"Tidak apa, kamu bisa mencari pekerjaan lain kok, Rin. Rezeki, jodoh dan maut sudah ditentukan sama yang diatas," hibur Bu Rukmini ketika Rini menceritakan semua yang terjadi saat di rumah Kakaknya.
Rini memang sedikit luruh hatinya, cita-citanya ingin bekerja di kantor telah kandas. Bagaimana mungkin lagi dia bisa mencari pekerjaan dengan hanya seorang tamatan SMA? Bu Rukmini yang melihat kesedihan di raut wajah putrinya itu turut sedih, namun, ditutupi nya dengan berbagai nasehat supaya terlihat tegar. "Bagaimana kalau kita jualan bakso saja? Kita bisa memulainya dari rumah, karena untuk memyewa kios itu perlu modal banyak. Sedang, uang bapak belum cukup, setuju?" Ide Bapak membuat Rini sedikit terhenyak. Di saat dirinya sedang dalam hati yang tidak karuan, orang tuanya justru menyemangati dengan sepenuh hati. Meski raga mereka tidaklah sekuat dulu, namun, semangatnya membuat Rini menitikkan buliran bening. "Ibu 'kan dulu jualan bakso, tetapi karena belum rejekinya makanya berhenti. Iya, 'kan, Bu?" Pak Rosadi mengerlingkan sebelah matanya kepada sang istri agar mengiyakan usulnya. Memang saat anak-anak Pak Rosadi masih sekolah, kedua orang tua itu berjualan bakso di pinggir jalan. Terkadang Rudi pun ikut membantu jika sekolah telah usai. Jualannya lumayan laris karena masakan Bu Rukmini memang terkenal enak. Disamping itu mereka juga sangat ramah, sehingga siapapun yang membeli akan merasa bahagia. Di sekanya air mata yang sudah menganak sungai itu dengan lembut oleh Bu Rukmini. Sebenarnya hatinya pun terluka, namun apa mau di kata kalau Rudi sudah menuruti kemauan sang istri? "Kerja di kantor dengan kita usaha sendiri lebih enak kita usaha sendiri, Rin. Andai kita mau libur karena capek bisa sepuasnya tanpa harus ketakutan nanti di marahin sama bos kita, betul 'kan, Bu?" "Nanti kita bisa bekerja sama supaya cepat maju dan semoga sukses. Lalu … kita semua naik haji bareng, iya 'kan?" hibur Pak Rosadi dengan menoel dagu anak gadisnya tersebut. Senyum kembali merekah di bibir Rini, kedua orang tuanya pun turut tersenyum. "Kita mulai kapan, Pak?" Rini bertanya setelah mengganti pakaiannya. Duduk dengan menaruh harap terhadap Bapaknya supaya dia benar-benar bisa melupakan sakit hatinya saat ini. Reni yakin bisa bahagia tanpa harus bekerja di kantoran seperti mimpinya saat masih sekolah SMA dulu. Berpakaian rapi dengan setiap hari bertemu kawan-kawan kerjanya, mendapatkan gaji setiap bulan. Serta bisa merenovasi rumahnya supaya lebih baik. Ah, mimpi yang sia-sia, batin Rini. "Besok sudah bisa memulainya," jawab Pak Rosadi mantap. "Yakin, Pak?" Bu Rukmini bertanya dengan hati berdebar, takut jikalau akan menyakiti hati sang suami. "Kenapa tidak? Bapak sudah tidak bekerja lagi di sawah, Bu. Ibu juga kebanyakan melamun di rumah, hehehe …." "Bismillah, kita niatkan. Sekarang kita siap-siap untuk semua yang akan kita perlukan!" ujar Pak Rosadi membara. Bertiga mereka saling bahu-membahu menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan. Reni yang melihat semangat kedua orang tuanya, sekali lagi menitikkan buliran bening di pipi mulusnya. "Sebenarnya … bapak sudah merencanakan ini sedari awal sebelum kamu mau melamar kerja di kantor, Rin. Bapak ingin mengulang kembali kesuksesan yang telah meningkatkan hidup kita waktu itu. Namun, Bapak masih takut jika Ibu menolaknya," cerita Pak Rosadi dengan wajah lesu. "Bapak … kita akan bekerja sama bareng-bareng, ya, Bu," ucap Rini memeluk kedua orang tuanya itu. ☀️☀️ "Lho, Rin. Kok, belanja banyak, mau apa?" tanya Yu Sri saat melihat Rini berbelanja di pasar dengan banyaknya. "Mau jualan bakso, Yu, nanti beli, ya!" "Kamu itu kok jualan sih, Rin. Kakak kamu saja kuliah dan bekerja di kantoran. Apa istrinya itu jahat, ya, kok nggak pernah main ke rumah kamu?" tanya Yu Sri lagi yang membuat Rini terdiam. Sudah menjadi rahasia umum jika Siska jarang sekali terlihat menemani Rudi berkunjung ke rumah Pak Rosadi. Meski hanya sebulan sekali itupun tidak menentu. Tetangga kiri kanan yang hanya berjarak dua meter pun mendengar kasak kusuk yang terjadi. Jika Siska memang enggan menjenguk sang mertua meski dia tahu kalau dari kedua orang tua yang renta itulah, Rudi bisa menjelma menjadi lelaki yang gagah serta rupawan itu terjadi. "Belum rezeki, Yu, permisi," Rini tidak mau memperpanjang berita yang tersebar begitu saja. Lebih baik diam dan berpura-pura tidak tahu saja biar jauh lebih baik dari yang sekarang. Memang, jauh di lubuk hati Rini juga tahu akan tabiat sang kakak ipar. Namun, Rini memilih tidak mau tahu agar orang tuanya tidak sakit hati jikalau mendengarnya. "Lha, kamu mau jualan dimana?" teriak Yu Sri karena Rini sudah berjalan jauh darinya. "Di rumah saja dulu, online, Yu. Nanti beli, ya," ujar Rini. ❤️❤️"Ayo, Sil, kamu siap-siap untuk melamar kerja dulu! Biar nanti, Mbak yang lanjutkan pekerjaannya saja!" perintah Siska terhadap adiknya.Sisil menurut, dengan senang hati dia pergi mandi dan berpakaian rapi demi mendapatkan pekerjaan di kantor. Senyum bahagia menghiasi bibir Sisil sejak kakaknya meminta Rudi untuk mengajaknya pergi melamar pekerjaan di kantor tempat Kakak iparnya bekerja itu.Rudi menunggu di ruang tamu dengan memainkan gadget yang selalu setia digenggamnya. Tidak ada rasa bersalah terhadap Rini, meski tanpa sengaja pertikaiannya tadi pagi menyisakan luka di hati sang adik. Rudi hanya merasakan sedikit lega karena pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan olehnya kini dilakukan oleh Sisil. Biasanya setiap pagi seusai sholat subuh, Rudi akan mengerjakan segala pekerjaan rumah.Lalu setiap pulang dari kerja, dia dihidangkan dengan seember besar pakaian kotor yang masih terendam dengan setia karena menunggunya untuk di cuci. Piring kotor bertumpuk bak gunung memenuhi was
"Pa, besok akan ada arisan di rumah. Sofa itu aku mau buang, ganti yang baru."Rendi yang baru menikmati makan malamnya seketika terhenyak dari duduknya. Dahinya berkerut mendengar permintaan dari istrinya itu."Itu, 'kan masih bagus, Ma," ujar Rudi dengan melanjutkan lagi makan malamnya.Siska memasang wajah masam, ingin saja rasanya ia berteriak di depan wajah suaminya itu jika tidak ada anak-anak mereka saat itu juga. Di hentakkan kaki ke lantai dengan keras lalu melangkah menuju Rudi yang sedang menikmati rezeki yang diterimanya."Pa, malulah kalau sofa yang sudah kusam begitu masih terpampang di ruang tamu. Teman-teman, Mama itu orang-orang kaya semua. Mama saja dibuat heran kalau sedang main ke rumah mereka, mau ditaruh dimana muka Mama nanti kalau sofa buluk itu masih disana?" ujar Siska dengan gigi bergemeletuk."Ma …." "Sudahlah, Mama sudah pesan kok. Sebentar lagi juga datang." "Kok tidak bilang-bilang dulu, Ma …." "Kalau bilang pasti, Papa tidak akan setuju dan mengeluar
"Maaf, Rin. Bukannya, Mas telah berbuat jahat sama kamu, namun, Mas benar-benar sedang membutuhkan bantuanmu sekarang!" Rendi menggenggam tangan Rini dengan pandangan yang sendu.Reni memalingkan mukanya ke samping, bukan karena dia membenci Rudi. Akan tetapi, Rini berusaha menyembunyikan air mata yang suatu saat bisa menetes kapan saja sesuai dengan kemauannya.Warisan tanah yang tidak seberapa yang terletak di samping rumah Pak Rosadi, bapaknya Rudi. Yang menurut Siska adalah bagian untuk Rudi, akan dijual meski belum bersertifikat.Maka, Rini pun harus ikut andil dalam hal itu. Rini, masih saja bergeming. Niat hati ingin menjaga pemberian sang bapak untuk tempat tinggal Rudi kelak jika ingin pulang dan tinggal di kampung sudah lenyap. Rini, dilema. Antara setuju dengan permintaan Rudi atau bersikukuh untuk menjaganya hingga suatu saat nanti. Entahlah. "Sebenarnya ibu tidak rela jika tanah itu dijual, Rud. Itu satu-satunya pemberian bapakmu untuk kelak jika kalian ingin hidup menu
"Kalau begini 'kan kita bisa bahagia, punya mobil sendiri tanpa harus rental kalau mau bepergian. Iya, 'kan anak-anak?" tanya Siska dengan menyilangkan kakinya.Senyum manis mengembang di bibir seksi Siska karena keinginannya terkabul dengan cepat, sesuai dengan rencananya. Anak-anak Siska dan Rudi pun senang bukan kepalang karena kehidupan mereka lebih baik dari sebelumnya. Kehidupan mewah selama ini yang sering diimpikan akhirnya terkabul tanpa harus bersusah payah untuk mengeluarkan keringat. Sifat Siska menurun ke anak-anaknya, bagaikan pepatah buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. "Ma, besok Toni akan kuliah, butuh uang banyak untuk membeli pakaian baru. Aku nggak mau pakai yang lama, memangnya Mama mau aku terlihat kumal di antara yang lain?" ujar Toni dengan mengerlingkan sebelah matanya ke arah Siska. "Iya, nanti kalau Papamu gajian kita belanja apapun kebutuhan kamu," jawab Siska dengan entengnya."Mama memang yang terbaik, selalu memberikan apa yang aku minta," ujar T
Semenjak kecelakaan saat liburan itu, Rudi mengalami stroke. Semua tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali, membuat hari-hari Rudi begitu penuh dengan kesengsaraan. Istri yang di gadang-gadang karena kecantikannya kini mulai enggan menjaga juga merawat sang suami. Bahkan anak-anak Rudi sekalipun tidak pernah menyapa atau ikut berpartisipasi dalam merawat sang ayah. Rudi berkecil hati dan tidak ada semangat untuk hidup lebih panjang lagi. Keseharian Rudi tidak pernah terlepas dari ruangan yang sempit dan sirkulasi udara yang baik. Siska memberikan ruangan untuk pembantu bagi suaminya yang dahulu sangat mencintai dan menyayangi tanpa balas itu.Saat hendak makan, Rudi hanya berteriak dan memanggil sang istri maupun anak-anak karena perut terasa melilit dan tenggorokan kering tanpa air. Saat malam tiba, Rudi hanya bisa menangis dengan tersedu-sedu akan nasib yang telah menimpanya. Dia akan tidur sendirian ditempat yang membuatnya tidak nyaman itu."Ini, makan sendiri!" Piring berisi
Semenjak dari rumah Rudi saat sampai rumah Bu Rukmini langsung menuju kamarnya, merenungi apa yang tengah terjadi dengan rumah tangga sang anak lelaki. Ada tangis yang disimpan oleh seorang Ibu yang telah disakiti namun, rasa sayang itu masih utuh.Hingga beberapa hari kemudian pun, Bu Rukmini masih saja selalu melamun dan tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan ramah terhadap siapapun yang tengah lewat di depan rumahnya. Tidak jarang banyak Ibu-ibu yang bertanya kepada Rini, apakah Bu Rukmini sedang sakit karena sikapnya yang lebih pendiam dan jarang keluar rumah."Makan dulu, Bu!" ajak Rini saat melihat Bu Rukmini masih terdiam di kamarnya dalam bisu. "Apa tidak sebaiknya kita bawa saja Kakakmu pulang ke rumah ini, Rin? Ibu tidak tega melihat dia yang seperti tidak ada harga dirinya disana. Kamu lihat, 'kan sikap dari Siska kemarin? Ibu benar-benar terluka dengan apa yang Ibu lihat sendiri," isak Bu Rukmini saat Rini duduk di sampingnya. Kedua bahu renta itu berguncang heba
"Assalamualaikum, Rudi, Rudi!" panggil Agus dengan mengetuk pintu saat berkunjung ke rumah sahabat karibnya, Rudi. Siska yang masih terduduk santai dengan bermain ponsel seketika terperanjat dan kebingungan harus bagaimana menghadapi tamu yang mendadak datang. Dalam hatinya menggerutu dengan kalimat-kalimat yang buruk serta sumpah serapah karena tanpa persiapan ada tamu yang tak diundang. Segera mungkin Siska mulai menguasai dirinya dengan baik, diambilnya nafas panjang lalu dikeluarkan perlahan untuk bisa bersikap baik dan serakah mungkin terhadap teman dari suaminya itu. Setelah semua persiapan sudah usai, akhirnya pintu pun terbuka lebar. Senyum manis terbit di bibir indah Siska, merekah serta dengan mata yang berbinar melihat pasangan serasi berdiri di depannya itu dengan membawa buah tangan yang banyak. Seperti harimau yang tengah kelaparan, seakan liur Siska hendak menetes namun ditahannya demi sebuah rasa yang bernama gengsi."Maaf karena menunggu lama, Mas Rudi sedang ada d
"Mas …." Rudi tercengang melihat Siska yang memanggilnya dengan sebutan 'Mas' karena jarang sekali dia memanggil dengan itu. Siska menatap nyalang dan seketika menutup hidungnya yang mencium bau dari sekeliling suaminya. "Sejak kapan kamu memanggilku, Mas?" Rudi menatap tajam ke arah istrinya yang tengah berdiri menjauhinya."Sejak sekarang, begitu saja dipermasalahkan, kamu juga kenapa seperti ini? Ih, jorok sekali," murka Siska dengan berjalan ke depan melihat tamu yang datang saat waktu yang mulai beranjak sore. Saat pintu terbuka ada sepasang suami istri yang tengah menunggu di teras, mereka duduk tanpa saling berbicara karena sibuk dengan gawainya masing-masing. Pasangan itupun menoleh karena sang empunya rumah datang dengan wajah datarnya. "Mbak," ujar Rini, lalu mereka berdiri menyalami Siska yang masih memasang senyum tak ramah."Tumben sore-sore begini kamu kesini, ada apa?" tanya Siska menyelidik. "Boleh kita masuk? Lebih baik kita berbicara di dalam, Mbak. Nggak enak k