"Lho, kamu masak, Sil?" tanya Rudi dengan wajah keheranan.
Sisil mengangguk dan tersenyum manis, aduk iparnya itu memang rajin. Jika sedang main ke rumah mereka selalu saja membersihkan rumah, masak dan mencuci baju. Sedang Siska menikmati hari-harinya dengan menata tubuhnya yang semakin sintal. Wajah cantiknya membuat sang suami selalu mengambil alih semua pekerjaan rumah jika dia enggan bergerak. Makanan sudah tertata rapi di meja makan, membuat perut yang kosong semakin bertambah riuh meminta untuk diisi. Senyum Rudi mengembang saat sang istri datang dengan rambut yang dililit dengan handuk. "Sarapan, Ma!" ajak Rudi. "Iya, sini aku ambilin. Oh, ya, Pa aku …" Suara Siska terhenti karena aca bel rumah sedang berbunyi. "Siapa yang pagi-pagi begini bertamu?" guman Siska dengan melangkah menuju pintu. Mata Siska terbelalak melihat iparnya datang dengan pakaian yang sangat rapi dan seperti sedang hendak pergi melamar kerja. Dipandanginya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Siska menggelengkan kepalanya berkali-kali berharap itu semua hanyalah mimpi. "Mbak, Mas Rudi ada?" "Oh, a-a-ada," jawab Siska terbata-bata dengan menunjuk ke arah belakang. Rini pun masuk setelah mengucap salam dan mencium punggung tangan kakak iparnya tersebut. Mendapati Kakaknya yang masih makan, Rini berbalik arah ingin menunggu di depan saja. Namun, kakinya terhenti saat Rudi memanggilnya untuk mengajaknya sarapan bersama. "Rini, sini kita sarapan dulu. Apakah surat lamaran kami sudah lengkap?" tanya Rudi yang membuat Rini membalikkannya tubuhnya dan Siska memandang kakak beradik itu dengan heran. "Sudah, Mas." "Memangnya Rini mau kerja di mana, Mas?" tanya Siska mengeluarkan unek-uneknya yang sedari tadi ditahan. Matanya memindai dari menuju Rudi suaminya, Rini juga sang adik Sisil yang masih sibuk dengan aktivitas paginya. Memasak. "E …" Rudi ingin menjawab, namun, sudah didahului oleh Rini. "Kemarin ada lowongan pekerjaan di kantor Mas Rudi, Mbak. Lalu saya diminta untuk segera melamar," ujar Rini dengan senyum terukir manis di bibirnya yang tipis. "Mas, nggak bisa gitu dong. Aku yang sudah bertanya duluan sama kamu supaya Sisil bisa bekerja di kantor kamu, tapi … kata kamu kemarin nggak ada lowongan? Bagaimana sih, Mas?" Siska menghentakkan kakinya di lantai dengan keras. Kursi si meja makan di tariknya dengan kasar, seolah menandakan kalau amarahnya benar-benar memuncak. Siska tah habis pikir dengan apa yang ada di otak suaminya itu, seharusnya yang ikut bekerja iti Sisil, adiknya bukan Rini. Rini yang melihat kemarahan dari sang Kakak ipar merasa kebingungan. "Ma, dengerin aku. Lowongan ini sudah dari seminggu yang lalu, dan kamu tanya tentang lowongan'kan baru saja." Rudi berusaha memberikan alasan kepada istrinya supaya tidak bertambah amarahnya. "Nggak bisa, Rini. Kamu nggak bisa merebut begitu dong, jelas ini pekerjaan untuk Sisil, bukan kamu!" pekik Siska menatap nyalang ke arah iparnya itu. Rini yang mengerti akan sebab dari pertikaian kakak dan kakak iparnya itu langsung menunduk. Mencoba mencari jalan terbaik agar mereka tidak saling melempar kata. "Ya sudahlah, mungkin bukan rezeki Rini bekerja di kantor, Mas. Nggak apa Rini mundur saja, silahkan Mbak Sisil masuk saja ke kantor Mas Rudi," ucao Rini dengan senyum ikhlasnya. Rini pun mendekati kakaknya hendak mencium punggung tangannya, dan meminta maaf atas kesalahannya yang telah membuat keluarga Rudi menjadi tegang. "Rini pulang dulu, Mas, Mbak, assalamualaikum." "Hem," desis Siska. Rini berjalan dengan langkah sedikit gontai, cita-citanya yang ingin bekerja di kantor dan menghasilkan uang yang akan dibuat untuk membantu orang tuanya kandas. Air matanya seketika luruh, dia yang berharap akan dikejar sang kakak lalu di hibur hanyalah omong kosong belaka. Nyatanya Rudi tidak beranjak sedikitpun dari duduknya. ❤️❤️❤️❤️"Tidak apa, kamu bisa mencari pekerjaan lain kok, Rin. Rezeki, jodoh dan maut sudah ditentukan sama yang diatas," hibur Bu Rukmini ketika Rini menceritakan semua yang terjadi saat di rumah Kakaknya.Rini memang sedikit luruh hatinya, cita-citanya ingin bekerja di kantor telah kandas. Bagaimana mungkin lagi dia bisa mencari pekerjaan dengan hanya seorang tamatan SMA? Bu Rukmini yang melihat kesedihan di raut wajah putrinya itu turut sedih, namun, ditutupi nya dengan berbagai nasehat supaya terlihat tegar. "Bagaimana kalau kita jualan bakso saja? Kita bisa memulainya dari rumah, karena untuk memyewa kios itu perlu modal banyak. Sedang, uang bapak belum cukup, setuju?" Ide Bapak membuat Rini sedikit terhenyak.Di saat dirinya sedang dalam hati yang tidak karuan, orang tuanya justru menyemangati dengan sepenuh hati. Meski raga mereka tidaklah sekuat dulu, namun, semangatnya membuat Rini menitikkan buliran bening."Ibu 'kan dulu jualan bakso, tetapi karena belum rejekinya makanya berhent
"Ayo, Sil, kamu siap-siap untuk melamar kerja dulu! Biar nanti, Mbak yang lanjutkan pekerjaannya saja!" perintah Siska terhadap adiknya.Sisil menurut, dengan senang hati dia pergi mandi dan berpakaian rapi demi mendapatkan pekerjaan di kantor. Senyum bahagia menghiasi bibir Sisil sejak kakaknya meminta Rudi untuk mengajaknya pergi melamar pekerjaan di kantor tempat Kakak iparnya bekerja itu.Rudi menunggu di ruang tamu dengan memainkan gadget yang selalu setia digenggamnya. Tidak ada rasa bersalah terhadap Rini, meski tanpa sengaja pertikaiannya tadi pagi menyisakan luka di hati sang adik. Rudi hanya merasakan sedikit lega karena pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan olehnya kini dilakukan oleh Sisil. Biasanya setiap pagi seusai sholat subuh, Rudi akan mengerjakan segala pekerjaan rumah.Lalu setiap pulang dari kerja, dia dihidangkan dengan seember besar pakaian kotor yang masih terendam dengan setia karena menunggunya untuk di cuci. Piring kotor bertumpuk bak gunung memenuhi was
"Pa, besok akan ada arisan di rumah. Sofa itu aku mau buang, ganti yang baru."Rendi yang baru menikmati makan malamnya seketika terhenyak dari duduknya. Dahinya berkerut mendengar permintaan dari istrinya itu."Itu, 'kan masih bagus, Ma," ujar Rudi dengan melanjutkan lagi makan malamnya.Siska memasang wajah masam, ingin saja rasanya ia berteriak di depan wajah suaminya itu jika tidak ada anak-anak mereka saat itu juga. Di hentakkan kaki ke lantai dengan keras lalu melangkah menuju Rudi yang sedang menikmati rezeki yang diterimanya."Pa, malulah kalau sofa yang sudah kusam begitu masih terpampang di ruang tamu. Teman-teman, Mama itu orang-orang kaya semua. Mama saja dibuat heran kalau sedang main ke rumah mereka, mau ditaruh dimana muka Mama nanti kalau sofa buluk itu masih disana?" ujar Siska dengan gigi bergemeletuk."Ma …." "Sudahlah, Mama sudah pesan kok. Sebentar lagi juga datang." "Kok tidak bilang-bilang dulu, Ma …." "Kalau bilang pasti, Papa tidak akan setuju dan mengeluar
"Maaf, Rin. Bukannya, Mas telah berbuat jahat sama kamu, namun, Mas benar-benar sedang membutuhkan bantuanmu sekarang!" Rendi menggenggam tangan Rini dengan pandangan yang sendu.Reni memalingkan mukanya ke samping, bukan karena dia membenci Rudi. Akan tetapi, Rini berusaha menyembunyikan air mata yang suatu saat bisa menetes kapan saja sesuai dengan kemauannya.Warisan tanah yang tidak seberapa yang terletak di samping rumah Pak Rosadi, bapaknya Rudi. Yang menurut Siska adalah bagian untuk Rudi, akan dijual meski belum bersertifikat.Maka, Rini pun harus ikut andil dalam hal itu. Rini, masih saja bergeming. Niat hati ingin menjaga pemberian sang bapak untuk tempat tinggal Rudi kelak jika ingin pulang dan tinggal di kampung sudah lenyap. Rini, dilema. Antara setuju dengan permintaan Rudi atau bersikukuh untuk menjaganya hingga suatu saat nanti. Entahlah. "Sebenarnya ibu tidak rela jika tanah itu dijual, Rud. Itu satu-satunya pemberian bapakmu untuk kelak jika kalian ingin hidup menu
"Kalau begini 'kan kita bisa bahagia, punya mobil sendiri tanpa harus rental kalau mau bepergian. Iya, 'kan anak-anak?" tanya Siska dengan menyilangkan kakinya.Senyum manis mengembang di bibir seksi Siska karena keinginannya terkabul dengan cepat, sesuai dengan rencananya. Anak-anak Siska dan Rudi pun senang bukan kepalang karena kehidupan mereka lebih baik dari sebelumnya. Kehidupan mewah selama ini yang sering diimpikan akhirnya terkabul tanpa harus bersusah payah untuk mengeluarkan keringat. Sifat Siska menurun ke anak-anaknya, bagaikan pepatah buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. "Ma, besok Toni akan kuliah, butuh uang banyak untuk membeli pakaian baru. Aku nggak mau pakai yang lama, memangnya Mama mau aku terlihat kumal di antara yang lain?" ujar Toni dengan mengerlingkan sebelah matanya ke arah Siska. "Iya, nanti kalau Papamu gajian kita belanja apapun kebutuhan kamu," jawab Siska dengan entengnya."Mama memang yang terbaik, selalu memberikan apa yang aku minta," ujar T
Semenjak kecelakaan saat liburan itu, Rudi mengalami stroke. Semua tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali, membuat hari-hari Rudi begitu penuh dengan kesengsaraan. Istri yang di gadang-gadang karena kecantikannya kini mulai enggan menjaga juga merawat sang suami. Bahkan anak-anak Rudi sekalipun tidak pernah menyapa atau ikut berpartisipasi dalam merawat sang ayah. Rudi berkecil hati dan tidak ada semangat untuk hidup lebih panjang lagi. Keseharian Rudi tidak pernah terlepas dari ruangan yang sempit dan sirkulasi udara yang baik. Siska memberikan ruangan untuk pembantu bagi suaminya yang dahulu sangat mencintai dan menyayangi tanpa balas itu.Saat hendak makan, Rudi hanya berteriak dan memanggil sang istri maupun anak-anak karena perut terasa melilit dan tenggorokan kering tanpa air. Saat malam tiba, Rudi hanya bisa menangis dengan tersedu-sedu akan nasib yang telah menimpanya. Dia akan tidur sendirian ditempat yang membuatnya tidak nyaman itu."Ini, makan sendiri!" Piring berisi
Semenjak dari rumah Rudi saat sampai rumah Bu Rukmini langsung menuju kamarnya, merenungi apa yang tengah terjadi dengan rumah tangga sang anak lelaki. Ada tangis yang disimpan oleh seorang Ibu yang telah disakiti namun, rasa sayang itu masih utuh.Hingga beberapa hari kemudian pun, Bu Rukmini masih saja selalu melamun dan tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan ramah terhadap siapapun yang tengah lewat di depan rumahnya. Tidak jarang banyak Ibu-ibu yang bertanya kepada Rini, apakah Bu Rukmini sedang sakit karena sikapnya yang lebih pendiam dan jarang keluar rumah."Makan dulu, Bu!" ajak Rini saat melihat Bu Rukmini masih terdiam di kamarnya dalam bisu. "Apa tidak sebaiknya kita bawa saja Kakakmu pulang ke rumah ini, Rin? Ibu tidak tega melihat dia yang seperti tidak ada harga dirinya disana. Kamu lihat, 'kan sikap dari Siska kemarin? Ibu benar-benar terluka dengan apa yang Ibu lihat sendiri," isak Bu Rukmini saat Rini duduk di sampingnya. Kedua bahu renta itu berguncang heba
"Assalamualaikum, Rudi, Rudi!" panggil Agus dengan mengetuk pintu saat berkunjung ke rumah sahabat karibnya, Rudi. Siska yang masih terduduk santai dengan bermain ponsel seketika terperanjat dan kebingungan harus bagaimana menghadapi tamu yang mendadak datang. Dalam hatinya menggerutu dengan kalimat-kalimat yang buruk serta sumpah serapah karena tanpa persiapan ada tamu yang tak diundang. Segera mungkin Siska mulai menguasai dirinya dengan baik, diambilnya nafas panjang lalu dikeluarkan perlahan untuk bisa bersikap baik dan serakah mungkin terhadap teman dari suaminya itu. Setelah semua persiapan sudah usai, akhirnya pintu pun terbuka lebar. Senyum manis terbit di bibir indah Siska, merekah serta dengan mata yang berbinar melihat pasangan serasi berdiri di depannya itu dengan membawa buah tangan yang banyak. Seperti harimau yang tengah kelaparan, seakan liur Siska hendak menetes namun ditahannya demi sebuah rasa yang bernama gengsi."Maaf karena menunggu lama, Mas Rudi sedang ada d
Rini kelelahan saat malam tiba, didalam kamar dia memijat kakinya pelan. Meski agak kesusahan, tapi dia melakukannya dengan bersenandung kecil dan sesekali tersenyum sendiri. Rasa nyeri yang datang tiba-tiba membuat jantung wanita yang tengah hamil besar itu berpacu dengan kencang. Keringat dingin mulai berjatuhan dari punggung. Membasahi seluruh tubuh yang terasa panas dingin. "Kamu kenapa, Rin?" tanya Bu Ratna yang melihat perubahan wajah pada menantunya tersebut.Rini yang memejamkan mata saat merasakan sakit lalu bernapas lega dengan menyeka keringatnya itu membuat sang mertua meyakini kalau Rini memang sudah waktunya melahirkan. "Kita ke Puskesmas terdekat, ya!" ajak Bu Ratna dengan mengelus punggung Rini yang basah. Wanita itu menggeleng pelan, belum tentu rasa sakit yang datang dan pergi itu adalah salah satu ciri ibu yang hendak melahirkan.Rini masih kekeh untuk di rumah saja dengan merebahkan diri di kasur. Sesekali digigitnya bibir bawah demi menahan sesuatu yang terasa
"Kapan kamu lahiran? Ternyata suamimu dari golongan orang berada juga, ya?" Lagi-lagi Rini kembali di buat kaget saat Siska berbicara, wanita yang duduk di teras depan sambil mendengarkan musik untuk merelaksasi pikiran itu seketika menoleh ke sumber suara. Tidak ada salam ataupun panggilan untuk namanya, tiba-tiba Siska berbicara dan duduk di kursi tepatnya di depan Rini. Jantung Rini bergerak kencang dan tidak beraturan melihat ada gelagat aneh dari iparnya itu. "Apa maksudmu, Mbak?""Nggak ada, aku hanya ingin main saja. Kebetulan kita tetanggaan di sini, apa salahnya aku main ke rumah iparku yang baik hati." Bibir merah itu mengerucut dengan alis yang naik-turun. Rini mulai jengah dan ketakutan jika Siska akan berbuat nekat dan di luar batas. Sedang Yoga dan Bu Ratna tidak ada di rumah. Mereka pergi ke pasar untuk membeli perlengkapan bayi yang akan segera lahir.Sungguh pemandangan yang membuat bulu kuduk Rini berdiri dan nafasnya yang sulit dikendalikan. Ketakutannya jauh mel
Rini mengelus perutnya yang kian membuncit, tendangan demi tendangan dia rasakan saat mencoba berbicara dengan bayinya yang masih dalam kandungan. Memandang jauh ke depan, Rini seolah berada dalam masa lalu. Bayangan-bayangan indah bersama ayah dan ibu serta Rudi datang memenuhi pikirannya. "Andai mereka masih ada di dunia ini pasti akan bahagia melihatku akan melahirkan," gumam Rini sendu. Tanpa terasa air mata turun dari sudut mata indahnya tersebut. Setetes, dua tetes hingga akhirnya deras membasahi pipi. "Hidup ini memang tidak semulus apa yang kita inginkan, kita di tuntut untuk menjadi pribadi tangguh dengan selalu di cambuk oleh ujian dan masalah yang tak henti-hentinya singgah dalam kehidupan kita. Tetaplah kokoh berdiri, sesekali mengeluh itu manusiawi, tapi jangan keterusan," ujar Yoga yanh melihat sang istri duduk termenung memandang langit yang menggantung. "Apa aku mampu?" "Kenapa tidak? Semua orang akan mampu jika selalu bergandengan tangan, berjalan bersama tanpa
Kehidupan baru Rini menyambut pagi dengan wajah sumringah. Udara bersih nan sejuk membuat paru-parunya seakan menari dan berdansa bahagia. Suara kicau burung yang hinggap di pepohonan begitu ramai bagaikan sebuah konser yang dihadiri oleh ribuan penonton. Bersahutan dengan ayam jago dan ayam betina yang saling beradu suara karena waktu pagi telah tiba. "Selamat pagi, Bu," sapa Rini. Bu Ratna yang sedang menyiapkan makanan menoleh ke sumber suara. Disapanya menantu perempuan satu-satunya itu dengan wajah berseri. "Selamat pagi, duduk dulu dan minum teh hangatnya supaya badanmu tidak kedinginan!" titah Bu Ratna dengan menyodorkan segelas teh hangat. "Assalamualaikum," ucap suara dari luar. "Itu Kakakmu datang. Dia pasti kangen sama kalian." Yuli Kakak dari Yoga datang dengan senyum yang mengembang. Keduanya saling sapa dan berhambur memeluk satu sama lainnya. "Tinggallah di sini selamanya menemani Ibu, jangan pergi lagi. Kita akan sama-sama menjaga Ibu," bujuk Yuli lembut.Rini
Pindah"Ibu mengabari, beliau meminta kita untuk pulang ke sana dan membangun rumah di tempat bagianku. Sedia atau tidak?" tanya Yoga saat sedang meracik bumbu untuk masak kuah bakso pagi ini. Rini menghentikan kegiatannya, matanya menatap sang suami yang masih setia mengaduk aneka bahan tersebut. Sadar jika Rini tengah memperhatikannya, Yoga menoleh dan tersenyum manis. "Itu kalau kamu mau, aku nggak akan memaksa kok. Nanti biar aku bilang sama Ibu kalau kita di sini sudah hidup nyaman." "Mas mengejekku?" Rini tersenyum kecut mendengar perkataan Yoga."Bukan. Hanya itu solusinya biar Mbak Siska tidak terus-menerus merongrong kita akan kehidupan mereka selanjutnya. Sebenarnya aku sudah capek jika harus berhadapan dengan dia dan ibunya. Nggak akan ada habisnya menurutku, iya, itu hanya menurutku saja. Semua keputusan ada pada kamu."Hening. Rini terdiam mendengar perkataan suaminya. Dia sadar jika selama ini hidupnya memang tidak tenang karena ulahj dari Siska. Rudi yang meminta wa
Semua kembali ke awal setelah acara tujuh harinya Rudi selesai. Rini bersiap untuk berdagang bersama suaminya. Segala kebutuhan telah disiapkan. Kursi di tata rapi dan meja pun bersih sehingga jika ada pembeli yang datang maka akan senang karena tempat makan mereka bersih dan nyaman untuk menikmati sajian.Para pelanggannya Rini berdatangan dan mengucapkan belasungkawa atas kepergian sang kakak. Dengan cekatan tangan Rini dan Yoga menyajikan pesanan dari pembeli yang memesan. Mereka berdua terlihat sibuk sehingga tanpa diduga ada seseorang yang melihatnya dari kejauhan.Sepasang mata yang melihat kesibukan mereka masih menatap dengan tatapan sinis. Sisil, dia datang dengan dandanan rapi. Duduk sedikit jauh dari para pembeli yang sedang antri pesanan mereka. Mengamati lalu mencebik karena rasa iri itu mulai menjalari otaknya."Ramai juga dagangannya," tukas Sisil yang membuat Rini hanya menyungging senyum tipis. "Ada apa kamu kesini? Mau pesan makanan juga? Atau ada hal lain seperti K
Mata Siska menatap nyalang kepada Rini. Datar, tak ada senyum manis terukir di bibir merah merona yang menghiasinya. Sunyi. Seakan menunggu waktu untuk menyerang satu sama lain. Pun begitu dengan Rini, terdiam dan hanya mata yang bergerak liar seolah pertarungan yang sesungguhnya akan terjadi. Wak Kasim mencoba mencairkan suasana dengan mengeluarkan suara khas orang yang tengah terbatuk. Namun, semua masih saja terbuai dengan alam pikirannya masing-masing dan tegang."Apakah bisa dimulai sekarang?" tanya Wak Kasim yang membuat semua yang hadir sedikit terhenyak. Kaget. Rini mengangguk, begitu pun dengan Siska, Bu Sari dan kedua anak Siska yang dengan setia selalu mendampingi ibunya dalam segala hal. Walaupun memasang wajah tidak ramah, tapi mereka seakan sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi di depan mata. "Nak Siska, setelah kami dari pihak keluarga bermusyawarah bersama dan kami memutuskan untuk memberikan …." "Kalau dari awal seperti ini dan kamu mau
"Ibu nggak habis pikir dengan Rini ipar kamu yang sok kaya itu. Bisa-bisanya dia berlagak sombong seperti itu. Harusnya kamu kasih pelajaran saja dahulu. Ibu gemas banget sama dia," ujar Bu Sari geregetan. Urat-urat tangannya mulai keluar sebagai tanda kemarahan yang telah menggebu-gebu. Dari dulu Bu Sari memang tidak suka terhadap keluarga menantunya itu, apalagi kalau masalah keuangan yang dulunya selalu disisihkan buat mereka. Rudi memang selalu meminta Siska untuk memberikan sedikit bahan pokok terhadap ibunya dan itu membuat hati Bu Sari dongkol. Dia tidak pernah rela jika besannya itu mendapat perhatian dari sang menantu. "Lalu aku harus bagaimana, Bu?" tanya Siska dengan menyandarkan tubuhnya di sofa. "Segala cara sudah aku lakukan untuk mendapatkan bagian lagi meski tidak banyak.""Jangan begitu dong, kok tidak banyak. Ya, harus banyak. Rudi itu anak laki-laki, Sis. Jadi bagian dia haruslah lebih banyak dari Rini. Kamu jangan bo-doh seperti ini dong. Berpikir jernih dan yan
Semua berjalan seperti biasanya. Rini mendesah pelan melihat tingkah laku dari iparnya itu. Sedangkan, Bude Karti yang duduk di sampingnya mencoba menghirup udara dalam-dalam. Tenaganya berkurang karena emosi yang keluar saat menghadapi Siska dan ibunya. "Bude benar-benar tak habis pikir dengan mereka. Entah apa yang ada di pikirannya, bibi lelah, Rin," ujar Bude Karti dengan menyandarkan tubuhnya di kursi sofa. "Rini juga, Bude. Sebenarnya malu sekali jika harus bersikap seperti tadi di depan para tetangga. Malu, karena tidak akur sama saudara, tapi mau bagaimana lagi, sikap Mbak Siska memang seperti itu. Entah apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Bingung," desah Rini pelan. Suasana kembali sunyi, Bude Karti dan Rini terbuai dalam angannya masing-masing. Mencoba berpikir jernih dan mencerna semua apa yang telah mereka dengar. Namun, hati kecil mereka seakan menolak kalau harus menuruti apa kemauan dari Siska. Hidup memang terlalu runyam jika harus bersekutu dengan yang namanya