Mas Kelvin menghadiahi bogem mentah pada perut Mas Aditya dan membuat lelaki yang pernah hidup bersamaku terhuyung. "Kamu enggak ada hak, mencampuri urusanku dan Gladis!" Amarah Mas Aditya mulai meningkat. "Sepertinya, kamu harus diberi pelajaran, agar tidak seenaknya saja!" Mas Kelvin pun tidak mau kalah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, tubuhku sepertinya masih belum mendukung untuk bisa menghalangi mereka berdua. Kubiarkan mereka berdua berkelahi sesuka mereka, agar dapat menumpahkan kekesalan mereka yang terpendam. "Sudah puas kalian berkelahinya?" tanyaku pada dua lelaki yang sedang terengah-engah. "Kalian lihat sekitar! Betapa bodohnya kalian!" ejekku. Mereka berdua terlalu mementingkan ego, sehingga melupakan sekitarnya. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaanku saat ini, apalah daya karena kehidupanku bukanlah diriku yang mengaturnya, meskipun rencana sudah kususun rapih. "Dis, kembalilah padaku!" pinta Mas Aditya dengan mengiba. "Mas, susun kembali hidupmu dan perbaiki sika
Mas Aditya melangkah pergi dengan hati yang aku tidak tahu, langkahnya pasti, meski kakinya gemetaran. Sebelumnya dia berjanji akan membawa Mutiara padaku dan mengatakankan padaku, jika dia tidak melukai Reinaldi. Sempat bingung, tapi aku tidak bisa meminta penjelasan lebih padanya. "Dis, kenapa enggak nunggu polisi datang?" protes Mas Kelvin. "Setelah dia masuk penjara dan keluar lagi, apa yang bisa dia lakukan, Mas?" tanyaku. Mas Kelvin diam, mencerna kata-kataku. Kemudian terlihat dia mengangguk perlahan dan samar. Lalu, dia tersenyum. "Aku sudah urus semua administrasinya, dan maaf terlambat!" ujar Mas Kelvin. "Berarti, kita bisa menemui Reinaldi?" tanyaku. Mas Kelvin tersenyum kecut, dia kemudian masuk ke dalam kamarku di rawat. Meminta orang kepercayaannya membereskan barang-barangku. Lalu, menatapku dari bawah hingga ke atas dan kembali lagi ke bawah. Memastikan, jika diriku baik-baik saja. "Apa masih sakit?" tanyanya. "Enggak, Mas! Aku sudah tidak sabar ingin melihat d
Mas Kelvin memandangku, tangan kirinya meraih kepalaku, dan menyandarkannya di pundaknya. Dia kembali menatap ke arah depan, menghembuskan napas berat dan mencengkram erat jemariku. Sangat terlihat, kegelisahan dalam matanya. "Mas, jangan seperti ini, aku takut jatuh cinta lagi padamu!" ujarku, beralih dari sandaranku. "Aku malah berharap kamu akan jatuh cinta lagi padaku, Dis!" balasnya dengan suara tercekat. "Mas!" rajukku. Sungguh tidak nyaman dalam situasi ini. Aku adalah seorang istri dan dia seorang suami, meskipun sudah berpisah. Aku merasa menghianati suamiku yang sedang terluka, lelaki yang sejak kecil kuharapkan menjadi suamiku kelak. "Kita ke mana?" tanyaku ketika menyadari perjalan ini tidak menuju ke rumah Reinaldi, melainkan ke rumah sakit tempat Reinaldi bekerja. "Sabar!" ucapnya lembut. Mas Kelvin sepertinya takut sesuatu, saat aku mencoba menarik tanganku dari gengaman tangannya, Dia meminta, agar aku memperbolehkannya memegang tanganku dan tidak boleh dilepas
Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa semua jadi kacau seperti ini. Apa yang sedang dibahas oleh Om Alex, kenapa dengan Reinaldi. "Tunggu, ada yang bisa jelaskan?" tanyaku. Belum juga kedua lelaki kesayanganku berbicara, security datang dan menegur kami. Meminta kami untuk tidak mengganggu orang lain dengan suara kami yang kadang meninggi, lalu aku mengajak mereka untuk berincang di luar sebelum bertemu dengan Reinaldi. "Jangan ada yang bicara, tolong jelaskan ada apa? Apakan Mas Aditya juga melukai Reinaldi? Lalu, kenapa dengan keluarga Reinaldi? Ada hubungan apa dengan Mas Kelvin?" tanyaku beruntun, ketika sampai di kantin. "Kamu jelaskan semuanya?" pinta Om Alex. Mas Kelvin menarik napas panjang dan mulai menjelaskan semuanya sejak awal Reinaldi memintanya untuk menjauhi diriku. Kemudian, Mas Kelvin mengetahui penyakit Reinaldi, saat mereka berdua bertengkar. Akhirnya, dia merelakan Reinaldi terus bersamaku, untuk memenuhi permintaan terakhir. Ujarnya, ketika Mas Aditya menusukk
"Mama senang, ternyata wanita yang dia cintai adalah anak kecil yang selalu ada di hatinya, sebelum mengenal ke kasihnya dulu dan mama sempat tidak percaya, tapi mama lihat harapan besar dari matanya, bahwa semua akan baik-baik saja dan dia akan sembuh, makanya mama langsung memintamu untuk menikah hari tiu juga," imbuh mama Rini. "Saya yakin, kamu tidak akan mau, meski Reinaldi mencintai kamu!" tambah Mas Kelvin. Benar ... Benar sekali apa yang mereka katakan. Aku tidak akan menerima Reinaldi semudah itu, meskipun dia berjuang untukku. Hatiku masih mencintai Mas Kelvin, apapun yang sudah dia lakukan. hanya karena aku tahu dia teman masa kecilku, maka aku menerimanya dengan senang hati, jugfa karena ketulusan yang di tampakan. Karena masalah ini, aku meragukan pernikahan Mas Kelvin. "Ma, bagaimanapun Renaldi sudah menjadi suamiku. Aku ingin menemaninya!" lirihku dengan menggenggam tangan rentanya. Mama Rini mulai diam dan menghapus air matanya yang turun tidak dapat dia tahan. Aku
Aku mencium bibirnya lembut, menyesap kenangan yang akan hilang darinya. "Sudah, kamu istirahat dulu. Cepat sembuh, dan kita bisa bersama selamanya!" ujarku, setelah aku melepaskan pagutanku. Ada ras sesak yang menjalar di dalam hatiku, entah kenapa aku harus menikahinya walapun cintaku untuknya hanya sekedar cinta masa kecil. Reinaldi merentangkan tangannya, aku tahu, dia ingin aku memeluknya. "Aku boleh menyandarkan kepalaku di sini?" tanyaku menunjuk dadanya. Rona bahagia terlihat jelas di matanya, aku tersenyum, kemudian membaringkan tubuhku di sebelahnya. Meletakkan kepalaku di dadanya, masih bisa kau mendengar detak jantung yang berdetak kencang. menandakan kebahagia darinya. "Ka--kamu bahagia, Dis?" tanya Reinaldi lirih, dan aku hanya mengangguk. Takut, jika air mataku terjatuh. Tiba-tiba, rasa sakit muncul. Membuatku meringis, aku lupa meminum pil pereda nyeri. Juga, karena gerakanku yang terlalu sering. "Dis!" sapa Mas Kelvin. Itu Mas Kelvin, meskipun tidak melihat
"Istriku, maafkan aku yang tidak bisa membahagiakan dan tidak mampu menjagamu!" ucapnya lirih dengan suara serak. "Di, istrigfar! Jangan banyak berpikir hal buruk!" balasku. Meski cintaku bukan cinta yang murni, tapi aku tidak mau kehilangannya, apa lagi menjanda untuk yang kedua kalinya. "Astagfirullah ... Astagfirullah!" Reinaldi terus berzikir, membuatku menyunggingkan senyuman. Aku makin mengeratkan genggaman tanganku. Bangga padanya, kami terus berzikir mengingat akan kematian yang kapan saja bisa datang. "Di, ucapkan kalimah Allah. La ilaha ilallah, Muhammad Rasullulah!" ajakku dan Reinaldi mengucapkannya dengan lancar, lalu terdiam. Aku merasa, kehilangan sesuatu. Entah apa, hanya merasa hatiku kosong seketika. Tiba-tiba, suara mesin di samping Reinaldi berbunyi memekakkan telingaku, dan tangannya terlepas dari genggaman. "Di ... Di!" panggilku dengan menggoyangkan lengannya. Mas Kelvin keluar dan memanggil suster untuk memeriksa keadaan Reinaldi, aku limbung. Menahan sa
"Jangan dibuka sekarang! Lebi baik kamu fokuskan ke diri sendiri, agar kamu tidak pingsan ketika mengantarkan Reinaldi untuk terakhir kalinya. berika hal terbaik untuknya!" ketus Mas Kelvin, saat aku ingin memuka buku milik suamiku. "Iya, Dis. Kita harus memberikan yang terbaik," Mama Rini menambahkan. Aku hanya bisa mengangguk, bukan karena nasehat mereka, tapi karena nasib pernikahanku yang tidak pernah beruntung. Napas kasar, tanpa sadar kuhembuskan. Membuat mama Rini merasa bersalah akan keputusan yang sudah terjadi, dia menepuk pundakku pelan. "Maaf, Ma." Aku merasa egois untuk saat ini. Mama Rini mengangguk, dan memintaku untuk ikut bersamanya dengan menggunakan kursi roda. Agar lebih aman, katanya. Walaupun sebenarnya, kakiku masih mampu untuk melangkah. *** Begitu sampai di rumah, aku melihat satu tubuh yang terbujur kaku dan sudah dikafani. Perasaanku mulai berkecamuk tidak henti. Tetes demi tetes, air mata terjatuh begitu saja, antara melepas kepergian Reinaldi dan mera