Pemakaman papa dan segala sesuatunya diurus oleh Mas Kelvin dan om Alex, bahkan dia pun harus mengurus Mutiara yang sangat sedih kehilangan dua orang yang mencintainya selama ini, secara bergantian. Tidak beda jauh dengan keadaanku saat ini, meski aku tahu takdir Tuhan sudah diatyr dengan sangat baik, tapi tetap saja ada ketidak relaan dalam hati. *** Dua bulan berlalu, hari-hari terasa sangat kosong. Aku rindu semua yang telah berlalu. Kini, hanya bisa memandang langit yang dipenuhi bintang-bintang dan rembulan yang menjadi ratunya. "Jangan terlalu larut dalam kesedihan, banyak orang yang membutuhkan kamu!" Suara Mas Kelvin terdengar dari arah belakangku. "Kamu tidak tahu rasanya kehilangan, Mas!" ejekku. "Sebelum kamu merasakannya, aku sudah lebih dulu merasakannya, Dis! Dengan kamu larut dalam kesedihan, tidak dapat membawa mereka kembali padamu. Sedangkan orang-orang yang membutuhkanmu masih hidup hingga saat ini, jangan sampai penyesalan datang lagi!" Mas Kelvin seolah-olah m
"Apa yang kamu butuhkan, Dis?" tanya Mas Kelvin penasaran, karena aku tidak kunjung menjawab tanyanya. "Aku masih ragu, Mas! Tiga hari lagi aku beritahu, ya." Aku ingin memastikan semuanya benar sebelum mengambil keputusan. Aku juga harus menyiapkan alternatif lain, sebelum aku meminta pada Mas Kelvin. Begitu banyak kelalaian yang telah terjadi, beberapa bulan ini. Semenjak kepergian Reinaldi dan juga papa. "Apa bedanya jika sekarang?" desak Mas Kelvin, "Beda, Mas. Ada sesuatu yang harus aku pastikan, aku pun harus bertanya pada Allah terlebih dulu." Kuberikan senyum yang terbaik untuknya, memintanya mengerti untuk saat ini. "Baiklah, asal jangan kamu memintaku untuk menjauh darimu!" ketusnya yang membuatku tersenyum miris. Aku meminta Mas Kelvin untuk pulang sebelum malam semakin larut dan memintanya datang setelah tiga hari, walau pun dia protes aku tetap kukuh dengan pintaku. Mau tidak mau, Mas Kelvin memenuhi pintaku. "Okelah, aku pamit dengan Mutiara dulu, takut dia nyariin
Baru saja melangkah, Mutiara memanggil Mas Kelvin. "Kata Om, papa Reinaldi sudah enggak mau kembali lagi! Dan Om akan menggantikannya!" rajuk Mutiara. Sebenarnya, aku makin penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, apalagi Mutiara sampai ngambek seperti itu. "Mutiara mau punya papa om ini?" Aku memilih bertanya hal ini terlebih dulu pada Mutiara. dengan menunjuk ke arah Mas Kelvin. Mutiara menghampiri Mas Kelvin, kemudian memeluk kaki lelaki tampan yang ada di sampingku. Mas Kelvin langsung menatapku dengan pandangan yang aku sendiri tidak tahu. Dengan cepat aku menatap ke arah berlawanan. "Tapi papa Reinaldi gimana, Ma?" tanya Mutiara setelah melepaskan pelukannya ke Mas Kelvin. "Papa Reinaldi sudah di surga, bersama dengan kakek, Nak!" jelasku, dengan mesejajarkan diriku dengan tinggi Mutiara. Aku tahu, Mutiara pasti paham apa yang kumaksud. Usia Mutiara seharusnya sudah bisa mengetahui apa yang terjadi, meskipun belum terlalu memahaminya dengan baik. Mas Kelvin pun ikut j
Namun, akhirnya Mas Kelvin menghembuskan napas gusarnya, kemudian memalingkan wajahnya dan berpamitan. Melangkah menjauh untuk kembali lagi, harapku. "Maaf, Mas! Aku ingin memastikannya lebih baik lagi, agar semakin yakin." Dengan liri aku berucap. Aku kembali ke kamar dan bersiap untuk tidur, menjemput mimpi bahagia yang tertunda. Berharap terbangun disepertiga malam untuk bermunajat pada sang khalik yang selalu membersamaiku disaat aku jatuh dan bangun. *** "Ma, Om Kelvin belum ke sini?" tanya Mutiara, untuk kesekian kalinya "Semoga, hari ini Om Kelvin datang, ya!" balasku cemas. Pasalnya, setiap aku chat, Mas Kelvin tidak membalas pesanku. Tidak ada tanda-tandanya dia sedang online di semua media sosialnya. Tentu saja, kekhawatiran mulai menyelimuti hati. Aku berpikir, jika Mas Kelvin marah atau tidak ingin bertemu denganku lagi. "Kita jalan-jalan saja, yuk!" ajakku. Mutiara terlihat sangat antusias dengan ajakkanku, sudah lama dia tidak keluar dari rumah, selain pergi ke se
"Mama Rini," sapaku. Aku menatap Mas Kelvin yang masih memegang buket bunga dan menggandeng Mutiara, entah dia mengerti kegalauanku atau tidak, tapi dia menangguk padaku. "Masuk, yuk, Ma," ajakku. Mama Rini menjadi depresi setelah kepergian Reinaldi, kadang bisa mengenali orang, terkadang lupa. Aku yang merasa bertanggung jawab, enggan meninggalkannya. "Kamu mau meninggalkan mama, Dis? Sama seperti Reinaldi?" Pertanyaannya membuat hatiku sangat pilu. "Enggak, Ma. Gladis bakalan sama, mama!" balasku dengan hati meringis. Aku menuntun mama Rini masuk ke dalam, dan membiarkannya duduk. Mas Kelvin dan Mutiara ikut duduk di sampingku. "Dis, mama tahu, kamu sudah banyak berkorban. Saatnya kamu sekarang bahagia, menikahlah, tapi jangan tinggalkan mama," Mama Rini menepuk tanganku yang memegang tangannya dengan erat. "Gladis dan Mutiara selalu ada untuk mama," balasku dengan meminta Mutiara duduk di samping mama Rini. Mutiara, tanpa kuminta memeluk erat mama Rini dan mengecupnya. "O
"Ma!" teriakku. Tanpa menunggu, aku bergegas ke kamar mama Rini. Aku tahu, mama Rini mendengar ucapan mamaku tadi. Luka hatinya pasti bertambah dalam. "Ma, Gladis masuk, ya," ijinku Tidak ada jawaban dari dalam, membuatku was-was. Aku melihat Mas kelvin yang sudah ada di sampingku, kemudian dia ikut mengetuk pintu, untuk memastikan keadaan mama Rini. "Mas, kita dobrak saja, aku khawatir keadaan mama Rini," ajakku pada Mas Kelvin, dan dia hanya mengangguk tanda setuju. "Iya, dobrak aja!" imbuh mama. Sebelum memutuskan mendobrak pintu, Mas Kelvin mengetuk pintu berkali-kali. Memastikan mama Rini baik-baik saja, tapi seperti dugaanku mama Rini tidak menjawab, maka Mas Kelvin mulai mendobrak pintu kamar. Butuh beberapakili mencoba, barulah pintu terbuka dan terlihat mama Rini tergeletak di lantai, dengan memeluk poto anaknya, Reinaldi. Dadaku terasa sesak, membayangkan Mama Rini akan terluka, ketika aku benar-benar memutuskan menikah dengan Mas Kelvin. Aku ingin dicintai dan ingin h
Mas Kelvin jongkok di depanku dan menatap dengan senyumnya, kali ini dia berbeda. Kukernyitkan dahiku untuk mencari perbedaan itu, tapi tidak. Mungkin sikapnya yang berubah, sejak dia datang tadi. "Kita harus sabar. Kalau kita jodoh, semua akan dipermudah." Mas Kelvin menggenggam tanganku. Aku setuju dengan ucapannya, tapi hatiku tidak! "Sabar, ya, kita usaha yang terbaik. Biarkan tangan Tuhan yang bekerja!" saran dari Mas Kelvin. "Hmm, yang tadi aku enggak salah dengar, kan?" tanya Mas Kelvin. Yang tadinya aku terharu dengan kata-katanya, sekarang harus kebingungan. "Apa, Mas?" tanyaku. Tentu saja, aku sedang tidak bisa berpikir dengan jernih. Terlalu banyak yang ada di otakku, sehingga rasanya ingin meledak. "Tadi kamu bilang mau bersamaku!" ujar Mas Kelvin lirih dengan alis di naik turunkan. "Kayaknya, kamu harus cari wanita lain, Mas!" sanggahku. "Ooooo!" sahutnya santai. Tanganku repleks memukul pundaknya. Mata kami saling bersitatap, lembut sekali pandangannya. "Aku se
"Tadi, Bu Rini enggak mau dirawat dan memaksa mau pulang. Sampai di depan pintu cuma diam aja, ternyata mendengarkan obrolan kalian." terang suster yang menjaga mama Rini. Aku dan Mas Kelvin saling pandang, dan kulihat senyum mengembang di wajah Mas Kelvin. Entah apa maksudnya. "Yuk, kita pulang, Tante," ajak Mas Kelvin, membuatku melotot padanya. Tidak disangka, Mama Rini langsung mengiyakan ajakan dari lelaki di depannya. Aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Suster mencegah Mas Kelvin, tapi dia memaksa untuk membawa mama Rini dan mengataka akan bertangung jawab dengan apa yanga akan terjadi kemudian. Akhirnya, pihak rumah sakit membiarkan kami pergi, setelah semua administrasi diselesaikan. *** "Kamu gimana sih, Dis!" omel mama, begitu kami sampai di rumah. Aku hanya diam saja, sambil mencubit pinggang Mas Kelvin kesal. Sedangkan yang dicubit hanya tersenyum manja, makin membuatku marah. "Tanya aja sama ini orang!" tunjukku pada Mas Kelvin. Mas Kelvin mengaja