Mama Rini mendekatiku dan ingin mengatakan sesuatu. Aku tahu, Mama Rini ingin menjelaskan sesuatu yang tidak kuketahui, tapi aku sudah enggan mendengarnya. Biarkanlah menjadi rahasia dan membuatku mengenang Reinaldi dengan kebaikannya saja. Setiap orang punya masalalu, ada yang ingin memamerkannya keseluruh dunia, ada yang ingin menyembunyikannya rapat-rapat. Begitupun Reinaldi dan aku. Jalan kami sejak awal sudah berbeda, tapi aku yang memaksa untuk tetap sejalan. "Ma, pemakaman Reinaldi sebentar lagi. Hapus air mata mama, biarkan dia tenang membawa kebahagian diakhir hidupnya," pintaku. Mama Rini mengangguk dan mengajakku dalam rombongan yang akan mengantarkan suamiku dalam peristirahatan terakhirnya. Air mataku mengering, hingga melepas kepergiannya dengan senyum kepedihan. "Terima kasih atas cinta yang selalu kamu berikan untukku, suamiku!" ucapku lirih. Tiba-tiba, Mas Kelvin berdiri di dekatku dan memegang pundakku erat, Seakan-akan tidak rela aku mengucapkan hal itu. Kemudia
Ah! Dugaanku ternyata salah, cintanya bukan tidak berbalas. Akan tetapi telah berakhir, karena restu orang tua. Akan tetapi, seingatku suster Ririn mengatakan, jika kekasih Reinaldi sudah meninggal. Mana yang betul, terlalu banyak rahasia yang disembunyikan dariku. Mama Rini menepuk pundakku, dan mengatakan jika aku adalah cinta terakhir Reinaldi untuk selama-lamanya. Rasa haru menelusup dalam hati, meski sesak lebih mendominasi. "Ma, boleh aku tinggal bersama mama?" tanyaku. Mas Kelvin menghentikan kursi rodaku, karena Mama Rini berhenti. Mama Rini berdiri di depanku dan memintaku untuk mengulangi perkataanku. Aku pikir, ucapanku salah. "Mama sangat berterima kasih, jika kamu mau tinggal bersama mama. Mama ...," Mama Rini langsung memelukku, dan tangisnya terdengar sangat menusuk kalbu. Hanya ini yang bisa kuberikan pada Mama Rini, karena mendukung Reinaldi menikah denganku dan menolak mengobati penyakitnya. Binar kebahagian nampak jelas di mata mama Rini, lengkungan indah di bib
Mama mengguncang-guncang tubuh papa dan terus memanggil namanya dengan tidak sabaran. Air mata sudah tidak terhitung jatuh begitu saja. Sedangkan, Papa. Dia diam, tidak menghiraukan panggilan mama, tidak mau menyekaa air mata yang luruh karenanya. "Papa! Kenapa tega!" ucapku lirih. Mama Rini datang dan langsung memintaku berdiri, memaksaku untuk tabah menerima ketentuan tuhan yang tidak pernah bisa aku tebak. Dunia serasa menghilang sejenak, Kehilangan dia yang selalu kutunggu maafnya karena kenakalanku, yang selalu membuatnya pusing dan kesal. Kenapa ... Kenapa aku selalu menjadi yang terakhir mengetahui orang yang kusayangi sedang menderita. Belum sembuh luka kehilangan Reinaldi tiga bulan yang lalu, kini papa harus menyusulnya dan meninggalkan kami yang mencintainya. Mama dan aku sangat terpukul, baru tahu rasa yang dirasakan oleh Mama Rini. "Sabar, Dis. Tuhan sayang padanya," ucap Mama Rini lirih. Suaranya tercekat, seakan-akan mengingat kepergian Reinaldi yang masih hangat
Pemakaman papa dan segala sesuatunya diurus oleh Mas Kelvin dan om Alex, bahkan dia pun harus mengurus Mutiara yang sangat sedih kehilangan dua orang yang mencintainya selama ini, secara bergantian. Tidak beda jauh dengan keadaanku saat ini, meski aku tahu takdir Tuhan sudah diatyr dengan sangat baik, tapi tetap saja ada ketidak relaan dalam hati. *** Dua bulan berlalu, hari-hari terasa sangat kosong. Aku rindu semua yang telah berlalu. Kini, hanya bisa memandang langit yang dipenuhi bintang-bintang dan rembulan yang menjadi ratunya. "Jangan terlalu larut dalam kesedihan, banyak orang yang membutuhkan kamu!" Suara Mas Kelvin terdengar dari arah belakangku. "Kamu tidak tahu rasanya kehilangan, Mas!" ejekku. "Sebelum kamu merasakannya, aku sudah lebih dulu merasakannya, Dis! Dengan kamu larut dalam kesedihan, tidak dapat membawa mereka kembali padamu. Sedangkan orang-orang yang membutuhkanmu masih hidup hingga saat ini, jangan sampai penyesalan datang lagi!" Mas Kelvin seolah-olah m
"Apa yang kamu butuhkan, Dis?" tanya Mas Kelvin penasaran, karena aku tidak kunjung menjawab tanyanya. "Aku masih ragu, Mas! Tiga hari lagi aku beritahu, ya." Aku ingin memastikan semuanya benar sebelum mengambil keputusan. Aku juga harus menyiapkan alternatif lain, sebelum aku meminta pada Mas Kelvin. Begitu banyak kelalaian yang telah terjadi, beberapa bulan ini. Semenjak kepergian Reinaldi dan juga papa. "Apa bedanya jika sekarang?" desak Mas Kelvin, "Beda, Mas. Ada sesuatu yang harus aku pastikan, aku pun harus bertanya pada Allah terlebih dulu." Kuberikan senyum yang terbaik untuknya, memintanya mengerti untuk saat ini. "Baiklah, asal jangan kamu memintaku untuk menjauh darimu!" ketusnya yang membuatku tersenyum miris. Aku meminta Mas Kelvin untuk pulang sebelum malam semakin larut dan memintanya datang setelah tiga hari, walau pun dia protes aku tetap kukuh dengan pintaku. Mau tidak mau, Mas Kelvin memenuhi pintaku. "Okelah, aku pamit dengan Mutiara dulu, takut dia nyariin
Baru saja melangkah, Mutiara memanggil Mas Kelvin. "Kata Om, papa Reinaldi sudah enggak mau kembali lagi! Dan Om akan menggantikannya!" rajuk Mutiara. Sebenarnya, aku makin penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, apalagi Mutiara sampai ngambek seperti itu. "Mutiara mau punya papa om ini?" Aku memilih bertanya hal ini terlebih dulu pada Mutiara. dengan menunjuk ke arah Mas Kelvin. Mutiara menghampiri Mas Kelvin, kemudian memeluk kaki lelaki tampan yang ada di sampingku. Mas Kelvin langsung menatapku dengan pandangan yang aku sendiri tidak tahu. Dengan cepat aku menatap ke arah berlawanan. "Tapi papa Reinaldi gimana, Ma?" tanya Mutiara setelah melepaskan pelukannya ke Mas Kelvin. "Papa Reinaldi sudah di surga, bersama dengan kakek, Nak!" jelasku, dengan mesejajarkan diriku dengan tinggi Mutiara. Aku tahu, Mutiara pasti paham apa yang kumaksud. Usia Mutiara seharusnya sudah bisa mengetahui apa yang terjadi, meskipun belum terlalu memahaminya dengan baik. Mas Kelvin pun ikut j
Namun, akhirnya Mas Kelvin menghembuskan napas gusarnya, kemudian memalingkan wajahnya dan berpamitan. Melangkah menjauh untuk kembali lagi, harapku. "Maaf, Mas! Aku ingin memastikannya lebih baik lagi, agar semakin yakin." Dengan liri aku berucap. Aku kembali ke kamar dan bersiap untuk tidur, menjemput mimpi bahagia yang tertunda. Berharap terbangun disepertiga malam untuk bermunajat pada sang khalik yang selalu membersamaiku disaat aku jatuh dan bangun. *** "Ma, Om Kelvin belum ke sini?" tanya Mutiara, untuk kesekian kalinya "Semoga, hari ini Om Kelvin datang, ya!" balasku cemas. Pasalnya, setiap aku chat, Mas Kelvin tidak membalas pesanku. Tidak ada tanda-tandanya dia sedang online di semua media sosialnya. Tentu saja, kekhawatiran mulai menyelimuti hati. Aku berpikir, jika Mas Kelvin marah atau tidak ingin bertemu denganku lagi. "Kita jalan-jalan saja, yuk!" ajakku. Mutiara terlihat sangat antusias dengan ajakkanku, sudah lama dia tidak keluar dari rumah, selain pergi ke se
"Mama Rini," sapaku. Aku menatap Mas Kelvin yang masih memegang buket bunga dan menggandeng Mutiara, entah dia mengerti kegalauanku atau tidak, tapi dia menangguk padaku. "Masuk, yuk, Ma," ajakku. Mama Rini menjadi depresi setelah kepergian Reinaldi, kadang bisa mengenali orang, terkadang lupa. Aku yang merasa bertanggung jawab, enggan meninggalkannya. "Kamu mau meninggalkan mama, Dis? Sama seperti Reinaldi?" Pertanyaannya membuat hatiku sangat pilu. "Enggak, Ma. Gladis bakalan sama, mama!" balasku dengan hati meringis. Aku menuntun mama Rini masuk ke dalam, dan membiarkannya duduk. Mas Kelvin dan Mutiara ikut duduk di sampingku. "Dis, mama tahu, kamu sudah banyak berkorban. Saatnya kamu sekarang bahagia, menikahlah, tapi jangan tinggalkan mama," Mama Rini menepuk tanganku yang memegang tangannya dengan erat. "Gladis dan Mutiara selalu ada untuk mama," balasku dengan meminta Mutiara duduk di samping mama Rini. Mutiara, tanpa kuminta memeluk erat mama Rini dan mengecupnya. "O