"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
"Gladis! Kamu di mana?" teriak mas Aditya.Aku yang sedang memandikan Mutiara, langsung berteriak. "Aku di kamar mandi, Mas!"Tak kudengar lagi suaranya. Pikirku, dia sedang membersihkan diri dan duduk santai di kamar, karena itulah kebiasaannya selama ini.Selesai memandikan Mutiara, aku bergegas ke kamar. Mengelap sisa-sisa air yang ada di tubuh mungil anak pertama kami, membalurinya dengan minyak telon dan memberikannya bedak tipis-tipis."Mas, kok belum ganti baju? Eh, sekarang 'kan masih sore, tumben sudah pulang!" sapaku, karena melihatnya murung."Apa saja yang kamu lakukan tiap hari?" tanyanya tiba-tiba."Seperti biasanya, Mas. Membersihkan rumah, mengurus dapur, kasur dan kamar mandi. Yang paling penting anak kita. Terkadang, mbak Sintia menitipkan Bagas di sini. Kenapa, ada yang salah?" tanyaku, ketika melihat tatapan mata Mas Aditya yang tidak suka."Kamu itu kucel! Kumel! Dekil! Apanya y
"Ada apa ini ribut-ribut?" Suara pak RT menghentikan tangan mas Aditya yang siap melayang ke arahku."Pel*cur murahan ini pak RT!" Tunjuk mas Aditya.Mata pak RT membulat ketika mas Aditya menghardikku. Seakan-akan tidak percaya dengan ucapan yang di lontarkan oleh lelaki yang terlihat alim dan bersahaja ini."Masalah keluarga, baiknya dibicarakan baik-baik di rumah!" pinta Pak RT."Dia--,""Saya bukan istrinya lagi pak RT! Dia telah mentalak saya sebanyak tiga kali dan itu sudah cukup menjauhkan saya darinya!" ucapku, mendahului lelaki yang terlihat frustasi.Mas Aditya menarikku, mengajakku pulang dan memohon maaf atas ke khilafnya."Mas, maaf kamu bukan lagi suamiku dan kamu haram menyentuhku. Bahkan kita tidak bisa rujuk lagi!" ujarku, kesal namun bibirku tersenyum bangga."Tidak! Ucapan itu keluar karena kamu yang memancingku. Sebaiknya kita pulang, dan maafkan aku."
Tamparan itu cukup keras mengenai pipiku, panas dan perih sangat terasa. Seketika, Mutiara menangis. Terkejut oleh makian Sintia, saat tengah terlelap. "Maksud kamu apa, Mbak!" Aku berdiri dan menaikkan daguku. "Dasar pel*cur mur*han! Ketahuan selingkuh malah dia yang ngegas!" tuduhnya. "Jangan nuduh orang sembarangan, ya. Apa ada buktinya aku selingkuh?" Amarahku mulai terpancing. Tawa Sintia menyayat hatiku, untuk yang kesekian puluh kalinya. Dulu, aku diam karena ada bayi yang harus aku lindungi, tapi sekarang tidak! Wanita berhati ular itu menunjukan rekamanku dan mas Kelvin, sejak datang hingga selesai makan. "Ini bukti kami selingkuh?" tanyaku dengan senyum sinis. "Kamu lupa, ada penjual dan pembeli lain yang bisa ku mintai menjadi saksi!" Sintia diam dan menatapku kesal. "Segala usahaku tidak akan sia-sia!" ujarnya, lalu pergi begitu saja dari hadapanku. Apa maksud dari ucapannya, ya! Sudahlah. Lebih baik memikirkan, aku harus apa besok dan seterusnya. Tidak mungk
Cukup dibuat bergidik dengan kelakuan Mas Kelvin. Selama aku mengenalnya bertahun-tahun, dia tidak pernah kasar tehadap wanita. Jangankan bertindak kasar, berbicara pun hanya seperlunya. Dia bekerja keras hingga kini semua yang dia impikan berhasil. "Kamu, pasti teman istimewanya Kelvin!" seru wanita itu membuyarkan lamunan, aku hanya menatapnya dengan pandangan bingung. "Kenalkan aku Rebecca, panggil saja Ecca. Aku adalah tante kedua Kelvin, pekerjaanku corat-coret kertas, seperti ini." Tante Ecca memperkenalkan dirinya, dengan disertai tawa ramah dan menunjukkan apa yang ada di tangannya. "Iya, Tan. Saya--," ucapku, tapi terputus. "Kelvin sudah sering menceritakan tentangmu padaku. Aku adalah ibu kedua baginya. Kami cukup dekat, tapi tetap berjarak." Tante Ecca meremas kertas yang dia genggam, dan melemparnya ke tempat sampah. Aku merasa ada hal yang mengganjal dari kata-katanya, tapi tidak kubiarkan terlontar begitu saja. Dia menatapku dan mengelus pipiku pelan. "Kamu harus b
"Mau ngapain, Mas?" tanyaku polos. Ya, selama menikah dengan Mas Aditya, aku tidak pernah memikirkan penampilan. Bagaimana mau mempercantik diri, Mutiara dan Bagas memerlukan perhatianku. Ditambah pekerjaan online, yang harus selalu kupantau. "Tubuhmu sudah mulai melebar! Tidak ada yang menarik!" Lagi-lagi, ucapan Mas Kelvin sangat menyebalkan, tapi ada benarnya. Mungkin karena tubuhku sudah tidak menarik lagi, Mas Aditya selalu menghindariku. Tapi, bukankah menikah, tidak hanya bentuk tubuh saja. Jika semua terpenuhi, aku yakin semua wanita akan berdandan dengan cantik. Tante Ecca mengulurkan sebuah buku dan aku mengambilnya. "Ini buku catatan untukmu. Tante tau kamu suka menggambar, bakatmu harus di asah. Ini buku untuk dirimu diet, ikuti anjurannya. Buku ini untuk menulis setiap pengeluaran yang kamu pakai saat bersama suamimu, catat dengan teliti. Ini buku untuk menghitung pekerjaan apa saja yang kamu kerjakan selama menjadi istrinya." Dahiku mengernyit, mulut menganga kare
"Kamu masih tidak mau merubah hidup kamu! Kamu masih tidak semangat! Kamu masih mau terus di hina!" Kekesalan tante Ecca membuatku terpuruk, setelah kami pulang. Bukan aku tidak ingin membalas perlakuan mereka, tapi aku harus memikirkan cara bagaimana caranya mengambil hakku dan hak Mutiara. Usaha yang di bangun oleh Mas Aditya dan keluarganya adalah usaha milikku yang di ambil alih oleh mereka, awalnya mereka mengatakan jika hanya ingin memperluas usahaku, tapi tidak pernah mereka kembalikan. Jangankan dikembalikan, lihat hasil dari usahaku saja tidak pernah. Acapkali kutanya tentang usaha, mereka selalu saja menemukan alasan untuk menghindar dan selalu memojokkanku. Mengatakan jika aku perhitungan dan pelit terhadap keluarganya sendiri. Sejak itu, aku tidak lagi bertanya. Namun, setelah berpisah. Aku harus mengambil alih. Untung saja, semua aset masih atas namaku, begitu pula rumah yang di tempati oleh Mas Aditya. Rumah di mana aku yang dia usir. "Kenapa kamu diam!" bentak tan
Beberapa alat sadap dan pelacak di kumpulkan jadi satu di atas meja. Semua dari dalam tasku yang tidak cukup besar. Tentu saja membuatku terperangah, untuk apa mereka melakukan hal ini! "Untuk apa mereka melakukan ini?" tanyaku pada dua orang yang masih menatap tumpukan yang ada di atas meja. "Kamu bawa semua surat penting?" tanya tante Ecca. Aku mengangguk, dan tante memintaku untuk mengambilnya. Segera kubongkar tas yang kugunakan untuk membawa baju-baju milikku dan Mutiara. Dan mengambil tumpukan map, yang masih rapi. "Ini, tan." Kuletakkan map-map itu kehadapan tante Ecca. "Kamu yakin, tidak ada yang tertinggal?" Tante Ecca bertanya untuk memastikan. "Enggak ada, tan." jawabku pasti. "Baik, tante cek semuanya. Kamu fokus pada diri kamu dan Mutiara, setelah mumpuni tante akan memperlihatkan yang mereka tutupi selama ini!" ucapan tante membuatku bertanya-tanya. "Sekarang, istirahatlah." pintanya kemudian. Mas Kelvin duduk di sofa, dengan menahan kantuk yang sangat. Mem