Sekilas, aku melihat amarah Mas Kelvin di wajahnya. Membuatku menggeleng-gelengkan kepala tanpa sebab, mengingat kenangan yang sudah lama kukubur bersama kebohongannya. "Berdiri di depan pintu!" ujarku dengan pandangan jengah. Reinaldi mengikuti langkahku, setelah memastikan mobilnya aman terkunci. "Kamu kenapa tidak membuka hati untuk wanita lain?" tanyaku. Langkah Reinaldi terhenti, dan aku mengikutinya. Reinaldi diam sembari memandangku, lalu berganti memandang ponselnya. "Hmmm, lebih baik kita urungkan bertemu mantan suamimu!" ujar Reinaldi lirih. Ah, ternyata dia sama saja. Tidak menerimaku dengan masalalu yang pernah ada. Langkah kuayunkan lagi, meninggalkan Reinaldi dalam kegamangan. Lalu terdengar langkahnya mengikutiku. 'Lelaki aneh!' gumamku, yang kuyakin dia mendengarnya. Kami terus berjalan, karena aku tidak tau di mana kamarnya. Maka, aku meminta Reinaldi yang berjalan lebih dulu namun, lelaki tinggi ini tidak mau berjalan di depanku. Dia dengan berani m
"Maaf, kamu bilang! Kamu punya hati enggak sih, Mas? Sejak menikah, kamu ambil alih semua usaha yang kurintis dengan alasan agar aku fokus mengurus rumah tangga. Kamu menyentuhku dengan kasar, setelah kamu usir aku untuk tidur berbeda kamar. Setiap bulan kamu jatah pengeluaranku, sehingga aku harus memutar otak! Saat aku hamil, kamu menuduhku selingkuh dan tidak mengakui anakku!" Bibirku dengan lancar menghitung kesalahannya. Dia diam dan tetap berlutut di depanku, tidak berani mengangkat wajahnya meski hanya sesaat. "Inikah lelaki pongah yang pernah hidup denganku, inikah laki-laki yang sering melayangkan tangannya ke wajahku ketika aku ada kesalahan yang tidak seberapa. Lelaki yang lebih mendengarkan perkataan ibunya yang tidak benar, di bandingkan istrinya yang jujur." Terus aku menghitung kesalahannya. Tidak ada respon darinya, dia tetap bersimpuh tanpa suara dan gerak. Membuatku makin emosi. "Aku adalah wanita bodoh, yang masih percaya ucapan manismu, ketika kamu melakukan
"Rujuk?" tanyaku dengan nada mengejek. "Ha ... Ha ... Ha, kamu pikir hatiku terbuat dari apa?! Sehingga bisa memperlakukanku seenaknya berulang! Kamu tau, tidak ada kamu di hidup kami, serasa dunia milikku dan Mutiara! Jangan lagi kamu masuk dan menjadi bagian dalam hidup kami!" ucapku lantang dan terdengar menggema di ruangan ini. Mas Aditya mendekatiku dan memegang kaki, ketika aku berbalik. Cukup sulit melepaskan diri dari lelaki ini, meskipun sakit tenaganya masih sangat kuat. "Dis, biarkan aku bahagia di hari-hari akhirku! Dan biarkan aku mengenal putriku," rengeknya."Kamu akan aku perkenalkan pada putriku. Ingat! Putriku!" ujarku memberinya ultimatum. "Tapi, tidak akan pernah membiarkanmu hidup diantara kami lagi." tambah kuat. "Dis, kumohon. Kamu wanita baik, dan aku ingin menjadi pendampingmu selama sisa hidupku!" rayunya. "Justru aku wanita baik, tidak ingin berubah menjadi wanita lebih jahat untuk membalas perbuatanmu kelak!""Dis, ini bukan kamu. Kamu wanita penurut, d
Lagi-lagi, Reinaldi membuang napas kasar. Kali ini melalui mulutnya, hingga pipinya menggembung. "Tidak bisakah kamu memberikan satu kesempatan untukku? Apapun syarat darimu, aku akan menerima dan menjalaninya." Reinaldi sepertinya benar-benar kukuh pada pendiriannya. "Untuk apa? Aku hanya fokus pada Mutiara, dan ingin menjadikan dia wanita yang hebat.""Sepertinya, kamu tidak membiarkanku untuk membuktikan keseriusanku. Jalan satu-satunya, aku akan menculikmu, saja!" ujarnya. Tentu saja aku meradang mendengar ucapanya. Dia tidak ada bedanya dengan Kelvin dan Aditya, selalu memaksakan kehendaknya. Tidak peduli, perasaan orang lain. "Aku kira kamu berbeda, ternyata sama saja! Bawa pergilah raga ini!" ucapku kesal. "Dis, itu hanya bentuk kekesalanku saja. Jika aku berniat menculikmu, sudah kulakukan saat kamu melupakan kenangan bersamaku. Ambil ponselku, pinnya tanggal lahirmu. Lihat di galeri, berapa banyak video tentangmu yang tidak pernah hilang dan selalu kujaga. Bahkan ponselku
Reinaldi tersenyum bingung. Mungkin dia pikir, jika video itu biasa saja, tapi bisa membuatku berubah. "Ada apa dengan video ini, tidak ada yang aneh ataupun istimewa!" ujarnya. "Bagi orang tidak istimewa, tapi bagiku sangat istimewa," jawabku, "Alasanmu sangat konyol, dan tidak masuk akal.""Apakah kamu tidak bahagia?" tanyaku dengan berusaha melepaskan cincin yang sudah melingkar di jari manisku. Reinaldi menarik tanganku dan mengembalikan posisi cincin yang tadi dia sematkan. "Kita ajak orang tua kamu tinggal di rumahku, ya," pinta Reinaldi, dan aku hanya mengangguk setuju. Reinaldi masih tidak percaya dengan keputusanku yang tiba-tiba berubah, setelah melihat video yang di simpannya. Aku hanya tersenyum, melihatnya kebingungan. Tidak ada niat mempermainkannya, tiba-tiba Tuhan memberikan petunjuknya padaku, jika kami sudah bersama sejak kecil. Mungkin, Reinaldi tidak mengingatnya, tapi sangat jelas di dalam memoriku. Aku berharap, kali ini tidak salah memilih pasangan hidup.
"Kamu, anak itu?" tanya Reinaldi penasaran. "Loh, 'kan kamu yang tau siapa dia." jawabku acuh. "Selain rambutnya, aku tidak ingat lagi. Aku sudah terpana denganmu!" Reinaldi mulai menggombal lagi. Aku hanya tersenyum tipis, melihat reaksinya. Aku akan mengatakannya ketika ada moment yang pas. Papa menghampiri kami, dan mengatakan semuanya sudah selesai. Hanya menunggu Mutiara yang sedang mandi. "Yakin, enggak bakalan ngerepotin keluarga kamu?" tanya mama. Sepertinya mama masih ragu. "Pasti enggak, Ma. Mamanya Reinaldi baik kok!" sanggahku. Mama mengacak-acak rambutku dan mengatakan jika dirinya bertanya pada Reinaldi dan mengapa aku yang menjawab. Reinaldi tersenyum kecut, melihat mama bercengkrama denganku. Kami sudah, dalam perjalanan menuju rumah Reinaldi. Aku yakin, mama dan papa akan terkejut melihat mamanya Reinaldi. Aku memang tidak mengenalinya saat bertemu dan melihat video tadi. Tapi, ada satu hal yang mengingatkanku pada Reinaldi kecil. *** "Mari, tante, o
"Kamu, Rini?" Mama malah balik bertanya. Sesuai dugaanku, mereka saling kenal dan langsung berpelukan hangat. Sedangkan Reinaldi, menatapku penuh tanya dan kebingungan. Semua, akhirnya jelas. Setelah tante Rini dan mama berbincang. Terlihat rona merah di telinga Reinaldi, tanda dia menahan kesal. "Jadi kamu sudah tau, Dis?" tanya Reinaldi dingin. "Iya, saat melihat video yang kamu kasih ke aku tadi." Reinaldi dan yang lain nampak kebingungan. Aku langsung menarik tangannya dan menunjukkan tahi lalat yang ada di lengannya. "Ini!" tunjukku. "Jadi kamu si kepang?" tanya Reinaldi dengan mata membulat. Aku hanya menunjukkan deretan gigiku, yang putih. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku tahu, jika Reinaldi sangat bahagia, tapi bercampur kesal. Dia mendekatiku dan mencubit pipi ini dengan sangat gemas. "Takdir tidak pernah salah!" ujarnya dengan menggertakkan giginya. "Takdir, mengujiku terlebih dulu. Semoga tidak menguji kehidupan kita kelak." ujarku melow. Tante Ri
Seketika, raut wajah yang ada diruang ini berubah muram. Terlebih papa dan mama, yang terlanjur kecewa padanya. "Lepaskan tangannya!" Reinaldi berteriak dengan wajahnya yang merah padam. Wanita yang menjadi istri Mas Kelvin pun hadir dan menyaksikan tingkah suaminya. "Lepas!" ujarku dengan mencoba melepaskan genggaman tangannya di lenganku. "Tidak, sampai kita menikah!" ujar Kelvin. "Hei, Mas! Lihat wanita itu, dia itu istrimu! Apa lagi yang kamu inginkan!" Aku berucap dengan nada tinggi dan penuh penekanan. Wanita anggun dan cantik di depanku hanya menunduk lesu. Dia sepertinya sudah pasrah akan kelakuan suaminya, yang memperlakukan semua seenaknya dan menganggapnya tidak ada. "Lepas! Sakit!" rontaku dengan mimik wajah meringis. "Mas, kamu kenapa menjadi kasar, aku takut!" ujarku kemudian. Sepertinya, akulah yang mulai tidak waras dan memiliki kepribadian ganda. Karena bisa merubah diriku dalam situasi yang tidak baik. Helaan napas kasar kuhembuskan dengan perlahan.