"Ternyata, mantan suaminya meninggal karena ...." ungkap Rima namun, terhenti begitu saja. "Apakah bibikmu yang di rumah sakit waktu itu?" tanyaku penasaran. "Bukan, Mbak. Adiknya, mereka berdua menikahi satu laki-laki. Tapi, laki-laki brengsek!" Rima memukul kemudi, dan terisak. Sepertinya ada sesuatu yang salah dari Rima, dan aku tidak ingin melanjutkan pertanyaanku lagi. Takut sesuatu yang buruk akan mempengaruhi Rima. Aku memilih menikmati perjalanan dengan bersenda gurau dengan Mutiara, yang tadi kebetulan menyela dengan pertanyaannya tentang sekolah. "Rima, aku enggak jadi pergi ke cafe. Aku benar-benar lelah hari ini, tapi jika kamu butuh teman kita bisa ngobrol di kamarku." Setelah sampai di rumah, aku menawarkan diri ketika melihat Rima yang murung. Rima menatapku, matanya berbinar dan mulai terlihat genangan air di sana. Aku membawanya masuk ke dalam dan meminta Mutiara untuk berganti pakaian bersama Bik Asih yang sudah menunggu kepulangan kami. "Kamu duduk dulu, atau k
Kamera video kembali mengarah pada Aldi dan Anis. Lalu mereka menceritakan jika Mas Aditya ingin bunuh diri, ketika tahu semua hartanya sudah habis tak bersisa dan istrinya meminta cerai dan mengakui jika anaknya bukanlah darah daging dari Mas Aditya. Rasanya sesak, dan membuatku memilih mematikan panggilan video dari Anis. Kuletakkan ponsel dan menemui mama, untuk bertanya. "Ma," panggilku, ketika aku melihat mama sedang mengupas buah untuk papa. "Ada apa?" tanya mama tanpa melihatku. "Ma, tadi Rima menceritakan tentang dirinya dan itu membuatku berpikir tentang Mutiara di kemudian hari. Apakah aku harus mempertemukan Mutiara dengan Mas Aditya yang sekarat?" tanyaku bimbang. Mama melirik papa yang diam, karena fokus membaca pelajaran agama. Setelah hening beberapa saat, papa menutup bukunya dan melepaskan kacamata yang dia pakai. "Apa yang Rima ceritakan?" tanya papa, aku yakin papa harus menganalisa sesuatu sebelum memutuskan satu perkara. Akupun menceritakan apa yang telah di
Aku mendekati Mutiara dan menggenggam tangannya erat, netraku dan netranya saling memandang. "Siapa Om itu? Koq mama tidak pernah liat!" Aku berusaha mencari tahu. Takut sesuatu telah menimpa Mutiara. "Aku lupa namanya, Ma. Om ganteng selalu datang kalau mama terlambat menjemput aku. Dia selalu memberi es krim dan coklat! Ups!" Mutiara keceplosan. "Mama sudah bilang! Jangan terlalu sering makan coklat!" Sejenak aku terpancing emosi. "Ngapain itu Om ngasih kamu es krim dan coklat?" tanyaku setelah mampu menguasai emosi. Mutiara menaikan jari telunjuknya ke ujung hidung, tanda dia sedang berpikir. Beberapa kali, jarinya dia ketuk-ketuk. "Katanya, Om ganteng itu teman mama. Dia juga bilang, bakalan jadi papanya Mutiara!" celotehan Mutiara membuat jantungku berdegup tidak beraturan. "Kamu enggak pernah dipegang-pegang, kan?" Aku menyuruhnya berdiri dan melihat seluruh tubuh Mutiara. Mutiara menggelengkan kepalanya, dan mengatakan jika Om gantengnya tidak pernah melakukan hal-hal yan
Bukan perkara mudah, mendidik anak kecil tanpa seorang ayah. Rasa minder, juga tidak percaya diri sering sekali muncul pada Mutiara. Mungkin, aku kurang baik mengurus dan memberinya pendidikan. Padahal, Mutiara tidak pernah kekurangan kasih sayang dariku ataupun orang tuaku sebagai kakek dan neneknya. "Nanti kalau kamu punya anak, kamu akan paham apa yang aku rasakan. Terlebih kamu tidak memiliki suami!" ketusku, ketika mendengar Rima berkomentar. Beberapa kali aku menemui psikolog, hanya untuk memastikan jika gadis kecilku sanggup dan kuat melihat ayahnya yang terbaring sakit. Serta mampu memaafkan dirinya yang telah menyia-nyiakan kami dulu. Aku meminta ijin pada guru Mutiara, karena anakku tidak bisa mengikuti pelajaran selama seminggu. Aku ingin, Mutiara menghabiskan waktu yang singkat dengan ayahnya. "Dis, sebesar apapun kesalahan Aditya. Dia tetap ayah dari Mutiara, dan kamu harus siap menerima kenyataan sepahit apapun. Anakmu masih butuh pigur seorang ayah, meski sesaat. Bia
Papa sepertinya sedang berpikir, karena dia memilih diam dan melihat lurus ke depan. Aku tahu, dia tidak akan pernah meninggalkanku di situasi ini. ***"Mbak, bagaimana jika hotel ini?" tanya Pak Anto ketika mobil terparkir di depan gedung yang cukup luas. "Ya sudah pak ini saja!"Lalu, aku mengajak semuanya untuk keluar dari mobil. Hanya Pak Anto yang tidak ikut, karena harus memarkirkan mobil. "Nanti langsung ke loby, ya, Pak!" pesanku.Aku pun tidak ingin Pak Anto kelelahan, karena dialah yang membawa keluarga dengan mengendarai mobil. "Mbak, apakah jadi ke sini?"Ponselku berdering dan ada nama anis tertera di layar, tentu saja langsung kuangkat panggilan darinya."Jadi, ini papa dan mama malah ikutan!" keluhku namun, disambut dengan tawa renyahnya. "Siap, bos. Kami menunggu!" jawabnya, dan aku langsung mematikan panggilan.Setelah memesan kamar, dan kami mendapatkan kunci. Aku meminta ijin pada semua untuk pergi sebentar, membeli makanan. Sepanjang jalan, tidak kutemukan ma
"Dari mana kamu tau kalau aku ada di sini?" tanyaku penuh emosi. "Sudah-sudah! Kita makan dulu, semua sudah lapar." Papa memotong pembicaraan kami. Lelaki di depanku tersenyum dan duduk dengan santai. "Sampai karpet pun di sediakan!" keluhku. Mama memukul pelan lenganku, agar aku tidak bicara ketus. Namun, senyum laki-laki ini membuatku makin meradang. "Ada yang lucu!" omelku. Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya, lalu diam menatapku. Sementara itu, Mutiara lari dan duduk di dekatnya. "Om ganteng, kapan mau ngajak aku beli eskrim?" tanya Mutiara riang. Lelaki itu membalas ucapan Mutiara dan mereka berdua asik mengobrol. Mama sibuk membuka makanan yang sudah tersusun, di karpet merah. Papa sibuk dengan majalah bisnisnya. Aku ... Aku hanya diam. Entah mengapa, aku merasa mereka semua saling dekat satu sama lainnya. Tidak sepertiku yang mempunyai jarak diantara mereka. "Baiknya saya permisi dulu!" ucap Reinaldi kaku, ketika melihatku memandangnya jengah. "Udah, kita makan d
"Bagaimana aku bisa melupakan cinta pertama yang datang dalam hidupku!" balasnya. "Cih," Spontan aku berdecih. "Tuan muda, kaya raya, baru merasakan cinta!" Tawaku mulai menggelegar. Reinaldi menepuk tangannya yang berpasir, dan tubuhnya dia geser menghadapku."Aku tidak butuh pengakuan. Tapi, hanya kamu yang selalu kuinginkan!" ucapnya dengan tatapan tajam. Aku hanya bisa mengedipkan mata, ketika Reinaldi makin dekat. Wajahnya dan wajahku hanya berjarak beberapa centi saja. Hembusan nafasnya yang beraroma mint, dapat tercium olehku. Membuat jantungku berdetak. "Menjauhlah! Atau aku akan berteriak!" ancamku. "Hanya untuk sesaat aku akan menjauh, tapi tidak untuk selamanya!" balasnya. "Tidak ada yang bisa kamu harapkan dari seorang janda sepertiku! Masih banyak gadis di luar sana, yang akan membahagiakanmu. Aku tidak akan menikah lagi hingga akhir hayatku!""Jika begitu, aku akan menemani hingga akhir hayatmu tanpa kamu menyadarinya!"Tentu saja, aku tidak menerima ucapannya yang
Tidak terlihat keanehan di wajah, Aldi. Tentu saja membuatku curiga, karena sepertinya dia tidak ingat telah berbincang denganku melalui video call. "Hai, Nis!" sapaku. Anis menghampiriku dan mencium pipi kanan, kiriku. Wajahnya lebih santai dari suaminya, mungkin karena tadi aku meneleponnya. "Mbak Gladis enggak ngabarin kalau mau ke sini, kitakan bisa siap-siap!" keluh Anis dan di amini oleh suaminya. "Tunggu dulu! Sepertinya ada yang salah!" ujarku. Anis dan Aldi saling berpandangan, mencari jawaban dari perkataanku. Lalu, perhatian mereka beralih padaku. Anis bertanya, apanya yang salah. Dia berpikir pekerjaannya yang salah dan dia minta maaf berulang kali. "Baru kemarin kita video call! Hanya melewati satu malam kenapa sudah lupa?" tanyaku. Tubuhku bersandar pada sofa dan tangan kulipat di depan dada. Anis dan Aldi merubah tau wajahnya, seperti tidak tahu apa yang aku bicarakan. "Mbak ini bicara apa? Video call? Kapan?" tanyanya dengan nada bingung. "Kalian enggak usah b