Semenjak kecelakaan saat liburan itu, Rudi mengalami stroke. Semua tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali, membuat hari-hari Rudi begitu penuh dengan kesengsaraan. Istri yang di gadang-gadang karena kecantikannya kini mulai enggan menjaga juga merawat sang suami. Bahkan anak-anak Rudi sekalipun tidak pernah menyapa atau ikut berpartisipasi dalam merawat sang ayah. Rudi berkecil hati dan tidak ada semangat untuk hidup lebih panjang lagi. Keseharian Rudi tidak pernah terlepas dari ruangan yang sempit dan sirkulasi udara yang baik. Siska memberikan ruangan untuk pembantu bagi suaminya yang dahulu sangat mencintai dan menyayangi tanpa balas itu.Saat hendak makan, Rudi hanya berteriak dan memanggil sang istri maupun anak-anak karena perut terasa melilit dan tenggorokan kering tanpa air. Saat malam tiba, Rudi hanya bisa menangis dengan tersedu-sedu akan nasib yang telah menimpanya. Dia akan tidur sendirian ditempat yang membuatnya tidak nyaman itu."Ini, makan sendiri!" Piring berisi
Semenjak dari rumah Rudi saat sampai rumah Bu Rukmini langsung menuju kamarnya, merenungi apa yang tengah terjadi dengan rumah tangga sang anak lelaki. Ada tangis yang disimpan oleh seorang Ibu yang telah disakiti namun, rasa sayang itu masih utuh.Hingga beberapa hari kemudian pun, Bu Rukmini masih saja selalu melamun dan tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan ramah terhadap siapapun yang tengah lewat di depan rumahnya. Tidak jarang banyak Ibu-ibu yang bertanya kepada Rini, apakah Bu Rukmini sedang sakit karena sikapnya yang lebih pendiam dan jarang keluar rumah."Makan dulu, Bu!" ajak Rini saat melihat Bu Rukmini masih terdiam di kamarnya dalam bisu. "Apa tidak sebaiknya kita bawa saja Kakakmu pulang ke rumah ini, Rin? Ibu tidak tega melihat dia yang seperti tidak ada harga dirinya disana. Kamu lihat, 'kan sikap dari Siska kemarin? Ibu benar-benar terluka dengan apa yang Ibu lihat sendiri," isak Bu Rukmini saat Rini duduk di sampingnya. Kedua bahu renta itu berguncang heba
"Assalamualaikum, Rudi, Rudi!" panggil Agus dengan mengetuk pintu saat berkunjung ke rumah sahabat karibnya, Rudi. Siska yang masih terduduk santai dengan bermain ponsel seketika terperanjat dan kebingungan harus bagaimana menghadapi tamu yang mendadak datang. Dalam hatinya menggerutu dengan kalimat-kalimat yang buruk serta sumpah serapah karena tanpa persiapan ada tamu yang tak diundang. Segera mungkin Siska mulai menguasai dirinya dengan baik, diambilnya nafas panjang lalu dikeluarkan perlahan untuk bisa bersikap baik dan serakah mungkin terhadap teman dari suaminya itu. Setelah semua persiapan sudah usai, akhirnya pintu pun terbuka lebar. Senyum manis terbit di bibir indah Siska, merekah serta dengan mata yang berbinar melihat pasangan serasi berdiri di depannya itu dengan membawa buah tangan yang banyak. Seperti harimau yang tengah kelaparan, seakan liur Siska hendak menetes namun ditahannya demi sebuah rasa yang bernama gengsi."Maaf karena menunggu lama, Mas Rudi sedang ada d
"Mas …." Rudi tercengang melihat Siska yang memanggilnya dengan sebutan 'Mas' karena jarang sekali dia memanggil dengan itu. Siska menatap nyalang dan seketika menutup hidungnya yang mencium bau dari sekeliling suaminya. "Sejak kapan kamu memanggilku, Mas?" Rudi menatap tajam ke arah istrinya yang tengah berdiri menjauhinya."Sejak sekarang, begitu saja dipermasalahkan, kamu juga kenapa seperti ini? Ih, jorok sekali," murka Siska dengan berjalan ke depan melihat tamu yang datang saat waktu yang mulai beranjak sore. Saat pintu terbuka ada sepasang suami istri yang tengah menunggu di teras, mereka duduk tanpa saling berbicara karena sibuk dengan gawainya masing-masing. Pasangan itupun menoleh karena sang empunya rumah datang dengan wajah datarnya. "Mbak," ujar Rini, lalu mereka berdiri menyalami Siska yang masih memasang senyum tak ramah."Tumben sore-sore begini kamu kesini, ada apa?" tanya Siska menyelidik. "Boleh kita masuk? Lebih baik kita berbicara di dalam, Mbak. Nggak enak k
Bu Rukmini tergugu mendengar penjelasan dari Rini jika Rudi menolak diajak pulang ke rumah mereka. Hatinya semakin sakit dan terluka saat membayangkan kejadian tempo hari yang mana dia dan Rini mendapati Rudi yang tengah bergumul dengan kotorannya sendiri. Tubuh yang dulu gagah dan tegap berganti tulang yang menonjol, menunjukkan kalau dia tidak baik-baik saja selama ini. Saat disuapi makanan pun, seperti seseorang yang tengah kelaparan. Makan dengan lahap dan meninggalkan sisa-sisa makanan di sekitar mulut. "Mbak Siska meminta jatah setiap bulan, Bu. Entah apa yang dipikirkan oleh dia, akupun tidak paham sama sekali. Katanya kita berkewajiban membantu mereka karena saudara," jelas Rini saat Ibunya menyeka air mata yang tumpah ruah.Bu Rukmini seketika membelalakkan kedua mata seolah tak percaya dengan apa yang didengar, Bu Rukmini mendekati sang putri dengan tatapan yang penuh tanya. Seolah mengerti akan apa yang dipikirkan oleh Ibunya, Rini mengangguk perlahan dengan nafas mendesa
Bu Rukmini menjalani perawatan di rumah sakit karena penyakit yang dideritanya telah kambuh saat emosi tidak stabil menghadapi menantunya yang meminta sesuatu hal di luar pemikiran."Bu, nggak usah di pikirkan tentang Mas Rudi. Biarkan saja dia dirawat istrinya, ibu pikirkan diri sendiri saja. Aku nggak mau kalau seperti ini lagi!" bisik Rini dengan mengelus lengan sang Ibu lembut dan deraian air mata yang sedari tadi di simpannya.Selama dua hari di rumah sakit, Bu Rukmini tidak sadarkan diri. Rini semakin sedih karena melihat sang Ibu yang terkulai lemah tak berdaya di atas ranjang dengan berbagai macam selang yang menempel di tubuh tua itu. "Makan dulu, dek, jaga kesehatanmu juga! Biar kita bisa tetap menjaga Ibu, jangan ikutan sakit karena nanti Ibu akan sedih melihat kita yang ikutan seperti beliau, yuk!" bujum Yoga dengan lembut terhadap istrinya yang tengah bersedih.Yoga tahu jika Rini begitu tersiksa dengan perlakuan sang ipar yang di luar batas. Keinginan yang diajukan oleh
Siska menjadi uring-uringan akhir-akhir ini, dia membanting segala apa yang ada di depannya. Wajah ayunya mulai kusut dan tidak terurus seiring dengan permintaan yang diajukan kepada sang ipar, Rini tidak terwujud.Rasa bencinya semakin menjadi saat mendengar suara Rudi yang berteriak-teriak memanggil namanya untuk meminta bantuan. Rudi bahkan sesekali di siksa secara fisik oleh istrinya sendiri. Sudah tidak ada lagi air mata yang tumpah di pipi Rudi, semua yang terjadi sudah menjadi bagian dari hari-hari yang biasa di kehidupannya. Bahkan dalam hati kecilnya selalu berdoa semoga dia secepatnya meninggalkan dunia ini. Biar tidak lagi merasakan sakitnya hati dan raga juga menjadi beban bagi istri serta anak-anaknya.Bel rumah Siska berbunyi sedang anak-anaknya tidak juga membukakan pintu. Mereka asyik berdiam diri di kamar dengan kegiatannya masing-masing. Hanya akan keluar jika makan ataupun minum lalu ke kamar mandi. "Siska, lama banget bukain pintunya. Eh, kenapa wajah kamu masam
Rudi sendirian malam ini, dia memanggil semua nama anggota keluarganya namun, tidak ada sama sekali yang datang untuk menjawab dari panggilannya. Rasa sesak menyeruak dalam dada Rudi dan membuat air matanya kembali mengalir deras membasahi pipinya yang kering.Hingga rasa lelah menyatroni raganya yang terasa lemah tak bertenaga. Yang membuat Rudi menghempaskan bobot tubuhnya yang semakin ringan itu di kasur dan tertidur hingga pagi tiba. Rasa terik matahari yang masuk membuat tubuhnya menghangat, keringat pun mulai bercucuran saking panasnya akan cuaca pagi ini atau tepatnya menjelang siang. "Sis!" teriaknya nyaris tak terdengar. Suara Rudi melemah begitupun tenaganya. Berulangkali dia memanggil nama istri yang sangat dicintainya itu dengan suara yang kian lama semakin tidak terdengar. Mata sayupnya mulai tertutup perlahan-lahan seiring dengan nafas yang sulit untuk keluar masuk.Tubuhnya menggigil kedinginan karena semalaman dia harus berselimut kain basah. Teriaknya semakin lama s