dengan heran. "Sekalian mau jalan-jalan sama teman-teman, Pa, ya, sudahlah aku mau dandan dulu. Lagian ini waktunya juga mepet banget, takut ketinggalan nantinya."Rudi hanya mendengus kesal mendengar perkataan isri tercintanya. Di lepaskan pakaian yang sedari tadi pagi menempel di raga kekarnya itu yang bercampur dengan bau keringat seharian.Berjalan menuju dapur dan membuka tudung saji yang ternyata tidak ada isinya sama sekali di dalam. Di hembuskan nafasnya kasar serta mengacak r
"Papa sudah bangun?" tanya Siska saat mendapati suaminya sedang memasak nasi goreng kesukaannya. Aromanya begitu harum hingga wanita itu pun terbangun dari mimpi indahnya."Mama pulang jam berapa semalam?" Rudi tidak menjawab pertanyaan istrinya. Tangannya masih sibuk dengan sutil dan wajan, membolak-balik nasi supaya tidak gosong untuk sarapan dia dan kedua buah hatinya yang juga masih terlelap dalam tidur.Memang menjadi kebiasaan Rudi, jika pagi tiba dan mendapati Siska masih tertidur pulas maka dia akan mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Dia tidak ingin membangunkan Siska karena yang ada nanti justru keributan. Jadi, Rudi lebih memilih mengerjakan tugas rumah sendiri."Jam dua, mau bangunin Papa yang tidur di sofa sebenarnya. Tapi … Mama takut kalau Papa akan terganggu mimpi indah, karena saat itu Mama melihat wajah Papa sedang tersenyum manis," jawab Siska manja."Lain kali jangan malam-malam ya, Ma! Nggak baik," pesan Rudi yang membuat nafas Siska memburu. Dadanya naik tur
"Assalamualaikum, Mas … Mbak …" Rini adik dari Rudi datang pagi-pagi sekali. Sudah hampir tiga bulan Rudi tidak berkunjung ke rumah orang tuanya, meski rasa kangen yang tersimpan di hati orang tua Rudi. Namun, Rudi enggan pergi menjenguknya. Alasan terlalu sibuk serta ini dan itu membuat Rudi jarang melihat keadaan kedua orang tuanya yang dulu telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang."Wa'alaikumsalam, Rini?" jawab Siska dengan terkejut.Tidak biasanya Rini akan menyambangi rumahnya, dan ini pagi-pagi sekali tiba-tiba datang dengan wajah yang kusut. Siska melirik tajam dari ujung kaki hingga ujung rambut."Mau apa?" tanya Siska dengan mata menelisik."Mas Rudi ada?" "Ti ….""Siapa, Ma? Oh, Rini. Ada apa pagi-pagi begini datang ke sini, Rin?" tanya Rudi yang sudah siap berangkat kerja.Netra Rini mengembun, di pandangnya lelaki tegak dengan badan kekar di depannya dengan penuh hati yang rindu. Rindu yang membuncah membuat Rini seketika menghambur ke pelukan sang kakak. Dirang
"Aku nggak bisa ikut ke rumah bapak kamu, Pa. Nanti anak-anak mau ada les berenang. Kapan-kapan saja kalau mereka senggang, ya," ucap Siska dengan memoles wajah cantiknya." Tapi, Ma ….""Pendidikan anak-anak juga penting lho, Pa. Lagian ibu itu 'kan kangennya sama Papa bukan sama anak-anak. Aku mau yang terbaik buat anak-anak, hidupnya harus jauh lebih baik dari aku." Siska meninggikan intonasi bicaranya. Membuat Rudi bungkam tanpa berani membantahnya. Ah, Rudi terlalu lemah di hadapan sang istri yang cantik jelita itu.Dia akan selalu bertekuk lutut apapun yang diucapkan Siska. Sepatah kata keluar maka sang istri akan sangat murka."Ya sudahlah, hati-hati di jalan!" ☀️☀️"Ya Allah, Rudi …" Ibu Rukmini menangis sesenggukan melihat putra semata wayangnya datang dengan membawa bahan pokok.Bukan bawaannya yang di tangisi, tapi kedatangan anak lelakinya yang membuatnya terharu. Rindu yang menggumpal di kalbu seketika mencair melihat sosok yang selama ini ditunggu-tunggu kehadirannya.
"Mas, Ibu sama Sisil mau ke sini, nginep. Katanya sih mau cari kerja di sini, di kantor kamu ada lowongan tidak?" tanya Siska saat makan malam. "Belum ada." Rudi menjawab pertanyaan istrinya dengan singkat. Dalam hati dia bingung harus mencari alasan apa buat segala pertanyaan Siska. Kepalanya terasa berputar dan dia sesekali memejamkan mata tajamnya tersebut untuk mengatur strategi.Sisil adik perempuan Siska saat ini memang tengah mencari pekerjaan, habis lulus kuliah. Biaya sekolah Sisil yang membantu adalah Rudi, sayangnya Rudi tidak ingat kalau dia juga punya adik perempuan yang juga butuh bantuan darinya.Seolah lepas tangan, keluarga Rudi sama sekali tidak di bantu pemasukannya. Memang Pak Rosadi tidak pernah meminta anaknya ikut membiayai hidup mereka, namun, apa salahnya jika Rudi sebagai anak tertua yang telah sukses menyisihkan sedikit rezekinya kepada ayah serta ibunya yang masih sehat.Siska memegang kendali atas rumah tangga yang di imami oleh Rudi. Pengelolaan keuangan