Gadis itu kubawa dari desa, rumahnya persis di samping rumah ibu. Saat aku hamil tua, aku butuh pembantu. Gadis itu menawarkan diri bahkan memelas ingin bekerja di rumahku. Sungguh tidak pernah terbayang olehku, malapetaka mulai membayang. Dia yang kuanggap seperti adik kandung, ternyata menikam dari belakang. Haruskah aku terisingkir dari rumahku sendiri? Haruskah aku yang pulang kampung dengan sorang bayi merah di pelukan? Tidak! Aku akan pertahankan rumah tanggaku. Jika memang harus gagal, maka kupastikan kedua durjana itu akan hancur di tanganku. Aku pasti bisa. Aku bukan perempuan lemah yang hanya bisa pasrah saat miliknya dicuri. Aku tidak akan diam saat cinta dikhianati. Kupastikan keduanya akan menangis darah.
View MoreBab 1. Malam Maksiat
*****
"Bagaimana, Kak Mel? Sudah enakan?" Harum memijit betisku.
Gadis muda ini adalah pembantuku. Usianya kira-kira sembilan belas tahun. Sejak dua bulan lalu dia sudah ikut bersamaku. Saat itu aku bermaksud mencari pembantu karena kondisiku yang sedang hamil. Dia datang bersama ibunya menawarkan diri. Bahkan sangat memelas. Dengan alasan putrinya menganggur di kampung, Mak Uda memohon-mohon.
"Lumayan, Alhamdulillah. Kamu pintar mijitnya, " ucapku masih sedikit meringis.
Entah kenapa akhir-akhir ini kakiku sering keram. Kata dokter yang kutemui dua hari yang lalu, itu biasa dialami oleh seorang perempuan yang sedang hamil tua.
"Kak, kalau Kakak melahirkan nanti, Mak Tua ke sini, enggak?" tanya Harum lagi.
"Pastilah, tapi mungkin enggak bisa lama. Dia juga punya kesibukan di kampung. Kenapa, kau mau nitip sesuatu dari Mak Uda?" tanyaku.
Mak Tua adalah panggilannya untuk ibuku. Sedangkan Mak Uda adalah panggilanku untuk ibunya. Rumah orang tuaku di kampung bersebelahan dengan rumah ibunya.
"Enggak, cuma nanya aja. Memang lebih baik kalau dia gak usah lama-lama di sini," cetusnya.
"Kenapa?" Aku kaget mendengar ucapannya.
"Kan, udah ada aku yang ngerawat Kakak."
"Iya, sih," sahutku menyimpan tanya.
Aku merasa ada sesuatu yang tersirat dari ucapannya. Naluriku mengatakan ada yang sengaja dia tutupi.
Sebenarnya kecurigaanku ini sudah sejak sebulan lalu. Sejak Harum sering bertingkah aneh. Kerap kudapati dia mematut diri di depan cermin hias saat membersihkan kamarku. Bahkan pernah kupergoki dia mencoba memakai gaun pemberian Mas Gilang suamiku.
Aku marah dan memintanya jangan pernah sembarangan memakai gaunku lagi. Sayangnya Mas Gilang malah membelanya. Dengan alasan sudah lama kepingin gaun seperti itu, pembantuku membela diri. Esoknya Mas Gilang membelikan gaun yang sama untuknya.
"Jangan kasar! Jangan buat dia tersinggung! Nanti kalau dia merajuk pulang kampung, gimana? Kita kehilangan pembantu, kita juga dicap gak bagus di mata orang kampung," kata suamiku beralasan.
Aku menurut dan kembali memperlakukan dia dengan baik. Sampai malam harinya setelah kejadian itu, aku dapati Mas Gilang duduk berdua dengan Harum di meja makan. Aku tiba-tiba haus malam itu.
Aku pikir Mas Gilang masih sibuk di depan. Suamiku memang punya usaha toko pupuk yang lumayan besar. Toko itu di depan rumah kami pusatnya. Sedang cabangnya tersebar di beberapa kecamatan. Kadang dia bekerja sampai malam terutama bila ada pengiriman ke cabang.
"Mas di sini? Kirain di toko?" kataku mengagetkan mereka berdua.
Aku tidak melihat dengan jelas, karena lampu dapur sudah padam. Sepertinya aku melihat Harum duduk di pangkuan suamiku. Saat aku menghidupkan lampu, gadis itu sudah bergeser. Kucoba menghibur hati, bahwa aku hanya salah lihat tadi.
"Iya, ini si Harum dari tadi duduk menyendiri di sini. Kebetulan aku baru pulang dari toko. Aku tanya ngapain gelap-gelapan. Dia bilang masih sedih karena kamu tegur tadi. Dia minta pulang kampung besok. Dari tadi aku sudah membujuknya."
"Rum, kakak udah minta maaf, kan? Kenapa masih merajuk?" tanyaku ikut duduk.
Gadis itu meraba bibirnya. Kenapa ditanya malah meraba bibir? Kulirik kancing bajunya terbuka dua buah bagian atas. Dadaku berdesir, saat itu sebenarnya aku sudah curiga. Namun, aku tidak tahu harus curiga apa. Perasaanku tidak enak, seolah ada sesiatu milikku yang paling berharga telah salah letak. Tetapi, aku tidak tahu apa dan di mana.
*
"Kak, aku kembali ke kamarku, ya? Kakak udah bisa tidur, kan?"
Ucapan Harum membuyarkan lamunanku.
"Iya," sahutku menatap pungungnya ke luar kamar.
Kucoba memejamkan mata, melupakan prasangka dan kegundahan. Kurasakan gerakan bayiku seolah menendang. Kubelai perutku penuh kasih sayang. Aku terlelap bersama gerakannya.
Aku tersentak saat sebuah tangan kekar tiba-tiba memeluk dari belakang.
"Mas, sudah tutup tokonya?" tanyaku memegang tangannya.
"Sudah, bagaimana, masih keram kakinya?" tanyanya penuh perhatian.
"Sudah enakan. Mas makan dulu sana! Perlu aku hidangin?"
"Tidak usah, Sayang. Kamu tidurlah. Istirahat yang cukup, ya! Kata Dokter dalam minggu ini, kan?"
"Iya, Mas."
"Semoga bisa normal, ya!"
Mas Gilang mencium tengkukku. Tangan kekarnya meraba dadaku. Aku sadar kalau sudah seperti ini, pasti dia menginginkan sesuatu. Aku juga tak hendak menolaknya. Aku bahkan telah bersiap-siap melaksanakan tugasku. Namun, saat napasnya kian memburu dan kurasakan kian hangat menerpa tengkuk, saat itulah dia menghentikan aktivitasnya.
"Kenapa, Mas?" tanyaku mengerjap menahan sakit di kepala. Sungguh aku pun sangat menginginkannya.
"Gak tega sama bayi kita, Sayang. Takut kepalanya kesundul,” jawabnya dengan wajah tetap semringah. Sepertinya dia tak kecewa sedikitpun.
"Tapi,” sergahku menahan hasrat yang masih menggebu.
"Sabar, enggak lama lagi dia lahir, Sayang!"
"Bukan karena napsu Mas ambyar karena perut buncitku?"
"Enggaklah," sahut Mas Gilang mengucek rambutku.
"Tidurlah! Mas mau makan, setelah itu kembali ke ruang kerja mengecek laporan penjualan hari ini dari toko cabang!" Dia bangkit dan melangkah ke luar.
"Tunggu! Ada yang mau aku tanyain."
"Apa sih?" Mas Gilang kembali menghadapku.
"Sudah tiga minggu, kita enggak pernah lagi. Aku gak tega, Mas harus nahan selama itu. Belum lagi kalau nanti aku habis lahiran," sergahku.
Mas Gilang tersenyum, lalu berjongkok di sisiku.
"Aku sanggup nahan berapa bulan pun, Sayang. Demi kebaikan dirimu dan bayi kita." Dikecupnya lembut keningku.
Aku kembali mengerjapkan mata, begitu bahagia. Suami yang penuh pengertian.
"Makasih, Mas," bisikku sambil tersenyum.
Dia melangkah ke luar, kupejamkan mata, aku terlelap lagi.
**
Entah berapa lama sudah aku tertidur. Tiba-tiba aku terbangun karena mimpi buruk. Seseorang yang entah siapa mencuri baju dasterku. Aku kelelahan mengejar dan merebut kembali daster itu. Tapi, kakiku terjerembab lubang kecil, aku jatuh, lututku berdarah.
Kucari Mas Gilang di samping. Tidak ada. Kupikir pasti dia masih di ruang kerjanya. Tenggorokanku terasa kering, kucoba bangkit dan melangkah menuju dapur.
Kulirik ruang kerja Mas Gilang sambil lewat. Sunyi tidak terdengar apa-apa. Apakah suamiku ketiduran? Kubuka pintu dengan pelan. Aku heran melihat lampu tidak menyala di dalamnya. Segera ku tekan saklar di dinding dekat pintu. Ke mana dia? Mungkin dia harus keluar menemui pelanggan atau siapa, pikirku.
Tanpa curiga aku melanjutkan langkah. Sebelum sampai ke ruang makan, aku harus melewati kamar pembantu. Saat itu telingaku seperti mendengar suara desahan. Kucoba menajamkan pendengaran. Aku tidak salah dengar. Suara desahan bahkan rintihan kini semakin jelas. Kucari sumber suara itu. Aku mundur beberapa langkah.
Ini suara Harum. Desahan dan rintihan ini berasal dari kamarnya. Kenapa dia? Apakah dia sedang sakit? Kenapa tidak membangunkan aku kalau sakit.
Aku mulai panik. Sebegitu kesakitankah gadis itu? Ya, Allah, jangan sampai dia kenapa-napa. Spontan kudorong pintu kamar.
"Harum ... kamu kena – pa?"
Suaraku terpotong demi melihat pemandangan di dalam. Tubuh Mas Gilang dan tubuh Harum dalam keadaan bersatu. Harum bahkan berada di posisi atas. Keduanya bermandikan peluh. Pakaian mereka berserakan di lantai kamar.
Aku terduduk lemas di depan pintu, kupegangi kepalaku yang berdenyut hebat. Bayi dalam perut ikut meronta-ronta.
***
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat
Bab 144. Cinta Pertama Dan Selamanya (Tamat) Itu Kak Bulan. Dia merekam video ini untukku? Kak Bulan tengah duduk di samping sebuah ranjang pasien. Sepertinya seseorang sedang berbaring di ranjang itu. Entah siapa, wajahnya tidak muncul di rekaman. “Maaf, ya, Mel. Sepertinya kamu sudah duluan lihat fhoto-fhoto itu baru buka plasdisc ini. Iya, kan? Pasti kamu sedang marah, emosi, kecewa dan mungkin kamu juga udah ngusir Reno. Aku enggak tahu persis apa yang terjadi di situ. Aku hanya berusaha memberi yang terbaik buatmu, adikku. Selama ini kami sekeluarga telah membuat hidupmu hancur. Untuk terakhir kalinya aku berusah setidaknya bisa menyelamatkan pernikahan yang baru saja kau mulai. Isi Plasdisc ini aslinya bukan ini, Mel. Sengaja kuhapus, dan kuganti dengan yang ini. Tapi, foto-foto itu enggak bisa kuganti, karena dia yang memesan karangan bunga itu. Kau tahu siapa? Ha
Bab 143. Kejutan Di Malam Pertama Pertama“Terima kasih sudah menjadi istriku, Mel! Aku sangat mencintaimu! I Love you, Sayang!” bisiknya lembut di telinga.“Kau juga tampan sekali, Mas, aku bangga dan sangat bersyukur bisa memilikimu. I love you, too,” balasku mengerjapkan mata.“Terima kasih.” Mas Reno tersenyum lagi. “Sekarang, ya?” tanyanya memohon izin.Aku tak menjawab, karena memang dia pun tak menunggu jawaban dariku. Mulutku tak lagi bisa berucap. Bibir kenyal mas Reno telah melumatnya. Awalnya begitu lembut, namun sesaat kemudian berubah kasar. Mas Reno melumatnya dengan begitu rakus.Aku membalas setiap lumatannya. Makin terhanyut saat lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku. Mas Reno menjelejah setiap inci rongga mulutku. Memeprmainakn lidahku de
Bab 142. Pernikahan Kedua Dan TerakhirkuKupaksa otakku berfikir keras. Mencoba membongkar memori ingatan, namun, tetap tak kutemukan. Tunggu, suaranya? Suaranya, sepertinya juga tidak asing. Sepertinya aku sering mendengarnya, tapi siapa? Apakah karena tertutup masker, sehingga suaranya agak susak kukenali. Rasa penasaram mengaduk hati, ok, aku akan cari tahu dari si pengirim karangan bunga itu.Aku bangkit perlahan, menuju sudut ranjang. Baru saja tanganku hendak meraih kertas kecil yang terselip di karang bunga yang lumayan cantik itu, seseorang memanggilku untuk segera keluar.“Mel! Ayo, rombongan mempelai pria akan segera tiba. Akad nikah akan segera dimulai.”Mala dan Rani berdiri di ambang pintu kamar. Keduanya berkebaya dengan warna dan model yang sama, rambut mereka berdua digelung rapi, wajah di make up cantik.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments