Aku mendekati Mas Kelvin dan menarik tangannya, mendekat pada istri sahnya. Tangan kami kusatukan, dan aku menatap mata mereka bergantian. "Pernikahan kalian memang hasil dari perjodohan, tapi orang tua tau yang terbaik bagi kalian. Belajarlah untuk saling mencintai, jangan pernah biarkan ikatan cinta yang disatukan oleh Tuhan, dirusak oleh manusia lain." ucapku. Kini, mataku hanya memandang ke wajah Mas Kelvin, "Mas, terimakasih telah membuat aku tegar dan kuat. Menjadikanku wanita yang luar biasa dan bisa bertahan dalam keputus-asaan. Mas, takdir kita tidak bisa kita paksakan, Tuhan telah menggariskannya dengan baik dan sempurna. Ikuti saja, hasilnya pasti lebih dari sempurna, bukan begitu?" tambahku dengan semangat. Mas Kelvin melepaskan genggaman tanganku dan tubuhnya luruh. "Mas, menangis pun kita tidak bisa melawan takdir. Manusia hanya bisa menjalaninya dengan ikhlas. Yakinlah, jika istrimu akan menjadi yang terbaik untukmu. Aku pun ada rasa sedih tidak bisa terus bersamam
"Baik, aku harap kamu tidak akan menyesal menikah denganku!" jawabku asal. Binar di mata setiap orang membuatku geli, mereka seperti akan merayakan sesuatu dengan meriah. Padahal aku adalah sampah di masyarakat, karena janda selalu di pandang hina. "San, aku mau mengadakan resepsi," ujar Tante Rini bersemangat. "Tidak bisa, pernikahan harus di kotaku," tolak mama. Ketegangan terlihat jelas di mata kedua sahabat lama itu. Perdebatan terus terjadi, soal tempat pernikahan dan bagaimana pernikahan akan dijalankan. Aku mulai meradang mendengar mereka yang tidak henti-hentinya saling membenarkan diri. "Mutiara, yuk kita keluar saja!" bisikku. Gadis kecilku menyambut uluran tangan, dan kami melangkah pergi. Rupanya, dia juga tidak nyaman dengan keadaan yang sedang terjadi. Tidak ada yang menyadari kepergian kami berdua, aku dan Mutiara memilih duduk di taman depan. Melihat bunga dan kupu-kupu yang menari bebas. "Kamu ingin menikah dengan konsep apa?" Suara Reynaldi memenuhi gen
Kehebohan terjadi, ketika sinar mentari mulai menampakan cahayanya. Seperti dugaanku, Tante Rini mengundang para kerabatnya untuk datang, sejak semalam. Terbukti dari banyak orang datang. Kini, semua mata tertuju padaku yang duduk di belakang Reinaldi. Aku sebenarnya merasa risih dengan pandangan mereka namun, apa daya. "Saya terima nikah dan kawinnya Gladis binti Hendrawan Riayatdi, dengan mas kawin satu set perhiasan dan satu rumah beserta isinya." Lantang Reinaldi mengucapkan ijab qobul. Semua mengucapkan kata sah, setelah penghulu mengucapkannya untuk pertama kalinya. Meskipun persiapannya singkat namun, hasil yang ada menjadi sangat maksimal hanya dalam beberapa jam saja. "Aku hanya minta ijab di KUA, kenapa seperti ini?" tanyaku kesal. "Kamu tau sendiri, bagaimana mama!" Reinaldi berucap dengan penuh penyesalan. Makin malam, tamu undangan makin bertambah. Tentu saja membuatku lelah. Saat tubuh hampir limbung, Reinaldi mengangkat dan membawaku ke dalam kamar. "Sekar
Aku langsung menuruni anak tangga dengan cepat, hampir saja tersungkur karena kaki tidak seimbang. "Ada apa, Pa?" tanyaku bingung. Tempat acara terlihat acak-acakan, Mama Rini menangis tersedu begitu juga dengan mama. Papa diam, dan berakhir memberi perintah pada orang-orang yang membantunya karena ada yang meminta intruksinya. Semua orang sibuk dengan dirinya, sedangkan aku diam mematung. Tidak tau harus bagaimana. "Ma, ada apa?" tanyaku pada mama, dan dia hanya melirikku. Tentu saja hal ini membuatku makin kebingungan, pada siapa lagi aku harus bertanya. "Reinaldi ... Ya, Reinaldi. Aku harus mencarinya," gumamku. Dengan cepat, aku berlari mencari Reinaldi di semua sudut rumah. Namun, tidak kutemukan sosok lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku. "Mutiara!" Aku tersentak ketika mengingat gadis kecilku. Seingatku, anak itu tadi mengantuk dan meminta ijin padaku untuk tidur di kamar mama. Langkah kuayunkan ke kamar di mana Mutiara tidur tadi. "Tidak ada!" gumamku, k
Bik Asih memandang lelaki bertubuh kekar itu. Kemudian dia bercerita panjang lebar tentangku. Memang, kami sudah lama tidak berjumpa, setelah kelahiran Mutiara. Karena Om Alex mengurus usahanya di bali dan Malaysia dan aku tidak pernah menghubunginya karena Mas Aditya waktu itu membatasi kehidupanku. Dulu, hanya Om Alex yang mendukungku dan menerima Mas Aditya sebagai suamiku. Meskipun papa dan mama menentang pernikahan kami. "Kurang ajar si Aditya! Sudah seperti itu masih belum taubat!" maki Om Alex, dan tangannya yang mengepal dia tinjukan ke meja di mana mereka berada. "Kenapa tidak ada yang mengabarkan padaku! Sampai kejadian nyawanya hampir hilang untuk kedua kalinya!" sambung Om Alek dengan emosi. Bik Asih mengatakan jika aku terkungkung oleh keluarga Mas Aditya, dan terlalu percaya padanya. Juga karena Mas Aditya memutus akses komunikasiku ke keluargaku. Sungguh, aku bingung dengan percakapan mereka. Meski yang mereka ceritakan tentang diriku. "Tadi, penjagaan sudah sangat k
Degh! Tubuhku tiba-tiba terasa hangat, kemudian kesadaranku mulai menghilang dan semua terasa gelap. "Dis, bangun." Suara seseorang terdengar di telingaku. Namun, mataku terasa berat untuk terbuka. Tangan sedikit nyeri ketika ada yang menggenggamnya dengan erat. Bulir bening yang menetes di tangan membuatku ingin membuka mata. "Hmmm, ini di mana?" tanyaku, seingatku tadi sedang berada di rumah. Ruangan ini seperti kamar rumah sakit, seperti saat aku mengalami kecelakaan dulu. "Mas Kelvin?" Aku terkejut, ketika ada Mas Kelvin yang duduk menatapku dengan pandangan penuh kekhawatiran. Tangannya yang menggenggam, dengan kasar kutepis. Saat ini, kami bukanlah seorang yang singel, jadi tidak bisa seenaknya meskipun sedang berduaan seperti saat ini. Perutku terasa sakit, apa mungkin ini? Kilasan peristiwa kembali berputar, ketika Renaldi keluar dari dalam kamar, Mas Aditya masuk dan langsung menikam perutku. Katanya, dia tidak rela aku menikah dengan orang lain. Lalu, aku tidak ingat
"Yang lain ke mana, Mas?" tanyaku. Mas Kelvin diam saja, dan menatap sendu ke arahku, merasa ada yang tidak beres, aku duduk dengan memaksakan diri. "Mas!" bentakku. Mas Kelvin tersentak, dia menghembuskan napas berat dan bibirnya terbuka. Lalu, wajahnya berpaling, berdiri dan hendak pergi. "Mas! Tolong jawab aku, ke mana yang lainnya. Reinaldi, orang tuaku, mertuaku, Mutiara?" tanyaku penuh emosi. "Sembuhkan dirimu dulu," ujarnya, kemudian keluar dari ruangan. Terdengar pintu di kunci dari luar, membuatku kesal semakin menjadi. Ada apa semua ini, sehingga jadi seperti ini. Aku beringsut, untuk turun. Kepala yang terasa pusing, hampir membuatku limbung. "Mas! Kenapa kamu kunci, apa salahku? Kamu kenapa sih!" teriakku. Perih dan terasa sakit di bagian perut, terasa sesuatu yang mengalir. Aku memanggil, Mas Kelvin dengan merintih. Tidak terdengar suara dari luar, mungkin dia sudah pergi meninggalkanku. "Mas, sakiiit!" rintihku berulang kali. Aku hanya bisa terkulai lemas di la
"Maksud kamu, Mas. Semua dalam bahaya?" tanyaku khawatir. Mas Kelvin mengangguk, membenarkan tanyaku. Ingin rasanya aku keluar dari sini dan mencari keberadaan suamiku, tapi aku kenal Mas Kelvin. Dia tidak akan membiarkan aku pergi dan meninggalkan ruangan ini. "Mas, biarkan aku menemui Reinaldi. Bagaimanapun dia adalah suamiku," pintaku sungguh-sungguh. Mas Kelvin terlihat bimbang dengan permintaanku, pasti ada yang dia sembunyikan. Jika tidak dia akan memenuhi keinginanku menskipun itu melukai perasaannya. "Mas, apa ada yang kamu sembunyikan?" Aku melihat tajam ke arahnya. "Aku mohon, kamu tidur dulu dan perbanyak istirahat. Agar cepat kembali pulih, nanti semuanya akan kamu ketahui. Jika seperti ini, kamu akan semakin terluka!" ucapnya yang masih belum aku pahami. "Mas!" rajukku. "Dis! Kumohon!" tegasnya. Aku diam, ketika melihat matanya memerah. Antara rasa gelisah dan bingung, menjadi satu. Aku tahu, dia memikirkan diriku dan keluargaku. Akan tetapi, aku seorang istri dan