"Ibu nggak habis pikir dengan Rini ipar kamu yang sok kaya itu. Bisa-bisanya dia berlagak sombong seperti itu. Harusnya kamu kasih pelajaran saja dahulu. Ibu gemas banget sama dia," ujar Bu Sari geregetan. Urat-urat tangannya mulai keluar sebagai tanda kemarahan yang telah menggebu-gebu. Dari dulu Bu Sari memang tidak suka terhadap keluarga menantunya itu, apalagi kalau masalah keuangan yang dulunya selalu disisihkan buat mereka. Rudi memang selalu meminta Siska untuk memberikan sedikit bahan pokok terhadap ibunya dan itu membuat hati Bu Sari dongkol. Dia tidak pernah rela jika besannya itu mendapat perhatian dari sang menantu. "Lalu aku harus bagaimana, Bu?" tanya Siska dengan menyandarkan tubuhnya di sofa. "Segala cara sudah aku lakukan untuk mendapatkan bagian lagi meski tidak banyak.""Jangan begitu dong, kok tidak banyak. Ya, harus banyak. Rudi itu anak laki-laki, Sis. Jadi bagian dia haruslah lebih banyak dari Rini. Kamu jangan bo-doh seperti ini dong. Berpikir jernih dan yan
Mata Siska menatap nyalang kepada Rini. Datar, tak ada senyum manis terukir di bibir merah merona yang menghiasinya. Sunyi. Seakan menunggu waktu untuk menyerang satu sama lain. Pun begitu dengan Rini, terdiam dan hanya mata yang bergerak liar seolah pertarungan yang sesungguhnya akan terjadi. Wak Kasim mencoba mencairkan suasana dengan mengeluarkan suara khas orang yang tengah terbatuk. Namun, semua masih saja terbuai dengan alam pikirannya masing-masing dan tegang."Apakah bisa dimulai sekarang?" tanya Wak Kasim yang membuat semua yang hadir sedikit terhenyak. Kaget. Rini mengangguk, begitu pun dengan Siska, Bu Sari dan kedua anak Siska yang dengan setia selalu mendampingi ibunya dalam segala hal. Walaupun memasang wajah tidak ramah, tapi mereka seakan sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi di depan mata. "Nak Siska, setelah kami dari pihak keluarga bermusyawarah bersama dan kami memutuskan untuk memberikan …." "Kalau dari awal seperti ini dan kamu mau
Semua kembali ke awal setelah acara tujuh harinya Rudi selesai. Rini bersiap untuk berdagang bersama suaminya. Segala kebutuhan telah disiapkan. Kursi di tata rapi dan meja pun bersih sehingga jika ada pembeli yang datang maka akan senang karena tempat makan mereka bersih dan nyaman untuk menikmati sajian.Para pelanggannya Rini berdatangan dan mengucapkan belasungkawa atas kepergian sang kakak. Dengan cekatan tangan Rini dan Yoga menyajikan pesanan dari pembeli yang memesan. Mereka berdua terlihat sibuk sehingga tanpa diduga ada seseorang yang melihatnya dari kejauhan.Sepasang mata yang melihat kesibukan mereka masih menatap dengan tatapan sinis. Sisil, dia datang dengan dandanan rapi. Duduk sedikit jauh dari para pembeli yang sedang antri pesanan mereka. Mengamati lalu mencebik karena rasa iri itu mulai menjalari otaknya."Ramai juga dagangannya," tukas Sisil yang membuat Rini hanya menyungging senyum tipis. "Ada apa kamu kesini? Mau pesan makanan juga? Atau ada hal lain seperti K
Pindah"Ibu mengabari, beliau meminta kita untuk pulang ke sana dan membangun rumah di tempat bagianku. Sedia atau tidak?" tanya Yoga saat sedang meracik bumbu untuk masak kuah bakso pagi ini. Rini menghentikan kegiatannya, matanya menatap sang suami yang masih setia mengaduk aneka bahan tersebut. Sadar jika Rini tengah memperhatikannya, Yoga menoleh dan tersenyum manis. "Itu kalau kamu mau, aku nggak akan memaksa kok. Nanti biar aku bilang sama Ibu kalau kita di sini sudah hidup nyaman." "Mas mengejekku?" Rini tersenyum kecut mendengar perkataan Yoga."Bukan. Hanya itu solusinya biar Mbak Siska tidak terus-menerus merongrong kita akan kehidupan mereka selanjutnya. Sebenarnya aku sudah capek jika harus berhadapan dengan dia dan ibunya. Nggak akan ada habisnya menurutku, iya, itu hanya menurutku saja. Semua keputusan ada pada kamu."Hening. Rini terdiam mendengar perkataan suaminya. Dia sadar jika selama ini hidupnya memang tidak tenang karena ulahj dari Siska. Rudi yang meminta wa
Kehidupan baru Rini menyambut pagi dengan wajah sumringah. Udara bersih nan sejuk membuat paru-parunya seakan menari dan berdansa bahagia. Suara kicau burung yang hinggap di pepohonan begitu ramai bagaikan sebuah konser yang dihadiri oleh ribuan penonton. Bersahutan dengan ayam jago dan ayam betina yang saling beradu suara karena waktu pagi telah tiba. "Selamat pagi, Bu," sapa Rini. Bu Ratna yang sedang menyiapkan makanan menoleh ke sumber suara. Disapanya menantu perempuan satu-satunya itu dengan wajah berseri. "Selamat pagi, duduk dulu dan minum teh hangatnya supaya badanmu tidak kedinginan!" titah Bu Ratna dengan menyodorkan segelas teh hangat. "Assalamualaikum," ucap suara dari luar. "Itu Kakakmu datang. Dia pasti kangen sama kalian." Yuli Kakak dari Yoga datang dengan senyum yang mengembang. Keduanya saling sapa dan berhambur memeluk satu sama lainnya. "Tinggallah di sini selamanya menemani Ibu, jangan pergi lagi. Kita akan sama-sama menjaga Ibu," bujuk Yuli lembut.Rini
Rini mengelus perutnya yang kian membuncit, tendangan demi tendangan dia rasakan saat mencoba berbicara dengan bayinya yang masih dalam kandungan. Memandang jauh ke depan, Rini seolah berada dalam masa lalu. Bayangan-bayangan indah bersama ayah dan ibu serta Rudi datang memenuhi pikirannya. "Andai mereka masih ada di dunia ini pasti akan bahagia melihatku akan melahirkan," gumam Rini sendu. Tanpa terasa air mata turun dari sudut mata indahnya tersebut. Setetes, dua tetes hingga akhirnya deras membasahi pipi. "Hidup ini memang tidak semulus apa yang kita inginkan, kita di tuntut untuk menjadi pribadi tangguh dengan selalu di cambuk oleh ujian dan masalah yang tak henti-hentinya singgah dalam kehidupan kita. Tetaplah kokoh berdiri, sesekali mengeluh itu manusiawi, tapi jangan keterusan," ujar Yoga yanh melihat sang istri duduk termenung memandang langit yang menggantung. "Apa aku mampu?" "Kenapa tidak? Semua orang akan mampu jika selalu bergandengan tangan, berjalan bersama tanpa
"Kapan kamu lahiran? Ternyata suamimu dari golongan orang berada juga, ya?" Lagi-lagi Rini kembali di buat kaget saat Siska berbicara, wanita yang duduk di teras depan sambil mendengarkan musik untuk merelaksasi pikiran itu seketika menoleh ke sumber suara. Tidak ada salam ataupun panggilan untuk namanya, tiba-tiba Siska berbicara dan duduk di kursi tepatnya di depan Rini. Jantung Rini bergerak kencang dan tidak beraturan melihat ada gelagat aneh dari iparnya itu. "Apa maksudmu, Mbak?""Nggak ada, aku hanya ingin main saja. Kebetulan kita tetanggaan di sini, apa salahnya aku main ke rumah iparku yang baik hati." Bibir merah itu mengerucut dengan alis yang naik-turun. Rini mulai jengah dan ketakutan jika Siska akan berbuat nekat dan di luar batas. Sedang Yoga dan Bu Ratna tidak ada di rumah. Mereka pergi ke pasar untuk membeli perlengkapan bayi yang akan segera lahir.Sungguh pemandangan yang membuat bulu kuduk Rini berdiri dan nafasnya yang sulit dikendalikan. Ketakutannya jauh mel
Rini kelelahan saat malam tiba, didalam kamar dia memijat kakinya pelan. Meski agak kesusahan, tapi dia melakukannya dengan bersenandung kecil dan sesekali tersenyum sendiri. Rasa nyeri yang datang tiba-tiba membuat jantung wanita yang tengah hamil besar itu berpacu dengan kencang. Keringat dingin mulai berjatuhan dari punggung. Membasahi seluruh tubuh yang terasa panas dingin. "Kamu kenapa, Rin?" tanya Bu Ratna yang melihat perubahan wajah pada menantunya tersebut.Rini yang memejamkan mata saat merasakan sakit lalu bernapas lega dengan menyeka keringatnya itu membuat sang mertua meyakini kalau Rini memang sudah waktunya melahirkan. "Kita ke Puskesmas terdekat, ya!" ajak Bu Ratna dengan mengelus punggung Rini yang basah. Wanita itu menggeleng pelan, belum tentu rasa sakit yang datang dan pergi itu adalah salah satu ciri ibu yang hendak melahirkan.Rini masih kekeh untuk di rumah saja dengan merebahkan diri di kasur. Sesekali digigitnya bibir bawah demi menahan sesuatu yang terasa