Rudi sendirian malam ini, dia memanggil semua nama anggota keluarganya namun, tidak ada sama sekali yang datang untuk menjawab dari panggilannya. Rasa sesak menyeruak dalam dada Rudi dan membuat air matanya kembali mengalir deras membasahi pipinya yang kering.Hingga rasa lelah menyatroni raganya yang terasa lemah tak bertenaga. Yang membuat Rudi menghempaskan bobot tubuhnya yang semakin ringan itu di kasur dan tertidur hingga pagi tiba. Rasa terik matahari yang masuk membuat tubuhnya menghangat, keringat pun mulai bercucuran saking panasnya akan cuaca pagi ini atau tepatnya menjelang siang. "Sis!" teriaknya nyaris tak terdengar. Suara Rudi melemah begitupun tenaganya. Berulangkali dia memanggil nama istri yang sangat dicintainya itu dengan suara yang kian lama semakin tidak terdengar. Mata sayupnya mulai tertutup perlahan-lahan seiring dengan nafas yang sulit untuk keluar masuk.Tubuhnya menggigil kedinginan karena semalaman dia harus berselimut kain basah. Teriaknya semakin lama s
"Kenapa kamu berdiam diri di sini? Mikirin suami kamu yang tidak bisa di andalkan itu?" tanya Bu Sari geram. Siska hanya melotot mendengar pertanyaan dari ibunya yang malah semakin membuat hatinya kacau dan tidak bisa berpikir jernih lagi. Otaknya pun buntu seperti tertumpu batu yang sangat besar. Diam di satu tempat tanpa bergeser sedikitpun. Jauh di dalam hati Siska sebenarnya dia masih mencintai sang suami namun, rasa gengsi yang sudah menggunung membuat dia begitu dilema antara melepaskan atau mempertahankan. Dia takut dengan status barunya kelak jika harus berpisah dari Rudi. Karena menyandang status janda tidaklah mudah untuk bergerak. Trauma akan masa lalu sang Ibu yang mana saat dia kecil selalu di ejek karena Ibunya tidak memiliki suami. Bahkan dia dan adiknya Sisil selalu di hina sama teman sebayanya kalau tidak punya Ayah. Rasa sakit itu masih membekas di relung hati Siska sampai kini."Aku nggak mau menjadi janda, Bu," kata Siska membuat Bu Sari sedikit kaget. "Aku ngga
"Bagaimana keadaan Mas Rudi?" tanya Yoga yang pagi ini membesuk iparnya terbaring lemah di rumah sakit. Yoga membawa makanan untuk sang istri yang semalaman menjaga kakaknya. Wajah lelah Rini begitu kusut membuat Yoga mendekati dan memeluknya penuh kehangatan. Air mata Rini luruh saat wajahnya bersembunyi di dada sang suami. Bahunya berguncang, membuat Yoga semakin memeluk dan mencium mahkota istrinya itu dengan penuh rasa cinta. "Tenang, sabar, semua ini adalah ujian dan akan membuat kita jauh lebih tinggi karena kuat menghadapinya. Aku akan selalu berada disampingmu," hibur Yoga dengan lembut. "Terima kasih, Mas, terima kasih. Mas, bagaimana kalau kita membawa Mas Rudi untuk tinggal bersama kita. Apakah Mas Yoga keberatan?" tanya Rini hati-hati.Yoga menghembuskan nafasnya pelan dan menyunggingkan sebuah senyuman untuk sang istri, dia menggeleng pelan lalu mengelus pucuk rambut Rini yang hitam. "Tidak, Mas setuju saja sama keputusan yang kamu ambil namun, bagaimana dengan istri
"Sis …" Suara lirih Rudi membuat semua yang di ruangan terhenyak sesaat lalu saling pandang dan berangsur maju mendekati Rudi yang terbaring lemah. Pandangan mata yang dulunya tajam bak tatapan elang itu kini terlihat sayu dan tidak ada tenaga. Senyum merekah menghiasi tiga wanita yang menyayangi Rudi. Mereka semua mengesampingkan rasa yang tadinya hampir tersulut emosi. "Mas …" Siska mengelus pucuk rambut yang mulai menipis dan memperlihatkan kulit kepala yang memutih itu. Hembusan nafas Rudi begitu lambat dan tersengal-sengal serta sangat kesulitan untuk mengeluarkan udara yang sedari tadi membuatnya begitu sesak sehingga suaranya tercekat di kerongkongan. Hanya buliran bening yang seolah mewakili perasaannya saat ini. Begitupun ketiga wanita di sampingnya itu, berderai air mata dengan suara yang seakan pilu untuk di dengar telinga. Meski dengan nafas berat, Rudi mencoba kuat di depan orang-orang yang mencintainya. Nafasnya terkadang sesak dan sangat kesulitan untuk menghirupny
Pagi yang cerah dengan cahaya mentari mulai menyilaukan mata. Siska terbangun dari mimpi panjangnya, mata yang masih terasa sakit dan badan terasa pegal begitu membuatnya malas untuk segera beranjak dari peraduannya. Indri dan Bu Sari pun masih begitu pulas dengan mimpi indahnya yang sulit untuk di jeda tersebut. Dengkuran halus masih menghiasi tidur mereka meski sesekali terdengar suara ayam yang berkokok bersahut-sahutan. Langkah kakinya menuju dapur yang mana para kerabat sudah di sana saling bekerja sama untuk menyiapkan acara malam ketiga meninggalnya Rudi. Meski riuh para tetangga yang bergotong-royong itu tak juga membuat mereka terbangun."Sepagi ini sudah ramai?" gumam Siska. "Sarapan, Mbak?" tanya Rini saat melihat Siska yang sedang duduk di meja makan. "Kenapa harus seramai ini, Rin. Bukannya ini malah membuat pengeluaran banyak? Boros," ucap Siska tanpa menjawab pertanyaan dari Rini. "Tenang, Mbak. Aku nggak akan minta bantuan darimu, kok." Rini menjawab dengan ketus.
"Kamu jangan diam saja melihat ibumu diperlakukan buruk di sini. Lawan dong!" sindir Bu Sari saat Indri diam dan hanya memainkan ponselnya saja di kamar. "Memangnya kamu tidak sakit hati jika ibumu di katain oleh Rini seperti itu, kamu dan Toni itu berhak atas segala apa yang dimiliki oleh Rudi, ayah kalian. Enak saja jika harus dinikmati Rini sendiri. Kalian harus melawan, bersatu. Kamu juga, Ton, laki-laki kok lembek dan diam saja. Percuma," gerutu Bu Sari dengan perasaan dongkol.Bola mata Siska bergerak liar mendengar ceramah dari Ibunya yang membakar amarah tersebut. Darahnya begitu mendidih saat ucapan demi ucapan terlontar dengan membara itu. Bu Sari mengatakan dengan penuh semangat yang menggebu-gebu sehingga membuat para anak dan cucunya seolah dibakar bara untuk terus berjuang dan berdiri melawan apapun yang ada di depannya. "Memangnya kita harus ngapain, Nek?" tanya Toni yang membuat gigi Bu Sari bersuara. "Jangan menjadi laki-laki yang bo-doh, Ton. Kamu disini yang seha
Semua berjalan seperti biasanya. Rini mendesah pelan melihat tingkah laku dari iparnya itu. Sedangkan, Bude Karti yang duduk di sampingnya mencoba menghirup udara dalam-dalam. Tenaganya berkurang karena emosi yang keluar saat menghadapi Siska dan ibunya. "Bude benar-benar tak habis pikir dengan mereka. Entah apa yang ada di pikirannya, bibi lelah, Rin," ujar Bude Karti dengan menyandarkan tubuhnya di kursi sofa. "Rini juga, Bude. Sebenarnya malu sekali jika harus bersikap seperti tadi di depan para tetangga. Malu, karena tidak akur sama saudara, tapi mau bagaimana lagi, sikap Mbak Siska memang seperti itu. Entah apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Bingung," desah Rini pelan. Suasana kembali sunyi, Bude Karti dan Rini terbuai dalam angannya masing-masing. Mencoba berpikir jernih dan mencerna semua apa yang telah mereka dengar. Namun, hati kecil mereka seakan menolak kalau harus menuruti apa kemauan dari Siska. Hidup memang terlalu runyam jika harus bersekutu dengan yang namanya
"Ibu nggak habis pikir dengan Rini ipar kamu yang sok kaya itu. Bisa-bisanya dia berlagak sombong seperti itu. Harusnya kamu kasih pelajaran saja dahulu. Ibu gemas banget sama dia," ujar Bu Sari geregetan. Urat-urat tangannya mulai keluar sebagai tanda kemarahan yang telah menggebu-gebu. Dari dulu Bu Sari memang tidak suka terhadap keluarga menantunya itu, apalagi kalau masalah keuangan yang dulunya selalu disisihkan buat mereka. Rudi memang selalu meminta Siska untuk memberikan sedikit bahan pokok terhadap ibunya dan itu membuat hati Bu Sari dongkol. Dia tidak pernah rela jika besannya itu mendapat perhatian dari sang menantu. "Lalu aku harus bagaimana, Bu?" tanya Siska dengan menyandarkan tubuhnya di sofa. "Segala cara sudah aku lakukan untuk mendapatkan bagian lagi meski tidak banyak.""Jangan begitu dong, kok tidak banyak. Ya, harus banyak. Rudi itu anak laki-laki, Sis. Jadi bagian dia haruslah lebih banyak dari Rini. Kamu jangan bo-doh seperti ini dong. Berpikir jernih dan yan