Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
"Gladis! Kamu di mana?" teriak mas Aditya.Aku yang sedang memandikan Mutiara, langsung berteriak. "Aku di kamar mandi, Mas!"Tak kudengar lagi suaranya. Pikirku, dia sedang membersihkan diri dan duduk santai di kamar, karena itulah kebiasaannya selama ini.Selesai memandikan Mutiara, aku bergegas ke kamar. Mengelap sisa-sisa air yang ada di tubuh mungil anak pertama kami, membalurinya dengan minyak telon dan memberikannya bedak tipis-tipis."Mas, kok belum ganti baju? Eh, sekarang 'kan masih sore, tumben sudah pulang!" sapaku, karena melihatnya murung."Apa saja yang kamu lakukan tiap hari?" tanyanya tiba-tiba."Seperti biasanya, Mas. Membersihkan rumah, mengurus dapur, kasur dan kamar mandi. Yang paling penting anak kita. Terkadang, mbak Sintia menitipkan Bagas di sini. Kenapa, ada yang salah?" tanyaku, ketika melihat tatapan mata Mas Aditya yang tidak suka."Kamu itu kucel! Kumel! Dekil! Apanya y
"Ada apa ini ribut-ribut?" Suara pak RT menghentikan tangan mas Aditya yang siap melayang ke arahku."Pel*cur murahan ini pak RT!" Tunjuk mas Aditya.Mata pak RT membulat ketika mas Aditya menghardikku. Seakan-akan tidak percaya dengan ucapan yang di lontarkan oleh lelaki yang terlihat alim dan bersahaja ini."Masalah keluarga, baiknya dibicarakan baik-baik di rumah!" pinta Pak RT."Dia--,""Saya bukan istrinya lagi pak RT! Dia telah mentalak saya sebanyak tiga kali dan itu sudah cukup menjauhkan saya darinya!" ucapku, mendahului lelaki yang terlihat frustasi.Mas Aditya menarikku, mengajakku pulang dan memohon maaf atas ke khilafnya."Mas, maaf kamu bukan lagi suamiku dan kamu haram menyentuhku. Bahkan kita tidak bisa rujuk lagi!" ujarku, kesal namun bibirku tersenyum bangga."Tidak! Ucapan itu keluar karena kamu yang memancingku. Sebaiknya kita pulang, dan maafkan aku."
Tamparan itu cukup keras mengenai pipiku, panas dan perih sangat terasa. Seketika, Mutiara menangis. Terkejut oleh makian Sintia, saat tengah terlelap. "Maksud kamu apa, Mbak!" Aku berdiri dan menaikkan daguku. "Dasar pel*cur mur*han! Ketahuan selingkuh malah dia yang ngegas!" tuduhnya. "Jangan nuduh orang sembarangan, ya. Apa ada buktinya aku selingkuh?" Amarahku mulai terpancing. Tawa Sintia menyayat hatiku, untuk yang kesekian puluh kalinya. Dulu, aku diam karena ada bayi yang harus aku lindungi, tapi sekarang tidak! Wanita berhati ular itu menunjukan rekamanku dan mas Kelvin, sejak datang hingga selesai makan. "Ini bukti kami selingkuh?" tanyaku dengan senyum sinis. "Kamu lupa, ada penjual dan pembeli lain yang bisa ku mintai menjadi saksi!" Sintia diam dan menatapku kesal. "Segala usahaku tidak akan sia-sia!" ujarnya, lalu pergi begitu saja dari hadapanku. Apa maksud dari ucapannya, ya! Sudahlah. Lebih baik memikirkan, aku harus apa besok dan seterusnya. Tidak mungk