"Pah, Mama mau arisan, jangan lupa cuci baju yang sudah aku rendam di ember, ya!" perintah Siska kepada suaminya Rudi yang baru saja pulang dari kerja. "Jangan terlalu lama nguceknya, nanti pakaian itu bisa rusak. Aku nggak mau semua barang kesukaanku jadi lecet," imbuh Siska.Hari Sabtu membuat Rudi untuk pulang lebih awal, ingin menikmati akhir pekan bersama keluarga kecilnya. Namun, saat sampai di rumah malah istrinya hendak pergi bersama teman-teman arisannya."Arisan kok malam sih, Ma?" tanya Rudi dengan heran. "Sekalian mau jalan-jalan sama teman-teman, Pa, ya, sudahlah aku mau dandan dulu. Lagian ini waktunya juga mepet banget, takut ketinggalan nantinya."Rudi hanya mendengus kesal mendengar perkataan isri tercintanya. Di lepaskan pakaian yang sedari tadi pagi menempel di raga kekarnya itu yang bercampur dengan bau keringat seharian.Berjalan menuju dapur dan membuka tudung saji yang ternyata tidak ada isinya sama sekali di dalam. Di hembuskan nafasnya kasar serta mengacak r
"Papa sudah bangun?" tanya Siska saat mendapati suaminya sedang memasak nasi goreng kesukaannya. Aromanya begitu harum hingga wanita itu pun terbangun dari mimpi indahnya."Mama pulang jam berapa semalam?" Rudi tidak menjawab pertanyaan istrinya. Tangannya masih sibuk dengan sutil dan wajan, membolak-balik nasi supaya tidak gosong untuk sarapan dia dan kedua buah hatinya yang juga masih terlelap dalam tidur.Memang menjadi kebiasaan Rudi, jika pagi tiba dan mendapati Siska masih tertidur pulas maka dia akan mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Dia tidak ingin membangunkan Siska karena yang ada nanti justru keributan. Jadi, Rudi lebih memilih mengerjakan tugas rumah sendiri."Jam dua, mau bangunin Papa yang tidur di sofa sebenarnya. Tapi … Mama takut kalau Papa akan terganggu mimpi indah, karena saat itu Mama melihat wajah Papa sedang tersenyum manis," jawab Siska manja."Lain kali jangan malam-malam ya, Ma! Nggak baik," pesan Rudi yang membuat nafas Siska memburu. Dadanya naik tur
"Assalamualaikum, Mas … Mbak …" Rini adik dari Rudi datang pagi-pagi sekali. Sudah hampir tiga bulan Rudi tidak berkunjung ke rumah orang tuanya, meski rasa kangen yang tersimpan di hati orang tua Rudi. Namun, Rudi enggan pergi menjenguknya. Alasan terlalu sibuk serta ini dan itu membuat Rudi jarang melihat keadaan kedua orang tuanya yang dulu telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang."Wa'alaikumsalam, Rini?" jawab Siska dengan terkejut.Tidak biasanya Rini akan menyambangi rumahnya, dan ini pagi-pagi sekali tiba-tiba datang dengan wajah yang kusut. Siska melirik tajam dari ujung kaki hingga ujung rambut."Mau apa?" tanya Siska dengan mata menelisik."Mas Rudi ada?" "Ti ….""Siapa, Ma? Oh, Rini. Ada apa pagi-pagi begini datang ke sini, Rin?" tanya Rudi yang sudah siap berangkat kerja.Netra Rini mengembun, di pandangnya lelaki tegak dengan badan kekar di depannya dengan penuh hati yang rindu. Rindu yang membuncah membuat Rini seketika menghambur ke pelukan sang kakak. Dirang
"Aku nggak bisa ikut ke rumah bapak kamu, Pa. Nanti anak-anak mau ada les berenang. Kapan-kapan saja kalau mereka senggang, ya," ucap Siska dengan memoles wajah cantiknya." Tapi, Ma ….""Pendidikan anak-anak juga penting lho, Pa. Lagian ibu itu 'kan kangennya sama Papa bukan sama anak-anak. Aku mau yang terbaik buat anak-anak, hidupnya harus jauh lebih baik dari aku." Siska meninggikan intonasi bicaranya. Membuat Rudi bungkam tanpa berani membantahnya. Ah, Rudi terlalu lemah di hadapan sang istri yang cantik jelita itu.Dia akan selalu bertekuk lutut apapun yang diucapkan Siska. Sepatah kata keluar maka sang istri akan sangat murka."Ya sudahlah, hati-hati di jalan!" ☀️☀️"Ya Allah, Rudi …" Ibu Rukmini menangis sesenggukan melihat putra semata wayangnya datang dengan membawa bahan pokok.Bukan bawaannya yang di tangisi, tapi kedatangan anak lelakinya yang membuatnya terharu. Rindu yang menggumpal di kalbu seketika mencair melihat sosok yang selama ini ditunggu-tunggu kehadirannya.
"Mas, Ibu sama Sisil mau ke sini, nginep. Katanya sih mau cari kerja di sini, di kantor kamu ada lowongan tidak?" tanya Siska saat makan malam. "Belum ada." Rudi menjawab pertanyaan istrinya dengan singkat. Dalam hati dia bingung harus mencari alasan apa buat segala pertanyaan Siska. Kepalanya terasa berputar dan dia sesekali memejamkan mata tajamnya tersebut untuk mengatur strategi.Sisil adik perempuan Siska saat ini memang tengah mencari pekerjaan, habis lulus kuliah. Biaya sekolah Sisil yang membantu adalah Rudi, sayangnya Rudi tidak ingat kalau dia juga punya adik perempuan yang juga butuh bantuan darinya.Seolah lepas tangan, keluarga Rudi sama sekali tidak di bantu pemasukannya. Memang Pak Rosadi tidak pernah meminta anaknya ikut membiayai hidup mereka, namun, apa salahnya jika Rudi sebagai anak tertua yang telah sukses menyisihkan sedikit rezekinya kepada ayah serta ibunya yang masih sehat.Siska memegang kendali atas rumah tangga yang di imami oleh Rudi. Pengelolaan keuangan
"Sisil … ibu … seneng banget kalian kesini, yuk masuk!" Siska terlihat bahagia kedatangan orang tua dan adiknya.Bu Sari membawa oleh-oleh dari kampungnya dengan berjalan sedikit kepayahan. "Mana menantu Ibu yang ganteng, kerja?" tanya Bu Sari dengan mata berbinar."Kerja dong, Bu. Kalau nggak kerja nanti aku makan apa." Sisil merasa kecapekan, wajahnya penuh peluh sehingga membuat ada kemerah-merahan di pipinya. "Sil, ambilin ibu minum! Mau dingin apa panas, Bu?" tanya Siska dengan masih memeluk ibunya."Dingin saja, mana cucu ibu? Mereka sekolah?""Les, Bu. Nih, diminum dulu!" Mereka bertiga saling melempar canda, Siska sangat bahagia bisa bertemu dengan keluarganya. Hingga tanpa terasa, anak-anaknya yang sedang mengikuti les tidak di jemputnya."Permisi, Mbak Siska, ini Toni sama Indri tadi saya bawa karena mungkin Mbak lula menjemputnya," Mbak Dini tetangga Siska datang dengan kedua anak Siska."Terima kasih banyak ya, Jeng.""Sama-sama, permisi."☀️☀️Rudi tercengang melihat
"Lho, kamu masak, Sil?" tanya Rudi dengan wajah keheranan.Sisil mengangguk dan tersenyum manis, aduk iparnya itu memang rajin. Jika sedang main ke rumah mereka selalu saja membersihkan rumah, masak dan mencuci baju. Sedang Siska menikmati hari-harinya dengan menata tubuhnya yang semakin sintal. Wajah cantiknya membuat sang suami selalu mengambil alih semua pekerjaan rumah jika dia enggan bergerak.Makanan sudah tertata rapi di meja makan, membuat perut yang kosong semakin bertambah riuh meminta untuk diisi. Senyum Rudi mengembang saat sang istri datang dengan rambut yang dililit dengan handuk. "Sarapan, Ma!" ajak Rudi."Iya, sini aku ambilin. Oh, ya, Pa aku …" Suara Siska terhenti karena aca bel rumah sedang berbunyi. "Siapa yang pagi-pagi begini bertamu?" guman Siska dengan melangkah menuju pintu.Mata Siska terbelalak melihat iparnya datang dengan pakaian yang sangat rapi dan seperti sedang hendak pergi melamar kerja. Dipandanginya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Siska m
"Tidak apa, kamu bisa mencari pekerjaan lain kok, Rin. Rezeki, jodoh dan maut sudah ditentukan sama yang diatas," hibur Bu Rukmini ketika Rini menceritakan semua yang terjadi saat di rumah Kakaknya.Rini memang sedikit luruh hatinya, cita-citanya ingin bekerja di kantor telah kandas. Bagaimana mungkin lagi dia bisa mencari pekerjaan dengan hanya seorang tamatan SMA? Bu Rukmini yang melihat kesedihan di raut wajah putrinya itu turut sedih, namun, ditutupi nya dengan berbagai nasehat supaya terlihat tegar. "Bagaimana kalau kita jualan bakso saja? Kita bisa memulainya dari rumah, karena untuk memyewa kios itu perlu modal banyak. Sedang, uang bapak belum cukup, setuju?" Ide Bapak membuat Rini sedikit terhenyak.Di saat dirinya sedang dalam hati yang tidak karuan, orang tuanya justru menyemangati dengan sepenuh hati. Meski raga mereka tidaklah sekuat dulu, namun, semangatnya membuat Rini menitikkan buliran bening."Ibu 'kan dulu jualan bakso, tetapi karena belum rejekinya makanya berhent
Rini kelelahan saat malam tiba, didalam kamar dia memijat kakinya pelan. Meski agak kesusahan, tapi dia melakukannya dengan bersenandung kecil dan sesekali tersenyum sendiri. Rasa nyeri yang datang tiba-tiba membuat jantung wanita yang tengah hamil besar itu berpacu dengan kencang. Keringat dingin mulai berjatuhan dari punggung. Membasahi seluruh tubuh yang terasa panas dingin. "Kamu kenapa, Rin?" tanya Bu Ratna yang melihat perubahan wajah pada menantunya tersebut.Rini yang memejamkan mata saat merasakan sakit lalu bernapas lega dengan menyeka keringatnya itu membuat sang mertua meyakini kalau Rini memang sudah waktunya melahirkan. "Kita ke Puskesmas terdekat, ya!" ajak Bu Ratna dengan mengelus punggung Rini yang basah. Wanita itu menggeleng pelan, belum tentu rasa sakit yang datang dan pergi itu adalah salah satu ciri ibu yang hendak melahirkan.Rini masih kekeh untuk di rumah saja dengan merebahkan diri di kasur. Sesekali digigitnya bibir bawah demi menahan sesuatu yang terasa
"Kapan kamu lahiran? Ternyata suamimu dari golongan orang berada juga, ya?" Lagi-lagi Rini kembali di buat kaget saat Siska berbicara, wanita yang duduk di teras depan sambil mendengarkan musik untuk merelaksasi pikiran itu seketika menoleh ke sumber suara. Tidak ada salam ataupun panggilan untuk namanya, tiba-tiba Siska berbicara dan duduk di kursi tepatnya di depan Rini. Jantung Rini bergerak kencang dan tidak beraturan melihat ada gelagat aneh dari iparnya itu. "Apa maksudmu, Mbak?""Nggak ada, aku hanya ingin main saja. Kebetulan kita tetanggaan di sini, apa salahnya aku main ke rumah iparku yang baik hati." Bibir merah itu mengerucut dengan alis yang naik-turun. Rini mulai jengah dan ketakutan jika Siska akan berbuat nekat dan di luar batas. Sedang Yoga dan Bu Ratna tidak ada di rumah. Mereka pergi ke pasar untuk membeli perlengkapan bayi yang akan segera lahir.Sungguh pemandangan yang membuat bulu kuduk Rini berdiri dan nafasnya yang sulit dikendalikan. Ketakutannya jauh mel
Rini mengelus perutnya yang kian membuncit, tendangan demi tendangan dia rasakan saat mencoba berbicara dengan bayinya yang masih dalam kandungan. Memandang jauh ke depan, Rini seolah berada dalam masa lalu. Bayangan-bayangan indah bersama ayah dan ibu serta Rudi datang memenuhi pikirannya. "Andai mereka masih ada di dunia ini pasti akan bahagia melihatku akan melahirkan," gumam Rini sendu. Tanpa terasa air mata turun dari sudut mata indahnya tersebut. Setetes, dua tetes hingga akhirnya deras membasahi pipi. "Hidup ini memang tidak semulus apa yang kita inginkan, kita di tuntut untuk menjadi pribadi tangguh dengan selalu di cambuk oleh ujian dan masalah yang tak henti-hentinya singgah dalam kehidupan kita. Tetaplah kokoh berdiri, sesekali mengeluh itu manusiawi, tapi jangan keterusan," ujar Yoga yanh melihat sang istri duduk termenung memandang langit yang menggantung. "Apa aku mampu?" "Kenapa tidak? Semua orang akan mampu jika selalu bergandengan tangan, berjalan bersama tanpa
Kehidupan baru Rini menyambut pagi dengan wajah sumringah. Udara bersih nan sejuk membuat paru-parunya seakan menari dan berdansa bahagia. Suara kicau burung yang hinggap di pepohonan begitu ramai bagaikan sebuah konser yang dihadiri oleh ribuan penonton. Bersahutan dengan ayam jago dan ayam betina yang saling beradu suara karena waktu pagi telah tiba. "Selamat pagi, Bu," sapa Rini. Bu Ratna yang sedang menyiapkan makanan menoleh ke sumber suara. Disapanya menantu perempuan satu-satunya itu dengan wajah berseri. "Selamat pagi, duduk dulu dan minum teh hangatnya supaya badanmu tidak kedinginan!" titah Bu Ratna dengan menyodorkan segelas teh hangat. "Assalamualaikum," ucap suara dari luar. "Itu Kakakmu datang. Dia pasti kangen sama kalian." Yuli Kakak dari Yoga datang dengan senyum yang mengembang. Keduanya saling sapa dan berhambur memeluk satu sama lainnya. "Tinggallah di sini selamanya menemani Ibu, jangan pergi lagi. Kita akan sama-sama menjaga Ibu," bujuk Yuli lembut.Rini
Pindah"Ibu mengabari, beliau meminta kita untuk pulang ke sana dan membangun rumah di tempat bagianku. Sedia atau tidak?" tanya Yoga saat sedang meracik bumbu untuk masak kuah bakso pagi ini. Rini menghentikan kegiatannya, matanya menatap sang suami yang masih setia mengaduk aneka bahan tersebut. Sadar jika Rini tengah memperhatikannya, Yoga menoleh dan tersenyum manis. "Itu kalau kamu mau, aku nggak akan memaksa kok. Nanti biar aku bilang sama Ibu kalau kita di sini sudah hidup nyaman." "Mas mengejekku?" Rini tersenyum kecut mendengar perkataan Yoga."Bukan. Hanya itu solusinya biar Mbak Siska tidak terus-menerus merongrong kita akan kehidupan mereka selanjutnya. Sebenarnya aku sudah capek jika harus berhadapan dengan dia dan ibunya. Nggak akan ada habisnya menurutku, iya, itu hanya menurutku saja. Semua keputusan ada pada kamu."Hening. Rini terdiam mendengar perkataan suaminya. Dia sadar jika selama ini hidupnya memang tidak tenang karena ulahj dari Siska. Rudi yang meminta wa
Semua kembali ke awal setelah acara tujuh harinya Rudi selesai. Rini bersiap untuk berdagang bersama suaminya. Segala kebutuhan telah disiapkan. Kursi di tata rapi dan meja pun bersih sehingga jika ada pembeli yang datang maka akan senang karena tempat makan mereka bersih dan nyaman untuk menikmati sajian.Para pelanggannya Rini berdatangan dan mengucapkan belasungkawa atas kepergian sang kakak. Dengan cekatan tangan Rini dan Yoga menyajikan pesanan dari pembeli yang memesan. Mereka berdua terlihat sibuk sehingga tanpa diduga ada seseorang yang melihatnya dari kejauhan.Sepasang mata yang melihat kesibukan mereka masih menatap dengan tatapan sinis. Sisil, dia datang dengan dandanan rapi. Duduk sedikit jauh dari para pembeli yang sedang antri pesanan mereka. Mengamati lalu mencebik karena rasa iri itu mulai menjalari otaknya."Ramai juga dagangannya," tukas Sisil yang membuat Rini hanya menyungging senyum tipis. "Ada apa kamu kesini? Mau pesan makanan juga? Atau ada hal lain seperti K
Mata Siska menatap nyalang kepada Rini. Datar, tak ada senyum manis terukir di bibir merah merona yang menghiasinya. Sunyi. Seakan menunggu waktu untuk menyerang satu sama lain. Pun begitu dengan Rini, terdiam dan hanya mata yang bergerak liar seolah pertarungan yang sesungguhnya akan terjadi. Wak Kasim mencoba mencairkan suasana dengan mengeluarkan suara khas orang yang tengah terbatuk. Namun, semua masih saja terbuai dengan alam pikirannya masing-masing dan tegang."Apakah bisa dimulai sekarang?" tanya Wak Kasim yang membuat semua yang hadir sedikit terhenyak. Kaget. Rini mengangguk, begitu pun dengan Siska, Bu Sari dan kedua anak Siska yang dengan setia selalu mendampingi ibunya dalam segala hal. Walaupun memasang wajah tidak ramah, tapi mereka seakan sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi di depan mata. "Nak Siska, setelah kami dari pihak keluarga bermusyawarah bersama dan kami memutuskan untuk memberikan …." "Kalau dari awal seperti ini dan kamu mau
"Ibu nggak habis pikir dengan Rini ipar kamu yang sok kaya itu. Bisa-bisanya dia berlagak sombong seperti itu. Harusnya kamu kasih pelajaran saja dahulu. Ibu gemas banget sama dia," ujar Bu Sari geregetan. Urat-urat tangannya mulai keluar sebagai tanda kemarahan yang telah menggebu-gebu. Dari dulu Bu Sari memang tidak suka terhadap keluarga menantunya itu, apalagi kalau masalah keuangan yang dulunya selalu disisihkan buat mereka. Rudi memang selalu meminta Siska untuk memberikan sedikit bahan pokok terhadap ibunya dan itu membuat hati Bu Sari dongkol. Dia tidak pernah rela jika besannya itu mendapat perhatian dari sang menantu. "Lalu aku harus bagaimana, Bu?" tanya Siska dengan menyandarkan tubuhnya di sofa. "Segala cara sudah aku lakukan untuk mendapatkan bagian lagi meski tidak banyak.""Jangan begitu dong, kok tidak banyak. Ya, harus banyak. Rudi itu anak laki-laki, Sis. Jadi bagian dia haruslah lebih banyak dari Rini. Kamu jangan bo-doh seperti ini dong. Berpikir jernih dan yan
Semua berjalan seperti biasanya. Rini mendesah pelan melihat tingkah laku dari iparnya itu. Sedangkan, Bude Karti yang duduk di sampingnya mencoba menghirup udara dalam-dalam. Tenaganya berkurang karena emosi yang keluar saat menghadapi Siska dan ibunya. "Bude benar-benar tak habis pikir dengan mereka. Entah apa yang ada di pikirannya, bibi lelah, Rin," ujar Bude Karti dengan menyandarkan tubuhnya di kursi sofa. "Rini juga, Bude. Sebenarnya malu sekali jika harus bersikap seperti tadi di depan para tetangga. Malu, karena tidak akur sama saudara, tapi mau bagaimana lagi, sikap Mbak Siska memang seperti itu. Entah apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Bingung," desah Rini pelan. Suasana kembali sunyi, Bude Karti dan Rini terbuai dalam angannya masing-masing. Mencoba berpikir jernih dan mencerna semua apa yang telah mereka dengar. Namun, hati kecil mereka seakan menolak kalau harus menuruti apa kemauan dari Siska. Hidup memang terlalu runyam jika harus bersekutu dengan yang namanya