"Sisil … ibu … seneng banget kalian kesini, yuk masuk!" Siska terlihat bahagia kedatangan orang tua dan adiknya.
Bu Sari membawa oleh-oleh dari kampungnya dengan berjalan sedikit kepayahan. "Mana menantu Ibu yang ganteng, kerja?" tanya Bu Sari dengan mata berbinar. "Kerja dong, Bu. Kalau nggak kerja nanti aku makan apa." Sisil merasa kecapekan, wajahnya penuh peluh sehingga membuat ada kemerah-merahan di pipinya. "Sil, ambilin ibu minum! Mau dingin apa panas, Bu?" tanya Siska dengan masih memeluk ibunya. "Dingin saja, mana cucu ibu? Mereka sekolah?" "Les, Bu. Nih, diminum dulu!" Mereka bertiga saling melempar canda, Siska sangat bahagia bisa bertemu dengan keluarganya. Hingga tanpa terasa, anak-anaknya yang sedang mengikuti les tidak di jemputnya. "Permisi, Mbak Siska, ini Toni sama Indri tadi saya bawa karena mungkin Mbak lula menjemputnya," Mbak Dini tetangga Siska datang dengan kedua anak Siska. "Terima kasih banyak ya, Jeng." "Sama-sama, permisi." ☀️☀️ Rudi tercengang melihat rumah yang sangat berantakan, sampah plastik makanan ringan berceceran di mana-mana. Dahinya mengernyit, sejenak matanya memejam. Menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Tangannya bergerak lincah membersihkan rumah yang seperti kapal pecah. Belum lagi meja makan yang sangat tidak karuan. 'Kemana mereka semua?' batin Rudi dengan kedua tangannya memegang alat kebersihan. Hanya memakan waktu sampai satu jam rumah kembali bersih dan sedap dipandang mata. Raganya yang lelah seharian bekerja di kantor di tambah lagi harus lembur dengan pekerjaan rumah. Kruk … kruk … kruk … Suara ayam dalam perut Rudi mulai beraksi, perih. Keringat dingin mulai mengucur pertanda badannya tidak baik-baik saja. Langkah kakinya gontai menuju lemari pendingin. Dihembuskannya nafas secara kasar, tidak ada apa-apa di dalamnya. Akhirnya Rudi pun memulai aksinya dengan memasak mie instan lagi yang masih tersedia dan berjajar rapi di tempatnya. Suara seseorang membuka pintu dan terdengar suara ramai, membuat Rudi membalikkan tubuhnya. "Sudah pulang, Pa? Lagi ngapain?" tanya Siska dengan wajah datarnya. "Hai, Kak," sapa Sisil saat melihat kakak iparnya sedang menikmati makan malamnya sendirian. Rudi hanya mengangguk, lalu melanjutkan lagi menyantap makanan yang menjadi favoritnya akhir-akhir ini. "Disapa kok diam saja, kenapa?" tanya Siska yang membuat Rudi tiba-tiba keselek hingga membuatnya terbatuk-batuk. Siska menyodorkan minuman untuk suaminya dengan mengelus-elus lembut punggungnya. "Hati-hati kalau makan, ah, nggak usah buru-buru begitu." "Aku sudah mengangguk, Mama sayang. Kalian dari mana saja?" "Tadi kita nganterin Ibu pulang lalu sekalian jalan-jalan, tuh, nganterin Sisil mau lihat ikon kota ini!" ujar Siska. Sisil mengangguk membenarkan ucapan sang Kakak. "Anak-anak sudah makan?" tanya Rudi saat melihat kedua buah hatinya masih bermain di ruang keluarga. "Sudah kok, ayo anak-anak cuci tangan, kaki dan muka lalu tidur!" Meski sedikit merengek karena masih ingin bermain, kedua anak mereka gegas beralih menuju kamar mandi lalu membersihkan diri mereka. Berpamitan kepada sang Ayah dan menuju peraduan bersama sang Ibu. "Sudah lulus kuliahnya, Sil?" tanya Rudi saat mendapati adik iparnya yang masih duduk di ruang makan dengan memainkan gadget. "Sudah, Kak. Dan rencananya mau cari kerja, Kakak tahu ada lowongan nggak?" ujar Sisil dengan sesekali memandang Rudi. "Di kantor, Kakak belum ada lowongan, kemarin aku sudah tanya kok. Permisi." Rudi masuk ke kamar untuk meluruskan punggungnya yang lumayan pegal hari ini. Raganya begitu lelah. ❤️❤️"Lho, kamu masak, Sil?" tanya Rudi dengan wajah keheranan.Sisil mengangguk dan tersenyum manis, aduk iparnya itu memang rajin. Jika sedang main ke rumah mereka selalu saja membersihkan rumah, masak dan mencuci baju. Sedang Siska menikmati hari-harinya dengan menata tubuhnya yang semakin sintal. Wajah cantiknya membuat sang suami selalu mengambil alih semua pekerjaan rumah jika dia enggan bergerak.Makanan sudah tertata rapi di meja makan, membuat perut yang kosong semakin bertambah riuh meminta untuk diisi. Senyum Rudi mengembang saat sang istri datang dengan rambut yang dililit dengan handuk. "Sarapan, Ma!" ajak Rudi."Iya, sini aku ambilin. Oh, ya, Pa aku …" Suara Siska terhenti karena aca bel rumah sedang berbunyi. "Siapa yang pagi-pagi begini bertamu?" guman Siska dengan melangkah menuju pintu.Mata Siska terbelalak melihat iparnya datang dengan pakaian yang sangat rapi dan seperti sedang hendak pergi melamar kerja. Dipandanginya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Siska m
"Tidak apa, kamu bisa mencari pekerjaan lain kok, Rin. Rezeki, jodoh dan maut sudah ditentukan sama yang diatas," hibur Bu Rukmini ketika Rini menceritakan semua yang terjadi saat di rumah Kakaknya.Rini memang sedikit luruh hatinya, cita-citanya ingin bekerja di kantor telah kandas. Bagaimana mungkin lagi dia bisa mencari pekerjaan dengan hanya seorang tamatan SMA? Bu Rukmini yang melihat kesedihan di raut wajah putrinya itu turut sedih, namun, ditutupi nya dengan berbagai nasehat supaya terlihat tegar. "Bagaimana kalau kita jualan bakso saja? Kita bisa memulainya dari rumah, karena untuk memyewa kios itu perlu modal banyak. Sedang, uang bapak belum cukup, setuju?" Ide Bapak membuat Rini sedikit terhenyak.Di saat dirinya sedang dalam hati yang tidak karuan, orang tuanya justru menyemangati dengan sepenuh hati. Meski raga mereka tidaklah sekuat dulu, namun, semangatnya membuat Rini menitikkan buliran bening."Ibu 'kan dulu jualan bakso, tetapi karena belum rejekinya makanya berhent
"Ayo, Sil, kamu siap-siap untuk melamar kerja dulu! Biar nanti, Mbak yang lanjutkan pekerjaannya saja!" perintah Siska terhadap adiknya.Sisil menurut, dengan senang hati dia pergi mandi dan berpakaian rapi demi mendapatkan pekerjaan di kantor. Senyum bahagia menghiasi bibir Sisil sejak kakaknya meminta Rudi untuk mengajaknya pergi melamar pekerjaan di kantor tempat Kakak iparnya bekerja itu.Rudi menunggu di ruang tamu dengan memainkan gadget yang selalu setia digenggamnya. Tidak ada rasa bersalah terhadap Rini, meski tanpa sengaja pertikaiannya tadi pagi menyisakan luka di hati sang adik. Rudi hanya merasakan sedikit lega karena pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan olehnya kini dilakukan oleh Sisil. Biasanya setiap pagi seusai sholat subuh, Rudi akan mengerjakan segala pekerjaan rumah.Lalu setiap pulang dari kerja, dia dihidangkan dengan seember besar pakaian kotor yang masih terendam dengan setia karena menunggunya untuk di cuci. Piring kotor bertumpuk bak gunung memenuhi was
"Pa, besok akan ada arisan di rumah. Sofa itu aku mau buang, ganti yang baru."Rendi yang baru menikmati makan malamnya seketika terhenyak dari duduknya. Dahinya berkerut mendengar permintaan dari istrinya itu."Itu, 'kan masih bagus, Ma," ujar Rudi dengan melanjutkan lagi makan malamnya.Siska memasang wajah masam, ingin saja rasanya ia berteriak di depan wajah suaminya itu jika tidak ada anak-anak mereka saat itu juga. Di hentakkan kaki ke lantai dengan keras lalu melangkah menuju Rudi yang sedang menikmati rezeki yang diterimanya."Pa, malulah kalau sofa yang sudah kusam begitu masih terpampang di ruang tamu. Teman-teman, Mama itu orang-orang kaya semua. Mama saja dibuat heran kalau sedang main ke rumah mereka, mau ditaruh dimana muka Mama nanti kalau sofa buluk itu masih disana?" ujar Siska dengan gigi bergemeletuk."Ma …." "Sudahlah, Mama sudah pesan kok. Sebentar lagi juga datang." "Kok tidak bilang-bilang dulu, Ma …." "Kalau bilang pasti, Papa tidak akan setuju dan mengeluar
"Maaf, Rin. Bukannya, Mas telah berbuat jahat sama kamu, namun, Mas benar-benar sedang membutuhkan bantuanmu sekarang!" Rendi menggenggam tangan Rini dengan pandangan yang sendu.Reni memalingkan mukanya ke samping, bukan karena dia membenci Rudi. Akan tetapi, Rini berusaha menyembunyikan air mata yang suatu saat bisa menetes kapan saja sesuai dengan kemauannya.Warisan tanah yang tidak seberapa yang terletak di samping rumah Pak Rosadi, bapaknya Rudi. Yang menurut Siska adalah bagian untuk Rudi, akan dijual meski belum bersertifikat.Maka, Rini pun harus ikut andil dalam hal itu. Rini, masih saja bergeming. Niat hati ingin menjaga pemberian sang bapak untuk tempat tinggal Rudi kelak jika ingin pulang dan tinggal di kampung sudah lenyap. Rini, dilema. Antara setuju dengan permintaan Rudi atau bersikukuh untuk menjaganya hingga suatu saat nanti. Entahlah. "Sebenarnya ibu tidak rela jika tanah itu dijual, Rud. Itu satu-satunya pemberian bapakmu untuk kelak jika kalian ingin hidup menu
"Kalau begini 'kan kita bisa bahagia, punya mobil sendiri tanpa harus rental kalau mau bepergian. Iya, 'kan anak-anak?" tanya Siska dengan menyilangkan kakinya.Senyum manis mengembang di bibir seksi Siska karena keinginannya terkabul dengan cepat, sesuai dengan rencananya. Anak-anak Siska dan Rudi pun senang bukan kepalang karena kehidupan mereka lebih baik dari sebelumnya. Kehidupan mewah selama ini yang sering diimpikan akhirnya terkabul tanpa harus bersusah payah untuk mengeluarkan keringat. Sifat Siska menurun ke anak-anaknya, bagaikan pepatah buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. "Ma, besok Toni akan kuliah, butuh uang banyak untuk membeli pakaian baru. Aku nggak mau pakai yang lama, memangnya Mama mau aku terlihat kumal di antara yang lain?" ujar Toni dengan mengerlingkan sebelah matanya ke arah Siska. "Iya, nanti kalau Papamu gajian kita belanja apapun kebutuhan kamu," jawab Siska dengan entengnya."Mama memang yang terbaik, selalu memberikan apa yang aku minta," ujar T
Semenjak kecelakaan saat liburan itu, Rudi mengalami stroke. Semua tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali, membuat hari-hari Rudi begitu penuh dengan kesengsaraan. Istri yang di gadang-gadang karena kecantikannya kini mulai enggan menjaga juga merawat sang suami. Bahkan anak-anak Rudi sekalipun tidak pernah menyapa atau ikut berpartisipasi dalam merawat sang ayah. Rudi berkecil hati dan tidak ada semangat untuk hidup lebih panjang lagi. Keseharian Rudi tidak pernah terlepas dari ruangan yang sempit dan sirkulasi udara yang baik. Siska memberikan ruangan untuk pembantu bagi suaminya yang dahulu sangat mencintai dan menyayangi tanpa balas itu.Saat hendak makan, Rudi hanya berteriak dan memanggil sang istri maupun anak-anak karena perut terasa melilit dan tenggorokan kering tanpa air. Saat malam tiba, Rudi hanya bisa menangis dengan tersedu-sedu akan nasib yang telah menimpanya. Dia akan tidur sendirian ditempat yang membuatnya tidak nyaman itu."Ini, makan sendiri!" Piring berisi
Semenjak dari rumah Rudi saat sampai rumah Bu Rukmini langsung menuju kamarnya, merenungi apa yang tengah terjadi dengan rumah tangga sang anak lelaki. Ada tangis yang disimpan oleh seorang Ibu yang telah disakiti namun, rasa sayang itu masih utuh.Hingga beberapa hari kemudian pun, Bu Rukmini masih saja selalu melamun dan tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan ramah terhadap siapapun yang tengah lewat di depan rumahnya. Tidak jarang banyak Ibu-ibu yang bertanya kepada Rini, apakah Bu Rukmini sedang sakit karena sikapnya yang lebih pendiam dan jarang keluar rumah."Makan dulu, Bu!" ajak Rini saat melihat Bu Rukmini masih terdiam di kamarnya dalam bisu. "Apa tidak sebaiknya kita bawa saja Kakakmu pulang ke rumah ini, Rin? Ibu tidak tega melihat dia yang seperti tidak ada harga dirinya disana. Kamu lihat, 'kan sikap dari Siska kemarin? Ibu benar-benar terluka dengan apa yang Ibu lihat sendiri," isak Bu Rukmini saat Rini duduk di sampingnya. Kedua bahu renta itu berguncang heba