Tidak terlihat keanehan di wajah, Aldi. Tentu saja membuatku curiga, karena sepertinya dia tidak ingat telah berbincang denganku melalui video call. "Hai, Nis!" sapaku. Anis menghampiriku dan mencium pipi kanan, kiriku. Wajahnya lebih santai dari suaminya, mungkin karena tadi aku meneleponnya. "Mbak Gladis enggak ngabarin kalau mau ke sini, kitakan bisa siap-siap!" keluh Anis dan di amini oleh suaminya. "Tunggu dulu! Sepertinya ada yang salah!" ujarku. Anis dan Aldi saling berpandangan, mencari jawaban dari perkataanku. Lalu, perhatian mereka beralih padaku. Anis bertanya, apanya yang salah. Dia berpikir pekerjaannya yang salah dan dia minta maaf berulang kali. "Baru kemarin kita video call! Hanya melewati satu malam kenapa sudah lupa?" tanyaku. Tubuhku bersandar pada sofa dan tangan kulipat di depan dada. Anis dan Aldi merubah tau wajahnya, seperti tidak tahu apa yang aku bicarakan. "Mbak ini bicara apa? Video call? Kapan?" tanyanya dengan nada bingung. "Kalian enggak usah b
"Bagaimana kamu bisa tau!" tanyaku dengan pandangan menyelidik. "Kamu lupa siapa aku?" Reinaldi balik bertanya. Benar, dia adalah dokter. Kemungkinan, terjadinya hal itu berada di rumah sakit tempat Reinaldi bekerja. "Siapa yang meneleponku dan membuatku membawa kedua orang tua juga anakku kemari!" Aku jadi tersulut emosi saat bertanya pada Reinaldi. "Pastinya dia orang yang sama, yang ada di dalam video itu." Reinaldi menjelaskan. Aku memandang Anis dan Aldi, dengan tatapan penuh kekesalan. Mereka mengaku tidak melakukannya, tapi ternyata ucapan Reinaldi mematahkan ucapan mereka. "Bukan mereka!" sergah Reinaldi. "Mereka juga ada di dalam video dan suara mereka tidak ada bedanya!" ujarku. Reinaldi lalu menjelaskan bagaimana Anis dan Aldi ada di dalam video itu. Aldi meradang mendengarnya, seakan-akan dirinya sebagai jaminan dari pembuat video call tersebut. "Percayalah, dia hanya ingin kamu datang ke mari!" ujar Reinaldi menyelesaikan ucapannya. "Aku tidak yakin seb
Sekilas, aku melihat amarah Mas Kelvin di wajahnya. Membuatku menggeleng-gelengkan kepala tanpa sebab, mengingat kenangan yang sudah lama kukubur bersama kebohongannya. "Berdiri di depan pintu!" ujarku dengan pandangan jengah. Reinaldi mengikuti langkahku, setelah memastikan mobilnya aman terkunci. "Kamu kenapa tidak membuka hati untuk wanita lain?" tanyaku. Langkah Reinaldi terhenti, dan aku mengikutinya. Reinaldi diam sembari memandangku, lalu berganti memandang ponselnya. "Hmmm, lebih baik kita urungkan bertemu mantan suamimu!" ujar Reinaldi lirih. Ah, ternyata dia sama saja. Tidak menerimaku dengan masalalu yang pernah ada. Langkah kuayunkan lagi, meninggalkan Reinaldi dalam kegamangan. Lalu terdengar langkahnya mengikutiku. 'Lelaki aneh!' gumamku, yang kuyakin dia mendengarnya. Kami terus berjalan, karena aku tidak tau di mana kamarnya. Maka, aku meminta Reinaldi yang berjalan lebih dulu namun, lelaki tinggi ini tidak mau berjalan di depanku. Dia dengan berani m
"Maaf, kamu bilang! Kamu punya hati enggak sih, Mas? Sejak menikah, kamu ambil alih semua usaha yang kurintis dengan alasan agar aku fokus mengurus rumah tangga. Kamu menyentuhku dengan kasar, setelah kamu usir aku untuk tidur berbeda kamar. Setiap bulan kamu jatah pengeluaranku, sehingga aku harus memutar otak! Saat aku hamil, kamu menuduhku selingkuh dan tidak mengakui anakku!" Bibirku dengan lancar menghitung kesalahannya. Dia diam dan tetap berlutut di depanku, tidak berani mengangkat wajahnya meski hanya sesaat. "Inikah lelaki pongah yang pernah hidup denganku, inikah laki-laki yang sering melayangkan tangannya ke wajahku ketika aku ada kesalahan yang tidak seberapa. Lelaki yang lebih mendengarkan perkataan ibunya yang tidak benar, di bandingkan istrinya yang jujur." Terus aku menghitung kesalahannya. Tidak ada respon darinya, dia tetap bersimpuh tanpa suara dan gerak. Membuatku makin emosi. "Aku adalah wanita bodoh, yang masih percaya ucapan manismu, ketika kamu melakukan
"Rujuk?" tanyaku dengan nada mengejek. "Ha ... Ha ... Ha, kamu pikir hatiku terbuat dari apa?! Sehingga bisa memperlakukanku seenaknya berulang! Kamu tau, tidak ada kamu di hidup kami, serasa dunia milikku dan Mutiara! Jangan lagi kamu masuk dan menjadi bagian dalam hidup kami!" ucapku lantang dan terdengar menggema di ruangan ini. Mas Aditya mendekatiku dan memegang kaki, ketika aku berbalik. Cukup sulit melepaskan diri dari lelaki ini, meskipun sakit tenaganya masih sangat kuat. "Dis, biarkan aku bahagia di hari-hari akhirku! Dan biarkan aku mengenal putriku," rengeknya."Kamu akan aku perkenalkan pada putriku. Ingat! Putriku!" ujarku memberinya ultimatum. "Tapi, tidak akan pernah membiarkanmu hidup diantara kami lagi." tambah kuat. "Dis, kumohon. Kamu wanita baik, dan aku ingin menjadi pendampingmu selama sisa hidupku!" rayunya. "Justru aku wanita baik, tidak ingin berubah menjadi wanita lebih jahat untuk membalas perbuatanmu kelak!""Dis, ini bukan kamu. Kamu wanita penurut, d
Lagi-lagi, Reinaldi membuang napas kasar. Kali ini melalui mulutnya, hingga pipinya menggembung. "Tidak bisakah kamu memberikan satu kesempatan untukku? Apapun syarat darimu, aku akan menerima dan menjalaninya." Reinaldi sepertinya benar-benar kukuh pada pendiriannya. "Untuk apa? Aku hanya fokus pada Mutiara, dan ingin menjadikan dia wanita yang hebat.""Sepertinya, kamu tidak membiarkanku untuk membuktikan keseriusanku. Jalan satu-satunya, aku akan menculikmu, saja!" ujarnya. Tentu saja aku meradang mendengar ucapanya. Dia tidak ada bedanya dengan Kelvin dan Aditya, selalu memaksakan kehendaknya. Tidak peduli, perasaan orang lain. "Aku kira kamu berbeda, ternyata sama saja! Bawa pergilah raga ini!" ucapku kesal. "Dis, itu hanya bentuk kekesalanku saja. Jika aku berniat menculikmu, sudah kulakukan saat kamu melupakan kenangan bersamaku. Ambil ponselku, pinnya tanggal lahirmu. Lihat di galeri, berapa banyak video tentangmu yang tidak pernah hilang dan selalu kujaga. Bahkan ponselku
Reinaldi tersenyum bingung. Mungkin dia pikir, jika video itu biasa saja, tapi bisa membuatku berubah. "Ada apa dengan video ini, tidak ada yang aneh ataupun istimewa!" ujarnya. "Bagi orang tidak istimewa, tapi bagiku sangat istimewa," jawabku, "Alasanmu sangat konyol, dan tidak masuk akal.""Apakah kamu tidak bahagia?" tanyaku dengan berusaha melepaskan cincin yang sudah melingkar di jari manisku. Reinaldi menarik tanganku dan mengembalikan posisi cincin yang tadi dia sematkan. "Kita ajak orang tua kamu tinggal di rumahku, ya," pinta Reinaldi, dan aku hanya mengangguk setuju. Reinaldi masih tidak percaya dengan keputusanku yang tiba-tiba berubah, setelah melihat video yang di simpannya. Aku hanya tersenyum, melihatnya kebingungan. Tidak ada niat mempermainkannya, tiba-tiba Tuhan memberikan petunjuknya padaku, jika kami sudah bersama sejak kecil. Mungkin, Reinaldi tidak mengingatnya, tapi sangat jelas di dalam memoriku. Aku berharap, kali ini tidak salah memilih pasangan hidup.
"Kamu, anak itu?" tanya Reinaldi penasaran. "Loh, 'kan kamu yang tau siapa dia." jawabku acuh. "Selain rambutnya, aku tidak ingat lagi. Aku sudah terpana denganmu!" Reinaldi mulai menggombal lagi. Aku hanya tersenyum tipis, melihat reaksinya. Aku akan mengatakannya ketika ada moment yang pas. Papa menghampiri kami, dan mengatakan semuanya sudah selesai. Hanya menunggu Mutiara yang sedang mandi. "Yakin, enggak bakalan ngerepotin keluarga kamu?" tanya mama. Sepertinya mama masih ragu. "Pasti enggak, Ma. Mamanya Reinaldi baik kok!" sanggahku. Mama mengacak-acak rambutku dan mengatakan jika dirinya bertanya pada Reinaldi dan mengapa aku yang menjawab. Reinaldi tersenyum kecut, melihat mama bercengkrama denganku. Kami sudah, dalam perjalanan menuju rumah Reinaldi. Aku yakin, mama dan papa akan terkejut melihat mamanya Reinaldi. Aku memang tidak mengenalinya saat bertemu dan melihat video tadi. Tapi, ada satu hal yang mengingatkanku pada Reinaldi kecil. *** "Mari, tante, o