"Pa, besok akan ada arisan di rumah. Sofa itu aku mau buang, ganti yang baru."Rendi yang baru menikmati makan malamnya seketika terhenyak dari duduknya. Dahinya berkerut mendengar permintaan dari istrinya itu."Itu, 'kan masih bagus, Ma," ujar Rudi dengan melanjutkan lagi makan malamnya.Siska memasang wajah masam, ingin saja rasanya ia berteriak di depan wajah suaminya itu jika tidak ada anak-anak mereka saat itu juga. Di hentakkan kaki ke lantai dengan keras lalu melangkah menuju Rudi yang sedang menikmati rezeki yang diterimanya."Pa, malulah kalau sofa yang sudah kusam begitu masih terpampang di ruang tamu. Teman-teman, Mama itu orang-orang kaya semua. Mama saja dibuat heran kalau sedang main ke rumah mereka, mau ditaruh dimana muka Mama nanti kalau sofa buluk itu masih disana?" ujar Siska dengan gigi bergemeletuk."Ma …." "Sudahlah, Mama sudah pesan kok. Sebentar lagi juga datang." "Kok tidak bilang-bilang dulu, Ma …." "Kalau bilang pasti, Papa tidak akan setuju dan mengeluar
"Maaf, Rin. Bukannya, Mas telah berbuat jahat sama kamu, namun, Mas benar-benar sedang membutuhkan bantuanmu sekarang!" Rendi menggenggam tangan Rini dengan pandangan yang sendu.Reni memalingkan mukanya ke samping, bukan karena dia membenci Rudi. Akan tetapi, Rini berusaha menyembunyikan air mata yang suatu saat bisa menetes kapan saja sesuai dengan kemauannya.Warisan tanah yang tidak seberapa yang terletak di samping rumah Pak Rosadi, bapaknya Rudi. Yang menurut Siska adalah bagian untuk Rudi, akan dijual meski belum bersertifikat.Maka, Rini pun harus ikut andil dalam hal itu. Rini, masih saja bergeming. Niat hati ingin menjaga pemberian sang bapak untuk tempat tinggal Rudi kelak jika ingin pulang dan tinggal di kampung sudah lenyap. Rini, dilema. Antara setuju dengan permintaan Rudi atau bersikukuh untuk menjaganya hingga suatu saat nanti. Entahlah. "Sebenarnya ibu tidak rela jika tanah itu dijual, Rud. Itu satu-satunya pemberian bapakmu untuk kelak jika kalian ingin hidup menu
"Kalau begini 'kan kita bisa bahagia, punya mobil sendiri tanpa harus rental kalau mau bepergian. Iya, 'kan anak-anak?" tanya Siska dengan menyilangkan kakinya.Senyum manis mengembang di bibir seksi Siska karena keinginannya terkabul dengan cepat, sesuai dengan rencananya. Anak-anak Siska dan Rudi pun senang bukan kepalang karena kehidupan mereka lebih baik dari sebelumnya. Kehidupan mewah selama ini yang sering diimpikan akhirnya terkabul tanpa harus bersusah payah untuk mengeluarkan keringat. Sifat Siska menurun ke anak-anaknya, bagaikan pepatah buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. "Ma, besok Toni akan kuliah, butuh uang banyak untuk membeli pakaian baru. Aku nggak mau pakai yang lama, memangnya Mama mau aku terlihat kumal di antara yang lain?" ujar Toni dengan mengerlingkan sebelah matanya ke arah Siska. "Iya, nanti kalau Papamu gajian kita belanja apapun kebutuhan kamu," jawab Siska dengan entengnya."Mama memang yang terbaik, selalu memberikan apa yang aku minta," ujar T
Semenjak kecelakaan saat liburan itu, Rudi mengalami stroke. Semua tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali, membuat hari-hari Rudi begitu penuh dengan kesengsaraan. Istri yang di gadang-gadang karena kecantikannya kini mulai enggan menjaga juga merawat sang suami. Bahkan anak-anak Rudi sekalipun tidak pernah menyapa atau ikut berpartisipasi dalam merawat sang ayah. Rudi berkecil hati dan tidak ada semangat untuk hidup lebih panjang lagi. Keseharian Rudi tidak pernah terlepas dari ruangan yang sempit dan sirkulasi udara yang baik. Siska memberikan ruangan untuk pembantu bagi suaminya yang dahulu sangat mencintai dan menyayangi tanpa balas itu.Saat hendak makan, Rudi hanya berteriak dan memanggil sang istri maupun anak-anak karena perut terasa melilit dan tenggorokan kering tanpa air. Saat malam tiba, Rudi hanya bisa menangis dengan tersedu-sedu akan nasib yang telah menimpanya. Dia akan tidur sendirian ditempat yang membuatnya tidak nyaman itu."Ini, makan sendiri!" Piring berisi
Semenjak dari rumah Rudi saat sampai rumah Bu Rukmini langsung menuju kamarnya, merenungi apa yang tengah terjadi dengan rumah tangga sang anak lelaki. Ada tangis yang disimpan oleh seorang Ibu yang telah disakiti namun, rasa sayang itu masih utuh.Hingga beberapa hari kemudian pun, Bu Rukmini masih saja selalu melamun dan tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan ramah terhadap siapapun yang tengah lewat di depan rumahnya. Tidak jarang banyak Ibu-ibu yang bertanya kepada Rini, apakah Bu Rukmini sedang sakit karena sikapnya yang lebih pendiam dan jarang keluar rumah."Makan dulu, Bu!" ajak Rini saat melihat Bu Rukmini masih terdiam di kamarnya dalam bisu. "Apa tidak sebaiknya kita bawa saja Kakakmu pulang ke rumah ini, Rin? Ibu tidak tega melihat dia yang seperti tidak ada harga dirinya disana. Kamu lihat, 'kan sikap dari Siska kemarin? Ibu benar-benar terluka dengan apa yang Ibu lihat sendiri," isak Bu Rukmini saat Rini duduk di sampingnya. Kedua bahu renta itu berguncang heba
"Assalamualaikum, Rudi, Rudi!" panggil Agus dengan mengetuk pintu saat berkunjung ke rumah sahabat karibnya, Rudi. Siska yang masih terduduk santai dengan bermain ponsel seketika terperanjat dan kebingungan harus bagaimana menghadapi tamu yang mendadak datang. Dalam hatinya menggerutu dengan kalimat-kalimat yang buruk serta sumpah serapah karena tanpa persiapan ada tamu yang tak diundang. Segera mungkin Siska mulai menguasai dirinya dengan baik, diambilnya nafas panjang lalu dikeluarkan perlahan untuk bisa bersikap baik dan serakah mungkin terhadap teman dari suaminya itu. Setelah semua persiapan sudah usai, akhirnya pintu pun terbuka lebar. Senyum manis terbit di bibir indah Siska, merekah serta dengan mata yang berbinar melihat pasangan serasi berdiri di depannya itu dengan membawa buah tangan yang banyak. Seperti harimau yang tengah kelaparan, seakan liur Siska hendak menetes namun ditahannya demi sebuah rasa yang bernama gengsi."Maaf karena menunggu lama, Mas Rudi sedang ada d
"Mas …." Rudi tercengang melihat Siska yang memanggilnya dengan sebutan 'Mas' karena jarang sekali dia memanggil dengan itu. Siska menatap nyalang dan seketika menutup hidungnya yang mencium bau dari sekeliling suaminya. "Sejak kapan kamu memanggilku, Mas?" Rudi menatap tajam ke arah istrinya yang tengah berdiri menjauhinya."Sejak sekarang, begitu saja dipermasalahkan, kamu juga kenapa seperti ini? Ih, jorok sekali," murka Siska dengan berjalan ke depan melihat tamu yang datang saat waktu yang mulai beranjak sore. Saat pintu terbuka ada sepasang suami istri yang tengah menunggu di teras, mereka duduk tanpa saling berbicara karena sibuk dengan gawainya masing-masing. Pasangan itupun menoleh karena sang empunya rumah datang dengan wajah datarnya. "Mbak," ujar Rini, lalu mereka berdiri menyalami Siska yang masih memasang senyum tak ramah."Tumben sore-sore begini kamu kesini, ada apa?" tanya Siska menyelidik. "Boleh kita masuk? Lebih baik kita berbicara di dalam, Mbak. Nggak enak k
Bu Rukmini tergugu mendengar penjelasan dari Rini jika Rudi menolak diajak pulang ke rumah mereka. Hatinya semakin sakit dan terluka saat membayangkan kejadian tempo hari yang mana dia dan Rini mendapati Rudi yang tengah bergumul dengan kotorannya sendiri. Tubuh yang dulu gagah dan tegap berganti tulang yang menonjol, menunjukkan kalau dia tidak baik-baik saja selama ini. Saat disuapi makanan pun, seperti seseorang yang tengah kelaparan. Makan dengan lahap dan meninggalkan sisa-sisa makanan di sekitar mulut. "Mbak Siska meminta jatah setiap bulan, Bu. Entah apa yang dipikirkan oleh dia, akupun tidak paham sama sekali. Katanya kita berkewajiban membantu mereka karena saudara," jelas Rini saat Ibunya menyeka air mata yang tumpah ruah.Bu Rukmini seketika membelalakkan kedua mata seolah tak percaya dengan apa yang didengar, Bu Rukmini mendekati sang putri dengan tatapan yang penuh tanya. Seolah mengerti akan apa yang dipikirkan oleh Ibunya, Rini mengangguk perlahan dengan nafas mendesa