Bik Asih memandang lelaki bertubuh kekar itu. Kemudian dia bercerita panjang lebar tentangku. Memang, kami sudah lama tidak berjumpa, setelah kelahiran Mutiara. Karena Om Alex mengurus usahanya di bali dan Malaysia dan aku tidak pernah menghubunginya karena Mas Aditya waktu itu membatasi kehidupanku. Dulu, hanya Om Alex yang mendukungku dan menerima Mas Aditya sebagai suamiku. Meskipun papa dan mama menentang pernikahan kami. "Kurang ajar si Aditya! Sudah seperti itu masih belum taubat!" maki Om Alex, dan tangannya yang mengepal dia tinjukan ke meja di mana mereka berada. "Kenapa tidak ada yang mengabarkan padaku! Sampai kejadian nyawanya hampir hilang untuk kedua kalinya!" sambung Om Alek dengan emosi. Bik Asih mengatakan jika aku terkungkung oleh keluarga Mas Aditya, dan terlalu percaya padanya. Juga karena Mas Aditya memutus akses komunikasiku ke keluargaku. Sungguh, aku bingung dengan percakapan mereka. Meski yang mereka ceritakan tentang diriku. "Tadi, penjagaan sudah sangat k
Degh! Tubuhku tiba-tiba terasa hangat, kemudian kesadaranku mulai menghilang dan semua terasa gelap. "Dis, bangun." Suara seseorang terdengar di telingaku. Namun, mataku terasa berat untuk terbuka. Tangan sedikit nyeri ketika ada yang menggenggamnya dengan erat. Bulir bening yang menetes di tangan membuatku ingin membuka mata. "Hmmm, ini di mana?" tanyaku, seingatku tadi sedang berada di rumah. Ruangan ini seperti kamar rumah sakit, seperti saat aku mengalami kecelakaan dulu. "Mas Kelvin?" Aku terkejut, ketika ada Mas Kelvin yang duduk menatapku dengan pandangan penuh kekhawatiran. Tangannya yang menggenggam, dengan kasar kutepis. Saat ini, kami bukanlah seorang yang singel, jadi tidak bisa seenaknya meskipun sedang berduaan seperti saat ini. Perutku terasa sakit, apa mungkin ini? Kilasan peristiwa kembali berputar, ketika Renaldi keluar dari dalam kamar, Mas Aditya masuk dan langsung menikam perutku. Katanya, dia tidak rela aku menikah dengan orang lain. Lalu, aku tidak ingat
"Yang lain ke mana, Mas?" tanyaku. Mas Kelvin diam saja, dan menatap sendu ke arahku, merasa ada yang tidak beres, aku duduk dengan memaksakan diri. "Mas!" bentakku. Mas Kelvin tersentak, dia menghembuskan napas berat dan bibirnya terbuka. Lalu, wajahnya berpaling, berdiri dan hendak pergi. "Mas! Tolong jawab aku, ke mana yang lainnya. Reinaldi, orang tuaku, mertuaku, Mutiara?" tanyaku penuh emosi. "Sembuhkan dirimu dulu," ujarnya, kemudian keluar dari ruangan. Terdengar pintu di kunci dari luar, membuatku kesal semakin menjadi. Ada apa semua ini, sehingga jadi seperti ini. Aku beringsut, untuk turun. Kepala yang terasa pusing, hampir membuatku limbung. "Mas! Kenapa kamu kunci, apa salahku? Kamu kenapa sih!" teriakku. Perih dan terasa sakit di bagian perut, terasa sesuatu yang mengalir. Aku memanggil, Mas Kelvin dengan merintih. Tidak terdengar suara dari luar, mungkin dia sudah pergi meninggalkanku. "Mas, sakiiit!" rintihku berulang kali. Aku hanya bisa terkulai lemas di la
"Maksud kamu, Mas. Semua dalam bahaya?" tanyaku khawatir. Mas Kelvin mengangguk, membenarkan tanyaku. Ingin rasanya aku keluar dari sini dan mencari keberadaan suamiku, tapi aku kenal Mas Kelvin. Dia tidak akan membiarkan aku pergi dan meninggalkan ruangan ini. "Mas, biarkan aku menemui Reinaldi. Bagaimanapun dia adalah suamiku," pintaku sungguh-sungguh. Mas Kelvin terlihat bimbang dengan permintaanku, pasti ada yang dia sembunyikan. Jika tidak dia akan memenuhi keinginanku menskipun itu melukai perasaannya. "Mas, apa ada yang kamu sembunyikan?" Aku melihat tajam ke arahnya. "Aku mohon, kamu tidur dulu dan perbanyak istirahat. Agar cepat kembali pulih, nanti semuanya akan kamu ketahui. Jika seperti ini, kamu akan semakin terluka!" ucapnya yang masih belum aku pahami. "Mas!" rajukku. "Dis! Kumohon!" tegasnya. Aku diam, ketika melihat matanya memerah. Antara rasa gelisah dan bingung, menjadi satu. Aku tahu, dia memikirkan diriku dan keluargaku. Akan tetapi, aku seorang istri dan
Setelah Mas Kelvin pergi, dua bawahannya yang lebih mirip seprti bodyguard datang dan menyapaku. Mengatakan, jika mereka bertugas menjagaku sampai Mas Kelvin datang, meski merasa risih diawasi, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. "Kami akan menunggu di depan kamar, jika ada sesuatu yang dibutuhkan panggil kami. Pak Kelvin juga mengatakan, jika kami harus menuruti permintaan Bu Gladis keculai keluar dari kamar!" Hening, tidak ada lagi suara di kamar ini, hanya menyisakan kegelisahaan yang tidak akan terobati hingga saatnya nanti. 'Bagaimana keadaan mama dan papa, juga Mutiara? Apakah mama Reinaldi marah padaku?' Apa yang ditakutkan Mas Kelvin?' Berbagai pertanyaan terlintas begitu saja dibenakku. Lelah, bukan hanya tubuh, tapi juga hatiku. Memilih memejamkan mata dan larut dalam buaiaan mimpi. Karena berontak pun tidak mungkin, aku sangat mengenal Mas Kelvin. *** Hari demi hari sudah kulewati, tanpa ada kabar dari Mas Kelvin ataupun dari orang lain. Ketika, akan memanggil orang
Aku tahu, itu suara Mas Kelvin. Perasaanku mulai tidak tenang, pasti ini akan menjadi perang dingin antara mereka. "Saya tidak ada urusan dengan kamu!" teriak Mas Aditya, yang terdengar serak di telingaku. "Menyingkir dari kehidupan Gladis! Sudah cukup kamu buat dia menderita!" balas Mas Kelvin. "Katakan padanya, kalau ingin Mutiara baik-baik saja, urungkan laporannya!" ancam Mas Aditya. 'Laporan? laporan apa, ya?' Kembali kuketuk pintu, meminta untuk dibukakan. Aku ingin mendengar alasan Mas Aditya melakukan hal ini. Bukankah dia yang menceraikanku dengan talak tiga, kenapa dia yang merasa tersakiti. "Mas Kelvin, tolong buka!" teriakku. Pintu pun terbuka, dan terlihat Mas Aditya yang sedang dihalangi oleh dua orang yang sejak kemarin menjagaku. Juga ada Mas Kelvin yang terlihat menahan amarah. "Mas. kenapa kamu melakukan ini?" tanyaku penasaran. Mas Aditya mendekat dengan mencoba meraih tubuhku, tapi langsung dihalangi Mas Kelvin. Lelaki yang pernah bersamaku beberapa tahun i
"Kamu! Kamu yang menyebabkan semua ini, Dis! Kamu yang menyebabkan kehancuranku, karena kamu aku kehilangan semuanya!" balas Mas Aditya geram. "Mas, aku minta maaf jika aku banyak salah padamu. Tapi coba kamu ingat-ingat kembali, siapa yang seharusnya yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi?" serangku. "Kamu jadi istri tidak becus, kamu tidak bisa memuaskanku di rajang! Kamu juga terlalu penurut!" bentaknya. Aku diam sejenak, mencerna kata-kata yang terlontar dari bibir Mas Aditya. Mungkin benar yang dia ucapkan, tapi aku hanya ingin jadi istri yang penurut, tapi ternyata itu tidak disukai olehnya. Apa mungkin semua lelaki begitu? "itu versi kamu, Mas! Apa perlu versiku kuungkapkan semuanya?" tantangku. "Sudahlah, sekarang kita perbaiki diri masing-masing. Hidup masih panjang, Mas. jangan hanya pikirkan balas dendam, jika aku sepertimu, maka sudah lama kamu jadi gembel di luar sana! tambahku Mas Aditya mengusap wajahnya dengan kasar, lalu mencoba mendekatiku dan Mas Kelvin
Mas Kelvin menghadiahi bogem mentah pada perut Mas Aditya dan membuat lelaki yang pernah hidup bersamaku terhuyung. "Kamu enggak ada hak, mencampuri urusanku dan Gladis!" Amarah Mas Aditya mulai meningkat. "Sepertinya, kamu harus diberi pelajaran, agar tidak seenaknya saja!" Mas Kelvin pun tidak mau kalah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, tubuhku sepertinya masih belum mendukung untuk bisa menghalangi mereka berdua. Kubiarkan mereka berdua berkelahi sesuka mereka, agar dapat menumpahkan kekesalan mereka yang terpendam. "Sudah puas kalian berkelahinya?" tanyaku pada dua lelaki yang sedang terengah-engah. "Kalian lihat sekitar! Betapa bodohnya kalian!" ejekku. Mereka berdua terlalu mementingkan ego, sehingga melupakan sekitarnya. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaanku saat ini, apalah daya karena kehidupanku bukanlah diriku yang mengaturnya, meskipun rencana sudah kususun rapih. "Dis, kembalilah padaku!" pinta Mas Aditya dengan mengiba. "Mas, susun kembali hidupmu dan perbaiki sika