"Assalamualaikum, Rudi, Rudi!" panggil Agus dengan mengetuk pintu saat berkunjung ke rumah sahabat karibnya, Rudi. Siska yang masih terduduk santai dengan bermain ponsel seketika terperanjat dan kebingungan harus bagaimana menghadapi tamu yang mendadak datang. Dalam hatinya menggerutu dengan kalimat-kalimat yang buruk serta sumpah serapah karena tanpa persiapan ada tamu yang tak diundang. Segera mungkin Siska mulai menguasai dirinya dengan baik, diambilnya nafas panjang lalu dikeluarkan perlahan untuk bisa bersikap baik dan serakah mungkin terhadap teman dari suaminya itu. Setelah semua persiapan sudah usai, akhirnya pintu pun terbuka lebar. Senyum manis terbit di bibir indah Siska, merekah serta dengan mata yang berbinar melihat pasangan serasi berdiri di depannya itu dengan membawa buah tangan yang banyak. Seperti harimau yang tengah kelaparan, seakan liur Siska hendak menetes namun ditahannya demi sebuah rasa yang bernama gengsi."Maaf karena menunggu lama, Mas Rudi sedang ada d
"Mas …." Rudi tercengang melihat Siska yang memanggilnya dengan sebutan 'Mas' karena jarang sekali dia memanggil dengan itu. Siska menatap nyalang dan seketika menutup hidungnya yang mencium bau dari sekeliling suaminya. "Sejak kapan kamu memanggilku, Mas?" Rudi menatap tajam ke arah istrinya yang tengah berdiri menjauhinya."Sejak sekarang, begitu saja dipermasalahkan, kamu juga kenapa seperti ini? Ih, jorok sekali," murka Siska dengan berjalan ke depan melihat tamu yang datang saat waktu yang mulai beranjak sore. Saat pintu terbuka ada sepasang suami istri yang tengah menunggu di teras, mereka duduk tanpa saling berbicara karena sibuk dengan gawainya masing-masing. Pasangan itupun menoleh karena sang empunya rumah datang dengan wajah datarnya. "Mbak," ujar Rini, lalu mereka berdiri menyalami Siska yang masih memasang senyum tak ramah."Tumben sore-sore begini kamu kesini, ada apa?" tanya Siska menyelidik. "Boleh kita masuk? Lebih baik kita berbicara di dalam, Mbak. Nggak enak k
Bu Rukmini tergugu mendengar penjelasan dari Rini jika Rudi menolak diajak pulang ke rumah mereka. Hatinya semakin sakit dan terluka saat membayangkan kejadian tempo hari yang mana dia dan Rini mendapati Rudi yang tengah bergumul dengan kotorannya sendiri. Tubuh yang dulu gagah dan tegap berganti tulang yang menonjol, menunjukkan kalau dia tidak baik-baik saja selama ini. Saat disuapi makanan pun, seperti seseorang yang tengah kelaparan. Makan dengan lahap dan meninggalkan sisa-sisa makanan di sekitar mulut. "Mbak Siska meminta jatah setiap bulan, Bu. Entah apa yang dipikirkan oleh dia, akupun tidak paham sama sekali. Katanya kita berkewajiban membantu mereka karena saudara," jelas Rini saat Ibunya menyeka air mata yang tumpah ruah.Bu Rukmini seketika membelalakkan kedua mata seolah tak percaya dengan apa yang didengar, Bu Rukmini mendekati sang putri dengan tatapan yang penuh tanya. Seolah mengerti akan apa yang dipikirkan oleh Ibunya, Rini mengangguk perlahan dengan nafas mendesa
Bu Rukmini menjalani perawatan di rumah sakit karena penyakit yang dideritanya telah kambuh saat emosi tidak stabil menghadapi menantunya yang meminta sesuatu hal di luar pemikiran."Bu, nggak usah di pikirkan tentang Mas Rudi. Biarkan saja dia dirawat istrinya, ibu pikirkan diri sendiri saja. Aku nggak mau kalau seperti ini lagi!" bisik Rini dengan mengelus lengan sang Ibu lembut dan deraian air mata yang sedari tadi di simpannya.Selama dua hari di rumah sakit, Bu Rukmini tidak sadarkan diri. Rini semakin sedih karena melihat sang Ibu yang terkulai lemah tak berdaya di atas ranjang dengan berbagai macam selang yang menempel di tubuh tua itu. "Makan dulu, dek, jaga kesehatanmu juga! Biar kita bisa tetap menjaga Ibu, jangan ikutan sakit karena nanti Ibu akan sedih melihat kita yang ikutan seperti beliau, yuk!" bujum Yoga dengan lembut terhadap istrinya yang tengah bersedih.Yoga tahu jika Rini begitu tersiksa dengan perlakuan sang ipar yang di luar batas. Keinginan yang diajukan oleh
Siska menjadi uring-uringan akhir-akhir ini, dia membanting segala apa yang ada di depannya. Wajah ayunya mulai kusut dan tidak terurus seiring dengan permintaan yang diajukan kepada sang ipar, Rini tidak terwujud.Rasa bencinya semakin menjadi saat mendengar suara Rudi yang berteriak-teriak memanggil namanya untuk meminta bantuan. Rudi bahkan sesekali di siksa secara fisik oleh istrinya sendiri. Sudah tidak ada lagi air mata yang tumpah di pipi Rudi, semua yang terjadi sudah menjadi bagian dari hari-hari yang biasa di kehidupannya. Bahkan dalam hati kecilnya selalu berdoa semoga dia secepatnya meninggalkan dunia ini. Biar tidak lagi merasakan sakitnya hati dan raga juga menjadi beban bagi istri serta anak-anaknya.Bel rumah Siska berbunyi sedang anak-anaknya tidak juga membukakan pintu. Mereka asyik berdiam diri di kamar dengan kegiatannya masing-masing. Hanya akan keluar jika makan ataupun minum lalu ke kamar mandi. "Siska, lama banget bukain pintunya. Eh, kenapa wajah kamu masam
Rudi sendirian malam ini, dia memanggil semua nama anggota keluarganya namun, tidak ada sama sekali yang datang untuk menjawab dari panggilannya. Rasa sesak menyeruak dalam dada Rudi dan membuat air matanya kembali mengalir deras membasahi pipinya yang kering.Hingga rasa lelah menyatroni raganya yang terasa lemah tak bertenaga. Yang membuat Rudi menghempaskan bobot tubuhnya yang semakin ringan itu di kasur dan tertidur hingga pagi tiba. Rasa terik matahari yang masuk membuat tubuhnya menghangat, keringat pun mulai bercucuran saking panasnya akan cuaca pagi ini atau tepatnya menjelang siang. "Sis!" teriaknya nyaris tak terdengar. Suara Rudi melemah begitupun tenaganya. Berulangkali dia memanggil nama istri yang sangat dicintainya itu dengan suara yang kian lama semakin tidak terdengar. Mata sayupnya mulai tertutup perlahan-lahan seiring dengan nafas yang sulit untuk keluar masuk.Tubuhnya menggigil kedinginan karena semalaman dia harus berselimut kain basah. Teriaknya semakin lama s
"Kenapa kamu berdiam diri di sini? Mikirin suami kamu yang tidak bisa di andalkan itu?" tanya Bu Sari geram. Siska hanya melotot mendengar pertanyaan dari ibunya yang malah semakin membuat hatinya kacau dan tidak bisa berpikir jernih lagi. Otaknya pun buntu seperti tertumpu batu yang sangat besar. Diam di satu tempat tanpa bergeser sedikitpun. Jauh di dalam hati Siska sebenarnya dia masih mencintai sang suami namun, rasa gengsi yang sudah menggunung membuat dia begitu dilema antara melepaskan atau mempertahankan. Dia takut dengan status barunya kelak jika harus berpisah dari Rudi. Karena menyandang status janda tidaklah mudah untuk bergerak. Trauma akan masa lalu sang Ibu yang mana saat dia kecil selalu di ejek karena Ibunya tidak memiliki suami. Bahkan dia dan adiknya Sisil selalu di hina sama teman sebayanya kalau tidak punya Ayah. Rasa sakit itu masih membekas di relung hati Siska sampai kini."Aku nggak mau menjadi janda, Bu," kata Siska membuat Bu Sari sedikit kaget. "Aku ngga
"Bagaimana keadaan Mas Rudi?" tanya Yoga yang pagi ini membesuk iparnya terbaring lemah di rumah sakit. Yoga membawa makanan untuk sang istri yang semalaman menjaga kakaknya. Wajah lelah Rini begitu kusut membuat Yoga mendekati dan memeluknya penuh kehangatan. Air mata Rini luruh saat wajahnya bersembunyi di dada sang suami. Bahunya berguncang, membuat Yoga semakin memeluk dan mencium mahkota istrinya itu dengan penuh rasa cinta. "Tenang, sabar, semua ini adalah ujian dan akan membuat kita jauh lebih tinggi karena kuat menghadapinya. Aku akan selalu berada disampingmu," hibur Yoga dengan lembut. "Terima kasih, Mas, terima kasih. Mas, bagaimana kalau kita membawa Mas Rudi untuk tinggal bersama kita. Apakah Mas Yoga keberatan?" tanya Rini hati-hati.Yoga menghembuskan nafasnya pelan dan menyunggingkan sebuah senyuman untuk sang istri, dia menggeleng pelan lalu mengelus pucuk rambut Rini yang hitam. "Tidak, Mas setuju saja sama keputusan yang kamu ambil namun, bagaimana dengan istri