"Sis …" Suara lirih Rudi membuat semua yang di ruangan terhenyak sesaat lalu saling pandang dan berangsur maju mendekati Rudi yang terbaring lemah. Pandangan mata yang dulunya tajam bak tatapan elang itu kini terlihat sayu dan tidak ada tenaga. Senyum merekah menghiasi tiga wanita yang menyayangi Rudi. Mereka semua mengesampingkan rasa yang tadinya hampir tersulut emosi. "Mas …" Siska mengelus pucuk rambut yang mulai menipis dan memperlihatkan kulit kepala yang memutih itu. Hembusan nafas Rudi begitu lambat dan tersengal-sengal serta sangat kesulitan untuk mengeluarkan udara yang sedari tadi membuatnya begitu sesak sehingga suaranya tercekat di kerongkongan. Hanya buliran bening yang seolah mewakili perasaannya saat ini. Begitupun ketiga wanita di sampingnya itu, berderai air mata dengan suara yang seakan pilu untuk di dengar telinga. Meski dengan nafas berat, Rudi mencoba kuat di depan orang-orang yang mencintainya. Nafasnya terkadang sesak dan sangat kesulitan untuk menghirupny
Pagi yang cerah dengan cahaya mentari mulai menyilaukan mata. Siska terbangun dari mimpi panjangnya, mata yang masih terasa sakit dan badan terasa pegal begitu membuatnya malas untuk segera beranjak dari peraduannya. Indri dan Bu Sari pun masih begitu pulas dengan mimpi indahnya yang sulit untuk di jeda tersebut. Dengkuran halus masih menghiasi tidur mereka meski sesekali terdengar suara ayam yang berkokok bersahut-sahutan. Langkah kakinya menuju dapur yang mana para kerabat sudah di sana saling bekerja sama untuk menyiapkan acara malam ketiga meninggalnya Rudi. Meski riuh para tetangga yang bergotong-royong itu tak juga membuat mereka terbangun."Sepagi ini sudah ramai?" gumam Siska. "Sarapan, Mbak?" tanya Rini saat melihat Siska yang sedang duduk di meja makan. "Kenapa harus seramai ini, Rin. Bukannya ini malah membuat pengeluaran banyak? Boros," ucap Siska tanpa menjawab pertanyaan dari Rini. "Tenang, Mbak. Aku nggak akan minta bantuan darimu, kok." Rini menjawab dengan ketus.
"Kamu jangan diam saja melihat ibumu diperlakukan buruk di sini. Lawan dong!" sindir Bu Sari saat Indri diam dan hanya memainkan ponselnya saja di kamar. "Memangnya kamu tidak sakit hati jika ibumu di katain oleh Rini seperti itu, kamu dan Toni itu berhak atas segala apa yang dimiliki oleh Rudi, ayah kalian. Enak saja jika harus dinikmati Rini sendiri. Kalian harus melawan, bersatu. Kamu juga, Ton, laki-laki kok lembek dan diam saja. Percuma," gerutu Bu Sari dengan perasaan dongkol.Bola mata Siska bergerak liar mendengar ceramah dari Ibunya yang membakar amarah tersebut. Darahnya begitu mendidih saat ucapan demi ucapan terlontar dengan membara itu. Bu Sari mengatakan dengan penuh semangat yang menggebu-gebu sehingga membuat para anak dan cucunya seolah dibakar bara untuk terus berjuang dan berdiri melawan apapun yang ada di depannya. "Memangnya kita harus ngapain, Nek?" tanya Toni yang membuat gigi Bu Sari bersuara. "Jangan menjadi laki-laki yang bo-doh, Ton. Kamu disini yang seha
Semua berjalan seperti biasanya. Rini mendesah pelan melihat tingkah laku dari iparnya itu. Sedangkan, Bude Karti yang duduk di sampingnya mencoba menghirup udara dalam-dalam. Tenaganya berkurang karena emosi yang keluar saat menghadapi Siska dan ibunya. "Bude benar-benar tak habis pikir dengan mereka. Entah apa yang ada di pikirannya, bibi lelah, Rin," ujar Bude Karti dengan menyandarkan tubuhnya di kursi sofa. "Rini juga, Bude. Sebenarnya malu sekali jika harus bersikap seperti tadi di depan para tetangga. Malu, karena tidak akur sama saudara, tapi mau bagaimana lagi, sikap Mbak Siska memang seperti itu. Entah apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Bingung," desah Rini pelan. Suasana kembali sunyi, Bude Karti dan Rini terbuai dalam angannya masing-masing. Mencoba berpikir jernih dan mencerna semua apa yang telah mereka dengar. Namun, hati kecil mereka seakan menolak kalau harus menuruti apa kemauan dari Siska. Hidup memang terlalu runyam jika harus bersekutu dengan yang namanya
"Ibu nggak habis pikir dengan Rini ipar kamu yang sok kaya itu. Bisa-bisanya dia berlagak sombong seperti itu. Harusnya kamu kasih pelajaran saja dahulu. Ibu gemas banget sama dia," ujar Bu Sari geregetan. Urat-urat tangannya mulai keluar sebagai tanda kemarahan yang telah menggebu-gebu. Dari dulu Bu Sari memang tidak suka terhadap keluarga menantunya itu, apalagi kalau masalah keuangan yang dulunya selalu disisihkan buat mereka. Rudi memang selalu meminta Siska untuk memberikan sedikit bahan pokok terhadap ibunya dan itu membuat hati Bu Sari dongkol. Dia tidak pernah rela jika besannya itu mendapat perhatian dari sang menantu. "Lalu aku harus bagaimana, Bu?" tanya Siska dengan menyandarkan tubuhnya di sofa. "Segala cara sudah aku lakukan untuk mendapatkan bagian lagi meski tidak banyak.""Jangan begitu dong, kok tidak banyak. Ya, harus banyak. Rudi itu anak laki-laki, Sis. Jadi bagian dia haruslah lebih banyak dari Rini. Kamu jangan bo-doh seperti ini dong. Berpikir jernih dan yan
Mata Siska menatap nyalang kepada Rini. Datar, tak ada senyum manis terukir di bibir merah merona yang menghiasinya. Sunyi. Seakan menunggu waktu untuk menyerang satu sama lain. Pun begitu dengan Rini, terdiam dan hanya mata yang bergerak liar seolah pertarungan yang sesungguhnya akan terjadi. Wak Kasim mencoba mencairkan suasana dengan mengeluarkan suara khas orang yang tengah terbatuk. Namun, semua masih saja terbuai dengan alam pikirannya masing-masing dan tegang."Apakah bisa dimulai sekarang?" tanya Wak Kasim yang membuat semua yang hadir sedikit terhenyak. Kaget. Rini mengangguk, begitu pun dengan Siska, Bu Sari dan kedua anak Siska yang dengan setia selalu mendampingi ibunya dalam segala hal. Walaupun memasang wajah tidak ramah, tapi mereka seakan sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi di depan mata. "Nak Siska, setelah kami dari pihak keluarga bermusyawarah bersama dan kami memutuskan untuk memberikan …." "Kalau dari awal seperti ini dan kamu mau
Semua kembali ke awal setelah acara tujuh harinya Rudi selesai. Rini bersiap untuk berdagang bersama suaminya. Segala kebutuhan telah disiapkan. Kursi di tata rapi dan meja pun bersih sehingga jika ada pembeli yang datang maka akan senang karena tempat makan mereka bersih dan nyaman untuk menikmati sajian.Para pelanggannya Rini berdatangan dan mengucapkan belasungkawa atas kepergian sang kakak. Dengan cekatan tangan Rini dan Yoga menyajikan pesanan dari pembeli yang memesan. Mereka berdua terlihat sibuk sehingga tanpa diduga ada seseorang yang melihatnya dari kejauhan.Sepasang mata yang melihat kesibukan mereka masih menatap dengan tatapan sinis. Sisil, dia datang dengan dandanan rapi. Duduk sedikit jauh dari para pembeli yang sedang antri pesanan mereka. Mengamati lalu mencebik karena rasa iri itu mulai menjalari otaknya."Ramai juga dagangannya," tukas Sisil yang membuat Rini hanya menyungging senyum tipis. "Ada apa kamu kesini? Mau pesan makanan juga? Atau ada hal lain seperti K
Pindah"Ibu mengabari, beliau meminta kita untuk pulang ke sana dan membangun rumah di tempat bagianku. Sedia atau tidak?" tanya Yoga saat sedang meracik bumbu untuk masak kuah bakso pagi ini. Rini menghentikan kegiatannya, matanya menatap sang suami yang masih setia mengaduk aneka bahan tersebut. Sadar jika Rini tengah memperhatikannya, Yoga menoleh dan tersenyum manis. "Itu kalau kamu mau, aku nggak akan memaksa kok. Nanti biar aku bilang sama Ibu kalau kita di sini sudah hidup nyaman." "Mas mengejekku?" Rini tersenyum kecut mendengar perkataan Yoga."Bukan. Hanya itu solusinya biar Mbak Siska tidak terus-menerus merongrong kita akan kehidupan mereka selanjutnya. Sebenarnya aku sudah capek jika harus berhadapan dengan dia dan ibunya. Nggak akan ada habisnya menurutku, iya, itu hanya menurutku saja. Semua keputusan ada pada kamu."Hening. Rini terdiam mendengar perkataan suaminya. Dia sadar jika selama ini hidupnya memang tidak tenang karena ulahj dari Siska. Rudi yang meminta wa