Aku mencium bibirnya lembut, menyesap kenangan yang akan hilang darinya. "Sudah, kamu istirahat dulu. Cepat sembuh, dan kita bisa bersama selamanya!" ujarku, setelah aku melepaskan pagutanku. Ada ras sesak yang menjalar di dalam hatiku, entah kenapa aku harus menikahinya walapun cintaku untuknya hanya sekedar cinta masa kecil. Reinaldi merentangkan tangannya, aku tahu, dia ingin aku memeluknya. "Aku boleh menyandarkan kepalaku di sini?" tanyaku menunjuk dadanya. Rona bahagia terlihat jelas di matanya, aku tersenyum, kemudian membaringkan tubuhku di sebelahnya. Meletakkan kepalaku di dadanya, masih bisa kau mendengar detak jantung yang berdetak kencang. menandakan kebahagia darinya. "Ka--kamu bahagia, Dis?" tanya Reinaldi lirih, dan aku hanya mengangguk. Takut, jika air mataku terjatuh. Tiba-tiba, rasa sakit muncul. Membuatku meringis, aku lupa meminum pil pereda nyeri. Juga, karena gerakanku yang terlalu sering. "Dis!" sapa Mas Kelvin. Itu Mas Kelvin, meskipun tidak melihat
"Istriku, maafkan aku yang tidak bisa membahagiakan dan tidak mampu menjagamu!" ucapnya lirih dengan suara serak. "Di, istrigfar! Jangan banyak berpikir hal buruk!" balasku. Meski cintaku bukan cinta yang murni, tapi aku tidak mau kehilangannya, apa lagi menjanda untuk yang kedua kalinya. "Astagfirullah ... Astagfirullah!" Reinaldi terus berzikir, membuatku menyunggingkan senyuman. Aku makin mengeratkan genggaman tanganku. Bangga padanya, kami terus berzikir mengingat akan kematian yang kapan saja bisa datang. "Di, ucapkan kalimah Allah. La ilaha ilallah, Muhammad Rasullulah!" ajakku dan Reinaldi mengucapkannya dengan lancar, lalu terdiam. Aku merasa, kehilangan sesuatu. Entah apa, hanya merasa hatiku kosong seketika. Tiba-tiba, suara mesin di samping Reinaldi berbunyi memekakkan telingaku, dan tangannya terlepas dari genggaman. "Di ... Di!" panggilku dengan menggoyangkan lengannya. Mas Kelvin keluar dan memanggil suster untuk memeriksa keadaan Reinaldi, aku limbung. Menahan sa
"Jangan dibuka sekarang! Lebi baik kamu fokuskan ke diri sendiri, agar kamu tidak pingsan ketika mengantarkan Reinaldi untuk terakhir kalinya. berika hal terbaik untuknya!" ketus Mas Kelvin, saat aku ingin memuka buku milik suamiku. "Iya, Dis. Kita harus memberikan yang terbaik," Mama Rini menambahkan. Aku hanya bisa mengangguk, bukan karena nasehat mereka, tapi karena nasib pernikahanku yang tidak pernah beruntung. Napas kasar, tanpa sadar kuhembuskan. Membuat mama Rini merasa bersalah akan keputusan yang sudah terjadi, dia menepuk pundakku pelan. "Maaf, Ma." Aku merasa egois untuk saat ini. Mama Rini mengangguk, dan memintaku untuk ikut bersamanya dengan menggunakan kursi roda. Agar lebih aman, katanya. Walaupun sebenarnya, kakiku masih mampu untuk melangkah. *** Begitu sampai di rumah, aku melihat satu tubuh yang terbujur kaku dan sudah dikafani. Perasaanku mulai berkecamuk tidak henti. Tetes demi tetes, air mata terjatuh begitu saja, antara melepas kepergian Reinaldi dan mera
"Hei! Mulutmu dikontrol, ya!" Mas Kelvin terlihat sangat marah mendengar suara sumbang di belakangku. "Kalau tidak tahu apapun, lebih baik diam dan urusi saja keluargamu, juga suamimu yang selingkuh!" t ambah Mas Kelvin. Sontak saja, kegaduhan terjadi, ketika kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibir Mas Kelvin. Amarah nampak jelas di wajahnya yang merah padam, begitu juga para pelayat yang hadir. Mereka fokus menatapku dengan pandangan yang entahlah. "Emang begitu kenyataanya! Masa harus bilang dia beruntung karena jadi janda dua kali!" ejek wanita yang masih satu profesi dengan Reinaldi. "Udah, Mas. Biarkan saja!" balasku, enggan makin membuat keributan. "Kalau saja, Reinaldi mau mengikuti saran teman-temannya, dia akan bertahan hingga saat ini. Hanya karena wanita pembawa sial, Reinaldi harus mati tanpa pengobatan!" kesah wanita yang terlihat sangat pongah itu. Mas Kelvin mendekat dan tangannya terangkat, siap memberikan tamparan pada wanita yang tidak kami kenal. Aku buru
Mama Rini mendekatiku dan ingin mengatakan sesuatu. Aku tahu, Mama Rini ingin menjelaskan sesuatu yang tidak kuketahui, tapi aku sudah enggan mendengarnya. Biarkanlah menjadi rahasia dan membuatku mengenang Reinaldi dengan kebaikannya saja. Setiap orang punya masalalu, ada yang ingin memamerkannya keseluruh dunia, ada yang ingin menyembunyikannya rapat-rapat. Begitupun Reinaldi dan aku. Jalan kami sejak awal sudah berbeda, tapi aku yang memaksa untuk tetap sejalan. "Ma, pemakaman Reinaldi sebentar lagi. Hapus air mata mama, biarkan dia tenang membawa kebahagian diakhir hidupnya," pintaku. Mama Rini mengangguk dan mengajakku dalam rombongan yang akan mengantarkan suamiku dalam peristirahatan terakhirnya. Air mataku mengering, hingga melepas kepergiannya dengan senyum kepedihan. "Terima kasih atas cinta yang selalu kamu berikan untukku, suamiku!" ucapku lirih. Tiba-tiba, Mas Kelvin berdiri di dekatku dan memegang pundakku erat, Seakan-akan tidak rela aku mengucapkan hal itu. Kemudia
Ah! Dugaanku ternyata salah, cintanya bukan tidak berbalas. Akan tetapi telah berakhir, karena restu orang tua. Akan tetapi, seingatku suster Ririn mengatakan, jika kekasih Reinaldi sudah meninggal. Mana yang betul, terlalu banyak rahasia yang disembunyikan dariku. Mama Rini menepuk pundakku, dan mengatakan jika aku adalah cinta terakhir Reinaldi untuk selama-lamanya. Rasa haru menelusup dalam hati, meski sesak lebih mendominasi. "Ma, boleh aku tinggal bersama mama?" tanyaku. Mas Kelvin menghentikan kursi rodaku, karena Mama Rini berhenti. Mama Rini berdiri di depanku dan memintaku untuk mengulangi perkataanku. Aku pikir, ucapanku salah. "Mama sangat berterima kasih, jika kamu mau tinggal bersama mama. Mama ...," Mama Rini langsung memelukku, dan tangisnya terdengar sangat menusuk kalbu. Hanya ini yang bisa kuberikan pada Mama Rini, karena mendukung Reinaldi menikah denganku dan menolak mengobati penyakitnya. Binar kebahagian nampak jelas di mata mama Rini, lengkungan indah di bib
Mama mengguncang-guncang tubuh papa dan terus memanggil namanya dengan tidak sabaran. Air mata sudah tidak terhitung jatuh begitu saja. Sedangkan, Papa. Dia diam, tidak menghiraukan panggilan mama, tidak mau menyekaa air mata yang luruh karenanya. "Papa! Kenapa tega!" ucapku lirih. Mama Rini datang dan langsung memintaku berdiri, memaksaku untuk tabah menerima ketentuan tuhan yang tidak pernah bisa aku tebak. Dunia serasa menghilang sejenak, Kehilangan dia yang selalu kutunggu maafnya karena kenakalanku, yang selalu membuatnya pusing dan kesal. Kenapa ... Kenapa aku selalu menjadi yang terakhir mengetahui orang yang kusayangi sedang menderita. Belum sembuh luka kehilangan Reinaldi tiga bulan yang lalu, kini papa harus menyusulnya dan meninggalkan kami yang mencintainya. Mama dan aku sangat terpukul, baru tahu rasa yang dirasakan oleh Mama Rini. "Sabar, Dis. Tuhan sayang padanya," ucap Mama Rini lirih. Suaranya tercekat, seakan-akan mengingat kepergian Reinaldi yang masih hangat
Pemakaman papa dan segala sesuatunya diurus oleh Mas Kelvin dan om Alex, bahkan dia pun harus mengurus Mutiara yang sangat sedih kehilangan dua orang yang mencintainya selama ini, secara bergantian. Tidak beda jauh dengan keadaanku saat ini, meski aku tahu takdir Tuhan sudah diatyr dengan sangat baik, tapi tetap saja ada ketidak relaan dalam hati. *** Dua bulan berlalu, hari-hari terasa sangat kosong. Aku rindu semua yang telah berlalu. Kini, hanya bisa memandang langit yang dipenuhi bintang-bintang dan rembulan yang menjadi ratunya. "Jangan terlalu larut dalam kesedihan, banyak orang yang membutuhkan kamu!" Suara Mas Kelvin terdengar dari arah belakangku. "Kamu tidak tahu rasanya kehilangan, Mas!" ejekku. "Sebelum kamu merasakannya, aku sudah lebih dulu merasakannya, Dis! Dengan kamu larut dalam kesedihan, tidak dapat membawa mereka kembali padamu. Sedangkan orang-orang yang membutuhkanmu masih hidup hingga saat ini, jangan sampai penyesalan datang lagi!" Mas Kelvin seolah-olah m