"Mama senang, ternyata wanita yang dia cintai adalah anak kecil yang selalu ada di hatinya, sebelum mengenal ke kasihnya dulu dan mama sempat tidak percaya, tapi mama lihat harapan besar dari matanya, bahwa semua akan baik-baik saja dan dia akan sembuh, makanya mama langsung memintamu untuk menikah hari tiu juga," imbuh mama Rini. "Saya yakin, kamu tidak akan mau, meski Reinaldi mencintai kamu!" tambah Mas Kelvin. Benar ... Benar sekali apa yang mereka katakan. Aku tidak akan menerima Reinaldi semudah itu, meskipun dia berjuang untukku. Hatiku masih mencintai Mas Kelvin, apapun yang sudah dia lakukan. hanya karena aku tahu dia teman masa kecilku, maka aku menerimanya dengan senang hati, jugfa karena ketulusan yang di tampakan. Karena masalah ini, aku meragukan pernikahan Mas Kelvin. "Ma, bagaimanapun Renaldi sudah menjadi suamiku. Aku ingin menemaninya!" lirihku dengan menggenggam tangan rentanya. Mama Rini mulai diam dan menghapus air matanya yang turun tidak dapat dia tahan. Aku
Aku mencium bibirnya lembut, menyesap kenangan yang akan hilang darinya. "Sudah, kamu istirahat dulu. Cepat sembuh, dan kita bisa bersama selamanya!" ujarku, setelah aku melepaskan pagutanku. Ada ras sesak yang menjalar di dalam hatiku, entah kenapa aku harus menikahinya walapun cintaku untuknya hanya sekedar cinta masa kecil. Reinaldi merentangkan tangannya, aku tahu, dia ingin aku memeluknya. "Aku boleh menyandarkan kepalaku di sini?" tanyaku menunjuk dadanya. Rona bahagia terlihat jelas di matanya, aku tersenyum, kemudian membaringkan tubuhku di sebelahnya. Meletakkan kepalaku di dadanya, masih bisa kau mendengar detak jantung yang berdetak kencang. menandakan kebahagia darinya. "Ka--kamu bahagia, Dis?" tanya Reinaldi lirih, dan aku hanya mengangguk. Takut, jika air mataku terjatuh. Tiba-tiba, rasa sakit muncul. Membuatku meringis, aku lupa meminum pil pereda nyeri. Juga, karena gerakanku yang terlalu sering. "Dis!" sapa Mas Kelvin. Itu Mas Kelvin, meskipun tidak melihat
"Istriku, maafkan aku yang tidak bisa membahagiakan dan tidak mampu menjagamu!" ucapnya lirih dengan suara serak. "Di, istrigfar! Jangan banyak berpikir hal buruk!" balasku. Meski cintaku bukan cinta yang murni, tapi aku tidak mau kehilangannya, apa lagi menjanda untuk yang kedua kalinya. "Astagfirullah ... Astagfirullah!" Reinaldi terus berzikir, membuatku menyunggingkan senyuman. Aku makin mengeratkan genggaman tanganku. Bangga padanya, kami terus berzikir mengingat akan kematian yang kapan saja bisa datang. "Di, ucapkan kalimah Allah. La ilaha ilallah, Muhammad Rasullulah!" ajakku dan Reinaldi mengucapkannya dengan lancar, lalu terdiam. Aku merasa, kehilangan sesuatu. Entah apa, hanya merasa hatiku kosong seketika. Tiba-tiba, suara mesin di samping Reinaldi berbunyi memekakkan telingaku, dan tangannya terlepas dari genggaman. "Di ... Di!" panggilku dengan menggoyangkan lengannya. Mas Kelvin keluar dan memanggil suster untuk memeriksa keadaan Reinaldi, aku limbung. Menahan sa
"Jangan dibuka sekarang! Lebi baik kamu fokuskan ke diri sendiri, agar kamu tidak pingsan ketika mengantarkan Reinaldi untuk terakhir kalinya. berika hal terbaik untuknya!" ketus Mas Kelvin, saat aku ingin memuka buku milik suamiku. "Iya, Dis. Kita harus memberikan yang terbaik," Mama Rini menambahkan. Aku hanya bisa mengangguk, bukan karena nasehat mereka, tapi karena nasib pernikahanku yang tidak pernah beruntung. Napas kasar, tanpa sadar kuhembuskan. Membuat mama Rini merasa bersalah akan keputusan yang sudah terjadi, dia menepuk pundakku pelan. "Maaf, Ma." Aku merasa egois untuk saat ini. Mama Rini mengangguk, dan memintaku untuk ikut bersamanya dengan menggunakan kursi roda. Agar lebih aman, katanya. Walaupun sebenarnya, kakiku masih mampu untuk melangkah. *** Begitu sampai di rumah, aku melihat satu tubuh yang terbujur kaku dan sudah dikafani. Perasaanku mulai berkecamuk tidak henti. Tetes demi tetes, air mata terjatuh begitu saja, antara melepas kepergian Reinaldi dan mera
"Hei! Mulutmu dikontrol, ya!" Mas Kelvin terlihat sangat marah mendengar suara sumbang di belakangku. "Kalau tidak tahu apapun, lebih baik diam dan urusi saja keluargamu, juga suamimu yang selingkuh!" t ambah Mas Kelvin. Sontak saja, kegaduhan terjadi, ketika kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibir Mas Kelvin. Amarah nampak jelas di wajahnya yang merah padam, begitu juga para pelayat yang hadir. Mereka fokus menatapku dengan pandangan yang entahlah. "Emang begitu kenyataanya! Masa harus bilang dia beruntung karena jadi janda dua kali!" ejek wanita yang masih satu profesi dengan Reinaldi. "Udah, Mas. Biarkan saja!" balasku, enggan makin membuat keributan. "Kalau saja, Reinaldi mau mengikuti saran teman-temannya, dia akan bertahan hingga saat ini. Hanya karena wanita pembawa sial, Reinaldi harus mati tanpa pengobatan!" kesah wanita yang terlihat sangat pongah itu. Mas Kelvin mendekat dan tangannya terangkat, siap memberikan tamparan pada wanita yang tidak kami kenal. Aku buru
Mama Rini mendekatiku dan ingin mengatakan sesuatu. Aku tahu, Mama Rini ingin menjelaskan sesuatu yang tidak kuketahui, tapi aku sudah enggan mendengarnya. Biarkanlah menjadi rahasia dan membuatku mengenang Reinaldi dengan kebaikannya saja. Setiap orang punya masalalu, ada yang ingin memamerkannya keseluruh dunia, ada yang ingin menyembunyikannya rapat-rapat. Begitupun Reinaldi dan aku. Jalan kami sejak awal sudah berbeda, tapi aku yang memaksa untuk tetap sejalan. "Ma, pemakaman Reinaldi sebentar lagi. Hapus air mata mama, biarkan dia tenang membawa kebahagian diakhir hidupnya," pintaku. Mama Rini mengangguk dan mengajakku dalam rombongan yang akan mengantarkan suamiku dalam peristirahatan terakhirnya. Air mataku mengering, hingga melepas kepergiannya dengan senyum kepedihan. "Terima kasih atas cinta yang selalu kamu berikan untukku, suamiku!" ucapku lirih. Tiba-tiba, Mas Kelvin berdiri di dekatku dan memegang pundakku erat, Seakan-akan tidak rela aku mengucapkan hal itu. Kemudia
Ah! Dugaanku ternyata salah, cintanya bukan tidak berbalas. Akan tetapi telah berakhir, karena restu orang tua. Akan tetapi, seingatku suster Ririn mengatakan, jika kekasih Reinaldi sudah meninggal. Mana yang betul, terlalu banyak rahasia yang disembunyikan dariku. Mama Rini menepuk pundakku, dan mengatakan jika aku adalah cinta terakhir Reinaldi untuk selama-lamanya. Rasa haru menelusup dalam hati, meski sesak lebih mendominasi. "Ma, boleh aku tinggal bersama mama?" tanyaku. Mas Kelvin menghentikan kursi rodaku, karena Mama Rini berhenti. Mama Rini berdiri di depanku dan memintaku untuk mengulangi perkataanku. Aku pikir, ucapanku salah. "Mama sangat berterima kasih, jika kamu mau tinggal bersama mama. Mama ...," Mama Rini langsung memelukku, dan tangisnya terdengar sangat menusuk kalbu. Hanya ini yang bisa kuberikan pada Mama Rini, karena mendukung Reinaldi menikah denganku dan menolak mengobati penyakitnya. Binar kebahagian nampak jelas di mata mama Rini, lengkungan indah di bib
Mama mengguncang-guncang tubuh papa dan terus memanggil namanya dengan tidak sabaran. Air mata sudah tidak terhitung jatuh begitu saja. Sedangkan, Papa. Dia diam, tidak menghiraukan panggilan mama, tidak mau menyekaa air mata yang luruh karenanya. "Papa! Kenapa tega!" ucapku lirih. Mama Rini datang dan langsung memintaku berdiri, memaksaku untuk tabah menerima ketentuan tuhan yang tidak pernah bisa aku tebak. Dunia serasa menghilang sejenak, Kehilangan dia yang selalu kutunggu maafnya karena kenakalanku, yang selalu membuatnya pusing dan kesal. Kenapa ... Kenapa aku selalu menjadi yang terakhir mengetahui orang yang kusayangi sedang menderita. Belum sembuh luka kehilangan Reinaldi tiga bulan yang lalu, kini papa harus menyusulnya dan meninggalkan kami yang mencintainya. Mama dan aku sangat terpukul, baru tahu rasa yang dirasakan oleh Mama Rini. "Sabar, Dis. Tuhan sayang padanya," ucap Mama Rini lirih. Suaranya tercekat, seakan-akan mengingat kepergian Reinaldi yang masih hangat
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik
Om Alex datang dengan wajah merah padam, aku tidak tau, jika dia kan kembali ke sini. Dia mendekati Mas Aditya dan menarik kerah bajunya."Sudah kukatakan sejak awal kamu menikah! Jangan pernah sia-siakan, Gladis dan Mutiara. Kamu malah menjadikannya pembantu dan selingkuh darinya. Maumu apa?" Terlihat Mas Aditya kesulitan bernapas.Orang suruhan Mas Aditya mencoba membantu bosnya itu, tapi dengan sekali tatapan tajam Om Alex, mereka kembali menjauh. Om Alex kembali menatap tajam Mas Aditya, yang mulai berkeringat, Mas Aditya tahu betul siapa lelaki yang ada di depannya. "Saya hanya ingin Gladis kembali ke saya, Om. Bukan ingin menyakitinya," ujar Mas Aditya tergagap.Satu tamparan mendarat di wajahnya dan cukup membuat Mas Aditya meringis menahan rasa sakit. Sepertinya, Om Alex makin mengencangkan genggaman tangannya di kerah baju Mas Adity, terlihat dari wajah lelaki yang pernah membersamaiku itu. Dia makin meringis dan kesulitan bernapas."Om, jangan sampai dia mat*!" pintaku.Aku
Mas Kelvin memintaku dan Mama Rini untuk diam di sini saja, dan dia yang akan melihat ada apa di depan. Namun, rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Entah siapa yang berteriak di luar sana. "Apa Mas Aditya!" gumamku seketika. Aku takut, mama Rini syok mengetahui tentang kedatangan lelaki brengsek, yang sebentar tobat, sebentar kumat. "Mama mau istirahat di kamar?" tanyaku, sebenarnya aku mengharapkan mama Rini segera ke kamar. "Iya," Seketika aku merasa lega. Aku memapah Mama Rini untuk masuk ke kamarnya dan langsung bergegas ke depan. Di sana suara riuh sudah mulai terdengar. Yang paling sesak, Mutiara melihat dari balik jemdela. "Nak, Oma Rini temani, ya, kasihan," pintaku dengan menepuk pundaknya. Mutiara tersentak, saat aku memergokinya, kemudia langsung menuju ke kamar mama Rini. 'Maaf, Nak. Belum waktunya kamu mengetahui permasasalahan orang dewasa.' Benar dugaanku, Mas Aditya yang sedang membuat runyam, entah apa mau laki-laki itu. Padahal, dia sudah berjanji, tidak akan m
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men